Udara yang terasa sejuk itu tidak mampu meredam perasaan hangat di dadaku. Apalagi saat lelaki itu tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya padaku. Hembusan hangat napasnya yang menyentuh wajahku, membuatku semakin terbuai dalam hangatnya permainan itu. Kurasakan gelenyar di dalam dadaku saat bibirnya yang hangat menyentuh bibirku, menyesapnya. Sementara lidahnya dengan lincah mendorong bibirku untuk terbuka. Panas! Rasa hangat itu semakin menyergapku. Saat kurasakan lidahnya seperti menjelajah di dalam rongga mulutku, mengabsen setiap gigi geligiku.Rasa itu … kenapa justru kurasakan pada sosok lelaki yang ini. Lelaki yang sempat ku benci dan mati-matian kutolak. Lelaki yang seharusnya kuhormati sebagai guruku. Lelaki yang usianya bahkan terpaut belasan tahun dariku itu.Aku mendorong dadanya menjauh, membuat pagutannya di bibirku lepas. Dengan cepat aku kembali menghirup udara, mengisi paru-paruku yang seolah kehabisan oksigen dan menjauh darinya. Hujan masih saja turun. Ketika Pak Jo
“Ayo, aku nggak akan ngelawan,” ucapnya seakan sengaja memprovokasi, ia menyembunyikan kedua tangannya di balik badannya, “lakukan apapun yang kamu mau.”Tapi entah kenapa mataku hanya tertuju pada bibir itu. Ia seakan menantangku untuk merasakan sebuah petualangan baru. Aku menggigit bibirku, menahan debar yang mulai kurasakan saat melihat bibir sensual dengan kumis tipis di sekelilingnya itu.Perlahan kudekatkan wajahku dan mengecupnya dengan lembut. Lelaki itu seperti sengaja membuka bibirnya, memberikan akses bagiku menelisik di antara gigi geliginya, melumat dan mencecap seperti yang biasa dilakukannya padaku. Tapi … aku terlalu malu untuk melakukan itu. Aku hendak menjauh kembali, toh tantangan itu sudah kulakukan. Tapi kedua tangan Pak Jonathan tiba-tiba saja memelukku. Tanpa kesempatan untuk menghindar, lelaki itu justru menciumku. Tapi kali ini ciumannya lebih panas dari biasanya. Kuat, panas dan liar. Namun aku menikmatinya. Aku menyukai cara dia menciumku, aku merasa dipu
“Balikan sama mantan?” Pak Jonathan justru mengulang pertanyaanku. Lelaki itu justru tertawa setelah mengucapkan kalimat itu. “Kenapa aku harus membuang sekuntum mawar yang sudah ada di dalam genggamanku, hanya untuk sekedar bunga tahi ayam?” Mendengar pernyataan itu, mau tak mau aku tersenyum. Tapi … hei, apa dia sekarang sudah pintar merayuku. Tapi jujur, kalimat itu benar-benar seperti sihir. Hatiku merasa tenang setelah mendengarnya. “Lalu tentang Doni,” ucapnya tiba-tiba. “Aku nggak mau mikir itu. Aku ngantuk,” sahutku lalu memejamkan mataku. Aroma tubuhnya, kulitnya yang lembab dan hembusan napasnya saat memelukku, membuat perasaanku tenang. Ternyata … tidur di pelukan seseorang yang kita cintai itu benar-benar nyaman. Pluk! Aku terbangun saat merasakan lengan Pak Jonathan menimpa wajahku. Lelaki itu dengan nyamannya memelukku seperti guling. Dan aku merasakan ada sesuatu yang keras menyentuh pahaku. Heh! Apa itu? Aku segera mendorong tubuhnya yang terasa berat itu menja
“Apa ini Pak?” tanyaku saking penasarannya. Jantungku berdebar, seperti halnya pikiranku yang tak keruan. Bisa saja di dalam sana adalah surat pemecatan karena melawan seorang politikus seperti ayah Reva. Atau mungkin itu bahkan surat ancaman pembunuhan. “Buka saja, itu buat kamu,” jawabnya dengan santainya. “Buat aku?” Aku menatapnya tak percaya. Apa mungkin justru aku yang akhirnya terlibat masalah dengan calon pejabat negara itu. Kuraih amplop itu dan kuintip isi di dalamnya. “Apa ini?” tanyaku lagi setelah melihat lembar-lembar bergambar pahlawan proklamator itu. “Setengah gajiku bulan ini,” sahutnya, “kamu boleh pake itu buat belanja keperluan kamu. Bukannya beberapa hari lagi kamu ada acara perpisahan?” Kegelisahanku langsung lenyap. “Ya Allah, sumpah Bapak ngagetin aku. Aku pikir tadi Bapak kena skors atau bahkan diberhentikan dari sekolah, gara-gara ulah bapaknya si Reva sialan itu.” “Hiss! Kamu nggak boleh bilang gitu. Pak Hutama itu orang baik. Apalagi pihak sekolah ha
