Aku benar-benar tak percaya melihat isi di dalam kardus itu. Apa dia bercanda? Untuk apa bikini set sebanyak ini?“Pak Buntal, berapa yang kamu habiskan buat beli bikini sebanyak ini?” “Sepuluh,” sahutnya seolah tak ada yang salah dengan semua itu, “seperti yang pernah kamu minta. Sepuluh bikini buat kamu sekalian teman-teman kamu.” Aku benar-benar terkejut. Bagaimana bisa candaanku dianggap seserius itu. “Alea, kok melongo gitu.” Kakiku lemas seketika. Sepuluh bikini ini … apa yang harus aku lakukan pada barang tak lazim seperti ini. Barang yang bahkan enggan kugunakan. “Pak buntal, siapa yang bakal pake ini barang?” “Ya kamu, lah. Bukannya itu ada di dalam daftar hal yang ingin kamu lakukan sebelum menikah?” “Tapi foto bikini itu … sengaja aku tulis biar kamu nggak mau nikahin aku,” sahutku dengan frustasi, “lagian siapa sembilan teman yang bisa dan mau kuajak foto dengan pakaian nyaris telanjang seperti itu.” “Syukurlah.” “Lah, kok malah seneng?” “Ya jelas senang, lah,” s
Lelaki itu membelai rambutku, menyibak sebagian yang menutupi wajahku. Tatapan matanya menciptakan debaran lembut di dadaku. Dan sesaat kemudian ia telah berada di atas tubuhku. Kecupan lembutnya mendarat begitu saja di bibirku. Seakan hendak membangkitkan gairahku malam ini. Bibirnya seperti api yang hendak memercikkan setiap inci tubuhku dalam sebuah ledakan gairah. Apa ini? Kenapa malam ini dia begitu berbeda? Mungkinkah karena baju yang kugunakan malam ini? Ia menarik pakaian tipis yang terhubung dengan bra itu dengan kasar, hingga terdengar suara robekan dan bra itupun lepas begitu saja mengekspos yang tersembunyi di dalamnya. Suara napasku mulai memburu saat kurasakan bibirnya menyentuh bagian puncak di dadaku. Ia seperti sengaja mempermainkannya dengan lidahnya dan menyesapnya dengan rakus. Hmm … tubuhku tak lagi dapat ku kuasai. Akal sehatku tak dapat lagi mengambil alih reflek yang muncul begitu saja. Tubuhku menggeliat tanpa bisa kukendalikan. Bibirku mulai mengeluarka
“Dih, siapa juga yang mau,” sahutku cepat sembari berguling menjauh ke sampingnya, “tapi yang tadi itu bukan senter, ya?” “Iya bukan. Itu mainan buat kamu,” jawabnya. “Mainan buat aku atau buat kamu, pak buntal?” godaku, “semua isinya seperti buat aku. Tapi … kamu yang menikmatinya bukan?” Kunaik turunkan alisku sengaja untuk menggodanya. Memang itu yang terbesit di otakku. Mulai dari baju dan benda berwarna merah muda itu semuanya seakan ditujukan buatku. Tapi … semua benda itu hanya alat untuk memperoleh kepuasan baginya, kan?Lelaki itu justru tertawa seperti mengejekku. “Sungguh? Kamu nggak suka sama alat itu? Kamu nggak bisa nikmatin getarannya tadi? Tapi … kenapa tubuh kamu tadi kelihatan heboh ya? Sampe mau pipis, kan? Tapi … kenapa sekarang nggak pipis juga, ya?” “Pak buntal, aku benci kamu.” Dengan kesal aku berbalik membelakanginya dan menarik selimutku hingga menutupi seluruh tubuhku. “Alea … Alea. Permainan tadi … bukan cuma kamu, atau aku saja yang nikmatin, tapi kit
