Share

Bab 5

last update Last Updated: 2024-09-20 21:47:44

Mau tak mau, aku membuka pintu kamarku. Kuberanikan diri menatap wajah guru yang hampir tiga tahun ini mengajar kelas matematikaku.

“Pak Jonathan nggak mau nikah sama aku, kan? Aku juga nggak mau,” cicitku langsung setelah membuka pintu, "jadi ... nggak usah perpanjang masalah ini. Bapak pulang dan kita lanjutkan hidup kita masing-masing."

“Boleh aku masuk?”

Aku terkejut ketika lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamarku. Baru kali ini ada lelaki selain papa yang dengan beraninya masuk ke kamarku. Lelaki itu bahkan memperhatikan setiap sudut kamarku sebelum duduk di atas kursi meja belajarku.

“Benar, pada awalnya aku juga sepertimu. Aku menolak perjodohan ini. Persis sama sepertimu. Tapi ….” Lelaki itu menundukkan kepalanya seperti ada sesuatu beban dalam pikirannya yang ingin disampaikannya padaku.

“Tapi apa? Bapak nggak bisa nolak?” tanyaku sebelum berdecih. Bagaimana mungkin guru segalak dia ternyata bisa selemah ini.

Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tanganku. “Kakekku sedang sakit. Kakekku ingin pernikahan itu dilaksanakan sebelum beliau meninggal. Kakekku tidak ingin malu karena ingkar, saat bertemu dengan kakekmu di surga kelak.”

Aku menatap sepasang mata dengan sorot lembut itu. Kurasakan kedamaian dan ketenangan di dalam sana. Pak Jonathan sama sekali berbeda dari biasanya. Tatapan galaknya sama sekali tidak terlihat saat ini.

“Pernikahan itu akan kita langsungkan besok. Dengan cara sederhana, jadi tak akan ada seorangpun yang tahu,” lanjutnya, “aku tahu ini berat buat kamu. Begitu juga buat aku. Tapi … kita pasti bisa melewati semuanya bersama.”

Aku menggelengkan kepalaku sebelum tertawa. “Bapak bercanda, kan?” tebakku, “tapi ini sama sekali nggak lucu. Bukannya Bapak benci Alea? Hampir tiap hari Bapak tegur dan marah-marah sama Alea. Tapi sekarang … justru Bapak mau maunya nikahin Alea. Parah nih si Bapak."

Pak Jonathan mengangkat kedua tangannya. “Baiklah, maaf. Itu karena aku kesal harus menikahi bocah seperti kamu,” akunya, "jadi aku lampiaskan semuanya padamu."

“Siapa juga yang mau nikah? Masih banyak list yang ingin kunikmati di masa remajaku,” sahutku dengan ketus, “aku nggak mau jadi ibu-ibu berdaster sebelum semua yang ada dalam list ku terpenuhi.”

“List apaan?” tanyanya seolah peduli.

“Ini!”

Kutarik buku harianku dan membukanya tepat di halaman terdepannya. Kulihat sepasang mata itu tiba-tiba saja melotot. Iya … dia melotot ketika membaca buku itu. Tapi kenapa?

Apa aku menulis sesuatu yang salah?

“Mendaki gunung bersama, berkemah, merebut hati Doni, nonton bareng Doni, liburan ke pantai, bikini foto sama teman-teman, masuk perguruan tinggi, nonton konser rame-rame, liburan keluar negeri ….”

Pak Jonathan membacanya dengan cepat dan sekeras mungkin. Aku langsung menutup buku itu cepat-cepat.

Astaga! Kenapa juga aku menulis hal-hal konyol semacam itu. Bahkan dengan bodohnya aku memperlihatkan langsung padanya.

“Doni … apa itu kapten team basket sekolah kita?” tanyanya setelah tawanya reda.

Aku meliriknya dengan tajam. Sungguh! Aku nggak nyangka kalau dia bukan cuman guru yang galak. Tapi dia juga lelaki yang menyebalkan!

“Mau tau aja!”