“Loh, katanya mau sayang-sayangan di rumah sama Bu Ella, mumpung aku nggak di rumah. Gimana sih?” “Siapa bilang?” bantahnya cepat, “aku malah pinginnya kamu nggak usah ikut. Aku nggak mau sendirian di rumah.”Lelaki itu menurunkan kedua tangannya. Wajahnya cemberut seperti anak kecil yang sedang merajuk. Baru kali ini aku melihatnya dengan penampilan seperti itu. Jadi … sebenarnya dia tidak rela dan tidak ingin aku berangkat. Tapi sepertinya ia tidak ingin membuyarkan euforia kebahagiaanku ketika menghabiskan waktu bersama teman-temanku dalam acara perpisahan sekolah. “Ya udah, kan aku juga pinginnya pak buntal ikut.” “Memangnya kamu risih, dan nggak takut teman-teman kamu tahu kalau kita ….” “Ya jangan sampe tahu, lah,” potongku, “itu juga gara-gara pak buntal. Coba dulu pak buntal nggak suka cari masalah buat kasih hukuman aku.” “Cari masalah gimana?” “Ingat nggak, waktu aku lari-lari di koridor terus nggak sengaja numpahin ember pel Pak Juna. Bapak malah suruh aku berdiri di
Aku melirik ke bagian tengah tubuhnya. Celana pantai itu tak dapat menutupi sesuatu yang mengeras di baliknya. Walaupun aku belum pernah berpacaran, tapi seharusnya dia tahu kalau aku juga tidak sebodoh itu. Siapapun juga tahu kalau hal itu tidak wajar. Bahkan dalam pelajaran Biologi juga dijelaskan bahwa reaksi itu akan muncul ketika lelaki merasakan …. Ah, sudahlah. “Aku tidur dulu,” lanjutku karena tak mendapat jawaban apapun dari bibirnya. Cepat kuikat kembali tali kimonoku dan berlalu dari hadapannya. Gila! Apa sebenarnya yang tadi kurasakan? Apa miliknya benar-benar sebesar itu? Ah … pasti dia kesulitan menyembunyikannya jika terjadi hal seperti tadi di luar rumah. Sssh … sebenarnya apa sih yang dilakukan pasangan suami istri itu? Aktifitas seperti apa yang bisa membuat seorang perempuan jadi hamil. Sebaiknya aku segera cari tau. Sepertinya sangat berbahaya jika aku hidup serumah dengan laki-laki, tanpa persiapan mental seperti sekarang ini. Tapi … gimana caranya? Bahkan
Kututup pintu ruangan itu sebelum duduk tepat di depan Pak Jonathan. Lelaki yang sibuk dengan lembar-lembar jawaban penuh coretan angka itu menatapku dengan wajah keheranan. “Kamu kenapa? Datang-datang kok cemberut? Tadi nggak bisa, ujiannya?” tebaknya seperti biasa. “Bisa. Cuman … bisa nggak sih, kamu kasih tau aku, siapa mantan kamu?” Tanpa basa basi aku langsung menyampaikan keresahanku. “Apa dia itu Bu Ella?” “Loh … loh. Kenapa ini? Kok tiba-tiba bahas mantan pacar sama Bu Ella?” tanyanya kembali, seperti tidak bersalah. “Ngaku deh, Pak.” “Ngaku apaan?” “Itu, mantan kamu Bu Ella kan? Kamu itu nikahin aku cuma buat manasin dia supaya mau balikan sama kamu kan?” tuduhku, “sebenarnya dia prioritas kamu selama ini, kan?” “Linda. Nama mantan aku, Linda,” sahutnya tiba-tiba membuat semua orang yang disekitarnya terkejut, “dan aku belum pernah bertemu dengan Bu Ella sebelum aku mengajar di sini. Sudah, nggak usah cemburu.” “Seharusnya kamu tegas, nggak kasih harapan
Aku masih terngiang kata-kata yang sore tadi diucapkan oleh Pak Jonathan. “Kalau kamu cemburu, berarti kamu itu sudah cinta sama aku.” Sepertinya ungkapan itu benar. Jika aku pikirkan, cemburu itu lebih ke rasa sadar atas ketidakmampuan diri, apalagi jika dibandingkan dengan sosok yang lebih baik dari diri sendiri. Dan memang, Bu Ella terlihat lebih segalanya dibandingkan dengan diriku sendiri. “Kok, ngelamun lagi?” Tegur Pak Jonathan. Sejenak ku tatap lelaki yang sedang asik mengemudikan mobil hijau kesayangannya itu. Ia tersenyum seolah sedang mengejekku. “Siapa yang ngelamun. Aku lagi inget-inget materi yang baru kupelajari tadi, kok,” sangkalku. “Ya udah, kita turun yuk. Kita sudah sampe.” “Hah! Sampe?” Aku menatap sekelilingku. Sepi! Hanya satu gerobak penjual nasi duk duk yang sedang ngepos di sana. “Jadi … kita makan duk duk lagi malam ini?” tanyaku tak percaya. Reservasi? Reservasi macam apa yang harus dilakukannya jika cuma makan nasi duk duk macem ini.