“Jadi kamu tahu kan, siapa yang masuk ke dalam kamar kita semalam?” ulangnya dengan pertanyaan yang sama. “Nggak tahu, lah,” sahutku dengan menyembunyikan kegugupanku, “tapi dia nggak mungkin berani sentuh aku. Kalau aku bangun terus teriak-teriak, bisa mampus dia digebukin kalian, kan.”“Ah ~ bener juga, sih,” sahut Vena. Selamat … selamat! Semoga aja dia nggak lagi lagi nanyain soal peristiwa itu. Maafin aku, Ven. Belum waktunya buat aku cerita semuanya. Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan menceritakan semuanya sama kamu. Tapi bukan sekarang. Aku belum siap.“Lalu soal Doni, gimana? Kalau emang dia bener-bener sampe keluar dari rumahnya cuman gara-gara nggak mau move on dari kamu?” cecarnya.“Nggak tau lah,” sahutku, “mau aku sama dia atau nggak, tetep aja bapaknya serem. Aku takut.” “Tapi bapaknya Doni nggak mungkin ganggu ceweknya anaknya, kali ya,” bantah Vena, “sepertinya kamu bakal lebih aman dengan status pacar Doni. Dia nggak bakal sentuh kamu, deh Al.”“Nggak yakin juga
Suara ketukan di pintu itu, menjelaskan betapa kerasnya suara teriakanku tadi sehingga Bik Titin yang ada di lantai bawah pun dapat mendengarnya dengan jelas. “Nggak papa, Bik. Tadi cuman kaget ada jerapah lewat,” sahutku. “Astaga, Non bikin jantung Bibik copot saja,” ucapnya. Tak ada lagi suara wanita itu dari luar sana. Dan itu cukup membuatku merasa lega. “Bapak ngapain kemari?” “Ya karena kamu,” sahutnya. “Aku telpon kamu, tapi ponsel kamu mati. Aku udah cari kamu dimana-mana. Makanya begitu ketemu kamu, aku pikir aku nggak boleh pergi lagi.” “Hah! Kamu pikir aku kabur dari rumah?” Aku tertawa memikirkan hal konyol itu. Tapi melihat raut wajah serius itu, tawaku langsung berhenti. “Jadi serius, Bapak pikir aku minggat dari rumah? Tapi kenapa? Aku bahkan nggak punya alasan buat minggat.”“Aku pikir, kamu bosan denganku. Seperti yang tadi pagi kamu katakan,” jawabnya, “seperti jarak usia kita yang bakal bikin aku keliatan seperti bapak kamu.”Aku menggigit bibir bawahku dengan
Baru saja Pak Jonathan keluar dari pintu, aku mendengar dering suara ponselku. Sebuah nama mengambang di layarnya. Vena. “Alea! Alea! Dengerin! Aku punya gosip baru, nih,” ucap pemilik suara cempreng itu langsung saat panggilan itu kujawab. “Gosip apaan?” “Pak Jonathan punya pacar! Aku liat dia berduaan sama pacarnya, tengah malam!” Astaga! Apa Vena sempat lihat aku, ya. Tapi … kalau dia sempat lihat aku, nggak mungkin dia bisa telpon dan gosipin Pak Jonathan langsung padaku, kan? “Kamu kok yakin itu Pak Jonathan sama pacarnya? Bisa aja kamu salah liat.” “Yakin! Seyakin kita liat mobil limited hijaunya yang cuman satu-satunya di kota ini,” sahut Vena dengan cepat. “Jadi … kamu liat mobilnya kan? Bukan orangnya?” selidikku. Aku bisa saja mengatakan bahwa bisa saja mobil itu dibawa kerabatnya atau kemungkinan lain, seandainya ia tidak bisa membuktikan kecurigaannya. “Itu pasti dia. Jika dia tidak mengenaliku atau menyembunyikan sesuatu dari kita, siswanya, dia tidak akan kabu
Aku segera berbalik memunggunginya, dengan harapan agar ia tidak dapat mengenaliku. Untung saja lift terisi penuh sehingga aku bisa bersembunyi di antara pengunjung lainnya. Tapi setiap satu lantai lift itu berhenti, beberapa pengunjung pun turun. Bagaimana kalau mereka juga turun di lantai yang sama. Lantai lima yang merupakan lantai terakhir gedung itu. Bisa-bisa semua rahasia ini terbongkar! “Gimana? Kita bisa ketahuan,” ucapku dengan bibir komat-kamit tanpa suara pada Pak Jonathan. Tapi bukan penyelesaian yang kudapatkan dari lelaki itu. Ia justru hanya tersenyum sambil mengedikkan bahunya. Ah, benar-benar runyam! Dan … benarlah! Tepat di lantai lima gedung itu, Vena dan rombongannya turun. “Kita pulang aja, ya Pak,” bujukku sembari menekan tombol agar pintu lift segera tertutup. Namun celaka, tepat saat itu Vena menoleh ke belakang dan tatapan mata kami bertemu. Mati aku! Gadis itu berlari mendekat dan menghalangi pintu itu agar tidak tertutup. “Alea?