“Alea, aku janji deh. Kamu boleh pacaran sama tuh kapten basket, bikini foto, lingerie foto atau apapun juga nanti. Kamu bebas mau ngelakuin apa saja, kok,” ucapnya serius, “aku nggak peduli, asal kakekku bisa tenang. Kondisinya benar-benar sudah kritis sekarang.”

Aku menatapnya dengan curiga. “Beneran nih?”

Lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Aneh! Itu yang ada dalam benakku. Bagaimana bisa seseorang menikah, tapi tidak peduli apapun yang dilakukan oleh pasangannya. Bebas melakukan apapun, layaknya seorang single.

“Kita dengan hidup kita masing-masing.”

"Nggak ada malam pertama! Cuma suamiku yang boleh sentuh aku nantinya," imbuhku tak mau merugi.

"Oke."

Aku menarik sudut bibirku, memberikan seulas senyuman padanya. “Deal!” ucapku sambil mengulurkan tangan kananku.

Setidaknya dengan begini aku nggak perlu bersitegang terus dengan papa. Selain itu setidaknya aku memegang kartu as guru tergalak di sekolahku. Dia pasti mau membantuku dalam setiap kesulitanku di sekolah mulai saat ini.

Kurasakan kehangatan saat tangan itu menyambut uluran tanganku. Walau keraguan masih terselip di hatiku. Keraguan tentang masa depan pernikahan aneh yang kami sepakati.

***

“Jangan lupa, siang nanti tunggu aku di halte depan,” perintah Pak Jonathan siang itu di sela jam istirahat sekolahku.

“Bapak yakin kita harus berangkat bareng?” sahutku mengungkapkan perasaan gelisahku, “gimana kalau ada yang lihat terus mereka curiga?”

“Udahlah, nggak bakal ada yang curiga. Kalaupun ada yang curiga, serahkan saja padaku. Biar aku yang jawab mereka,” sahutnya dengan begitu optimisnya.

“Resikonya Bapak bisa diberhentiin loh, Pak. Dan aku … aku bisa dikeluarin dari sekolah,” lanjutku, “mana ujian tinggal beberapa bulan lagi, juga.”

“Udah, aman kok. Kujamin, pasti aman,” sahutnya.

Aku mengedikkan pundakku dengan pasrah.

“Kenapa lagi, Pak Jonathan? Apa Alea bikin masalah lagi, Pak?”

Suara lembut itu terdengar di telingaku. Suara yang hampir setiap hari mengisi hari-hari membosankanku di sekolah ini.

“Enggak, Bu Ella. Aku cuman memberinya tambahan tugas sebagai kompensasinya kemarin,” dusta Pak Jonathan.

“Oh … syukurlah,” sahut Bu Ella, wali kelasku yang juga adalah guru termuda di sekolahku itu, “aku nggak suka ada siswa di kelasku yang bermasalah.”

“O iya, Bu Ella, aku dengar Ibu akan bertunangan hari Minggu nanti. Selamat ya,” ucap Pak Jonathan, yang kurasa mencoba mengalihkan arah pembicaraan wali kelasku.

“Aduh, bukan aku yang akan bertunangan, tapi kakakku,” sahutnya dengan nada mendayunya yang khas, “kalo aku sih, belum dapat satu yang pas di hati.”

“Ya … di pas-pasin dong, Bu. Biar nggak kelamaan, nanti keburu expired, loh,” goda Pak Jonathan.

“Hmm, jangan gitu …. Lah saya kan cuman nemenin Pak Jonathan nge lajang. Biar nggak sendirian,” sahutnya masih dengan nada yang membuatku merasa geli sendiri.

Bahkan dari setiap jawaban dan gestur tubuhnya, aku bisa menangkap sinyal yang sangat jelas bahwa Bu Ella sengaja memberitahukan bahwa ia menyukai Pak Jonathan.

Sungguh, aku tak tahan lagi mendengar suaranya yang mendayu-dayu.

“Ehm … saya permisi dulu, Pak, Bu,” ucapku dengan gaya sesantun mungkin sebelum berjalan secepat yang ku bisa untuk meninggalkan mereka.

