“Aku bakal … bikin semua orang di sekolah kita tahu, kalau Bapak itu nggak pantes buat jadi guru kesiswaan. Bapak cuma … cuma predator siswi di bawah umur,” cicitku kesal, “Bapak bahkan menikahi siswinya yang belum genap sembilan belas tahun.” “Silahkan saja,” sahutnya dengan angkuh, “paling juga … kita berdua dikeluarkan dari sekolah. Dan … bukan aku yang rugi, tapi kamu yang seharusnya tinggal menyelesaikan ujian akhir saja.” Aku mencebik kesal. Mau tak mau kurebahkan tubuhku dengan posisi membelakanginya. Bisa kubayangkan, setiap malam aku harus mengalami hal menyebalkan seperti ini. Seperti kebahagiaan yang biasanya ada, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Malam semakin larut dan aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Tidur di tempat yang sama sekali asing, bahkan bersama lelaki yang sebelum ini kukenali sebagai guru matematika di sekolahku. Guru temperamental yang seolah berambisi untuk menjatuhkan mentalku hanya karena tak sanggup menolak sebuah perjodohan. Tiba-tiba
Rasanya ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kekesalanku. Tidak ada sarapan, tidak ada pula ijin untuk cuti hari ini. Tidak ada kata selain si menyebalkan yang lebih pantas baginya. “Kok manyun gitu sih?” tanya Vena setengah berbisik di sela pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung, “ada masalah?” “Nggak, aku cuma sedikit lelah dan ngantuk,” balasku berbisik.“Ijin ke UKS?” sahutnya, “kamu mau tiduran sebentar, kan?” “Aku defisit lima jam istirahatku,” sahutku lagi, “bayangin … dari delapan jam, aku cuman tidur tiga jam.” “Emang ngapain aja kamu kok bisa tidur cuman tiga jam?” tanya Vena yang seperti mencurigaiku.“Aku —”“Alea! Vena! Pack your books and stationery, go to the student section and ask for punishment for your noisy chatter on my class,” perintahnya perempuan setengah baya bertubuh tambun itu. “Huu!” Suara itu berkumandang seolah paduan suara yang mengiringi gerakan kami mengemas semua harta benda kami yang terserak di atas meja.“Habislah kita!” Gumamk
“Tentu saja. Aku bukan teman yang suka mengobral gosip sahabat aku sendiri. Tenang aja,” sahut Vena dengan cepat. Aku menarik sudut bibirku, memberikannya seulas senyuman. “Doni nembak aku kemaren.” “Hah!” Sepasang mata gadis di hadapanku membulat. “Kamu yakin itu yang bikin kamu gelisah beberapa hari terakhir?” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja aku tidak mungkin memberitahunya kalau penyebab kegelisahanku adalah Pak Jonathan, karena guru yang paling kuhindari itu ternyata harus menjadi suamiku. “Aku belum memberinya jawaban,” sahutku memberikan alibi tambahan. “Alea … Alea. Aku pikir masalah besar apa, ternyata cuman gara-gara si kapten basket itu lagi,” cetus Vena yang tampaknya agak kecewa mendengar berita itu. “Apa dia segitu penting sampai kamu nggak bisa tidur?” “Sepertinya,” sahutku. “Ya udah, terima aja. Nggak usah dibikin susah. Cuman … kamu mesti siap mental buat dijadiin mantan dalam daftarnya,” tuturnya lagi, “kamu siap?” Aku menganggukkan kepalaku. “S
“Lea, be my valentine!” Ucap lelaki muda itu sembari memberikan sekotak coklat berpita merah muda. Aku meraih coklat yang bertema brown and white itu. “Wah … kamu sengaja mau bikin aku gendut, ya?” Doni menarik kembali kotak coklat itu. “Enggak … enggak, kok. Nggak papa kalo kamu nggak mau. Aku bisa kasih kamu hadiah valentine lain.” “Leh, kok diambil lagi. Ntar bisulan loh,” sahutku sambil menyambar kembali coklat itu, “cewek mana sih, yang nggak suka coklat.” Aku bisa melihat senyum kelegaan di wajahnya. Tentu saja, dia tidak perlu mencari tahu lebih lagi tentang kesukaanku jika aku menerima coklat pemberiannya. “Nanti sore … kita jalan, yuk.”“Kemana?” “Hmm … kamu mau kemana? Aku antar kamu sampe ke ujung dunia sekalipun,” jawabnya dengan gombalannya yang sangat jelas. “Hmm … tapi besok ada tes kimia. Aku nggak bisa,” sahutku. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Rasanya tak tega untuk menolaknya terus, apalagi aku sudah memberikan harapan dengan menerima cintanya, bahka
