Aku menganggukkan kepalaku dengan lesu, ketika Vena menarikku masuk ke kantin siang itu.
“Nah … gitu dong. Kamu harus makan, biar isi kepalamu juga nggak zonk,” cicit Vena sembari menyodorkan semangkuk nasi ayam geprek dan segelas teh hangat ke hadapanku. “Gimana tadi? Simba kelihatan marah banget pas suruh kamu ke ruangannya,” tanya Vena padaku. “Ya gitu, deh,” sahutku tanpa semangat, “kayaknya sih dia emang benci aku. Kamu tahu kan, banyak kok yang sering nggak kerjain tugas tapi dia fine-fine aja. Tapi begitu aku yang ngelakuin …. Duar! Bom atom langsung jatuh dan meletus!” Aku memasukkan sesuap makananku. Terasa pedasnya sambal bawang menyengat di lidahku. Perlahan ku seruput teh hangatku sebelum melanjutkan kalimatku. “Udahlah … rasanya dia emang sengaja. Sepertinya dia punya dendam kesumat sama aku deh, tapi aku nggak tau, aku salah apa sama dia.” “Alea! Jangan-jangan … dia naksir kamu,” cetus Vena tiba-tiba membuatku hampir tersedak. “Kok kamu bilang gitu sih?” tanyaku setelah berhasil meredakan panasnya sambal bawang yang menyiksa tenggorokanku. “Coba pikir,” gumam Vena, “dia sedang mencari cara agar bisa berkomunikasi denganmu setiap hari. Macem cari gara-gara, biar dapat perhatian dari kamu.” “Ish! Kalau cara komunikasinya macem gitu, namanya bukan naksir. Tapi ngajak berantem!” sahutku dengan gemas. Vena tertawa, sepertinya kesialanku terlihat lucu di matanya. Tapi rasa kesalku langsung lenyap saat melihat Doni, kapten team basket sekolahku dari balik jendela kantin. Lelaki dengan postur yang menurutku paling sempurna di antara kaum adam itu, terlihat mempesona saat menggiring bola dan melemparkannya ke dalam ring. Vena menggerakkan telapak tangannya di depan wajahku. “Halah …. pasti Doni lagi,” gumamnya. “Dia emang sempurna, kan?” “Playboy macem dia, kamu demenin,” sinisnya, “semua cewek dia pacarin paling lama cuman sebulan doang. Emang kamu mau ada dalam daftar bekas pacar Doni?” Aku tertawa saat Vena menekankan kata bekas dengan gayanya yang khas. “Kamu yakin, dia bakalan buang cewek bervalue seperti aku dalam sebulan?” kelakarku. “Hmm … mungkin,” sahutnya, “tapi … beneran nih, kamu mau nerima dia jadi pacar kamu?” “Kalau dia minta lagi untuk yang ketiga kalinya, sih,” sahutku sambil menarik sudut bibirku. “Ciee …. Aku bisa membuatmu, jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta, kepadaku ….” Aku langsung mendelik pada sahabatku yang langsung menggodaku dengan penggalan lirik lagu Risalah Cinta itu. Sesaat kemudian, pikiranku kembali larut dalam percakapanku dengan papa semalam. Hal yang sebenarnya tidak ingin kuingat itu kembali mengganggu pikiranku. “Keluarganya akan datang besok sore. Papa mau kamu tampil rapi menyambut kedatangan calon suamimu dan keluarganya.” Astaga! Aku bisa gila! Bagaimana mungkin aku bisa menemui dan menerima lamaran mereka. Mengenalnya saja, tidak. “Ven, nanti malam aku nginep di rumah kamu, ya.” Sepertinya Vena terkejut mendengar ucapanku. Mungkin karena semalam aku sudah mengatakan hal aneh itu dan hari ini aku malah mengamininya. Vena meletakkan punggung tangannya di dahiku. “Kamu nggak papah, nih? Beneran nggak papah?” Aku mendecak kesal. Kutepiskan tangan Vena dari keningku. “Kamu bilang kemaren, kamu suka kalo ada temannya.” “Iyaah … cuman aneh aja kalo tiba-tiba kamu ngotot mau nginep gini,” sahut Vena, "masa sih, efek kena terkam simba jadi kek gini?” “Ah sudahlah. Nggak jadi.” Vena tertawa terkekeh. Tiba-tiba ia meletakkan tangannya ke pundakku. “Nggak papah, dateng aja. Aku welcome kok.” Kulihat Doni berlari-lari mendekat ke arahku. Diulurkannya tangannya membentuk senapan dan menembakkannya padaku. Kupegang dadaku seolah terkena pelurunya dan tersenyum tipis. “Ehem!” Suara Vena membuatku kembali sadar bahwa aku tidak sendirian. “Alea, ingat ya. Apapun masalah yang sedang kamu hadapi, aku akan selalu ada di samping kamu,” ucap Vena, “kapanpun kamu ingin cerita, aku siap mendengarmu. Oke.” