Aku masih terngiang kata-kata yang sore tadi diucapkan oleh Pak Jonathan. “Kalau kamu cemburu, berarti kamu itu sudah cinta sama aku.” Sepertinya ungkapan itu benar. Jika aku pikirkan, cemburu itu lebih ke rasa sadar atas ketidakmampuan diri, apalagi jika dibandingkan dengan sosok yang lebih baik dari diri sendiri. Dan memang, Bu Ella terlihat lebih segalanya dibandingkan dengan diriku sendiri. “Kok, ngelamun lagi?” Tegur Pak Jonathan. Sejenak ku tatap lelaki yang sedang asik mengemudikan mobil hijau kesayangannya itu. Ia tersenyum seolah sedang mengejekku. “Siapa yang ngelamun. Aku lagi inget-inget materi yang baru kupelajari tadi, kok,” sangkalku. “Ya udah, kita turun yuk. Kita sudah sampe.” “Hah! Sampe?” Aku menatap sekelilingku. Sepi! Hanya satu gerobak penjual nasi duk duk yang sedang ngepos di sana. “Jadi … kita makan duk duk lagi malam ini?” tanyaku tak percaya. Reservasi? Reservasi macam apa yang harus dilakukannya jika cuma makan nasi duk duk macem ini.
“Bu Sinta, tolong urus masalah ini. Jangan sampai karena video ini, citra sekolah kita jadi rusak.” Suara Pak Jonathan terdengar begitu tegas saat bicara dengan guru konseling sekolahku. “kita harus cari cara agar video itu tidak keluar dari lingkup sekolah kita. Astaga, bagaimana mental anak-anak melihat video sevulgar itu.”Pak Jonathan menutup panggilannya dan meletakkan ponselnya di atas meja. Lelaki itu menatapku dengan wajah kesal. “Kamu … marah sama aku?” tanyaku ragu. Wajah kesalnya sungguh membuatku tak nyaman, walau kalau dipikir sekuat apapun semua ini tak ada hubungannya denganku. Sangat tak masuk akal jika dia marah padaku. “Bukan … aku nggak marah sama kamu. Cuma … aku nggak suka kamu lihat sesuatu yang nggak pantas seperti itu,” sahutnya, “kamu pasti kaget.” Aku menganggukkan kepalaku. “Awalnya kukira tadi … video itu adalah proyek sinematografi sekolah kita. Aku nggak nyangka kalau itu adalah ….” Aku mengedikkan pundakku. “Tapi setidaknya dari video tadi, aku jadi
“Alea, tidurlah. Besok kamu masih harus ujian.” Pak.Jonathan mengecup puncak kepalaku. “Kamu juga, jangan terus mikirin masalah kerjaan. Kamu juga harus mikirin aku,” sahutku. “Iya, aku tahu,” ucapnya, “selamat ulang tahun Alea. Hari ini usia kamu sudah sembilan belas. Aku harap, aku bisa terus bersama kamu, merayakan bertambahnya usiamu di tahun depan, tahun berikutnya dan seterusnya. Aku ingin kita menua bersama.” “Tapi aku nggak mau tua,” gumamku,” aku mau waktu berhenti dan kita tetap seperti ini.” Pak Jonathan menepuk-nepuk punggungku, seakan hendak meninabobokanku dalam pelukannya. Hangat. Aroma segarnya kayu-kayuan yang maskulin menguar dari tubuhnya, seakan aroma terapi yang bisa dengan cepat membantuku lelap dalam tidurku. Malam berlalu begitu saja, hari yang semula gelap, tiba-tiba berubah terang bertabur sinar keemasan sang surya. Aku tahu dengan pasti, hari ini bukan saja berat bagiku yang harus menyelesaikan soal-soal ujian, tapi juga bagi Pak Jonathan dan
Aku dapat merasakan lidahnya menelusuri leherku, menciptakan rasa gelitik yang membuat tubuhku mengejang. Sensasi panas dan basah yang membuatku seperti menggelepar terbuai dalam gairah yang diciptakannya. Gelitik itu terasa menyusuri lekuk tubuhku. Membuat bibirku tanpa sadar mengeluarkan suara desah yang tak dapat kutahan. Apalagi saat bibir dengan kumis tipisnya itu menyentuh dadaku, mempermainkan bagian pucuknya dengan lidahnya sebelum menyesap dengan rakusnya. Ah ~ bahkan aku tak dapat mengungkapkan rasanya dengan kata-kata. Hanya … aku menyukainya. Kuulurkan tanganku untuk memeluk lehernya, menguncinya agar tidak berhenti melakukan itu. Rasa gelitik itu seperti candu. “Alea.” Kudengar suaranya menyebut namaku. Lembut dan terdengar begitu sexy.Kulepaskan pelukanku dari kepalanya. Lelaki itu tersenyum tipis, sepertinya dia tahu jika aku sedang menikmati permainannya. Ia kembali mengecup bibirku. “Sudah selesai PMS nya?” tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku pelan. Napasku se