Lega rasanya bisa melepaskan diri dari dua guru yang bisa mempengaruhi nilai rapotku itu. Aku berjalan secepat mungkin tanpa menoleh ke belakang. Tentu saja karena aku tidak ingin mereka menahanku lebih lama.

Tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Tanpa mengatakan apapun, ia terus menarikku menuju ke halaman belakang sekolah. Tempat yang sepi dan selalu berusaha kujauhi.

“Lepasin, gak!” teriakku sembari menghentakkan tangan supaya terlepas dari cekalannya.

“Alea, ikut aku,” ucap lelaki berseragam team basket itu tanpa melepaskan genggamannya, “ada yang mau kuperlihatkan padamu.”

“Aduh! Tapi tanganku sakit. Lepasin gak.”

Comments (6)
goodnovel comment avatar
annisa syifa
sopo sih ini yg ngegeret Alea sampe ke belakang sekolah
goodnovel comment avatar
Nurhayati
kamu gak salah ngomong lea? malam pertama hanya untuk suamimu? lah,, pak Jonathan kan yang bakal jadi suami kamu
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Pak Jonathan,....jangan lupa janjimu untuk melakukan semua impian & keinginannya,ya Eh Doni,,...kamu mau apa?.....Masih coba untuk bisa jadi pacar Alea,ya?......Coba aja kalai bisa....hehehe
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Menikahi Guru Killer   Bab 6

    “Iya, iya. Aku lepasin.” Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat.“Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” “Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.”“Ogah! Buat apa?” “Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” “Kamu … udah gila ya?” “Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih?Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. Senyum Doni Aryanata, teman laki-

    Last Updated : 2024-10-19
  • Menikahi Guru Killer   Bab 7

    Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini. “Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.” Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?” Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!” Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya. Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya me

    Last Updated : 2024-10-19
  • Menikahi Guru Killer   Bab 8

    Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Pak Jonathan. Rumah yang tidak bisa dibilang besar itu hanya mempunyai satu kamar tidur dan sebuah kamar yang lebih terlihat mirip gudang. Namun perabot di dalam tiap ruangnya yang terkesan minimalis, membuat kesan rumah itu terlihat lebih luas dari yang seharusnya. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur empuk. Rasa capek karena padatnya aktivitas hari ini, membuatku ingin segera memejamkan mata. Tentu saja setelah aku membasuh tubuhku terlebih dahulu. Seharusnya Pak Jonathan sudah selesai membersihkan diri. Aku bisa menebaknya karena tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam sana. Tapi kenapa dia tak juga keluar dari kamar mandi. Dia terlalu lama, sampai kandung kemihku rasanya tak sanggup lagi menahan cairan yang sejak tadi kutahan. “Pak! Pak Jonathan,” panggilku di depan pintu kamar mandi.Baru saja kuayunkan tanganku untuk mengetuk, daun pintu itu terbuka lebar. Aku dapat melihat tubuh lelaki yang kini telah jadi suamiku itu. T

    Last Updated : 2024-10-21
  • Menikahi Guru Killer   Bab 9

    Sesuatu yang bergerak di bawah panci berbahan alumunium itu, membuatku perasaan gelisahku semakin kuat. Panci yang dalam posisi tertelungkup itu bergerak tak beraturan, memperlihatkan kehadiran sebuah nyawa di dalamnya. “Ti–tikus?” Pikiranku langsung tertuju pada sosok makhluk berwarna hitam yang paling kutakuti. Sosok hitam yang dalam pikiranku adalah makhluk terjorok penghuni selokan itu selalu sukses membuatku merinding jejingkrakan. Aku segera mencari perlindungan. Dan perlindungan terdekat adalah dia! Lelaki yang ada di dekatku. “Ti–tikus!” teriakku. Kutarik dia dan kujadikan sebagai tameng dari makhluk kecil di bawah sana. “Heh! Mesum!” Suara laki-laki itu terdengar beberapa saat kemudian.Saat itulah aku menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. Sepasang tanganku merasakan padat dan kerasnya dada Pak Jonathan yang kupeluk dari belakang. Kulitnya yang masih lembab dan terbuka itu terasa begitu segar, sesegar aroma segarnya sabun yang masih melekat di kulitnya. “Heh! Mesum,