“Jadi … kamu akhirnya mau nikah sama dia?” tanya Vena dengan sepasang mata membulat. Aku yakin dia terkejut mendengar berita ini. Sama terkejutnya dengan aku, ketika mendengar rencana perjodohan itu dari papa. Kuanggukkan kepalaku dengan lesu. “Saat itu aku sempat terpukul. Kuajukan berbagai syarat agar dia tak mau menikahiku. Tapi … karena kakeknya yang hampir meninggal, Pak Jonathan menyanggupi apapun syarat yang ku ajukan.” “Syarat?” ulangnya, “syarat apa?”“Aku nggak mau dia sentuh aku. Dan aku juga minta supaya dia nggak ikut campur dalam hidupku. Aku mau bebas menikmati masa remajaku, berpacaran dengan siapapun, berkencan dan menikah dengan lelaki pilihanku sendiri.” “What? Jangan bilang kalau … itu motivasi kamu nerima Doni jadi pacar kamu,” tebak Vena, “terus kamu sembarangan terima cowok buat dijadiin pacar kamu.”‘Bukan … bukan gitu,” sahutku cepat.“Ah … hebat! Kamu bisa pacaran sama laki-laki lain, padahal udah nikah.” “Tapi waktu itu aku sama sekali nggak tertarik sa
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya.Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.”Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu semakin mengg
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada
“Jadi kamu udah telat dua minggu?” Sepasang mata gadis itu mendelik saat aku mengatakan masalah yang aku alami. Cepat-cepat aku arahkan telapak tanganku menutupi mulutnya.“Jangan keras-keras, Ven!” kesalku tanpa melepaskan tanganku dari mulutnya. Gadis itu langsung menganggukkan kepalanya, sebuah tanda bahwa ia akan mengikuti aturan mainku. “Ini bukan pertama kalinya aku telat. Jadi aku nggak yakin kalo nggak ada sesuatu di dalam sana,” lanjutku.“Iya, aku tahu kamu sering telat datang bulan. Tapi … kamu yakin nggak mau ceritain ini sama suami kamu?” tanya Vena. Kini suaranya terdengar cemas. “Kalau aku cerita, terus dia malah nggak suka sama aku yang penyakitan ini, gimana?” “Kamu nggak boleh punya pikiran negatif dulu sama suami kamu.” Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Siapa tahu dia punya solusi buat kamu.” Aku menghela napas panjang. “Benar juga. Tapi … kalau aku menceritakan semuanya sekarang, bisa-bisa rencana bulan madu kami gagal.”“Nggak papa juga, kan. Kamu bisa lakuk
“Nikah lagi?” ulang lelaki itu. Tak lama kemudian, ia tertawa. “Kamu ini keterlaluan, ya.” Hah? Kenapa aku yang keterlaluan?“Aku sudah pernah bilang, kan, sama kamu. Hatiku ini cuman satu. Dan itu sudah kamu curi,” jawabnya sembari mencubit pucuk hidungku, “apa mungkin hatiku kamu kembalikan, pencuri?” “Auw! Sakit ih!” teriakku.“Siapa suruh bikin pertanyaan konyol macam itu,” sahutnya.Aku mencebik kesal. “Jawab sih jawab, tapi nggak usah cubit-cubit juga, kan.”“Jadi gimana … kita mesti rajin nih,” godanya.“Hih! Dasar mesum,” ketusku. “Eh … tapi kamu suka, kan?” Godanya.“Pak buntal tukang mesum,” balasku tak mau kalah.“Tapi kamu yang teriak dan mendesah paling keras, kan,” godanya lagi, “Jo nat ahh.”Aku langsung mendelik saat ia menirukan caraku memanggil namanya. Sungguh bikin aku kesal. “Pak buntal! Kamu ini benar-benar keterlaluan!” Tanpa ampun, aku menyerangnya dengan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya.Malam itu bahkan aku merasa kesulitan untuk memejamkan mata. Kali
“Dia memang lebih segalanya dari kamu. Tapi aku justru begitu bodohnya menyerahkan segalanya buat kamu. Puas?” ucapku dengan perasaan kesal. Sangat sangat kesal. Bagaimana bisa dia cemburu pada lelaki lain, sedangkan aku sudah memilih dia dan menyerahkan segalanya buat dia.“Jonathan? Ada apa ini? Kalian bertengkar?” Suara perempuan itu membuatku terkejut. Aku langsung menoleh ke arah suara yang tak asing di telingaku itu. “Mama Intan.” Aku mengerutkan keningku dan berlari mendekati mama mertuaku yang paling baik itu. “Pak Jonathan jahat. Masa sih, dia pake acara cemburu-cemburuan sama kakaknya sahabat Al.”“Cemburu cemburuan gimana, sih.” Mama Intan mengerutkan keningnya sepertinya ia kebingungan karena tidak tahu apa yang sedang kami diskusikan. “Coba kamu jelasin dulu sama mama”“Nggak, nggak ada apa-apa, kok ma,” bantah Pak Jonathan.“Masak Alea sudah kasih semuanya sama Pak Jonathan, tapi dia masih saja cemburu sama Kak Bernard,” keluhku, “kalau memang Alea mau sama kak Bernar
