“Yakin bisa tidur sampe pagi?” Kutarik selimutku sampai menutupi wajahku. Namun selimut itu justru meluncur turun sesaat kemudian, memperlihatkan senyuman di wajah lelaki yang sengaja menariknya turun. “Alea, kamu harus temani aku makan malam,” ujarnya dengan lembut dan jelas-jelas sedang merayuku, “kamu nggak datang ke pemakaman kakek, its ok. Tapi kali ini kamu harus. Kak Jericho belum tentu akan pulang kembali ke Indonesia dalam waktu dekat. Temani aku, ya.”“Ya udah … ok, aku pergi. Tapi … janji, kita nggak pulang terlalu malam,” pintaku, “ada beberapa tugas yang harus aku selesaikan. Aku nggak mau terlibat masalah dengan Bu Ella.”“Nggak masalah,” sahut Pak Jonathan, “tapi ada satu hal yang harus kamu tahu. Sebenarnya … kakek kita menjodohkan kamu dengan kakakku. Tapi karena Kak Jeri seorang yang ambisius, maka mama dan papa tidak bisa melarangnya untuk berangkat ke Amerika untuk bekerja.Sampai pada waktunya, kakek semakin melemah. Dan akhirnya mereka memintaku menggantikan Ka
“Itu karena … aku nggak mau papa sama mama sedih. Aku nggak mau mereka kepikiran,” jawabnya, “itu saja, nggak lebih.” “Kalau cuma itu, nggak perlu pake cium-cium, tau!” balasku sembari meletakkan guling di antara kami. “Kamu bagi tempat yang bener dong,” protes Pak Jonathan. “Itu hadiah buat orang yang ambil kesempatan dalam kesempitan. Sana tidur aja sama simba, biar bisa cium-cium sepuasnya,” kesalku kemudian. “Dasar cewek tengil!” Pak Jonathan malah menarik guling dan melemparkannya jauh-jauh. “Udah bagus kamu aku biarin tidur di kasurku.”Mendengar kalimat itu membuat hatiku meradang. Tentu saja karena aku juga tidak berniat memiliki kehidupan seperti ini. “Apa kamu bilang? Kasur kamu?” ucapku dengan nada yang cukup tinggi. “Kamu yang nikahin aku, kamu yang bikin aku terikat di rumah ini. Eh … kamu juga yang ngegas kalo ini kasur kamu. Ya udah, sana. Kamu beliin aku kasur baru sekarang juga.” “Kenapa juga harus beli?” balasnya. “Kasur ini cukup besar, asal kamu nggak so so’a
“Kak, aku sudah cukup bersabar. Bahkan aku sudah menuruti keinginan papa dan mama untuk menggantikan kewajiban kamu menikahi Alea. Sekarang kamu datang dan … kamu sengaja kan, kamu mau mengambil semua yang sudah kudapatkan,” balas Pak Jonathan dengan suara meninggi.“Jaga ucapanmu, Jo. Kamu udah ninggalin rumah, ninggalin istri kamu ketakutan sendirian di rumah. Apa kamu masih ngerasa nggak bersalah?” “Stop! Cukup!” teriakku dengan marah, “kalau kalian terus bertengkar, lebih baik aku yang pergi.” Aku meraih kunci motorku dan segera menyalakannya. Untung saja, hanya butuh sehari motorku sudah bisa ku pakai kembali. Jika tidak, mungkin aku harus menahan diri melihat pertikaian dua kakak beradik yang sama-sama egois itu. “Lea! Alea!” Suara panggilan itu tak lagi kuhiraukan. Justru aku memacu motorku lebih kencang menyusuri jalanan yang mulai sepi. Tapi … kemana aku harus pergi? Pulang ke rumah papa, aku rasa bukan keputusan yang tepat. Aku tidak ingin membuat papa marah dan justru
“Pacaran?” Ulangku setelah Kak Bernard mengatakan satu kata yang aneh itu. Gimana nggak aneh, dia seperti sudah mengenalku. Padahal aku saja jarang bertemu dengannya. Tapi menolaknya bukan hal yang tepat karena bagaimanapun dia adalah kakak kandung Vena, sahabatku. Aku nggak mau hubunganku dan Vena rusak hanya gara-gara dia. “Iya, kita cocok. Seperti jodoh yang sengaja dipertemukan lewat Vena,” lanjutnya. “Euh … Kakak, sebenarnya aku udah punya pacar. Dan … aku sayang sama dia,” elakku, “apa Vena nggak cerita tentang ini sama kakak?”“Cuma pacar, nggak ada salahnya kamu putusin dia.” Aku terperangah mendengar kalimat yang diucapkannya dengan begitu santainya itu. Lelaki itu terlihat tenang menikmati rokok elektriknya sementara secangkir kopi hitam tersaji di depannya. “Bercanda, nggak usah kaget gitu,” sahutnya masih dengan santainya, “tapi kamu bisa mempertimbangkannya. Pacaran denganku, menikah dan kamu dapat bonus adik ipar seperti Vena.”“Hah?” “Kenapa?” tanya lelaki itu de
