Mau tak mau, aku membuka pintu kamarku. Kuberanikan diri menatap wajah guru yang hampir tiga tahun ini mengajar kelas matematikaku.
“Pak Jonathan nggak mau nikah sama aku, kan? Aku juga nggak mau,” cicitku langsung setelah membuka pintu, "jadi ... nggak usah perpanjang masalah ini. Bapak pulang dan kita lanjutkan hidup kita masing-masing." “Boleh aku masuk?” Aku terkejut ketika lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamarku. Baru kali ini ada lelaki selain papa yang dengan beraninya masuk ke kamarku. Lelaki itu bahkan memperhatikan setiap sudut kamarku sebelum duduk di atas kursi meja belajarku. “Benar, pada awalnya aku juga sepertimu. Aku menolak perjodohan ini. Persis sama sepertimu. Tapi ….” Lelaki itu menundukkan kepalanya seperti ada sesuatu beban dalam pikirannya yang ingin disampaikannya padaku. “Tapi apa? Bapak nggak bisa nolak?” tanyaku sebelum berdecih. Bagaimana mungkin guru segalak dia ternyata bisa selemah ini. Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tanganku. “Kakekku sedang sakit. Kakekku ingin pernikahan itu dilaksanakan sebelum beliau meninggal. Kakekku tidak ingin malu karena ingkar, saat bertemu dengan kakekmu di surga kelak.” Aku menatap sepasang mata dengan sorot lembut itu. Kurasakan kedamaian dan ketenangan di dalam sana. Pak Jonathan sama sekali berbeda dari biasanya. Tatapan galaknya sama sekali tidak terlihat saat ini. “Pernikahan itu akan kita langsungkan besok. Dengan cara sederhana, jadi tak akan ada seorangpun yang tahu,” lanjutnya, “aku tahu ini berat buat kamu. Begitu juga buat aku. Tapi … kita pasti bisa melewati semuanya bersama.” Aku menggelengkan kepalaku sebelum tertawa. “Bapak bercanda, kan?” tebakku, “tapi ini sama sekali nggak lucu. Bukannya Bapak benci Alea? Hampir tiap hari Bapak tegur dan marah-marah sama Alea. Tapi sekarang … justru Bapak mau maunya nikahin Alea. Parah nih si Bapak." Pak Jonathan mengangkat kedua tangannya. “Baiklah, maaf. Itu karena aku kesal harus menikahi bocah seperti kamu,” akunya, "jadi aku lampiaskan semuanya padamu." “Siapa juga yang mau nikah? Masih banyak list yang ingin kunikmati di masa remajaku,” sahutku dengan ketus, “aku nggak mau jadi ibu-ibu berdaster sebelum semua yang ada dalam list ku terpenuhi.” “List apaan?” tanyanya seolah peduli. “Ini!” Kutarik buku harianku dan membukanya tepat di halaman terdepannya. Kulihat sepasang mata itu tiba-tiba saja melotot. Iya … dia melotot ketika membaca buku itu. Tapi kenapa? Apa aku menulis sesuatu yang salah? “Mendaki gunung bersama, berkemah, merebut hati Doni, nonton bareng Doni, liburan ke pantai, bikini foto sama teman-teman, masuk perguruan tinggi, nonton konser rame-rame, liburan keluar negeri ….” Pak Jonathan membacanya dengan cepat dan sekeras mungkin. Aku langsung menutup buku itu cepat-cepat. Astaga! Kenapa juga aku menulis hal-hal konyol semacam itu. Bahkan dengan bodohnya aku memperlihatkan langsung padanya. “Doni … apa itu kapten team basket sekolah kita?” tanyanya setelah tawanya reda. Aku meliriknya dengan tajam. Sungguh! Aku nggak nyangka kalau dia bukan cuman guru yang galak. Tapi dia juga lelaki yang menyebalkan! “Mau tau aja!” “Alea, aku janji deh. Kamu boleh pacaran sama tuh kapten basket, bikini foto, lingerie foto atau apapun juga nanti. Kamu bebas mau ngelakuin apa saja, kok,” ucapnya serius, “aku nggak peduli, asal kakekku bisa tenang. Kondisinya benar-benar sudah kritis sekarang.” Aku menatapnya dengan curiga. “Beneran