Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini.
“Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.”
Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?”
Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!”
Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya.
Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya membuatku sedikit sulit mengikuti langkah panjangnya.
“Pak Jonathan,” panggilku dengan sedikit terengah karena harus melangkah dua kali lebih cepat dari biasanya, “Bu Ella naksir Bapak, kan? Apa nggak sebaiknya aku tukeran posisi sama dia?”
Lelaki itu sama sekali tidak memperlambat langkahnya. Namun ia justru berhenti dan gerakan tiba-tiba itu membuat kepalaku terbentur pada dadanya yang terasa cukup keras.
“Kamu pikir kakek bisa semudah itu tertipu? Dia sudah tahu wajahmu,” sahut Pak Jonathan, “dan … apa kamu kira, aku mau menikah dengan Bu Ella tanpa cinta?”
Kalimat itu terlalu aneh bagiku. “Tapi Bapak juga menikah denganku tanpa cinta.”
“Tapi kamu nggak bakal salah paham. Bagaimana dengan dia?”
Ah … benar juga. Bu Ella pasti tak akan pernah mau melepaskan Pak Jonathan seandainya dia ada di posisiku.
Lelaki itu memegang kedua pundakku. Tatapannya terlihat begitu serius, bahkan terlihat begitu mengintimidasi.
“Kita masuk ke dalam. Jangan bicara yang aneh-aneh. Kalau terjadi sesuatu sama kakek, aku nggak bakal maafin kamu.”
Aku benar-benar tak menduga jika guru terkejam di sekolahku itu sangat menyayangi kakeknya, hingga rela dinikahkan dengan wanita yang sama sekali asing baginya.
Deg!
Deg!
Deg!
Debaran jantungku terasa begitu kencang ketika Pak Jonathan mengucapkan kalimat qabul di hadapan penghulu yang sengaja di undang ke rumah sakit itu.
“Saya terima nikahnya Alea Putri binti Harya Wenang dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar sepuluh juta rupiah dibayar tunai,” ucap Pak Jonathan dengan satu tangan bertaut dengan tangan papaku.
“Bagaimana para saksi?”
Para tamu yang menjadi saksi peristiwa itu saling berpandangan seolah mendiskusikan apa yang mereka lihat saat itu. Dan tak lama kemudian suara mereka pu terdengar mengamini pertanyaan sang penghulu.
“Sah!”
“Sah!”
Ucapan para saksi terdengar silih berganti mengamini acara ijab yang berlangsung seadanya itu. Ruang kamar VVIP itu terasa begitu syahdu saat ucapan syukur berkumandang memenuhi ruangan. “Alhamdulillah!”
Semua terlihat bahagia, seolah pernikahan ini benar-benar hal yang mereka inginkan. Tak terkecuali papaku. Ia sama sekali tak terlihat mencemaskan aku yang bahkan sudah menolak rencana ini dari awal berita ini kuketahui.
Kuamati wajah lelaki tua yang terbaring dengan banyak alat bantu terjalin di tubuhnya. Suara mesin yang terdengar dinamis dengan ritme yang teratur memperlihatkan kondisinya yang stabil.
Kutarik sudut bibirku, untuk memaksakan seulas senyuman saat para tamu undangan satu demi satu meninggalkan ruangan kamar itu. Hingga tersisalah Om dan Tante keluarga Darius yang masih sibuk bercakap dengan papaku.
“Dik Wenang, terima kasih loh. Sudah mengijinkan Alea menikah dengan Jonathan. Papa kita pasti bahagia karena sudah menuntaskan ikrar yang mereka buat dulu,” ucap Om Darius seolah papa memberikan seekor kucing pada keluarganya.
“Ah, saya yang terima kasih. Kalau Alea sama Nak Jonathan, sudah pasti Alea akan terhindar dari pergaulan anak muda sekarang yang semakin menggila,” sahut papaku yang terdengar seolah pemuja seorang Jonathan.
“Syukurlah, kami nggak berani menunggu kedatangan kakaknya Jonathan. Kami takut nggak sempat, karena kesehatan papa yang terus menurun,” sambung Tante Indah, istri Om Darius.
Ah … jadi itu alasannya Pak Jonathan kesal. Ia ogah menggantikan kakaknya untuk menikah denganku. Tapi … seperti apa kakak Pak Jonathan? Mungkin dia seorang lelaki tua berusia empat puluhan atau bahkan menjelang lima puluh. Astaga …. Tiba-tiba saja rasa syukur hinggap di pikiranku, karena lolos dari sosok lelaki tua yang seharusnya menjadi jodohku.