    Last Updated : 2024-10-23
  • Menikahi Guru Killer   Bab 10

    “Aku bakal … bikin semua orang di sekolah kita tahu, kalau Bapak itu nggak pantes buat jadi guru kesiswaan. Bapak cuma … cuma predator siswi di bawah umur,” cicitku kesal, “Bapak bahkan menikahi siswinya yang belum genap sembilan belas tahun.” “Silahkan saja,” sahutnya dengan angkuh, “paling juga … kita berdua dikeluarkan dari sekolah. Dan … bukan aku yang rugi, tapi kamu yang seharusnya tinggal menyelesaikan ujian akhir saja.” Aku mencebik kesal. Mau tak mau kurebahkan tubuhku dengan posisi membelakanginya. Bisa kubayangkan, setiap malam aku harus mengalami hal menyebalkan seperti ini. Seperti kebahagiaan yang biasanya ada, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Malam semakin larut dan aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Tidur di tempat yang sama sekali asing, bahkan bersama lelaki yang sebelum ini kukenali sebagai guru matematika di sekolahku. Guru temperamental yang seolah berambisi untuk menjatuhkan mentalku hanya karena tak sanggup menolak sebuah perjodohan. Tiba-tiba

    Last Updated : 2024-10-25
  • Menikahi Guru Killer   Bab 11

    Rasanya ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kekesalanku. Tidak ada sarapan, tidak ada pula ijin untuk cuti hari ini. Tidak ada kata selain si menyebalkan yang lebih pantas baginya. “Kok manyun gitu sih?” tanya Vena setengah berbisik di sela pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung, “ada masalah?” “Nggak, aku cuma sedikit lelah dan ngantuk,” balasku berbisik.“Ijin ke UKS?” sahutnya, “kamu mau tiduran sebentar, kan?” “Aku defisit lima jam istirahatku,” sahutku lagi, “bayangin … dari delapan jam, aku cuman tidur tiga jam.” “Emang ngapain aja kamu kok bisa tidur cuman tiga jam?” tanya Vena yang seperti mencurigaiku.“Aku —”“Alea! Vena! Pack your books and stationery, go to the student section and ask for punishment for your noisy chatter on my class,” perintahnya perempuan setengah baya bertubuh tambun itu. “Huu!” Suara itu berkumandang seolah paduan suara yang mengiringi gerakan kami mengemas semua harta benda kami yang terserak di atas meja.“Habislah kita!” Gumamk

    Last Updated : 2024-10-27
  • Menikahi Guru Killer   Bab 12

    “Tentu saja. Aku bukan teman yang suka mengobral gosip sahabat aku sendiri. Tenang aja,” sahut Vena dengan cepat. Aku menarik sudut bibirku, memberikannya seulas senyuman. “Doni nembak aku kemaren.” “Hah!” Sepasang mata gadis di hadapanku membulat. “Kamu yakin itu yang bikin kamu gelisah beberapa hari terakhir?” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja aku tidak mungkin memberitahunya kalau penyebab kegelisahanku adalah Pak Jonathan, karena guru yang paling kuhindari itu ternyata harus menjadi suamiku. “Aku belum memberinya jawaban,” sahutku memberikan alibi tambahan. “Alea … Alea. Aku pikir masalah besar apa, ternyata cuman gara-gara si kapten basket itu lagi,” cetus Vena yang tampaknya agak kecewa mendengar berita itu. “Apa dia segitu penting sampai kamu nggak bisa tidur?” “Sepertinya,” sahutku. “Ya udah, terima aja. Nggak usah dibikin susah. Cuman … kamu mesti siap mental buat dijadiin mantan dalam daftarnya,” tuturnya lagi, “kamu siap?” Aku menganggukkan kepalaku. “S