nih?” Lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Aneh! Itu yang ada dalam benakku. Bagaimana bisa seseorang menikah, tapi tidak peduli apapun yang dilakukan oleh pasangannya. Bebas melakukan apapun, layaknya seorang single. “Kita dengan hidup kita masing-masing.” "Nggak ada malam pertama! Cuma suamiku yang boleh sentuh aku nantinya," imbuhku tak mau merugi. "Oke." Aku menarik sudut bibirku, memberikan seulas senyuman padanya. “Deal!” ucapku sambil mengulurkan tangan kananku. Setidaknya dengan begini aku nggak perlu bersitegang terus dengan papa. Selain itu setidaknya aku memegang kartu as guru tergalak di sekolahku. Dia pasti mau membantuku dalam setiap kesulitanku di sekolah mulai saat ini. Kurasakan kehangatan saat tangan itu menyambut uluran tanganku. Walau keraguan masih terselip di hatiku. Keraguan tentang masa depan pernikahan aneh yang kami sepakati. *** “Jangan lupa, siang nanti tunggu aku di halte depan,” perintah Pak Jonathan siang itu di sela jam istirahat sekolahku. “Bapak yakin kita harus berangkat bareng?” sahutku mengungkapkan perasaan gelisahku, “gimana kalau ada yang lihat terus mereka curiga?” “Udahlah, nggak bakal ada yang curiga. Kalaupun ada yang curiga, serahkan saja padaku. Biar aku yang jawab mereka,” sahutnya dengan begitu optimisnya. “Resikonya Bapak bisa diberhentiin loh, Pak. Dan aku … aku bisa dikeluarin dari sekolah,” lanjutku, “mana ujian tinggal beberapa bulan lagi, juga.” “Udah, aman kok. Kujamin, pasti aman,” sahutnya. Aku mengedikkan pundakku dengan pasrah. “Kenapa lagi, Pak Jonathan? Apa Alea bikin masalah lagi, Pak?” Suara lembut itu terdengar di telingaku. Suara yang hampir setiap hari mengisi hari-hari membosankanku di sekolah ini. “Enggak, Bu Ella. Aku cuman memberinya tambahan tugas sebagai kompensasinya kemarin,” dusta Pak Jonathan. “Oh … syukurlah,” sahut Bu Ella, wali kelasku yang juga adalah guru termuda di sekolahku itu, “aku nggak suka ada siswa di kelasku yang bermasalah.” “O iya, Bu Ella, aku dengar Ibu akan bertunangan hari Minggu nanti. Selamat ya,” ucap Pak Jonathan, yang kurasa mencoba mengalihkan arah pembicaraan wali kelasku. “Aduh, bukan aku yang akan bertunangan, tapi kakakku,” sahutnya dengan nada mendayunya yang khas, “kalo aku sih, belum dapat satu yang pas di hati.” “Ya … di pas-pasin dong, Bu. Biar nggak kelamaan, nanti keburu expired, loh,” goda Pak Jonathan. “Hmm, jangan gitu …. Lah saya kan cuman nemenin Pak Jonathan nge lajang. Biar nggak sendirian,” sahutnya masih dengan nada yang membuatku merasa geli sendiri. Bahkan dari setiap jawaban dan gestur tubuhnya, aku bisa menangkap sinyal yang sangat jelas bahwa Bu Ella sengaja memberitahukan bahwa ia menyukai Pak Jonathan. Sungguh, aku tak tahan lagi mendengar suaranya yang mendayu-dayu. “Ehm … saya permisi dulu, Pak, Bu,” ucapku dengan gaya sesantun mungkin sebelum berjalan secepat yang ku bisa untuk meninggalkan mereka. Lega rasanya bisa melepaskan diri dari dua guru yang bisa mempengaruhi nilai rapotku itu. Aku berjalan secepat mungkin tanpa menoleh ke belakang. Tentu saja karena aku tidak ingin mereka menahanku lebih lama. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Tanpa mengatakan apapun, ia terus menarikku menuju ke halaman belakang sekolah. Tempat yang sepi dan selalu berusaha kujauhi. “Lepasin, gak!” teriakku sembari menghentakkan tangan supaya terlepas dari cekalannya. “Alea, ikut aku,” ucap lelaki berseragam team basket itu tanpa melepaskan genggamannya, “ada yang mau kuperlihatkan padamu.” “Aduh! Tapi tanganku sakit. Lepasin gak.”“Iya, iya. Aku lepasin.” Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat.“Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” “Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.”“Ogah! Buat apa?” “Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” “Kamu … udah gila ya?” “Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih?Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. Senyum Doni Aryanata, teman laki-
Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini. “Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.” Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?” Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!” Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya. Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya me
Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Pak Jonathan. Rumah yang tidak bisa dibilang besar itu hanya mempunyai satu kamar tidur dan sebuah kamar yang lebih terlihat mirip gudang. Namun perabot di dalam tiap ruangnya yang terkesan minimalis, membuat kesan rumah itu terlihat lebih luas dari yang seharusnya. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur empuk. Rasa capek karena padatnya aktivitas hari ini, membuatku ingin segera memejamkan mata. Tentu saja setelah aku membasuh tubuhku terlebih dahulu. Seharusnya Pak Jonathan sudah selesai membersihkan diri. Aku bisa menebaknya karena tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam sana. Tapi kenapa dia tak juga keluar dari kamar mandi. Dia terlalu lama, sampai kandung kemihku rasanya tak sanggup lagi menahan cairan yang sejak tadi kutahan. “Pak! Pak Jonathan,” panggilku di depan pintu kamar mandi.Baru saja kuayunkan tanganku untuk mengetuk, daun pintu itu terbuka lebar. Aku dapat melihat tubuh lelaki yang kini telah jadi suamiku itu. T
Sesuatu yang bergerak di bawah panci berbahan alumunium itu, membuatku perasaan gelisahku semakin kuat. Panci yang dalam posisi tertelungkup itu bergerak tak beraturan, memperlihatkan kehadiran sebuah nyawa di dalamnya. “Ti–tikus?” Pikiranku langsung tertuju pada sosok makhluk berwarna hitam yang paling kutakuti. Sosok hitam yang dalam pikiranku adalah makhluk terjorok penghuni selokan itu selalu sukses membuatku merinding jejingkrakan. Aku segera mencari perlindungan. Dan perlindungan terdekat adalah dia! Lelaki yang ada di dekatku. “Ti–tikus!” teriakku. Kutarik dia dan kujadikan sebagai tameng dari makhluk kecil di bawah sana. “Heh! Mesum!” Suara laki-laki itu terdengar beberapa saat kemudian.Saat itulah aku menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. Sepasang tanganku merasakan padat dan kerasnya dada Pak Jonathan yang kupeluk dari belakang. Kulitnya yang masih lembab dan terbuka itu terasa begitu segar, sesegar aroma segarnya sabun yang masih melekat di kulitnya. “Heh! Mesum,
“Aku bakal … bikin semua orang di sekolah kita tahu, kalau Bapak itu nggak pantes buat jadi guru kesiswaan. Bapak cuma … cuma predator siswi di bawah umur,” cicitku kesal, “Bapak bahkan menikahi siswinya yang belum genap sembilan belas tahun.” “Silahkan saja,” sahutnya dengan angkuh, “paling juga … kita berdua dikeluarkan dari sekolah. Dan … bukan aku yang rugi, tapi kamu yang seharusnya tinggal menyelesaikan ujian akhir saja.” Aku mencebik kesal. Mau tak mau kurebahkan tubuhku dengan posisi membelakanginya. Bisa kubayangkan, setiap malam aku harus mengalami hal menyebalkan seperti ini. Seperti kebahagiaan yang biasanya ada, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Malam semakin larut dan aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Tidur di tempat yang sama sekali asing, bahkan bersama lelaki yang sebelum ini kukenali sebagai guru matematika di sekolahku. Guru temperamental yang seolah berambisi untuk menjatuhkan mentalku hanya karena tak sanggup menolak sebuah perjodohan. Tiba-tiba