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya.Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.”Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu semakin mengg
“Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada
“Jadi kamu udah telat dua minggu?” Sepasang mata gadis itu mendelik saat aku mengatakan masalah yang aku alami. Cepat-cepat aku arahkan telapak tanganku menutupi mulutnya.“Jangan keras-keras, Ven!” kesalku tanpa melepaskan tanganku dari mulutnya. Gadis itu langsung menganggukkan kepalanya, sebuah tanda bahwa ia akan mengikuti aturan mainku. “Ini bukan pertama kalinya aku telat. Jadi aku nggak yakin kalo nggak ada sesuatu di dalam sana,” lanjutku.“Iya, aku tahu kamu sering telat datang bulan. Tapi … kamu yakin nggak mau ceritain ini sama suami kamu?” tanya Vena. Kini suaranya terdengar cemas. “Kalau aku cerita, terus dia malah nggak suka sama aku yang penyakitan ini, gimana?” “Kamu nggak boleh punya pikiran negatif dulu sama suami kamu.” Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Siapa tahu dia punya solusi buat kamu.” Aku menghela napas panjang. “Benar juga. Tapi … kalau aku menceritakan semuanya sekarang, bisa-bisa rencana bulan madu kami gagal.”“Nggak papa juga, kan. Kamu bisa lakuk
“Nikah lagi?” ulang lelaki itu. Tak lama kemudian, ia tertawa. “Kamu ini keterlaluan, ya.” Hah? Kenapa aku yang keterlaluan?“Aku sudah pernah bilang, kan, sama kamu. Hatiku ini cuman satu. Dan itu sudah kamu curi,” jawabnya sembari mencubit pucuk hidungku, “apa mungkin hatiku kamu kembalikan, pencuri?” “Auw! Sakit ih!” teriakku.“Siapa suruh bikin pertanyaan konyol macam itu,” sahutnya.Aku mencebik kesal. “Jawab sih jawab, tapi nggak usah cubit-cubit juga, kan.”“Jadi gimana … kita mesti rajin nih,” godanya.“Hih! Dasar mesum,” ketusku. “Eh … tapi kamu suka, kan?” Godanya.“Pak buntal tukang mesum,” balasku tak mau kalah.“Tapi kamu yang teriak dan mendesah paling keras, kan,” godanya lagi, “Jo nat ahh.”Aku langsung mendelik saat ia menirukan caraku memanggil namanya. Sungguh bikin aku kesal. “Pak buntal! Kamu ini benar-benar keterlaluan!” Tanpa ampun, aku menyerangnya dengan cubitan-cubitan kecil di pinggangnya.Malam itu bahkan aku merasa kesulitan untuk memejamkan mata. Kali
“Dia memang lebih segalanya dari kamu. Tapi aku justru begitu bodohnya menyerahkan segalanya buat kamu. Puas?” ucapku dengan perasaan kesal. Sangat sangat kesal. Bagaimana bisa dia cemburu pada lelaki lain, sedangkan aku sudah memilih dia dan menyerahkan segalanya buat dia.“Jonathan? Ada apa ini? Kalian bertengkar?” Suara perempuan itu membuatku terkejut. Aku langsung menoleh ke arah suara yang tak asing di telingaku itu. “Mama Intan.” Aku mengerutkan keningku dan berlari mendekati mama mertuaku yang paling baik itu. “Pak Jonathan jahat. Masa sih, dia pake acara cemburu-cemburuan sama kakaknya sahabat Al.”“Cemburu cemburuan gimana, sih.” Mama Intan mengerutkan keningnya sepertinya ia kebingungan karena tidak tahu apa yang sedang kami diskusikan. “Coba kamu jelasin dulu sama mama”“Nggak, nggak ada apa-apa, kok ma,” bantah Pak Jonathan.“Masak Alea sudah kasih semuanya sama Pak Jonathan, tapi dia masih saja cemburu sama Kak Bernard,” keluhku, “kalau memang Alea mau sama kak Bernar