    Last Updated : 2024-10-27
  • Menikahi Guru Killer   Bab 13

    “Lea, be my valentine!” Ucap lelaki muda itu sembari memberikan sekotak coklat berpita merah muda. Aku meraih coklat yang bertema brown and white itu. “Wah … kamu sengaja mau bikin aku gendut, ya?” Doni menarik kembali kotak coklat itu. “Enggak … enggak, kok. Nggak papa kalo kamu nggak mau. Aku bisa kasih kamu hadiah valentine lain.” “Leh, kok diambil lagi. Ntar bisulan loh,” sahutku sambil menyambar kembali coklat itu, “cewek mana sih, yang nggak suka coklat.” Aku bisa melihat senyum kelegaan di wajahnya. Tentu saja, dia tidak perlu mencari tahu lebih lagi tentang kesukaanku jika aku menerima coklat pemberiannya. “Nanti sore … kita jalan, yuk.”“Kemana?” “Hmm … kamu mau kemana? Aku antar kamu sampe ke ujung dunia sekalipun,” jawabnya dengan gombalannya yang sangat jelas. “Hmm … tapi besok ada tes kimia. Aku nggak bisa,” sahutku. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Rasanya tak tega untuk menolaknya terus, apalagi aku sudah memberikan harapan dengan menerima cintanya, bahka

    Last Updated : 2024-10-28

Latest chapter

  • Menikahi Guru Killer   Bab 122

    “Iya, dia ada sama aku. Mama Intan? Ada apa Ma?” tanyaku yang masih terkejut karena tak biasanya ibu mertuaku itu melupakan salam yang biasanya diucapkannya. Firasatku mengatakan ada suatu hal sangat penting yang membuatnya panik. “Papa kamu … dia masuk rumah sakit. Dia kena serangan jantung,” ucap perempuan itu dengan suara gemetar, “kamu sama Jonathan bisa pulang, kan?” Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas. Bukan … bukan cuma kakiku. Tubuhku terasa lemas, sampai-sampai ponselku terlepas dari tanganku. “Al … Alea, bangun.” Suara itu yang terakhir bisa kudengar. Sebelum semuanya menjadi gelap.Bau menyengat yang tercium di hidungku, membuatku tersentak kembali pada kesadaranku. Aku semakin kebingungan saat telah berada di tempat yang berbeda. “Syukurlah, kamu sudah sadar.” Wajah cemas suamiku membuatku merasa bersalah. Lelaki itu menggenggam tanganku dan mengecupnya, seakan mengungkapkan kelegaan hatinya,“Jo, kita harus pulang sekarang. Papa butuh kita,” ucapku kemudian. Ingatan

  • Menikahi Guru Killer   Bab 120

    “aku yang seharusnya mengatakannya. Terima kasih Alea, karena kamu telah hadir di dunia ini, di sisiku. Dan ….” Lelaki itu mengecup lembut keningku. “... biarkan aku bertanggung jawab atas setiap penggal kisah hidupmu dan putera kita nantinya.” Kalimat itu membuatku hatiku merasa damai, ia seakan begitu mencintaiku dan calon bayi yang bahkan masih sangat sangat kecil ini. Malam itu Pak Jonathan benar-benar berbeda. Ia bersikap bukan hanya lebih lembut, tapi ia bahkan lebih protektif dalam memperlakukan aku. Ia bahkan tidak menggangguku apalagi merayuku untuk melayaninya. Lelaki itu justru memelukku dengan alasan agar aku tidak kedinginan. Dan aku tak membantah, walau aku justru merasa gerah. “Alea,” panggilnya sembari mempermainkan anak rambut di wajahku, “aku sedang membayangkan seorang bayi cantik, duduk di pangkuanmu. Wajah cantiknya, sangat mirip denganmu. Rambutnya yang ikal dan mata bulatnya sangat indah.” “Tapi Sayang, apa kamu ingin bayi perempuan?” tanyaku yang terkejut

