Sesuatu yang asing itu jelas bukan jemarinya, karena kedua tangan Pak Jonathan sedang menggenggam erat tanganku. Jantungku berdebar dengan kencang, napasku mulai memburu dan tubuhku tiba-tiba saja menegang ketika menyadari hal yang sebenarnya. “Alea, kita lakukan pelan-pelan, ya. Jangan tegang, aku nggak mau sakitin kamu,” ucapnya dengan lembut. Perlahan aku merasakan sesuatu yang keras dan padat itu melesak ke dalam intiku. Kuremas pundaknya tanpa peduli betapa kuku jemari tanganku akan melukainya. Rasa perih di dalam sana terasa begitu nyata hingga air mataku meleleh begitu saja. Pak Jonathan mengecup keningku seolah sebuah permintaan maaf tanpa kalimat. Sesaat ia terdiam, lalu kembali mendorong tubuhnya, hingga seluruh batangnya memenuhi bagian intiku. Aku tak bisa menahan suara aneh yang keluar dari dalam mulutku. Rasa perih itu perlahan mereda. Kini yang kurasakan betapa penuh sesaknya di dalam sana dan lumatan hangat di bibirku. “Alea, Alea, istriku,” ucapnya. Suaranya te
Udara sejuk dengan gerimis kecil sama sekali tak membuat rombongan kami gentar. Bus melaju menuju hotel, tempat start awal kami melakukan pendakian besok. “Al, kamu alergi lagi, ya?” Bukannya menikmati perjalanan, Vena justru mengamatiku. Aku sama sekali tak sadar jika ada bercak merah yang membekas di leherku karena aktivitas semalam.“Eh … iya. Kemarin Bik Titin masak capcay. Dia masukin udang dan cumi juga di dalamnya. Mungkin dia lupa kalo aku alergi,” sahutku sembari mengelus leherku menutupi kegugupanku. “Agak aneh nggak, sih. Bik Titin itu kan sudah ikut kamu sejak kamu masih bayi. Masa sih dia bisa ngelupain kalo anak asuhnya alergi seafood,” ujar Vena, seperti biasa insting detektifnya muncul secara tiba-tiba.Inilah salah satu alasan aku enggan membohonginya. Dia itu sangat mengenal siapa aku, bahkan lebih daripada aku mengenal diriku sendiri. “Itu karena ….”“Dia sudah demensia,” tebaknya dengan sebuah jentikan jarinya. “Bukan … bukan itu maksudku,” sahutku. Aku tidak
“Ella, sudahlah. Nggak ada yang dirugikan,” tukas Pak Jonathan, “atau kamu mau menolongku menjelaskan semua detail fakultas farmasi yang mau ditujunya?” “Bu Ella guru bahasa, tapi dulunya kuliah farmasi juga, ya?” Aku tersenyum lebar, berpura-pura antusias mendengar penjelasan dari wali kelasku yang hari ini tampil lebih genit dari biasanya itu.“Tidak. Pak Jonathan yang pernah kuliah di sana,” sahutnya sambil mendengus kesal, “kamu jangan macem-macem, ya Alea. Ibu mengawasimu.” Ketus! Kesan itu yang kudapatkan dari kalimat bernada ancaman itu. “Alea bisa apa, Bu. Ada Pak Jonathan yang bakal kasih hukuman di samping Alea,” rengekku mengiba. Tapi sepertinya hal itu justru membuatnya semakin kesal. Bahkan ia kembali menoleh ke arah kami sesampai di kursinya semula. “Ah … kasihan banget Bu Ella, digantung sampe kering macam ikan asin,” gumamku yang bisa kupastikan didengar oleh Pak Jonathan. “Kamu tahu kenapa dia ngamuk macem itu?” “Hah? Emang apa lagi kalo bukan gara-gara Pak Jona
