Share

Bab 7

Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini. 

“Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.” 

Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?” 

Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!” 

Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya. 

Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya membuatku sedikit sulit mengikuti langkah panjangnya. 

“Pak Jonathan,” panggilku dengan sedikit terengah karena harus melangkah dua kali lebih cepat dari biasanya, “Bu Ella naksir Bapak, kan? Apa nggak sebaiknya aku tukeran posisi sama dia?” 

Lelaki itu sama sekali tidak memperlambat langkahnya. Namun ia justru berhenti dan gerakan tiba-tiba itu membuat kepalaku terbentur pada dadanya yang terasa cukup keras. 

“Kamu pikir kakek bisa semudah itu tertipu? Dia sudah tahu wajahmu,” sahut Pak Jonathan, “dan … apa kamu kira, aku mau menikah dengan Bu Ella tanpa cinta?” 

Kalimat itu terlalu aneh bagiku. “Tapi Bapak juga menikah denganku tanpa cinta.” 

“Tapi kamu nggak bakal salah paham. Bagaimana dengan dia?”

Ah … benar juga. Bu Ella pasti tak akan pernah mau melepaskan Pak Jonathan seandainya dia ada di posisiku. 

Lelaki itu memegang kedua pundakku. Tatapannya terlihat begitu serius, bahkan terlihat begitu mengintimidasi. 

“Kita masuk ke dalam. Jangan bicara yang aneh-aneh. Kalau terjadi sesuatu sama kakek, aku nggak bakal maafin kamu.” 

Aku benar-benar tak menduga jika guru terkejam di sekolahku itu sangat menyayangi kakeknya, hingga rela dinikahkan dengan wanita yang sama sekali asing baginya.  

Deg! 

Deg!

Deg!

Debaran jantungku terasa begitu kencang ketika Pak Jonathan mengucapkan kalimat qabul di hadapan penghulu yang sengaja di undang ke rumah sakit itu. 

“Saya terima nikahnya Alea Putri binti Harya Wenang dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar sepuluh juta rupiah dibayar tunai,” ucap Pak Jonathan dengan satu tangan bertaut dengan tangan papaku. 

“Bagaimana para saksi?”

Para tamu yang menjadi saksi peristiwa itu saling berpandangan seolah mendiskusikan apa yang mereka lihat saat itu. Dan tak lama kemudian suara mereka pu terdengar mengamini pertanyaan sang penghulu. 

“Sah!” 

“Sah!”

Ucapan para saksi terdengar silih berganti mengamini acara ijab yang berlangsung seadanya itu. Ruang kamar VVIP itu terasa begitu syahdu saat ucapan syukur berkumandang memenuhi ruangan. “Alhamdulillah!”

Semua terlihat bahagia, seolah pernikahan ini benar-benar hal yang mereka inginkan. Tak terkecuali papaku. Ia sama sekali tak terlihat mencemaskan aku yang bahkan sudah menolak rencana ini dari awal berita ini kuketahui. 

Kuamati wajah lelaki tua yang terbaring dengan banyak alat bantu terjalin di tubuhnya. Suara mesin yang terdengar dinamis dengan ritme yang teratur memperlihatkan kondisinya yang stabil. 

Kutarik sudut bibirku, untuk memaksakan seulas senyuman saat para tamu undangan satu demi satu meninggalkan ruangan kamar itu. Hingga tersisalah Om dan Tante keluarga Darius yang masih sibuk bercakap dengan papaku. 

“Dik Wenang, terima kasih loh. Sudah mengijinkan Alea menikah dengan Jonathan. Papa kita pasti bahagia karena sudah menuntaskan ikrar yang mereka buat dulu,” ucap Om Darius seolah papa memberikan seekor kucing pada keluarganya. 

“Ah, saya yang terima kasih. Kalau Alea sama Nak Jonathan, sudah pasti Alea akan terhindar dari pergaulan anak muda sekarang yang semakin menggila,” sahut papaku yang terdengar seolah pemuja seorang Jonathan. 

“Syukurlah, kami nggak berani menunggu kedatangan kakaknya Jonathan. Kami takut nggak sempat, karena kesehatan papa yang terus menurun,” sambung Tante Indah, istri Om Darius. 