  • Menikahi Guru Killer   Bab 119

    “Kok bengong gitu sih?” tanyaku, “kamu jadi ikutan kecewa, ya?” Tapi Pak Jonathan justru menggelengkan kepalanya. “Kemari … kemari Alea. Kita coba sekali lagi.”“Pak buntal, kalau memang hasilnya negatif. Mau sepuluh merk yang berbeda juga bakal negatif, kan.” “Tapi ini nggak negatif, Al. Ini sama sekali nggak negatif,” ucap Pak Jonathan.“Hah! Kok bisa?” “Kemari! Kita cek dengan merk yang lain.” Sekali lagi Pak Jonathan mencelupkan benda mungil itu, hanya seujung kecil, dibawah garis tanda selama beberapa detik dan mengangkatnya. Tak berapa lama kemudian garis itu muncul, memperlihatkan tanda saling silang di dalam lingkarannya. “Positif!” teriak Pak Jonathan dengan gembiranya. “Ini positif, Sayang!” Lelaki itu langsung memeluk tubuhku dan meluncurkan kecupannya di kedua pipiku, di dahiku … di seluruh wajahku secara bertubi-tubi. “Alea, cintaku, makasih ya. Ini hadiah paling indah yang pernah aku dapatkan seumur hidupku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Ia

  • Menikahi Guru Killer   Bab 118

    “Pak Buntal! Kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan frustasi. Kenapa dia langsung pergi tanpa mengatakan apapun? Apa dia tahu apa yang sedang kualami? Apa dia menjauh karena takut ketular? Lelaki itu mengusap tubuhnya dengan handuk sembari menoleh kepadaku. “Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku harus beli sesuatu.” “Beli sesuatu? Aku nggak boleh ikut?” tanyaku lagi. “Nggak. Aku segera kembali,” ucapnya kali ini dengan terburu-buru ia memakai kemeja dan celana pantainya. Baru saja ia hendak membuka pintu kamar mandi, ia kembali melangkah ke arahku dan mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningku. “Alea, aku akan segera kembali. Tunggu ya. Tunggu aku di sini,” pamitnya sebelum benar-benar meninggalkanku sendirian. Iya! Dia benar-benar meninggalkan aku sendirian di sini. Di kamar ini. Aku menghela napas dan kupejamkan mataku, menikmati hangatnya air di dalam bak penuh kelopak mawar. Aromanya bahkan membuat perasaanku jauh lebih tenang. Pak Jonathan nggak mungk

  • Menikahi Guru Killer   Bab 117

    Kukeluarkan isi perutku begitu saja. Tentu saja kejadian itu membuat Pak Jonathan terkejut. Dan kali ini aku tak mungkin lagi bisa menyembunyikannya. “Alea, kamu nggak papa?”“Nggak papa, mungkin cuman masuk angin.” “Kamu yakin cuman masuk angin?” tegasnya lagi. Tatapannya jelas menunjukkan kecurigaannya. Haruskah aku mengatakan semuanya sekarang? Tapi … aku tidak mau dia kembali terpukul.seperti saat kehilangan kekasihnya. Haruskah aku menjauh darinya agar ia tidak kembali tersakiti. Tapi aku tak yakin bisa hidup tanpa dia. “Alea,” panggilnya sembari membersihkan bibirku dengan sehelai tisu di tangannya, “aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu.:Aku langsung menggeleng cepat. “Enggak! Memangnya apa yang harus aku sembunyikan?”“Kamu … kamu keliatan aneh hari ini. Tidak seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan,” ungkapnya tentang kecurigaan yang dirasakannya. “Aku nggak suka kepang. Rambutku jadi rusak, kan,” keluhku mengabaikan perkataannya. “Selesai!”

  • Menikahi Guru Killer   Bav 116

    “Jadi beneran udah nggak mau ngomong lagi sama aku, nih?” Aku diam tak menjawab, tentu saja masih dengan perasaan kesal karena sama sekali tak menyangka bahwa dia akan cemburu bahkan pada orang-orang yang sama sekali tak kukenal. Haruskah dia seposesif itu?“Ah … itu kedai gelatonya,” ucapnya. Mendengar itu, mau tak mau aku mengangkat wajahku, mencari tahu kebenaran kalimat yang diucapkannya. Tapi tidak ada kedai gelato semacam itu di depanku. Dia hanya sedang mengalihkan perhatianku saja.Aku melepaskan genggaman tanganku dan hanya terus melangkah menyusuri trotoar yang dipadati oleh pejalan kaki. Tak tahu kenapa perasaanku menjadi semakin kacau. Untung saja tak berapa lama kemudian, aku melihat sebuah kedai gelato. Seharusnya dinginnya gelato dan rasa manis legitnya dapat menenangkan perasaanku. Masih dengan mengabaikan keberadaan lelaki di sisiku, aku masuk ke dalamnya dan membeli tiga scoop varian rasa favoritku. “Sayang … kamu mau ngambek sampe kapan,” tanyanya sembari duduk