Tapi bukannya berhenti, Pak Jonathan justru mempercepat ayunannya. Sepertinya ia tak peduli dengan apapun. Ia justru mengayun cepat dan semakin cepat, membuat tubuhku semakin gemetar dan rasa itu semakin tak dapat kutahan. Tubuhku terasa semakin menegang karena setiap hentakannya. Membuat sensasi aneh muncul begitu saja di dalam perutku. Seakan mengaduk dengan rasa yang nikmat dan membuatku semakin tak dapat menahan keinginan untuk menumpahkannya. Hingga ia menghentak lebih dalam dan menghentikan semua itu. Kurasakan kehangatan saat ia memeluk punggungku, bersamaan dengan cairan yang merembes keluar dari celah di kedua pahaku. Panas, dalam udara yang begitu dingin.“Dia sudah kembali,” bisikku saking takutnya seseorang akan mendengar suaraku. “Aku tahu.” Kulihat lelaki itu segera memakai kembali pakaiannya. “Lalu … bagaimana kamu keluar dari sini?” tanyaku mulai panik, “Vena di luar sana.” Suara ketukan kembali terdengar. “Al … Alea. Kamu beneran udah tidur?”“Apa sebaiknya aku p
“Bomat lah, yuk kita berangkat sekarang.” Kutarik pergelangan tangan Vena, sengaja membuatnya mengikuti langkahku agar tidak lagi mengulik hal-hal yang tak seharusnya diketahuinya Jalur pendakian cukup jauh. Pantas saja para pemandu menyuruh kami bersiap sepagi itu. Medan yang cukup terjal itu seharusnya akan licin saat basah karena air hujan seperti saat ini. Namun sepertinya obyek wisata ini benar-benar dipelihara dengan baik.Udara dingin itu tetap membuat kami semangat untuk mengayunkan langkah di jalanan terjal yang terus menanjak itu. Pos satu kami lewati begitu saja hanya karena harapan menikmati munculnya sang surya dari ufuk timur, walau hanya dengan setitik harapan untuk melihatnya. “Alea! Tunggu!” Suara laki-laki itu memaksaku memperlambat langkahku. Lelaki jangkung itu akhirnya berhasil menghampiriku, setelah mendahului beberapa teman di depannya. Dengan senyum lebarnya, ia mengangkat satu tangannya lalu langsung menempatkannya di pundakku. “Hebatnya pacarku. Aku yaki
“Sanggup apa? Sanggup dikeluarin dari sekolah atau sanggup nggak lulus?” Suara cempreng itu langsung mencuri perhatianku. Vena! Untung saja …. Dia muncul tepat waktu. Aku bahkan nggak tahu harus jawab apa. “Aduh!” seruku sambil memegang perut, “di pos dua ada toilet, kan? Aku turun duluan ya, udah kebelet.” Tanpa menunggu jawaban mereka, aku pun segera melangkah cepat menuju pos dua. Aku hanya dapat memikirkan cara ini. Walau sebenarnya aku tahu, membiarkannya berlarut seperti ini akan membuat masalah semakin berat. Tak kuhiraukan suara-suara yang memanggil namaku itu. Yang kuinginkan saat ini hanya menjauh dari mereka. Aku nggak mungkin menerima pernyataan tulus itu dan membiarkannya menjauh dari keluarganya hanya karena sebuah harapan palsu yang kuberikan. Seandainya tadi aku berani mengatakan supaya dia berhenti mengharapkan aku, pasti semuanya akan selesai. Tapi … entah kenapa aku nggak sanggup. Aku tak mau dia terpukul karena aku justru minta putus di hadapan banyak temanku
“ … cuma perengek egois. Tapi kamu, entah kenapa aku bisa memaklumi semua sifat itu. Aku … justru merasa senang mendengar rengekanmu. Justru semua itu membuat hari-hariku jadi lebih berwarna,” ucapnya masih dengan wajah serius. Aku menelan kasar salivaku, kutatap sepasang manik gelap yang sedang menatap tanpa berkedip di depanku. Dan lagi-lagi mataku seperti memberontak, dan justru beralih menatap bibir sensual yang ditumbuhi rambut tipis itu, juga jakunnya yang turun naik dengan gerakan sexy nya. Perlahan