“Nah …. Alea, tante sama om titip Jonathan ya. Kalau dia macem-macem, jangan ragu buat bilang sama kami,” ucap Tante Indah dengan ramahnya.
“Iya Tante.”
“Loh, kok masih panggil tante sama om,” protes Om Darius, “sekarang kamu itu putri kami juga. Panggil papa sama mama, ya.”
“Eh … iya, Pa. Ma,” ucapku dengan perasaan canggung.
Tante Indah memelukku dengan erat. Rasa hangat mengalir di tubuhku, pelukan itu seolah pelukan mama yang selalu kurindukan belakangan ini.
“Lea, sekarang kamu sudah jadi istri Jonathan,” ucap papa tiba-tiba.
Aku melepaskan pelukanku saat kurasakan tepukan lembut di punggungku.
“Jadi sebagai seorang istri, sudah seharusnya kamu tinggal bersama suami kamu, saling membantu dan melengkapi satu sama lain,” sambung papa.
Aku langsung berbalik menatap papaku. Kulebarkan kedua mataku, sengaja memberinya kode bahwa aku tidak menyukai aturan ini.
Menikahi guru sekolahku, aku sudah menyanggupinya. Tapi … tinggal bersamanya, itu tidak ada dalam perjanjian kami.
“Pa, tapi aku masih ingin tinggal sama Papa,” ucapku merajuk.
“Kamu sudah menjadi istri Jonathan. Bahkan untuk pulang ke rumah Papa, kamu harus minta ijin sama dia. Dia adalah imammu, kepala di keluarga barumu, Alea,” sahut Papa, “dan mulai sekarang Papa nggak lagi kasih kamu uang saku. Papa cuma kasih kamu SPP, karena itu masih kewajiban papa sebagai orang tua.”
Aku mengerucutkan bibirku dengan kesal. Kesalahan apa yang sudah kuperbuat hingga aku harus menanggung semua ini? Bahkan aku hampir tidak pernah melakukan kesalahan selama delapan belas tahun hidupku. Ah … mungkin hanya kenakalan-kenakalan kecil semasa aku sekolah dasar dulu.
“Pa ….”
“Alea, nggak papa. Jonathan nggak bakal nyakitin kamu, kok,” bujuk mama Indah seolah menyadari ketakutanku sebagai remaja yang belum cukup matang, “kamu boleh telpon mama kapan aja kalo suami kamu ini bandel. Mama sendiri yang bakal jewer kupingnya kalo itu terjadi.”
“Mana ada,” bantah Jonathan, “yang ada dianya yang bandel. Belum juga nikah sama dia, eh … Jo sudah dimintain bocoran soal ulangan besok.”
Mendengar kalimat itu, aku langsung mendelik kesal. Bisa-bisanya dia ceritakan semua percakapan pribadi, ah yang sebenarnya lebih mengarah ke transaksi mutualisme antara aku dan dia kepada orang tuaku.
“Alea ….”
Aku menarik sudut bibirku, memamerkan sederetan gigiku pada mereka semua.
"Iya ... iya, aku tinggal sama Pak Jonathan, deh."
Hai semua, kali ini Choco bikin karya yang bakal bikin kalian gedhek. Gedhek karena tingkah si bocah Alea yang terpaksa nikah sama guru yang sebenarnya dia benci. Sebenci apa sih? Ntar deh, kalian bisa kebayang kan tom sama jerry. Tom sama jerry tuh musuhan tapi saling sayang. Wkwkkwk... ini versi manusianya deh. Selamat menikmati.
Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Pak Jonathan. Rumah yang tidak bisa dibilang besar itu hanya mempunyai satu kamar tidur dan sebuah kamar yang lebih terlihat mirip gudang. Namun perabot di dalam tiap ruangnya yang terkesan minimalis, membuat kesan rumah itu terlihat lebih luas dari yang seharusnya. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur empuk. Rasa capek karena padatnya aktivitas hari ini, membuatku ingin segera memejamkan mata. Tentu saja setelah aku membasuh tubuhku terlebih dahulu. Seharusnya Pak Jonathan sudah selesai membersihkan diri. Aku bisa menebaknya karena tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam sana. Tapi kenapa dia tak juga keluar dari kamar mandi. Dia terlalu lama, sampai kandung kemihku rasanya tak sanggup lagi menahan cairan yang sejak tadi kutahan. “Pak! Pak Jonathan,” panggilku di depan pintu kamar mandi.Baru saja kuayunkan tanganku untuk mengetuk, daun pintu itu terbuka lebar. Aku dapat melihat tubuh lelaki yang kini telah jadi suamiku itu. T
Sesuatu yang bergerak di bawah panci berbahan alumunium itu, membuatku perasaan gelisahku semakin kuat. Panci yang dalam posisi tertelungkup itu bergerak tak beraturan, memperlihatkan kehadiran sebuah nyawa di dalamnya. “Ti–tikus?” Pikiranku langsung tertuju pada sosok makhluk berwarna hitam yang paling kutakuti. Sosok hitam yang dalam pikiranku adalah makhluk terjorok penghuni selokan itu selalu sukses membuatku merinding jejingkrakan. Aku segera mencari perlindungan. Dan perlindungan terdekat adalah dia! Lelaki yang ada di dekatku. “Ti–tikus!” teriakku. Kutarik dia dan kujadikan sebagai tameng dari makhluk kecil di bawah sana. “Heh! Mesum!” Suara laki-laki itu terdengar beberapa saat kemudian.Saat itulah aku menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. Sepasang tanganku merasakan padat dan kerasnya dada Pak Jonathan yang kupeluk dari belakang. Kulitnya yang masih lembab dan terbuka itu terasa begitu segar, sesegar aroma segarnya sabun yang masih melekat di kulitnya. “Heh! Mesum,
“Aku bakal … bikin semua orang di sekolah kita tahu, kalau Bapak itu nggak pantes buat jadi guru kesiswaan. Bapak cuma … cuma predator siswi di bawah umur,” cicitku kesal, “Bapak bahkan menikahi siswinya yang belum genap sembilan belas tahun.” “Silahkan saja,” sahutnya dengan angkuh, “paling juga … kita berdua dikeluarkan dari sekolah. Dan … bukan aku yang rugi, tapi kamu yang seharusnya tinggal menyelesaikan ujian akhir saja.” Aku mencebik kesal. Mau tak mau kurebahkan tubuhku dengan posisi membelakanginya. Bisa kubayangkan, setiap malam aku harus mengalami hal menyebalkan seperti ini. Seperti kebahagiaan yang biasanya ada, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Malam semakin larut dan aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Tidur di tempat yang sama sekali asing, bahkan bersama lelaki yang sebelum ini kukenali sebagai guru matematika di sekolahku. Guru temperamental yang seolah berambisi untuk menjatuhkan mentalku hanya karena tak sanggup menolak sebuah perjodohan. Tiba-tiba
Rasanya ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kekesalanku. Tidak ada sarapan, tidak ada pula ijin untuk cuti hari ini. Tidak ada kata selain si menyebalkan yang lebih pantas baginya. “Kok manyun gitu sih?” tanya Vena setengah berbisik di sela pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung, “ada masalah?” “Nggak, aku cuma sedikit lelah dan ngantuk,” balasku berbisik.“Ijin ke UKS?” sahutnya, “kamu mau tiduran sebentar, kan?” “Aku defisit lima jam istirahatku,” sahutku lagi, “bayangin … dari delapan jam, aku cuman tidur tiga jam.” “Emang ngapain aja kamu kok bisa tidur cuman tiga jam?” tanya Vena yang seperti mencurigaiku.“Aku —”“Alea! Vena! Pack your books and stationery, go to the student section and ask for punishment for your noisy chatter on my class,” perintahnya perempuan setengah baya bertubuh tambun itu. “Huu!” Suara itu berkumandang seolah paduan suara yang mengiringi gerakan kami mengemas semua harta benda kami yang terserak di atas meja.“Habislah kita!” Gumamk
