“Ya udah, aku mau ke rumah papa aja kalo gitu. Silahkan aja kalo Bapak masih mau nguntit,” cicitku kesal.Tidak ada perubahan di rumahku. Semuanya tetap sama. Hanya papa yang kini mungkin sedang kesepian itu, terlihat bahagia ketika melihatku datang.Aku menghabiskan hari Minggu ku bersama Papa. Seperti biasa, kami selalu ribut dengan perbedaan pandangan. “Kamu kok datang sendirian. Mana Jonathan?” Aku mengedikkan pundakku. “Nggak tau. Bisa jadi dia pacaran, main sama teman-temannya atau …. Nggak tau lah.” “Kalian bertengkar? Kok jawaban kamu gitu?” tanya papa.“Dia rese, Pa,” keluhku, “dia ngerusak hubungan Alea sama teman-teman. Alea disuruh bersih-bersih rumah seperti babu. Eh, pas Alea nonton bioskop bareng teman, malah dia rese. Dia duduk di belakang kursi Alea dan …. Ah, pokoknya dia ngeselin banget.” “Nggak mungkin dia ngelakuin itu semua tanpa alasan.” “Ya, pasti alasannya biar hemat lah. Kan bisa saja dia nikah sama Alea biar dapat babu gratis,” sahutku cepat.“Kalo bers
Pagi itu seperti biasa, Pak Jonathan terlihat sibuk membuat sarapan. Aku bisa melihat meja dapur yang sangat berantakan. “Ta–ra! Selesai!” Ucapnya dengan nada riang tak seperti biasanya.“Ini sandwich tuna keju buat kamu. Cepet dihabiskan biar nggak terlambat sekolahnya.”Aku tersenyum senang. Sepertinya Pak Jonathan nggak selamanya sekejam itu sama aku. Buktinya pagi ini dia buatin aku sarapan semacam ini. Yaa … paling tidak, effortnya keliatan lah sebagai seorang suami. Kuraih piring sandwich dan mulai memotongnya menjadi beberapa bagian sebelum masuk ke dalam mulutku. Tapi … kenapa rasanya aneh seperti …. Aku langsung memuntahkan kembali suapan pertamaku. “Kenapa? Itu makanan sehat loh,” ucapnya tanpa rasa bersalah. “Bapak masukin apa di dalamnya. Kenapa rasanya pedes, seperti … ada balsam di dalamnya,” tebakku sambil menjulurkan lidahku yang terasa panas. “Masa sih?” sahutnya dengan senyuman yang membuatku semakin curiga. Perlahan kudekatkan hidungku ke hidangan itu. Tapi a
“Aduh … nggak usah tarik-tarik napa. Ntar tangan aku copot, ih,” cicitku saat Doni menarikku ke arah taman belakang sekolah.Ia melepaskanku setelah tak terlihat siapapun di sekitar kami. Sepasang tangannya kini hinggap di kedua pundakku, sementara sepasang mata kami beradu dengan intens. “Kamu … kenapa kamu pergi gitu aja. Kamu nggak angkat telpon kamu, kamu juga nggak kasih aku kabar,” protes Doni. Tangannya mengguncangku, membuat tubuhku rontak.“Sori, Don,” ucapku dengan memasang wajah menyesal, “aku … tiba-tiba saja nggak enak badan. Mungkin karena aku lupa nggak bawa jaket, jadi aku rada meriang gitu. Makanya aku putusin buat pulang, biar bisa segera istirahat.”“Tapi kamu bisa kasih kabar, kan?” protes Doni mulai tak sabar.“Sori …. Hape aku mati waktu itu,” imbuhku, “batrenya low. Kamu … marah sama aku?” Aku melihat lelaki muda itu menghela napas. Wajah tegang yang semula terlihat dengan jelas, perlahan kembali melembut. “Nggak … aku nggak marah. Cuman … kamu nggak boleh ngi
“Udah selesai pacarannya?” Entah sejak kapan Pak Jonathan berdiri di belakangku. Kenapa lama-lama dia makin mirip makhluk astral yang bisa muncul tiba-tiba di tempat yang diinginkannya. Atau … jangan-jangan dia punya kekuatan super yang bisa teleportasi kemanapun sesuai keinginannya. Membayangkannya saja sudah membuatku merinding. “Ish! Memangnya kenapa? Bukannya kita sudah sepakat nggak bakal ikut campur urusan pribadi masing-masing?”“No … no … no! Tapi ini sekolah dan aku guru kamu,” sahutnya dengan nada yang menyebalkan, “nggak boleh pacaran di sekolah.”Aku mencebik kesal. “Aku sama dia nggak ngapa-ngapain, kok. Kita cuman ngobrol,” gerutuku. Aku harap dia tidak mempermasalahkan kecelakaan kecil tadi dan berasumsi bahwa kami berpelukan dengan sengaja.Pak Jonathan justru mengangkat tangannya dengan kedua jari menunjuk matanya lalu mengarahkannya padaku, kemudian ia pergi begitu saja. “Dasar ikan buntal!” desisku kesal. Aku menghentakkan kakiku dengan kesal. Sungguh, dia itu se