ia mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke arahku, membuat wajah kami begitu dekat. Jarak yang hanya bersisa beberapa inchi itu seakan memprovokasiku dengan hembusan napas hangatnya yang membelai wajahku di udara yang sedingin ini. Napas hangat itu seperti medan magnet yang menyeretku padanya. Aku berjingkat dan mengecup bibir yang sejak tadi sibuk menguraikan rangkaian katanya. “Aku juga. Hidupku tidak lagi membosankan seperti dulu setelah bertemu denganmu,” sahutku. Kutarik sud
Aku benar-benar tak percaya melihat isi di dalam kardus itu. Apa dia bercanda? Untuk apa bikini set sebanyak ini?“Pak Buntal, berapa yang kamu habiskan buat beli bikini sebanyak ini?” “Sepuluh,” sahutnya seolah tak ada yang salah dengan semua itu, “seperti yang pernah kamu minta. Sepuluh bikini buat kamu sekalian teman-teman kamu.” Aku benar-benar terkejut. Bagaimana bisa candaanku dianggap seserius itu. “Alea, kok melongo gitu.” Kakiku lemas seketika. Sepuluh bikini ini … apa yang harus aku lakukan pada barang tak lazim seperti ini. Barang yang bahkan enggan kugunakan. “Pak buntal, siapa yang bakal pake ini barang?” “Ya kamu, lah. Bukannya itu ada di dalam daftar hal yang ingin kamu lakukan sebelum menikah?” “Tapi foto bikini itu … sengaja aku tulis biar kamu nggak mau nikahin aku,” sahutku dengan frustasi, “lagian siapa sembilan teman yang bisa dan mau kuajak foto dengan pakaian nyaris telanjang seperti itu.” “Syukurlah.” “Lah, kok malah seneng?” “Ya jelas senang, lah,” s
“Jo? Kamu … sama dia. Kenapa bisa barengan?” Suara mendayu yang khas itu, spontan membuatku menoleh ke belakang.Dan benarlah apa yang kuduga. Bu Ella sedang berdiri di belakangku. Matanya begitu bulat seperti mau lompat saat melihatku ada di sisi suamiku. Dimana salahnya? Ah ~ tentu saja karena dia belum tahu kalau kami sudah menikah.“Selamat malam, Bu,” ucapku, mati-matian menyembunyikan rasa terkejut yang ada. Kutarik sudut bibirku untuk memberinya seulas senyuman. Tapi sepertinya ia tidak menyukainya. “Alea, jangan bilang kalau kamu sedang belajar di sini,” ucap wali kelas 12A-1 itu dengan nada meninggi. Tatapan mata curiganya seperti sinar laser yang hendak menembusku. “Tapi bukan saya loh, yang bilang. Ibu sendiri yang bilang kalau aku belajar,” balasku cepat. “Bu Ella, kami sedang makan malam. Apa ada yang salah?” ungkap Pak Jonathan dengan santainya. Mata perempuan itu menatapku dengan sinis, membuatku merasa tak nyaman karenanya. “Berdua?” “Kenapa Bu, apa salah jika Pa
“Alea … Alea! Dengarkan aku,” pinta Pak Jonathan dengan tegas. Aku menatap manik hitam itu masih dengan perasaan tak karuan. Bagiku kalimat yang diucapkannya tadi adalah momok paling menyeramkan dalam hidupku. Aku tidak ingin menghancurkan impian orang yang kusayang. “Kamu nggak perlu merasa gentar. Kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan. Kita pulang sekarang,” perintah Pak Jonathan. Heh! Apa dia semarah itu karena aku sudah menghancurkan impiannya? Sepanjang perjalanan, aku masih saja berpikir tentang semua peristiwa yang terjadi. Semuanya terjadi begitu saja seperti sebuah mimpi. Bahkan Pak Jonathan tak memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang membuat impiannya hancur hanya karena tak ingin aku merendahkan diri. Aku menghela napas panjang, berharap dengan masuknya oksigen ke dalam tubuhku, pikiranku akan semakin terbuka dan bisa menyelesaikan persoalan ini. Ya, aku yakin pasti ada cara untuk menyelesaikan persoalan ini.“Kenapa? Kamu masih nggak ikhlas bua