Sesuatu yang asing itu jelas bukan jemarinya, karena kedua tangan Pak Jonathan sedang menggenggam erat tanganku. Jantungku berdebar dengan kencang, napasku mulai memburu dan tubuhku tiba-tiba saja menegang ketika menyadari hal yang sebenarnya. “Alea, kita lakukan pelan-pelan, ya. Jangan tegang, aku nggak mau sakitin kamu,” ucapnya dengan lembut. Perlahan aku merasakan sesuatu yang keras dan padat itu melesak ke dalam intiku. Kuremas pundaknya tanpa peduli betapa kuku jemari tanganku akan melukainya. Rasa perih di dalam sana terasa begitu nyata hingga air mataku meleleh begitu saja. Pak Jonathan mengecup keningku seolah sebuah permintaan maaf tanpa kalimat. Sesaat ia terdiam, lalu kembali mendorong tubuhnya, hingga seluruh batangnya memenuhi bagian intiku. Aku tak bisa menahan suara aneh yang keluar dari dalam mulutku. Rasa perih itu perlahan mereda. Kini yang kurasakan betapa penuh sesaknya di dalam sana dan lumatan hangat di bibirku. “Alea, Alea, istriku,” ucapnya. Suaranya te
Udara sejuk dengan gerimis kecil sama sekali tak membuat rombongan kami gentar. Bus melaju menuju hotel, tempat start awal kami melakukan pendakian besok. “Al, kamu alergi lagi, ya?” Bukannya menikmati perjalanan, Vena justru mengamatiku. Aku sama sekali tak sadar jika ada bercak merah yang membekas di leherku karena aktivitas semalam.“Eh … iya. Kemarin Bik Titin masak capcay. Dia masukin udang dan cumi juga di dalamnya. Mungkin dia lupa kalo aku alergi,” sahutku sembari mengelus leherku menutupi kegugupanku. “Agak aneh nggak, sih. Bik Titin itu kan sudah ikut kamu sejak kamu masih bayi. Masa sih dia bisa ngelupain kalo anak asuhnya alergi seafood,” ujar Vena, seperti biasa insting detektifnya muncul secara tiba-tiba.Inilah salah satu alasan aku enggan membohonginya. Dia itu sangat mengenal siapa aku, bahkan lebih daripada aku mengenal diriku sendiri. “Itu karena ….”“Dia sudah demensia,” tebaknya dengan sebuah jentikan jarinya. “Bukan … bukan itu maksudku,” sahutku. Aku tidak
“Ella, sudahlah. Nggak ada yang dirugikan,” tukas Pak Jonathan, “atau kamu mau menolongku menjelaskan semua detail fakultas farmasi yang mau ditujunya?” “Bu Ella guru bahasa, tapi dulunya kuliah farmasi juga, ya?” Aku tersenyum lebar, berpura-pura antusias mendengar penjelasan dari wali kelasku yang hari ini tampil lebih genit dari biasanya itu.“Tidak. Pak Jonathan yang pernah kuliah di sana,” sahutnya sambil mendengus kesal, “kamu jangan macem-macem, ya Alea. Ibu mengawasimu.” Ketus! Kesan itu yang kudapatkan dari kalimat bernada ancaman itu. “Alea bisa apa, Bu. Ada Pak Jonathan yang bakal kasih hukuman di samping Alea,” rengekku mengiba. Tapi sepertinya hal itu justru membuatnya semakin kesal. Bahkan ia kembali menoleh ke arah kami sesampai di kursinya semula. “Ah … kasihan banget Bu Ella, digantung sampe kering macam ikan asin,” gumamku yang bisa kupastikan didengar oleh Pak Jonathan. “Kamu tahu kenapa dia ngamuk macem itu?” “Hah? Emang apa lagi kalo bukan gara-gara Pak Jona