  • Menikahi Guru Killer   Bab 115

    “Alea,” panggil Pak Jonathan dari suaranya kurasa dia sudah merasa kesal. Tapi aku tetap mengacuhkannya. Tapi tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Bule ganteng yang sedang bawa papan surfing ke arahku itu sama sekali tak terlihat.“Pak buntal! Apaan sih,” tegurku sembari menepiskan tangannya yang sedang menutupi mataku. “Kamu tuh, macam nggak pernah liat cowok ganteng aja,” jawabnya. “Nah … kamu sendiri?” Aku pun tak mau kalah. “Udah … udah, yuk. Kita ke tempat lain saja,” sahutnya mengakhiri perdebatan kami. “Nggak mau,” rengekku, “aku masih mau di sini.” “Ya udah, kalau gitu aku jalan dulu, ya,” pamitnya dan langsung berdiri dari sisiku. Tentu saja aku nggak mau ditinggal sendirian. Kupegang tangannya, menahannya agar tak beranjak dari sisiku. “Eh … eh. Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan enggan. “Jalan. Seingatku ada kedai gelato di sana,” jawabnya sembari menunjuk ke suatu arah. Mendengar kata gelato, membuat semangatku kembali lagi. Membayangkan rasa ding

  • Menikahi Guru Killer   Bab 114

    Aku menggigit bibirku, berusaha menahan rasa sakit yang masih bisa kurasakan saat benda berukuran besar itu tenggelam di dalamku. Bahkan aku dapat merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Dalam posisi ini, belalai itu bahkan tenggelam lebih dalam lagi. Lebih dari biasanya. Pak Jonathan memegang pinggangku. Dengan mata terpejam ia berusaha membimbingku agar aku mulai bergerak naik dan turun. “Sayang, bergeraklah,” pintanya, “jangan menjepitku seperti ini.” Kuikuti arahannya dengan hati-hati. Entah apa yang dirasakannya, saat aku mulai bergerak, suara erangan keluar dari bibirnya. Tangannya yang semula berada di pinggangku, kini dengan nakalnya membelai tubuhku, menyentuh sepasang gumpalan padat dan meremasnya kuat. Heh! Kenapa sensasi yang kurasakan saat ini begitu hebat. Apalagi saat aku mempercepat gerakanku. Setiap gesekannya menciptakan gelitik yang membuatku melayang dan menginginkan lebih. Bahkan di dalam sana aku merasa penuh, sesak, membuat kedut-kedut itu sema

  • Menikahi Guru Killer   Bab 113

    “Tapi kenapa harus mawar? Dan … kenapa di atas ranjang kita?” tanyaku. Pasti ada alasan dia meletakkan kelopak mawar di atas ranjang kami, walau ia tahu akan tak nyaman rasanya untuk tidur diatasnya.Tapi Pak Jonathan justru tersenyum. “Aku hanya ingin melihat mawarku berada di antara bunga mawar lainnya,” tuturnya, “dan … kau tahu, mawarku paling cantik diantara ratusan mawar di kamar ini.” “Hah! Mana ada. Aku manusia, bukan bunga, Pak Buntal,” sahutku sembari mencubit pinggangnya, walau jujur dalam hatiku berbunga-bunga mendengar rayuannya. “Kamu tahu … aku paling suka liat wajah kamu yang memerah seperti sekarang ini,” pujinya lagi, “terlihat begitu ….”Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “... sexy.” Aku menelan kasar salivaku. Gemuruh di dadaku, terasa begitu hebat. Bahkan membuatku gelisah, seandainya saja Pak Jonathan bisa mendengarkan suaranya. Hanya bayangan diriku yang terlihat dengan jelas dalam sepasang mata jernihnya, seakan menyatakan hanya aku yang ada

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status