“Maaf Tante, sebenarnya kemarin aku cuma kebetulan lewat. Aku sama Doni cuman teman sekolah. Emh, teman akrab,” tuturku tanpa mempedulikan kegelisahan di wajah lelaki muda itu. Tentu saja dia sadar kalau aku sudah beberapa kali mencoba memutuskan hubungan kami. “Teman akrab?” ulang Doni seakan kata itu terdengar aneh di telinganya. Tok tok! Aku langsung menoleh ke arah pintu, tepat dimana Pak Jonathan berdiri. Lelaki itu menutup pintu dan langsung menebarkan senyumannya. “Kamu sudah baikan, Don?” tanya Pak Jonathan dengan penuh perhatian.“Lumayan Pak,” sahutnya, “terima kasih sudah datang.” Pak Jonathan mengulurkan tangannya pada perempuan itu. “Anda pasti mamanya Doni, kan. Kenalkan, saya Jonathan. Saya guru mereka, tapi hari ini saya kemari untuk menemani istri saya menjenguk Doni, temannya.” Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Pak Jonathan tanpa basa basi langsung memperkenalkan dirinya sebagai suamiku, pada mamanya Doni. Bahkan ia mengatakannya deng
“Siapa yang nelpon? Apa ada masalah? Kok kelihatannya serius banget?” Suara itu membuatku terkejut. Tentu saja aku tidak menyadari kehadirannya di sekitarku. Bisa saja Pak Jonathan sudah mendengar semua pembicaraan antara aku dan Vena. Tapi … dia nggak mungkin dengar apa yang Vena katakan. Bisa saja dia akan salah paham jika aku tidak menjelaskannya. Tapi … bagaimana kalau sebaliknya, dia justru sakit karena aku membahas masalah Doni lagi. “Vena … iya, Vena yang telpon,” sahutku tergagap saking gugupnya. “Kenapa lagi? Ada masalah?”“Eng … anu. Gimana ya, aduh … itu.” Sepertinya kegugupanku justru membuat lelaki itu makin penasaran. Ia menatapku dengan intens, seakan mencurigai sesuatu. “Alea. Kamu nggak perlu takut. Aku di sini bukan sebagai guru kamu,” bujuknya, “aku ini suami kamu. Dan aku janji, apapun yang terjadi aku bakal ada buat kamu, sebagai teman, supporter juga payung buat kamu berlindung.” Kalimat itu sedikit membuatku merasa lega. Aku rasa dia tidak akan marah sean
“Halo, Jo. Kamu mendengarku?” Pak Jonathan mendengus, sepertinya ia sudah mulai merasa terusik dengan tingkah Bu Ella yang memang terus melekat seperti permen karet. Tapi yang lebih menyebalkan bagiku hanyalah tingkah Pak Jonathan yang tidak dengan tegas menolaknya hanya karena takut hubungan kerjanya menjadi tidak harmonis.“Aku nggak sakit, Bu Ella. Aku cuma butuh istirahat. Jadi tolong jangan ganggu aku untuk urusan sekolah hari ini,” ucapnya dengan sopan.Aku mendecak kesal. Tentu saja kalimat itu bukan berarti sebuah penolakan. Bu Ella pasti tak bisa menangkap penolakan yang diterimanya secara ambigu itu. Nggak! Aku nggak bisa biarkan Bu Ella terus mengharapkan cinta dari Pak Jonathan. Kalau dulu, mungkin aku akan rela menyerahkan Pak Jonathan, seandainya ia bisa memenangkan hatinya. Tapi sekarang … aku tidak akan pernah membiarkan dia merayunya apalagi di depanku. Aku bukan tipe perempuan yang suka berbagi. Bagiku apa yang sudah menjadi milikku, tidak boleh dimiliki siapapun.