“Nggak usah, aku bawa motor. Tunggu aja aku di rumah,” sahutku.Aku pun langsung menutup panggilan itu. Aku rasa sebaiknya aku segera pulang sebelum Pak Jonathan benar-benar menjemputku di rumah ini. Bahaya! Bisa-bisa gosip panas langsung menyebar di SMA Merah Putih.“Siapa, Al?” tanya Vena sesaat setelah aku menutup panggilan itu, “Om Wenang?”Aku menganggukkan kepalaku. “Dia menyuruhku pulang.” “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bertengkar dengan papa kamu?” selidiknya. Aku menarik sudut bibirku. “Kami nggak ada masalah. Cuman … waktu itu dia liat aku sama Doni. Dan … ah, sudahlah.”“Apa kubilang. Mending kamu jalan sama aku, Lea. Papa kamu pasti langsung ACC. Percaya deh,” kelakar Kak Bernard lagi. “Percaya apa Kak?” timpalku menanggapi perkataannya yang sudah seperti stand up komedi ala tipi swasta. “Ya … percaya kalo papa kamu pasti langsung ‘ho–oh’ liat calon mantu keren, ganteng, mapan, baik dan berkepribadian macam aku,” sahutnya, “kamu tau kan. Aku udah punya kamar
Aku tertawa dengan perasaan canggung. “Bapak bercanda, ya?” Kutatap wajah lelaki di hadapanku dengan perasaan tak percaya. Tapi sepasang matanya sama sekali tak memperlihatkan kebohongan. Ia bahkan tak berkedip saat mengatakan hal itu. Senyumanku langsung lenyap, saat sepasang mata itu bergeming dari mataku. Apa yang dikatakannya itu benar? Apa dia nggak bercanda seperti perkiraanku?Sampai malam, aku masih memikirkan semua pengakuannya. Bahkan sampai terbawa mimpi. Tapi dalam mimpiku, Kak Jeri justru menarikku untuk menjauh darinya. Pagi itu di sekolah, badanku terasa tak nyaman. Mungkin karena mimpi buruk itu, kualitas tidurku jadi kurang baik.Saat aku sendiri, tiba-tiba saja seseorang menutup mataku dengan sepasang tangannya. Spontan kupegang tangan itu. Dari ukurannya, seharusnya ini bukan tangan Vena. “Doni?” tebakku langsung.Lelaki itu melepaskan kedua tangannya dari mataku. “Yaah … ketahuan.” “Jelaslah. Siapa lagi yang berani ngerjain aku, selain kamu,” sahutku.“Lea, ka
Aku menoleh ke belakang, mencari tahu apa itu khayalanku saja. Tapi yang kulihat justru makhluk menyeramkan dengan sebuah gergaji mesin di tangannya. Suaranya yang keras, seperti mengubur suara orang yang memanggilku di dalam sana.Doni menarik tanganku, membuatku mau tak mau mengikuti langkahnya untuk berlari keluar. Makhluk dengan wajah tertutup topeng itu, benar-benar adalah tokoh penutup yang baik untuk wahana menyeramkan ini. Napasku masih terengah saat kami telah sampai di luar. Paving yang tergenang air dan hujan yang masih turun, walau tak sederas tadi membuatku sadar bahwa ketegangan itu sudah berlalu. “Kita langsung ke bianglala, yuk,” ajak Doni, “pasti di atas sana pemandangan sangat indah.” Aku bergeming di tempatku dengan perasaan ragu. “Don, kamu … dengar nggak, tadi di dalam sana, ada seseorang yang panggil namaku.” “Mana ada? Nggak mungkin ada yang kenal kita di sini,” sahut Doni mencoba meyakinkanku, “teman-teman kita masih di sekolah juga. Atau … mungkin salah sa
“Jam sekolah, malah kalian berdua pacaran di sini.” Suara lelaki itu terdengar cukup keras. Saking kerasnya, beberapa orang yang lewat di sekitarku pun menoleh, mengamati apa yang sedang terjadi.***“Bapak tidak pernah melarang siapapun buat pacaran. Tapi tidak di jam sekolah, “ ucap Pak Jonathan setelah kami kembali ke sekolah. Ia tidak membiarkan aku dan Doni kembali ke kelas, melainkan memarahi kami terang-terangan di kantornya.“Apa kalian tidak malu sama orang tua yang membiayai pendidikan kalian?” Suara Pak Jonathan tidak seperti biasanya, dan aku yakin bahwa kepala sekolah kami pun dapat mendengar ucapannya dari ruangannya di ujung sana.Doni mempererat genggaman tangannya. “Maaf, Pak. Kami tidak akan mengulanginya lagi.”“Doni Aryanata! Jangan karena kamu selalu menjadi andalan sekolah dalam team basket, lalu kamu seenaknya membuat masalah seperti ini,” lanjut Pak Jonathan. Kali ini suaranya sedikit menurun, “aku tahu, kamu yang ajak Alea bolos. Benar, kan?”Tak kudengar jaw