Tapi bukannya berhenti, Pak Jonathan justru mempercepat ayunannya. Sepertinya ia tak peduli dengan apapun. Ia justru mengayun cepat dan semakin cepat, membuat tubuhku semakin gemetar dan rasa itu semakin tak dapat kutahan. Tubuhku terasa semakin menegang karena setiap hentakannya. Membuat sensasi aneh muncul begitu saja di dalam perutku. Seakan mengaduk dengan rasa yang nikmat dan membuatku semakin tak dapat menahan keinginan untuk menumpahkannya. Hingga ia menghentak lebih dalam dan menghentikan semua itu. Kurasakan kehangatan saat ia memeluk punggungku, bersamaan dengan cairan yang merembes keluar dari celah di kedua pahaku. Panas, dalam udara yang begitu dingin.“Dia sudah kembali,” bisikku saking takutnya seseorang akan mendengar suaraku. “Aku tahu.” Kulihat lelaki itu segera memakai kembali pakaiannya. “Lalu … bagaimana kamu keluar dari sini?” tanyaku mulai panik, “Vena di luar sana.” Suara ketukan kembali terdengar. “Al … Alea. Kamu beneran udah tidur?”“Apa sebaiknya aku p
Kurasakan hangatnya hembusan napas di leherku. Seperti menyapu di setiap inci kulit leherku, memagut dengan liar bersama napasnya yang memburu. Tangannya dengan gesit menarik lepas kaos berukuran jumbo yang kupakai. Gegas aku menyilangkan kedua tanganku, menutupi sepasang gundukan kenyal, tempat Kiara biasa mendapatkan nutrisinya. “Kamu makin seksi, Alea.” “Ish! Emang dulu enggak?” “Semakin berisi dan menggemaskan,” godanya sembari menarik tanganku yang berusaha menyembunyikan puncak dadaku. Bagian berwarna merah itu saat ini sedang membengkak lebih dari biasanya karena Kiara sering kali menggigitnya, dan aku malu untuk sekedar memperlihatkannya. Tapi … Pak Jonathan justru tersenyum saat melihatnya. Dan, sumpah! Itu membuatku semakin nggak percaya diri. Tapi lagi-lagi Pak Jonathan justru menahan tanganku agar aku tak bisa lagi menyembunyikannya. Tangannya menggapai dan mengusap di puncaknya, menciptakan sensasi yang membuatku tak mampu menahan desah yang keluar dari bibirku.Sen
Suara tangis itu menyadarkan aku. Samar kulihat bayi dengan kulitnya yang merah menangis dengan kencangnya. “Bayi perempuan yang cantik. Semuanya lengkap, sempurna.” Seorang perawat memperlihatkan bayi itu kepadaku. Namun aku merasa tanpa daya, bahkan untuk mengucapkan sebuah kata. Ingin kusentuh makluk mungil itu, namun aku tak sanggup untuk meraihnya. Mungkin efek dari anestesi itu benar-benar kuat di tubuhku. Dan aku kembali ke alam bawah sadarku.Saat aku terjaga, aku telah berada di dalam ruang kamar inapku. Ruangan dengan wallpaper bernuansa merah jambu itu seperti sengaja di desain untuk penghuninya. Rasa dingin itu terasa sampai ke tulangku. Aku benar-benar menggigil seperti sedang berada dalam lemari pendingin. Bahkan selimut yang menutup tubuhku seperti tak berarti. “Alea … kamu sudah sadar?” tanya Pak Jonathan sembari menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat sangat cemas. “Dingin,” ucapku. Pak Jonathan segera menekan tombol di dinding untuk memanggil tenaga medis.“Ap
“Dia menendangku! Aku bisa merasakannya!” teriak Pak Jonathan dengan wajah sumringah seakan baru pertama kalinya merasakan gerakan bayi di dalam perutku. Tentu saja, ini bukan yang pertama kalinya. Apalagi di usia kehamilanku yang sudah sembilan bulan ini. Ia bukan hanya menyentuh dan mengamati perutku sekali ini saja, tapi hampir setiap malam!Kini hanya tersisa beberapa hari sebelum jadwal kelahiran putra pertama kami. Sepertinya ia lebih kerap memperhatikan perutku. Gerak yang membuat perutku menjadi tak simetris pun, tak luput dari pandangannya. “Kamu nggak takut, kan?” tanyanya.“Jujur. Aku takut.” Pak Jonathan tersenyum, namun terlihat canggung. “Aku … sebenarnya aku juga. Aku mungkin … justru lebih takut dari kamu, Alea.” “Takut?” “Iya, aku takut tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku takut tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik buat anak kita. Aku takut gagal menjadi seorang imam dalam keluarga kecil kita,” sahutnya.Aku menarik sudut bibirku. “Kamu itu suami yang palin
“Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat
Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin
“Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau
“Marsha memberitahukan kalau dia akan datang pada saat reuni akbar sekolah kami nanti.” Aku langsung melotot saat mendengar nama acara itu. Bukan karena aku tidak pernah mendengarnya, tapi karena aku sering membaca di media sosial bahkan cerita-cerita orang tentang acara reuni seperti ini. Acara yang justru menjadi awal perpecahan sebuah rumah tangga. “Lalu … kamu juga mau datang buat ketemu dia?” tanyaku sekali lagi tanpa sebuah basa basi. “Acara itu sebenarnya ajang paling tepat untuk mencari koneksi, memperluas hubungan kerja.” Jawaban itu sebenarnya membuatku langsung bisa memprediksi bahwa ia ingin datang walau apapun alasannya. Aku juga pasti akan terlihat konyol jika harus menahannya untuk tidak pergi. Seperti … seorang istri pencemburu yang bahkan menghalangi kemajuan langkah suaminya. “Al, kamu percaya kan, sama aku?” tanyanya sembari menatap mataku lekat lekat.Aku menarik napas panjang dan terpaksa menganggukkan kepalaku walau sejujurnya firasatku mengatakan yang sebal
“Gimana? Yang ini atau yang ini?” tanyaku sementara kedua tanganku memegang dua hanger kaos pilihanku. Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. “Nggak … sepertinya itu nggak cocok buat aku.” Sesaat kemudian, lelaki itu kembali mencari pakaian yang cocok untuknya. Kuletakkan kembali kedua hanger itu di tempatnya. Sudah cukup banyak model yang sudah kurekomendasikan buatnya, tapi belum satupun yang dipilihnya. Entah pakaian seperti apa yang sebenarnya ingin dicarinya. “Cari kaos untuk papanya, Kak?” sapa seorang yang memakai seragam pramuniaga toko, “sepertinya kemeja akan lebih cocok untuk lelaki seusia papa kakak, jika dibandingkan dengan t shirt.” Wait! Ini sudah yang ketiga kalinya Pak Jonathan dianggap sebagai papaku. Padahal usianya cuma berjarak belasan tahun saja. “Dia suami saya, Kak,” sahutku sekali lagi memberinya sebuah pembenaran, “dia sedang cari pakaian santai yang nyaman dan tidak membuatnya terkesan lebih tua dari usianya.” “Kemeja dengan corak yang cerah, mungkin,”
“Ini Non, susunya lekas di minum, keburu dingjn.” Mbak Santi meletakkan susu hamil yang sengaja dibelikan oleh Pak Jonathan untuk menunjang nutrisiku. Sejujurnya aku merasa enggan untuk meminumnya. Bukan karena rasanya, tapi karena aromanya yang membuat perutku berontak tak ingin menerimanya. Tapi mau gimana lagi, aku juga tidak ingin bayiku kekurangan nutrisi karena aku terus memuntahkan semua yang masuk ke dalam perutku. Kucepit hidungku dan segera menegak cairan berwarna putih yang ada di dalam gelasnya hingga tandas, sebelum memasukkan permen kenyal berbentuk hamburger ke dalam mulutku. “Loh, Non mau kemana? Ke kantor lagi?” tanya Mbak Santi saat melihatku langsung mengambil sling bag kecil yang biasa kupakai. “Iya, Mbak. Mau belanja sama Pak Jonathan,” sahutku, “ada titipan?” “Beli sabun sekalian sama pembersih lantai ya, Non. Stoknya udah menipis,” jawabnya cepat. “Udah? Itu aja kan?” “Iya Non.” Setelah mencatat semua keperluan itu di dalam otakku, aku p