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja, tapi sekarang bukan saat yang tepat. Aku tidak siap terlihat sekonyol perjodohan itu bahkan di hadapan sahabatku sendiri. Namun hari berlalu dengan begitu cepat. Matahari seakan enggan untuk bertahta di langit terlalu lama. Perlahan ia bergeser dan terbenam di ufuk barat. Kumasukkan beberapa pakaian dan seragamku ke dalam tas. Bagaimanapun aku harus keluar dari rumah ini sebelum keluarga Darius tiba. Tapi ketika suara deru mobil terdengar, aku pun tersadar kalau semua sudah terlambat. Mereka sudah datang! Aku harus pergi secepatnya dari rumah. Tapi … aku nggak mungkin lewat pintu depan. Mereka bahkan sedang berada di sana. Ah! Sungguh tak terpikirkan olehku. Aku bisa saja turun lewat pohon mangga yang batangnya bahkan menjalar hingga ke balkon kamarku. Sedikit meniti batangnya saja dan turun ke bawah. Sangat mudah! Aku pasti bisa melaluinya! Kulangkahkan kakiku melewati pagar balkon dan kucoba kokohnya batang pohon mangga. Ternyata cukup kuat untuk menopang beratku yang hampir lima puluh kilo ini. Kurentangkan kedua tanganku dan mulai melangkah setapak demi setapak di batang yang sedikit curam itu. Aman! Tiba-tiba kurasakan sesuatu merambat di balik celana berbahan jeans ku. “Tahan Alea! Tahan! Itu cuman semut!” batinku menahan rasa gatal yang sebenarnya sudah sangat ingin kugaruk. Tapi apa ini? Sepertinya bukan hanya semut yang menyelinap di bawah sana, tapi sekawanan semut sekaligus. Perlahan aku membungkukkan badanku berusaha menggapai bagian tungkai kakiku yang gatalnya semakin tak tertahankan. Namun ternyata tak segampang yang kubayangkan. Kakiku terpeleset dan tubuhku hampir saja terhempas ke tanah seandainya saja kedua tanganku tidak sigap memeluk salah satu dahannya. Kutengokkan kepalaku melewati bahuku. Dan aku mendadak ketakutan. Bagaimana tidak, ternyata jarak tanah di bawahku masih begitu jauh! Bisa kubayangkan kalau badanku jatuh ke tanah berumput itu. Setidaknya badanku akan lebam dan cedera bahkan kepalaku bisa saja bocor karena batu-batuan di bawah sana. Atau paling tidak aku bisa mengalami gegar otak! Lalu bagaimana caraku turun, sementara kedua tanganku mulai tak sanggup menahan beban tubuhku sendiri. “Tolong!” teriakku pada akhirnya, “tolong aku! Tolong! Papa!” Tanganku gemetar. Apalagi semut-semut yang tadinya berbaris rapi di dahan itu, mulai merambat di tanganku. Barisan semut itu membuatku semakin gelisah dan rasa gatal di kakiku semakin menjadi, bersamaan gerakan merayap para semut di tungkai kakiku. “Tolong! Papa!” teriakku semakin kencang, “Alea nggak bisa turun, Pa! Tolong! Tolong!” “Kamu ini berisik! Dimana-mana selalu bikin ulah!” Suara itu terdengar tak asing di telingaku. Tapi tidak mungkin makhluk astral semacam dia, bisa muncul di rumahku. Tidak mungkin dia dengan sengaja mencuri data sekolah cuman karena berniat melaporkan ulahku di sekolah pada orang tuaku. “Memangnya hobi kamu manjat pohon, ya kalau di rumah?” lanjutnya, “sudah mirip koala saja.” Sumpah! Itu benar suara dia! Aku yakin sejuta persen, itu suara dia! Aku langsung menolehkan kepalaku melewati pundakku. Tapi karena kecerobohanku, tiba-tiba peganganku lepas begitu saja.