“Bantu apa? Panggil ambulans?” tanyanya dengan wajah cemas yang sangat kentara.“Nggak usah lebai, Pak,” sergahku yang semakin kesal dengan kecemasannya yang berlebihan. “Tapi kamu sakit Lea,”“Apa Bapak nggak pernah lihat cewek kalo lagi siklus?”“Maksudmu?” “Iya, siklus sebulanan. Aku butuh kompres hangat, pereda nyeri dan pembalut. Bisa Bapak beliin di toko merah depan komplek?”“Apa saja?” tanyanya lagi.“Pereda nyeri, pembalut dengan sayap.” “A–aku berangkat sekarang,” sahutnya cepat-cepat memakai kembali kaos oblong untuk menutupi kesempurnaan tubuhnya. Aku beranjak dari ranjangku begitu Pak Jonathan keluar dari rumah. Kucari sebuah botol, lalu kuisi dengan air panas. Rasanya begitu nyaman ketika benda hangat itu bersentuhan dengan perutku. Rasa nyeri itu sedikit berkurang karena kehangatan yang kurasakan.“Ini semua yang kamu butuhkan.” Pak Jonathan meletakkan kantong belanjanya. Kantong belanja yang cukup besar itu justru membuatku merasa curiga.Aku segera meraih kantong
Aku nyaris terpingkal mendengar kelatahan wali kelasku itu. Aku benar-benar tak menduga kalau dia latah. Bahkan hanya mendengar suara panci saja, ia sudah berteriak dengan kata-kata tanpa arti yang jelas. “Padahal nggak ada kuda di rumah kami. Kenapa nggak sekalian aja sama ‘dokar’nya disebut. Biar lengkap,” gumamku dalam hati.Tingkahnya sama sekali tak terlihat anggun, seperti gaya yang biasa ditampilkannya di hadapan kami, para siswanya.“Maaf, saya benar-benar kaget Pak,” ucapnya kembali dengan suara mendayunya yang khas, “apa nggak sekalian ditegur saja, pembantunya Pak. Kalau keterusan, bisa-bisa … barang-barang di rumah Pak Jo habis dirusaknya.” “Saya nggak ada pembantu, Bu.” Pak Jonathan menjawab pertanyaan itu dengan tenang. Sebuah jawaban yang aku yakin membuat Bu Ella merasa heran. “Lalu … itu tadi, siapa yang ngejatuhin barang?” tanya perempuan itu.“Ah … biasa. Barang-barang di dapur saya memang hobinya jalan-jalan sendiri, Bu. Kadang seperti tadi, melompat dari tempat
“Kok ada Pak Jonathan, sih?” gumamku menanggapi pertanyaan Doni. “Nggak masalah kan?” Jawaban itu spontan membuatku kaget. Jangan-jangan … justru Doni lah yang mengundangnya untuk datang kemari.“Nggak masalah gimana? Dari sekian bioskop yang bisa dia kunjungi, gimana caranya dia bisa datang ke tempat yang sama dengan kita?” gumamku.“Ya … terus terang, sih. Waktu aku lagi book online tiket ini, aku kepergok sama dia,” aku Doni sembari menggaruk rambut hitamnya yang bermodel ala oppa-oppa korea, “dan dia malah nitip book satu tiket lagi ke aku.” “Duduk di sebelah kita?” tanyaku untuk memastikan. “Enggak sih, nggak di sebelah kita.” Jawaban itu cukup membuatku tenang. Bisa kubayangkan kalau Pak Jonathan duduk tepat di sampingku. Atau … di samping Doni. Dia pasti akan mengawasi kami, bukan film di hadapannya. Dan sudah pasti, itu akan sangat menyebalkan. Bukankah dia sudah berjanji akan membiarkan aku melakukan semua keinginanku. Tapi … kenapa dia justru menguntit aku sampai sejau