Semakin lama kurasakan hentakan yang diberikannya pun semakin intens. Setiap hentakannya seakan menenggelamkanku dalam hasrat yang semakin dalam. Tubuhku terasa begitu ringan, seakan semua beban yang ada, terlepas saat itu pula. Dekapan hangat dan hentakan yang semakin memanas itu semakin membuatku melayang. Tetes keringatnya kurasakan menyentuh kulitku saat ia semakin memacu dan menciptakan gelitik yang semakin menggila di dalam perutku. Kuremas kuat pundaknya, sehingga tanpa sadar kuku-kuku jemari tanganku menancap menembus kulitnya. “Kita selesaikan bersama, Sayang,” ucapnya seperti sebuah tanda bagiku tentang hentakan dahsyat yang akan diberikannya. Semakin cepat, kuat, liar dan dalam. “Jo nath aah–” teriakku terputus saat hentakan itu berakhir dengan begitu dalam. Hentakan yang seperti menghentikan suplai oksigen dalam paru-paruku dalam seketika, sehingga membuat tubuhku lemas larut dalam perasaan yang indah. Apakah ini yang dinamakan surga dunia.Kurasakan kedut-kedut di d
“Aku tidak pernah meninggalkan siapapun, Alea,” sahut Jonathan. Ku oleskan salep pada lebam yang sama sekali tak estetik di wajahnya. Bahkan dengan sengaja aku menyentuhnya dengan sedikit kasar karena masih merasa gemas. Sampai babak belur seperti itu pun ia masih tetap tidak mengaku juga. Lelaki itu meringis tanpa berani mengeluhkan kekasaranku. “Tidurlah, biar demam kamu lekas hilang,” perintahku.“Tapi Al, aku tak akan bisa tenang selama kamu masih salah paham seperti sekarang ini,” keluhnya. “Kenapa? Kamu udah jelasin kalau hubungan kamu sama Marsha bukan pacar. Kamu teman yang sedang terlibat kerjasama urusan bisnis. Gitu kan?” paparku, “aku dah dengar semua. Perkara aku bisa percaya atau tidak, apa pedulimu?”“Alea, jelas aku peduli.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya di atas ranjangnya. Sepasang matanya menatapku seakan mencari sesuatu di dalamnya.“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti Aleaku yang dulu?” lanjutnya dengan suara frustasi. “Dengan semua kejujuranm
“Jangan Kak, jangan pukul dia.” Aku berpaling mengamati luka lebam di wajah suamiku. Entah kenapa hatiku merasa ikut sakit. “Minggir Alea, dia perlu diberi pelajaran. Dia nggak tahu gimana cara memperlakukan istri dengan baik.” Kak Bernard mengepalkan tinjunya, siap memberikan pukulannya sekali lagi.“Cukup Kak. Dia sudah luka seperti ini,” teriakku dalam ledakan emosi, “apa kakak mau membunuhnya sekalian?” Kepalan tangan itu perlahan terurai bersama seraut wajah kecewanya yang sangat kentara. “Pergilah, aku butuh waktu buat sendiri,” perintahku pada lelaki yang berdiri tegak dengan pipi lebamnya di depanku.“Marsha benar-benar bukan mantan kekasihku. Aku ke tempatnya hanya karena urusan bisnis,” terangnya tanpa kuminta.“Pulanglah, aku benar-benar butuh waktu buat berpikir.”“Kamu nggak denger dia bilang apa?” Kak Bernard tiba-tiba berdiri di antara kami. Lelaki itu mendorong Pak Jonathan menjauh dari hadapanku. Aku bahkan bergeming di tempatku, walau perasaanku berontak ingin b
“Pada latihan casting, ya? Aku boleh ikutan?” “Kak Bernard! Minggir sana!” usir Vena sembari mengibaskan kedua tangannya, “ganggu aja.”“Wait … wait. Jangan bilang kalau bidadari cantikku ini nangis beneran,” lanjut Kak Bernard. Aku mengusap kedua mataku karena tak ingin memperlihatkan kelemahanku pada siapapun termasuk kakak sahabatku sendiri. Tapi ternyata hal itu terlalu berat. Dan aku kembali menangis dengan semakin kencang. “Kak Bernard ….” “Iya cantik. Siapa yang nakal?” tanyanya seperti peduli padaku. Ia mendekat dan duduk di antara kami berdua.“Kakak yang nakal,” sahutku sambil menangis semakin keras, “kenapa kamu ganggu aku. Kakak nggak ada bedanya sama dia. Semua laki-laki sama.”Kali ini lelaki itu justru terdiam. Ia menghela napas sebelum mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. “Semua laki-laki itu sama. Tapi kamu justru lebih memilih dia. Semua perempuan itu sama, tapi aku justru menyukai kamu.” Aku langsung terdiam mendengar kalimat itu. Bukan hanya aku, bahk