“Aargh!” Aku tak sempat meraih dahan lain dan jatuh begitu saja tanpa bisa melakukan apapun. Pasrah! Tapi … kenapa tanah yang seharusnya keras itu tidak menghantamku. Justru badanku seperti … melayang di udara. Sungguh nggak masuk di akal. Aku nggak bisa terbang. Dan nggak mungkin bumi tiba-tiba saja kehilangan gaya gravitasinya. Kubuka mataku perlahan dan sungguh terkejutnya aku, saat melihat wajah Pak Jonathan yang begitu dekat denganku. Iya! Itu benar-benar dia! Bahkan dia sudah menyelamatkan aku dengan menangkap tubuhku tadi. Baru kali ini aku melihat wajahnya dengan begitu dekat. Kulitnya yang bersih terawat, hidungnya yang runcing dan jakunnya.Aku segera melompat turun dari gendongannya. Ini sama sekali nggak lucu. Apa yang ada di dalam pikiranku?Sebentar lagi, pasti aku bakalan dengar ceramah panjang dari papa dan si simba. Dan itu berarti aku nggak akan sempat kabur sebelum calon suami yang ditunggu papa datang.“Alea! Kamu ngapain di kebon?” tanya papa yang baru sekara
Mau tak mau, aku membuka pintu kamarku. Kuberanikan diri menatap wajah guru yang hampir tiga tahun ini mengajar kelas matematikaku. “Pak Jonathan nggak mau nikah sama aku, kan? Aku juga nggak mau,” cicitku langsung setelah membuka pintu, "jadi ... nggak usah perpanjang masalah ini. Bapak pulang dan kita lanjutkan hidup kita masing-masing."“Boleh aku masuk?”Aku terkejut ketika lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamarku. Baru kali ini ada lelaki selain papa yang dengan beraninya masuk ke kamarku. Lelaki itu bahkan memperhatikan setiap sudut kamarku sebelum duduk di atas kursi meja belajarku. “Benar, pada awalnya aku juga sepertimu. Aku menolak perjodohan ini. Persis sama sepertimu. Tapi ….” Lelaki itu menundukkan kepalanya seperti ada sesuatu beban dalam pikirannya yang ingin disampaikannya padaku.“Tapi apa? Bapak nggak bisa nolak?” tanyaku sebelum berdecih. Bagaimana mungkin guru segalak dia ternyata bisa selemah ini. Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tanganku. “Kakekku sedang sa
“Nggak mau, Pa!” teriakku dengan kesal. Kuletakkan kedua tanganku menutup telingaku rapat-rapat. “Pokoknya Alea nggak mau dijodohin. Titik!”“Alea, ini permintaan terakhir kakek kamu, loh. Dia udah janji bakal nikahin keturunannya dengan keturunan sahabatnya.” Sesak rasa di dadaku, ketika papa tiba-tiba menyampaikan wasiat kakekku. Bukan tentang harta, tapi tentang perjodohan konyol antara keluargaku dengan keluarga sahabatnya. “Kalau memang Papa mau, kenapa nggak Papa aja yang nikah sama anaknya?” balasku masih tidak bisa menerima kenyataan. “Anaknya cowok, Alea,” sahut papaku, “cowok nggak bisa nikah sama cowok.” “Iya, tapi nggak harus ngorbanin Alea juga, kan,” omelku, “emangnya Alea kucing, gitu? Bisa asal dikawinin gitu aja sama kucing lain yang baru ditemuinnya.”“Bukan gitu, Al. Papa udah lihat kok, calon suami kamu. Dia itu lelaki hebat! Dia sudah mandiri bahkan di usianya yang masih terbilang muda, pekerja keras, baik, sopan, ganteng, pinter pula. Paket lengkap lah buat d
“Non Alea sudah bangun?” Suara Bik Titin membuatku tersadar bahwa semua itu hanyalah mimpi. Perempuan setengah baya itu memang selalu datang di pagi hari dan pulang di sore hari. Ia satu-satunya orang yang kami andalkan membantu kami membereskan pekerjaan rumah semenjak mama pergi. “Mimpi apa sih Non, kok sampe teriak histeris gitu?” tanya Bik Titin mengkepo sementara tangannya sibuk merapikan tirai yang baru saja dibukanya. “Mimpi digigit macan ompong, Bik,” sahutku kesal. “Eh, macan ompong,” timpal Bik Titin sambil tertawa, “geli dong, Non. Diemut namanya, bukan digigit.” “Nggak tahu lah!” teriakku dari dalam kamar mandi. Tiba-tiba saja tercetus beragam ide di benakku. Bagaimana seandainya Bik Titin menggantikan aku untuk menikahi pria itu? Atau …. Bagaimana kalau aku kabur dari rumah? Mungkin papa akan membatalkan perjodohan itu. Lagipula aku bisa tinggal sementara di rumah Vena sampai papa nggak marah lagi. Ah! Sepertinya hanya ini hal yang paling masuk akal. Pagi itu sen