“Nggak usah sok sok’an ngambek! Seharusnya aku yang marah sama kamu.” Aku menoleh menatap lelaki yang kini berada di sisiku, menatap sekelilingnya seolah mencari sesuatu di sekitarnya.Wait, what? Dia yang lebih pantas ngambek? Bagaimana bisa? Jelas-jelas aku yang dirugikan. “Ya jelaslah aku marah. Bapak itu nggak nepatin kesepakatan kita,” balasku, “Bapak malah nguntit aku seperti … sengaja ingin mengacaukan hubunganku.” “Itu karena kamu juga nggak nepatin kesepakatan kita,” jawabnya, “kamu kabur di hari kebersihan. Lalu kamu lalai dengan kucing kamu, dan itu merugikan aku karena harus membereskan pup nya dan memberinya makan. Itu juga kesepakatan kita.”“Tapi Pak. Itu nggak sepadan dengan yang Bapak lakukan,” elakku, “Bapak mencampuri urusanku bahkan mengganggu kencan pertamaku.”Pak Jonathan mengedikkan pundaknya. “Aku lakukan itu buat kamu.” What? Sekarang dia justru mengatasnamakan aku. “Aku juga punya kesepakatan dengan Om Wenang buat jaga kamu,” tuturnya, “bagaimana jika l
Kurasakan hangatnya hembusan napas di leherku. Seperti menyapu di setiap inci kulit leherku, memagut dengan liar bersama napasnya yang memburu. Tangannya dengan gesit menarik lepas kaos berukuran jumbo yang kupakai. Gegas aku menyilangkan kedua tanganku, menutupi sepasang gundukan kenyal, tempat Kiara biasa mendapatkan nutrisinya. “Kamu makin seksi, Alea.” “Ish! Emang dulu enggak?” “Semakin berisi dan menggemaskan,” godanya sembari menarik tanganku yang berusaha menyembunyikan puncak dadaku. Bagian berwarna merah itu saat ini sedang membengkak lebih dari biasanya karena Kiara sering kali menggigitnya, dan aku malu untuk sekedar memperlihatkannya. Tapi … Pak Jonathan justru tersenyum saat melihatnya. Dan, sumpah! Itu membuatku semakin nggak percaya diri. Tapi lagi-lagi Pak Jonathan justru menahan tanganku agar aku tak bisa lagi menyembunyikannya. Tangannya menggapai dan mengusap di puncaknya, menciptakan sensasi yang membuatku tak mampu menahan desah yang keluar dari bibirku.Sen
Suara tangis itu menyadarkan aku. Samar kulihat bayi dengan kulitnya yang merah menangis dengan kencangnya. “Bayi perempuan yang cantik. Semuanya lengkap, sempurna.” Seorang perawat memperlihatkan bayi itu kepadaku. Namun aku merasa tanpa daya, bahkan untuk mengucapkan sebuah kata. Ingin kusentuh makluk mungil itu, namun aku tak sanggup untuk meraihnya. Mungkin efek dari anestesi itu benar-benar kuat di tubuhku. Dan aku kembali ke alam bawah sadarku.Saat aku terjaga, aku telah berada di dalam ruang kamar inapku. Ruangan dengan wallpaper bernuansa merah jambu itu seperti sengaja di desain untuk penghuninya. Rasa dingin itu terasa sampai ke tulangku. Aku benar-benar menggigil seperti sedang berada dalam lemari pendingin. Bahkan selimut yang menutup tubuhku seperti tak berarti. “Alea … kamu sudah sadar?” tanya Pak Jonathan sembari menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat sangat cemas. “Dingin,” ucapku. Pak Jonathan segera menekan tombol di dinding untuk memanggil tenaga medis.“Ap
“Dia menendangku! Aku bisa merasakannya!” teriak Pak Jonathan dengan wajah sumringah seakan baru pertama kalinya merasakan gerakan bayi di dalam perutku. Tentu saja, ini bukan yang pertama kalinya. Apalagi di usia kehamilanku yang sudah sembilan bulan ini. Ia bukan hanya menyentuh dan mengamati perutku sekali ini saja, tapi hampir setiap malam!Kini hanya tersisa beberapa hari sebelum jadwal kelahiran putra pertama kami. Sepertinya ia lebih kerap memperhatikan perutku. Gerak yang membuat perutku menjadi tak simetris pun, tak luput dari pandangannya. “Kamu nggak takut, kan?” tanyanya.“Jujur. Aku takut.” Pak Jonathan tersenyum, namun terlihat canggung. “Aku … sebenarnya aku juga. Aku mungkin … justru lebih takut dari kamu, Alea.” “Takut?” “Iya, aku takut tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku takut tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik buat anak kita. Aku takut gagal menjadi seorang imam dalam keluarga kecil kita,” sahutnya.Aku menarik sudut bibirku. “Kamu itu suami yang palin
“Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat
Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin
“Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau
“Marsha memberitahukan kalau dia akan datang pada saat reuni akbar sekolah kami nanti.” Aku langsung melotot saat mendengar nama acara itu. Bukan karena aku tidak pernah mendengarnya, tapi karena aku sering membaca di media sosial bahkan cerita-cerita orang tentang acara reuni seperti ini. Acara yang justru menjadi awal perpecahan sebuah rumah tangga. “Lalu … kamu juga mau datang buat ketemu dia?” tanyaku sekali lagi tanpa sebuah basa basi. “Acara itu sebenarnya ajang paling tepat untuk mencari koneksi, memperluas hubungan kerja.” Jawaban itu sebenarnya membuatku langsung bisa memprediksi bahwa ia ingin datang walau apapun alasannya. Aku juga pasti akan terlihat konyol jika harus menahannya untuk tidak pergi. Seperti … seorang istri pencemburu yang bahkan menghalangi kemajuan langkah suaminya. “Al, kamu percaya kan, sama aku?” tanyanya sembari menatap mataku lekat lekat.Aku menarik napas panjang dan terpaksa menganggukkan kepalaku walau sejujurnya firasatku mengatakan yang sebal
“Gimana? Yang ini atau yang ini?” tanyaku sementara kedua tanganku memegang dua hanger kaos pilihanku. Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. “Nggak … sepertinya itu nggak cocok buat aku.” Sesaat kemudian, lelaki itu kembali mencari pakaian yang cocok untuknya. Kuletakkan kembali kedua hanger itu di tempatnya. Sudah cukup banyak model yang sudah kurekomendasikan buatnya, tapi belum satupun yang dipilihnya. Entah pakaian seperti apa yang sebenarnya ingin dicarinya. “Cari kaos untuk papanya, Kak?” sapa seorang yang memakai seragam pramuniaga toko, “sepertinya kemeja akan lebih cocok untuk lelaki seusia papa kakak, jika dibandingkan dengan t shirt.” Wait! Ini sudah yang ketiga kalinya Pak Jonathan dianggap sebagai papaku. Padahal usianya cuma berjarak belasan tahun saja. “Dia suami saya, Kak,” sahutku sekali lagi memberinya sebuah pembenaran, “dia sedang cari pakaian santai yang nyaman dan tidak membuatnya terkesan lebih tua dari usianya.” “Kemeja dengan corak yang cerah, mungkin,”
“Ini Non, susunya lekas di minum, keburu dingjn.” Mbak Santi meletakkan susu hamil yang sengaja dibelikan oleh Pak Jonathan untuk menunjang nutrisiku. Sejujurnya aku merasa enggan untuk meminumnya. Bukan karena rasanya, tapi karena aromanya yang membuat perutku berontak tak ingin menerimanya. Tapi mau gimana lagi, aku juga tidak ingin bayiku kekurangan nutrisi karena aku terus memuntahkan semua yang masuk ke dalam perutku. Kucepit hidungku dan segera menegak cairan berwarna putih yang ada di dalam gelasnya hingga tandas, sebelum memasukkan permen kenyal berbentuk hamburger ke dalam mulutku. “Loh, Non mau kemana? Ke kantor lagi?” tanya Mbak Santi saat melihatku langsung mengambil sling bag kecil yang biasa kupakai. “Iya, Mbak. Mau belanja sama Pak Jonathan,” sahutku, “ada titipan?” “Beli sabun sekalian sama pembersih lantai ya, Non. Stoknya udah menipis,” jawabnya cepat. “Udah? Itu aja kan?” “Iya Non.” Setelah mencatat semua keperluan itu di dalam otakku, aku p