“Tentu saja. Aku bukan teman yang suka mengobral gosip sahabat aku sendiri. Tenang aja,” sahut Vena dengan cepat. Aku menarik sudut bibirku, memberikannya seulas senyuman. “Doni nembak aku kemaren.” “Hah!” Sepasang mata gadis di hadapanku membulat. “Kamu yakin itu yang bikin kamu gelisah beberapa hari terakhir?” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja aku tidak mungkin memberitahunya kalau penyebab kegelisahanku adalah Pak Jonathan, karena guru yang paling kuhindari itu ternyata harus menjadi suamiku. “Aku belum memberinya jawaban,” sahutku memberikan alibi tambahan. “Alea … Alea. Aku pikir masalah besar apa, ternyata cuman gara-gara si kapten basket itu lagi,” cetus Vena yang tampaknya agak kecewa mendengar berita itu. “Apa dia segitu penting sampai kamu nggak bisa tidur?” “Sepertinya,” sahutku. “Ya udah, terima aja. Nggak usah dibikin susah. Cuman … kamu mesti siap mental buat dijadiin mantan dalam daftarnya,” tuturnya lagi, “kamu siap?” Aku menganggukkan kepalaku. “S
“Lea, be my valentine!” Ucap lelaki muda itu sembari memberikan sekotak coklat berpita merah muda. Aku meraih coklat yang bertema brown and white itu. “Wah … kamu sengaja mau bikin aku gendut, ya?” Doni menarik kembali kotak coklat itu. “Enggak … enggak, kok. Nggak papa kalo kamu nggak mau. Aku bisa kasih kamu hadiah valentine lain.” “Leh, kok diambil lagi. Ntar bisulan loh,” sahutku sambil menyambar kembali coklat itu, “cewek mana sih, yang nggak suka coklat.” Aku bisa melihat senyum kelegaan di wajahnya. Tentu saja, dia tidak perlu mencari tahu lebih lagi tentang kesukaanku jika aku menerima coklat pemberiannya. “Nanti sore … kita jalan, yuk.”“Kemana?” “Hmm … kamu mau kemana? Aku antar kamu sampe ke ujung dunia sekalipun,” jawabnya dengan gombalannya yang sangat jelas. “Hmm … tapi besok ada tes kimia. Aku nggak bisa,” sahutku. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. Rasanya tak tega untuk menolaknya terus, apalagi aku sudah memberikan harapan dengan menerima cintanya, bahka
“Bantu apa? Panggil ambulans?” tanyanya dengan wajah cemas yang sangat kentara.“Nggak usah lebai, Pak,” sergahku yang semakin kesal dengan kecemasannya yang berlebihan. “Tapi kamu sakit Lea,”“Apa Bapak nggak pernah lihat cewek kalo lagi siklus?”“Maksudmu?” “Iya, siklus sebulanan. Aku butuh kompres hangat, pereda nyeri dan pembalut. Bisa Bapak beliin di toko merah depan komplek?”“Apa saja?” tanyanya lagi.“Pereda nyeri, pembalut dengan sayap.” “A–aku berangkat sekarang,” sahutnya cepat-cepat memakai kembali kaos oblong untuk menutupi kesempurnaan tubuhnya. Aku beranjak dari ranjangku begitu Pak Jonathan keluar dari rumah. Kucari sebuah botol, lalu kuisi dengan air panas. Rasanya begitu nyaman ketika benda hangat itu bersentuhan dengan perutku. Rasa nyeri itu sedikit berkurang karena kehangatan yang kurasakan.“Ini semua yang kamu butuhkan.” Pak Jonathan meletakkan kantong belanjanya. Kantong belanja yang cukup besar itu justru membuatku merasa curiga.Aku segera meraih kantong
Aku nyaris terpingkal mendengar kelatahan wali kelasku itu. Aku benar-benar tak menduga kalau dia latah. Bahkan hanya mendengar suara panci saja, ia sudah berteriak dengan kata-kata tanpa arti yang jelas. “Padahal nggak ada kuda di rumah kami. Kenapa nggak sekalian aja sama ‘dokar’nya disebut. Biar lengkap,” gumamku dalam hati.Tingkahnya sama sekali tak terlihat anggun, seperti gaya yang biasa ditampilkannya di hadapan kami, para siswanya.“Maaf, saya benar-benar kaget Pak,” ucapnya kembali dengan suara mendayunya yang khas, “apa nggak sekalian ditegur saja, pembantunya Pak. Kalau keterusan, bisa-bisa … barang-barang di rumah Pak Jo habis dirusaknya.” “Saya nggak ada pembantu, Bu.” Pak Jonathan menjawab pertanyaan itu dengan tenang. Sebuah jawaban yang aku yakin membuat Bu Ella merasa heran. “Lalu … itu tadi, siapa yang ngejatuhin barang?” tanya perempuan itu.“Ah … biasa. Barang-barang di dapur saya memang hobinya jalan-jalan sendiri, Bu. Kadang seperti tadi, melompat dari tempat