“Tiga … empat … lima ….” Doni terus menghitung dengan tempo yang sama. Mungkin karena dalam jiwa atletnya tertanam sportifitas, jadi ia tidak dengan curang mempercepat tempo hitungannya.Sementara aku selangkah demi selangkan mundur dan semakin jauh darinya.“Enam … tujuh … delapan,” hitungnya tanpa tahu aku telah berada di depan pintu rumahku, dengan tangan siap membukanya.“Sembilan … sepuluh.” Tentu saja aku sudah berada di dalam rumah. Dengan cepat, aku naik ke lantai atas, tempat kamarku berada dan melihatnya dari balkon. ‘Doni!” teriakku memanggilnya. Kulambaikan tanganku setelah meletakkannya di bibirku. Bukankah yang diinginkannya adalah ciuman perpisahan? Aku dapat melihat raut kecewa dengan jelas di wajahnya. Namun aku tak peduli, ku lambaikan tanganku sambil berteriak, “sampai ketemu besok!”***Aku duduk di depan meja makan, menerima tatapan menghakimi yang seperti hendak menelanku dengan ribuan pertanyaan yang belum terucap dari bibir papa.“Kamu pulang lagi? Kamu yaki
“Kalo kamu nggak sebutin apa yang ketinggalan, itu artinya nggak penting,” sahut Pak Jonathan, “jadi kita nggak perlu putar balik.” Aku merengut kesal. Tentu saja karena rencanaku tidak berhasil kali ini. Tapi nggak papa, seharusnya aku bisa minta papaku untuk mengirim Bik Titin ke rumah nanti. Jam sudah menunjuk pukul lima saat kami tiba di rumah. Tapi entah kenapa aku merasa ada yang salah. Ada sesuatu yang tidak biasanya, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Tapi apa …. Rumah masih dalam keadaan rapi. Tidak ada siapapun yang masuk, bahkan tidak ada kotoran simba di bak pasirnya. Dan cat food yang tersaji di piringnya pun belum tersentuh. Simba! Dimana kucing abu itu berada? Kuarahkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Tapi tidak terlihat pergerakan kucing kecil nan lincah itu. “Pak buntal, simba dimana?” tanyaku pada lelaki yang langsung menyibukkan diri dengan setumpuk lembaran jawaban di hadapannya. “Mungkin dia sembunyi di kolong. Atau … keperangkap lagi di bawah panci
“Hah! Apa?” “Kamu belum dengar ya? Ada siswi sekolah kita yang nikah sama om-om!” ulang Vena, kali ini suara cemprengnya hampir memecahkan gendang telingaku. “Memangnya siapa?” tanyaku sambil berusaha menyembunyikan kegugupanku.“Nggak jelas juga, sih,” sahut Vena, “tapi beberapa siswa sempat liat cewek itu naik mobil asing di halte depan sekolah.” Jantungku seperti mau lompat dari tempatnya. Halte depan sekolah. Bisa jadi yang sedang mereka perbincangkan itu aku. Mungkinkah gosip itu tentang aku dan Pak Jonathan yang saat itu hendak ke rumah sakit untuk meresmikan pernikahan kami?“Ya udahlah, nggak usah terlalu dipikirkan. Bisa saja mereka cuma mengira-ngira. Bisa jadi om-om yang mereka maksud itu justru papanya,” cicitku untuk mempengaruhi cara berpikir Vena, “kasihan loh, yang terlanjur dikatain. Apalagi … penyebaran berita hoax macam itu, sekarang sudah bisa dituntut secara hukum, loh.” Vena mendadak diam. Aku rasa dia sedang memikirkan sesuatu. Mungkin perkataanku yang diras
Aku menatapnya dengan jantung yang berdebar dengan kencang. Matanya – hidungnya yang runcing – bibirnya …. Pak Jonathan berdehem dan segera bangkit. “Maaf, itu tadi aku benar-benar nggak sengaja,” ucapnya dengan canggung, “lain kali kalo naruh sandal jangan di situ. Bikin orang kesandung.”“Iya. Hmm … Pak Jonathan udah denger kalo di sekolah kita … ada beredar gosip siswi yang lagi hamil?” tanyaku. “Gosip. Buat apa kamu mikirin cerita yang belum tentu kebenarannya?” sahut Pak Jonathan.“Masalahnya … aku ngerasa kalo orang yang mereka gosipin itu kita,” cicitku. “Memangnya kamu hamil?” “Enggak sih, tapi … gosipnya, cewek yang hamil itu pernah keliatan dijemput sama om-om di halte depan sekolah.” “Maksud kamu, aku om-om yang dimaksud mereka?” tanyanya, “jadi kamu dari tadi nggak bisa tidur gara-gara gosip itu?” “Ya … iyalah,” sahutku, “gimana kalo gara-gara ini, kita dikeluarkan dari sekolah.”“Coba kamu pikir, mungkin nggak … ada murid SMA Merah Putih yang nggak kenal sama aku s