Rasanya ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kekesalanku. Tidak ada sarapan, tidak ada pula ijin untuk cuti hari ini. Tidak ada kata selain si menyebalkan yang lebih pantas baginya. “Kok manyun gitu sih?” tanya Vena setengah berbisik di sela pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung, “ada masalah?” “Nggak, aku cuma sedikit lelah dan ngantuk,” balasku berbisik.“Ijin ke UKS?” sahutnya, “kamu mau tiduran sebentar, kan?” “Aku defisit lima jam istirahatku,” sahutku lagi, “bayangin … dari delapan jam, aku cuman tidur tiga jam.” “Emang ngapain aja kamu kok bisa tidur cuman tiga jam?” tanya Vena yang seperti mencurigaiku.“Aku —”“Alea! Vena! Pack your books and stationery, go to the student section and ask for punishment for your noisy chatter on my class,” perintahnya perempuan setengah baya bertubuh tambun itu. “Huu!” Suara itu berkumandang seolah paduan suara yang mengiringi gerakan kami mengemas semua harta benda kami yang terserak di atas meja.“Habislah kita!” Gumamk
“Tentu saja. Aku bukan teman yang suka mengobral gosip sahabat aku sendiri. Tenang aja,” sahut Vena dengan cepat. Aku menarik sudut bibirku, memberikannya seulas senyuman. “Doni nembak aku kemaren.” “Hah!” Sepasang mata gadis di hadapanku membulat. “Kamu yakin itu yang bikin kamu gelisah beberapa hari terakhir?” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja aku tidak mungkin memberitahunya kalau penyebab kegelisahanku adalah Pak Jonathan, karena guru yang paling kuhindari itu ternyata harus menjadi suamiku. “Aku belum memberinya jawaban,” sahutku memberikan alibi tambahan. “Alea … Alea. Aku pikir masalah besar apa, ternyata cuman gara-gara si kapten basket itu lagi,” cetus Vena yang tampaknya agak kecewa mendengar berita itu. “Apa dia segitu penting sampai kamu nggak bisa tidur?” “Sepertinya,” sahutku. “Ya udah, terima aja. Nggak usah dibikin susah. Cuman … kamu mesti siap mental buat dijadiin mantan dalam daftarnya,” tuturnya lagi, “kamu siap?” Aku menganggukkan kepalaku. “S
“Lea, be my valentine!” Ucap lelaki muda itu sembari memberikan sekotak coklat berpita merah muda. Aku meraih coklat yang bertema brown and white itu. “Wah … kamu sengaja mau bikin aku gendut, ya?” Doni menarik kembali kotak coklat itu. “Enggak … enggak, kok. Nggak papa kalo kamu nggak mau. Aku bisa kasih kamu hadiah valentine lain.” “Leh, kok diambil lagi. Ntar bisulan loh,” sahutku sambil menyambar kembali coklat itu, “cewek mana sih, yang nggak suka coklat.” Aku bisa melihat senyum kelegaan di wajahnya. Tentu saja, dia tidak perlu mencari tahu lebih lagi tentang kesukaanku jika aku menerima coklat pemberiannya. “Nanti sore … kita jalan, yuk.”“Kemana?” “Hmm … kamu mau kemana? Aku antar kamu sampe ke ujung dunia sekalipun,” jawabnya dengan gombalannya yang sangat jelas. “Hmm … tapi besok ada tes kimia. Aku nggak bisa,” sahutku. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Rasanya tak tega untuk menolaknya terus, apalagi aku sudah memberikan harapan dengan menerima cintanya, bahka