Ah … jadi itu alasannya Pak Jonathan kesal. Ia ogah menggantikan kakaknya untuk menikah denganku. Tapi … seperti apa kakak Pak Jonathan? Mungkin dia seorang lelaki tua berusia empat puluhan atau bahkan menjelang lima puluh. Astaga …. Tiba-tiba saja rasa syukur hinggap di pikiranku, karena lolos dari sosok lelaki tua yang seharusnya menjadi jodohku. 

“Nah …. Alea, tante sama om titip Jonathan ya. Kalau dia macem-macem, jangan ragu buat bilang sama kami,” ucap Tante Indah dengan ramahnya. 

“Iya Tante.” 

“Loh, kok masih panggil tante sama om,” protes Om Darius, “sekarang kamu itu putri kami juga. Panggil papa sama mama, ya.” 

“Eh … iya, Pa. Ma,” ucapku dengan perasaan canggung. 

Tante Indah memelukku dengan erat. Rasa hangat mengalir di tubuhku, pelukan itu seolah pelukan mama yang selalu kurindukan belakangan ini. 

“Lea, sekarang kamu sudah jadi istri Jonathan,” ucap papa tiba-tiba. 

Aku melepaskan pelukanku saat kurasakan tepukan lembut di punggungku. 

“Jadi sebagai seorang istri, sudah seharusnya kamu tinggal bersama suami kamu, saling membantu dan melengkapi satu sama lain,” sambung papa.

Aku langsung berbalik menatap papaku. Kulebarkan kedua mataku, sengaja memberinya kode bahwa aku tidak menyukai aturan ini. 

Menikahi guru sekolahku, aku sudah menyanggupinya. Tapi … tinggal bersamanya, itu tidak ada dalam perjanjian kami. 

“Pa, tapi aku masih ingin tinggal sama Papa,” ucapku merajuk. 

“Kamu sudah menjadi istri Jonathan. Bahkan untuk pulang ke rumah Papa, kamu harus minta ijin sama dia. Dia adalah imammu, kepala di keluarga barumu, Alea,” sahut Papa, “dan mulai sekarang Papa nggak lagi kasih kamu uang saku. Papa cuma kasih kamu SPP, karena itu masih kewajiban papa sebagai orang tua.” 

Aku mengerucutkan bibirku dengan kesal. Kesalahan apa yang sudah kuperbuat hingga aku harus menanggung semua ini? Bahkan aku hampir tidak pernah melakukan kesalahan selama delapan belas tahun hidupku. Ah … mungkin hanya kenakalan-kenakalan kecil semasa aku sekolah dasar dulu. 

“Pa ….” 

“Alea, nggak papa. Jonathan nggak bakal nyakitin kamu, kok,” bujuk mama Indah seolah menyadari ketakutanku sebagai remaja yang belum cukup matang, “kamu boleh telpon mama kapan aja kalo suami kamu ini bandel. Mama sendiri yang bakal jewer kupingnya kalo itu terjadi.” 

“Mana ada,” bantah Jonathan, “yang ada dianya yang bandel. Belum juga nikah sama dia, eh … Jo sudah dimintain bocoran soal ulangan besok.” 

Mendengar kalimat itu, aku langsung mendelik kesal. Bisa-bisanya dia ceritakan semua percakapan pribadi, ah yang sebenarnya lebih mengarah ke transaksi mutualisme antara aku dan dia kepada orang tuaku. 

“Alea ….” 

Aku menarik sudut bibirku, memamerkan sederetan gigiku pada mereka semua. 

"Iya ... iya, aku tinggal sama Pak Jonathan, deh."

Chocoberry pie

Hai semua, kali ini Choco bikin karya yang bakal bikin kalian gedhek. Gedhek karena tingkah si bocah Alea yang terpaksa nikah sama guru yang sebenarnya dia benci. Sebenci apa sih? Ntar deh, kalian bisa kebayang kan tom sama jerry. Tom sama jerry tuh musuhan tapi saling sayang. Wkwkkwk... ini versi manusianya deh. Selamat menikmati.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status