Rasa itu terasa begitu nyata. Bahkan sapuan basah di leherku seakan langsung menyentakku kembali ke alam nyata. Ini benar-benar nyata! Setiap sentuhan yang kurasakan benar-benar nyata.Aku langsung bernapas lega saat menyadari bahwa di hadapanku bukan lelaki yang sama. Tentu saja itu semua hanya mimpi. Doni tidak mungkin melakukan hal seaneh itu. Yang aku tahu, dia memang playboy. Namun ia tidak pernah memaksakan hal seperti itu padaku.Dan lagi, tidak seharusnya aku merasa cemas pada orang yang mungkin saat ini masih terbaring dalam masa pemulihan pasca operasi di kamar rawat inapnya. Itu semua hanya mimpi. Pak Jonathan menggenggam tanganku dengan erat. Bibirnya mengecup di leherku. Panas, seperti hendak membakar dan mengurungku dalam hasratnya yang membara. Napasku terengah, udara yang mengisi paru-paruku, membuat dadaku terasa penuh lalu kosong dalam seketika secara bergantian. Rasa gelitik terasa begitu nikmat saat ia menyentuh di bagian dadaku, membuat bagian puncaknya terasa p
Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat dua orang laki-laki yang sejak tadi mengetuk pintu rumahku itu bernapas lega. Mereka tersenyum tanpa tahu bahwa tingkah mereka telah mengganggu ketenangan kami.“Selamat malam, Pak Jonathan,” sapanya, “saya selaku RT di blok ini dan berdasar keputusan warga, memberitahukan bahwa setiap malamnya akan diadakan giliran piket.”“Loh … loh, kok mendadak seperti ini, toh Pak RT?” “Pak Jonathan sudah dengar, kan. Tadi sore di blok depan perumahan kita, ada pembunuhan. Kita juga belum pasti dengan motifnya. Bisa jadi karena perampokan,” sahut Pak RT, “karena itu warga jadi resah, mereka takut pelaku masih berkeliaran dan mengintai. Lalu keluarga mereka menjadi sasaran berikutnya.”“Kenapa nggak bayar saja, sih. Kan kita bisa patungan buat bayar beberapa penjaga khusus blok kita,” batinku. Ingin rasanya aku keluar dan langsung menegur dua lelaki yang seperti tidak punya sopan santun karena bertamu di jam selarut ini.“Iya, saya dengar dan saya ikut mend
Waktu benar-benar terasa bergerak dengan lambat saat lampu ruang operasi itu menyala. Bahkan Pak Jonathan juga belum terlihat. Dan itu membuatku semakin gelisah. Rasa lega baru saja kurasakan saat lelaki yang kutunggu-tunggu itu muncul. Ia berlari-lari menghampiriku, masih dalam balutan seragam formalnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah tegangnya.“Aku lewat di depan rumahnya ketika mobil patroli polisi dan ambulans datang dan mengangkutnya. Doni … ditusuk perutnya dan aku dengar mereka juga mengatakan kalau … papanya sudah … meninggal. Tidak ada wali. Bahkan mereka tidak menemukan cara untuk menghubungi mamanya. Jadi … aku mendesak rumah sakit agar mengambil tindakan terlebih dahulu. Pak Jonathan, apa aku sudah melakukan hal yang benar? Aku … aku, benar-benar takut.”Lelaki itu menghela napas. Satu tangannya terangkat dan tiba-tiba saja menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya begitu tenang saat berada dalam pelukan itu. Seperti semua kecemasan dan kegelisahan selama
Suara teriakan itu terdengar keras dari speaker ponselku. Entah apa yang dilihat oleh Doni sehingga ia berteriak histeris seperti itu sebelum sambungan telepon kami terputus. “Hei! Apa yang kalian lakukan?” Hanya itu kalimat terakhir yang terdengar di telingaku. Sepertinya Doni sedang mengalami suatu masalah serius. Tapi … ah, sudahlah. Seharusnya dia bisa mengatasi semua masalah ini. Bukankah dengan uang ayahnya yang banyak itu, dia dapat menyelesaikan semua masalah. Vena benar, Doni memang asik buat dijadiin pacar. Wajahnya oke, dia baik dan bukan tipe cowok yang suka split bill kalo pacaran. Tapi … kalau buat dijadiin suami, aku harus mikir seribu kali. Dia tipe orang yang santai, nggak mau terikat aturan dan selalu mengandalkan kekayaan keluarganya, yang notabene dari hasil bisnisnya di dunia malam. Mikirin hal seperti ini saja, sudah bikin aku merinding disko. Bayangkan saja jika suatu saat nanti papanya justru mewariskan usaha ini pada Doni. Bisa jadi sifatnya berubah sepe