Share

Bab 5

Mau tak mau, aku membuka pintu kamarku. Kuberanikan diri menatap wajah guru yang hampir tiga tahun ini mengajar kelas matematikaku.

“Pak Jonathan nggak mau nikah sama aku, kan? Aku juga nggak mau,” cicitku langsung setelah membuka pintu, "jadi ... nggak usah perpanjang masalah ini. Bapak pulang dan kita lanjutkan hidup kita masing-masing."

“Boleh aku masuk?”

Aku terkejut ketika lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamarku. Baru kali ini ada lelaki selain papa yang dengan beraninya masuk ke kamarku. Lelaki itu bahkan memperhatikan setiap sudut kamarku sebelum duduk di atas kursi meja belajarku.

“Benar, pada awalnya aku juga sepertimu. Aku menolak perjodohan ini. Persis sama sepertimu. Tapi ….” Lelaki itu menundukkan kepalanya seperti ada sesuatu beban dalam pikirannya yang ingin disampaikannya padaku.

“Tapi apa? Bapak nggak bisa nolak?” tanyaku sebelum berdecih. Bagaimana mungkin guru segalak dia ternyata bisa selemah ini.

Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tanganku. “Kakekku sedang sakit. Kakekku ingin pernikahan itu dilaksanakan sebelum beliau meninggal. Kakekku tidak ingin malu karena ingkar, saat bertemu dengan kakekmu di surga kelak.”

Aku menatap sepasang mata dengan sorot lembut itu. Kurasakan kedamaian dan ketenangan di dalam sana. Pak Jonathan sama sekali berbeda dari biasanya. Tatapan galaknya sama sekali tidak terlihat saat ini.

“Pernikahan itu akan kita langsungkan besok. Dengan cara sederhana, jadi tak akan ada seorangpun yang tahu,” lanjutnya, “aku tahu ini berat buat kamu. Begitu juga buat aku. Tapi … kita pasti bisa melewati semuanya bersama.”

Aku menggelengkan kepalaku sebelum tertawa. “Bapak bercanda, kan?” tebakku, “tapi ini sama sekali nggak lucu. Bukannya Bapak benci Alea? Hampir tiap hari Bapak tegur dan marah-marah sama Alea. Tapi sekarang … justru Bapak mau maunya nikahin Alea. Parah nih si Bapak."

Pak Jonathan mengangkat kedua tangannya. “Baiklah, maaf. Itu karena aku kesal harus menikahi bocah seperti kamu,” akunya, "jadi aku lampiaskan semuanya padamu."

“Siapa juga yang mau nikah? Masih banyak list yang ingin kunikmati di masa remajaku,” sahutku dengan ketus, “aku nggak mau jadi ibu-ibu berdaster sebelum semua yang ada dalam list ku terpenuhi.”

“List apaan?” tanyanya seolah peduli.

“Ini!”

Kutarik buku harianku dan membukanya tepat di halaman terdepannya. Kulihat sepasang mata itu tiba-tiba saja melotot. Iya … dia melotot ketika membaca buku itu. Tapi kenapa?

Apa aku menulis sesuatu yang salah?

“Mendaki gunung bersama, berkemah, merebut hati Doni, nonton bareng Doni, liburan ke pantai, bikini foto sama teman-teman, masuk perguruan tinggi, nonton konser rame-rame, liburan keluar negeri ….”

Pak Jonathan membacanya dengan cepat dan sekeras mungkin. Aku langsung menutup buku itu cepat-cepat.

Astaga! Kenapa juga aku menulis hal-hal konyol semacam itu. Bahkan dengan bodohnya aku memperlihatkan langsung padanya.

“Doni … apa itu kapten team basket sekolah kita?” tanyanya setelah tawanya reda.

Aku meliriknya dengan tajam. Sungguh! Aku nggak nyangka kalau dia bukan cuman guru yang galak. Tapi dia juga lelaki yang menyebalkan!

“Mau tau aja!”

“Alea, aku janji deh. Kamu boleh pacaran sama tuh kapten basket, bikini foto, lingerie foto atau apapun juga nanti. Kamu bebas mau ngelakuin apa saja, kok,” ucapnya serius, “aku nggak peduli, asal kakekku bisa tenang. Kondisinya benar-benar sudah kritis sekarang.”

Aku menatapnya dengan curiga. “Beneran nih?”

Lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Aneh! Itu yang ada dalam benakku. Bagaimana bisa seseorang menikah, tapi tidak peduli apapun yang dilakukan oleh pasangannya. Bebas melakukan apapun, layaknya seorang single.

“Kita dengan hidup kita masing-masing.”

"Nggak ada malam pertama! Cuma suamiku yang boleh sentuh aku nantinya," imbuhku tak mau merugi.

"Oke."

Aku menarik sudut bibirku, memberikan seulas senyuman padanya. “Deal!” ucapku sambil mengulurkan tangan kananku.

Setidaknya dengan begini aku nggak perlu bersitegang terus dengan papa. Selain itu setidaknya aku memegang kartu as guru tergalak di sekolahku. Dia pasti mau membantuku dalam setiap kesulitanku di sekolah mulai saat ini.

Kurasakan kehangatan saat tangan itu menyambut uluran tanganku. Walau keraguan masih terselip di hatiku. Keraguan tentang masa depan pernikahan aneh yang kami sepakati.

***

“Jangan lupa, siang nanti tunggu aku di halte depan,” perintah Pak Jonathan siang itu di sela jam istirahat sekolahku.

“Bapak yakin kita harus berangkat bareng?” sahutku mengungkapkan perasaan gelisahku, “gimana kalau ada yang lihat terus mereka curiga?”

“Udahlah, nggak bakal ada yang curiga. Kalaupun ada yang curiga, serahkan saja padaku. Biar aku yang jawab mereka,” sahutnya dengan begitu optimisnya.

“Resikonya Bapak bisa diberhentiin loh, Pak. Dan aku … aku bisa dikeluarin dari sekolah,” lanjutku, “mana ujian tinggal beberapa bulan lagi, juga.”

“Udah, aman kok. Kujamin, pasti aman,” sahutnya.

Aku mengedikkan pundakku dengan pasrah.

“Kenapa lagi, Pak Jonathan? Apa Alea bikin masalah lagi, Pak?”

Suara lembut itu terdengar di telingaku. Suara yang hampir setiap hari mengisi hari-hari membosankanku di sekolah ini.

“Enggak, Bu Ella. Aku cuman memberinya tambahan tugas sebagai kompensasinya kemarin,” dusta Pak Jonathan.

“Oh … syukurlah,” sahut Bu Ella, wali kelasku yang juga adalah guru termuda di sekolahku itu, “aku nggak suka ada siswa di kelasku yang bermasalah.”

“O iya, Bu Ella, aku dengar Ibu akan bertunangan hari Minggu nanti. Selamat ya,” ucap Pak Jonathan, yang kurasa mencoba mengalihkan arah pembicaraan wali kelasku.

“Aduh, bukan aku yang akan bertunangan, tapi kakakku,” sahutnya dengan nada mendayunya yang khas, “kalo aku sih, belum dapat satu yang pas di hati.”

“Ya … di pas-pasin dong, Bu. Biar nggak kelamaan, nanti keburu expired, loh,” goda Pak Jonathan.

“Hmm, jangan gitu …. Lah saya kan cuman nemenin Pak Jonathan nge lajang. Biar nggak sendirian,” sahutnya masih dengan nada yang membuatku merasa geli sendiri.

Bahkan dari setiap jawaban dan gestur tubuhnya, aku bisa menangkap sinyal yang sangat jelas bahwa Bu Ella sengaja memberitahukan bahwa ia menyukai Pak Jonathan.

Sungguh, aku tak tahan lagi mendengar suaranya yang mendayu-dayu.

“Ehm … saya permisi dulu, Pak, Bu,” ucapku dengan gaya sesantun mungkin sebelum berjalan secepat yang ku bisa untuk meninggalkan mereka.

Lega rasanya bisa melepaskan diri dari dua guru yang bisa mempengaruhi nilai rapotku itu. Aku berjalan secepat mungkin tanpa menoleh ke belakang. Tentu saja karena aku tidak ingin mereka menahanku lebih lama.

Tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Tanpa mengatakan apapun, ia terus menarikku menuju ke halaman belakang sekolah. Tempat yang sepi dan selalu berusaha kujauhi.

“Lepasin, gak!” teriakku sembari menghentakkan tangan supaya terlepas dari cekalannya.

“Alea, ikut aku,” ucap lelaki berseragam team basket itu tanpa melepaskan genggamannya, “ada yang mau kuperlihatkan padamu.”

“Aduh! Tapi tanganku sakit. Lepasin gak.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status