Semakin lama kurasakan hentakan yang diberikannya pun semakin intens. Setiap hentakannya seakan menenggelamkanku dalam hasrat yang semakin dalam. Tubuhku terasa begitu ringan, seakan semua beban yang ada, terlepas saat itu pula. Dekapan hangat dan hentakan yang semakin memanas itu semakin membuatku melayang. Tetes keringatnya kurasakan menyentuh kulitku saat ia semakin memacu dan menciptakan gelitik yang semakin menggila di dalam perutku. Kuremas kuat pundaknya, sehingga tanpa sadar kuku-kuku jemari tanganku menancap menembus kulitnya. “Kita selesaikan bersama, Sayang,” ucapnya seperti sebuah tanda bagiku tentang hentakan dahsyat yang akan diberikannya. Semakin cepat, kuat, liar dan dalam. “Jo nath aah–” teriakku terputus saat hentakan itu berakhir dengan begitu dalam. Hentakan yang seperti menghentikan suplai oksigen dalam paru-paruku dalam seketika, sehingga membuat tubuhku lemas larut dalam perasaan yang indah. Apakah ini yang dinamakan surga dunia.Kurasakan kedut-kedut di d
“Aku tidak pernah meninggalkan siapapun, Alea,” sahut Jonathan. Ku oleskan salep pada lebam yang sama sekali tak estetik di wajahnya. Bahkan dengan sengaja aku menyentuhnya dengan sedikit kasar karena masih merasa gemas. Sampai babak belur seperti itu pun ia masih tetap tidak mengaku juga. Lelaki itu meringis tanpa berani mengeluhkan kekasaranku. “Tidurlah, biar demam kamu lekas hilang,” perintahku.“Tapi Al, aku tak akan bisa tenang selama kamu masih salah paham seperti sekarang ini,” keluhnya. “Kenapa? Kamu udah jelasin kalau hubungan kamu sama Marsha bukan pacar. Kamu teman yang sedang terlibat kerjasama urusan bisnis. Gitu kan?” paparku, “aku dah dengar semua. Perkara aku bisa percaya atau tidak, apa pedulimu?”“Alea, jelas aku peduli.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya di atas ranjangnya. Sepasang matanya menatapku seakan mencari sesuatu di dalamnya.“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti Aleaku yang dulu?” lanjutnya dengan suara frustasi. “Dengan semua kejujuranm
“Jangan Kak, jangan pukul dia.” Aku berpaling mengamati luka lebam di wajah suamiku. Entah kenapa hatiku merasa ikut sakit. “Minggir Alea, dia perlu diberi pelajaran. Dia nggak tahu gimana cara memperlakukan istri dengan baik.” Kak Bernard mengepalkan tinjunya, siap memberikan pukulannya sekali lagi.“Cukup Kak. Dia sudah luka seperti ini,” teriakku dalam ledakan emosi, “apa kakak mau membunuhnya sekalian?” Kepalan tangan itu perlahan terurai bersama seraut wajah kecewanya yang sangat kentara. “Pergilah, aku butuh waktu buat sendiri,” perintahku pada lelaki yang berdiri tegak dengan pipi lebamnya di depanku.“Marsha benar-benar bukan mantan kekasihku. Aku ke tempatnya hanya karena urusan bisnis,” terangnya tanpa kuminta.“Pulanglah, aku benar-benar butuh waktu buat berpikir.”“Kamu nggak denger dia bilang apa?” Kak Bernard tiba-tiba berdiri di antara kami. Lelaki itu mendorong Pak Jonathan menjauh dari hadapanku. Aku bahkan bergeming di tempatku, walau perasaanku berontak ingin b
“Pada latihan casting, ya? Aku boleh ikutan?” “Kak Bernard! Minggir sana!” usir Vena sembari mengibaskan kedua tangannya, “ganggu aja.”“Wait … wait. Jangan bilang kalau bidadari cantikku ini nangis beneran,” lanjut Kak Bernard. Aku mengusap kedua mataku karena tak ingin memperlihatkan kelemahanku pada siapapun termasuk kakak sahabatku sendiri. Tapi ternyata hal itu terlalu berat. Dan aku kembali menangis dengan semakin kencang. “Kak Bernard ….” “Iya cantik. Siapa yang nakal?” tanyanya seperti peduli padaku. Ia mendekat dan duduk di antara kami berdua.“Kakak yang nakal,” sahutku sambil menangis semakin keras, “kenapa kamu ganggu aku. Kakak nggak ada bedanya sama dia. Semua laki-laki sama.”Kali ini lelaki itu justru terdiam. Ia menghela napas sebelum mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. “Semua laki-laki itu sama. Tapi kamu justru lebih memilih dia. Semua perempuan itu sama, tapi aku justru menyukai kamu.” Aku langsung terdiam mendengar kalimat itu. Bukan hanya aku, bahk