Aku menganggukkan kepalaku dengan lesu, ketika Vena menarikku masuk ke kantin siang itu.
“Nah … gitu dong. Kamu harus makan, biar isi kepalamu juga nggak zonk,” cicit Vena sembari menyodorkan semangkuk nasi ayam geprek dan segelas teh hangat ke hadapanku. “Gimana tadi? Simba kelihatan marah banget pas suruh kamu ke ruangannya,” tanya Vena padaku. “Ya gitu, deh,” sahutku tanpa semangat, “kayaknya sih dia emang benci aku. Kamu tahu kan, banyak kok yang sering nggak kerjain tugas tapi dia fine-fine aja. Tapi begitu aku yang ngelakuin …. Duar! Bom atom langsung jatuh dan meletus!” Aku memasukkan sesuap makananku. Terasa pedasnya sambal bawang menyengat di lidahku. Perlahan ku seruput teh hangatku sebelum melanjutkan kalimatku. “Udahlah … rasanya dia emang sengaja. Sepertinya dia punya dendam kesumat sama aku deh, tapi aku nggak tau, aku salah apa sama dia.” “Alea! Jangan-jangan … dia naksir kamu,” cetus Vena tiba-tiba membuatku hampir tersedak. “Kok kamu bilang gitu sih?” tanyaku setelah berhasil meredakan panasnya sambal bawang yang menyiksa tenggorokanku. “Coba pikir,” gumam Vena, “dia sedang mencari cara agar bisa berkomunikasi denganmu setiap hari. Macem cari gara-gara, biar dapat perhatian dari kamu.” “Ish! Kalau cara komunikasinya macem gitu, namanya bukan naksir. Tapi ngajak berantem!” sahutku dengan gemas. Vena tertawa, sepertinya kesialanku terlihat lucu di matanya. Tapi rasa kesalku langsung lenyap saat melihat Doni, kapten team basket sekolahku dari balik jendela kantin. Lelaki dengan postur yang menurutku paling sempurna di antara kaum adam itu, terlihat mempesona saat menggiring bola dan melemparkannya ke dalam ring. Vena menggerakkan telapak tangannya di depan wajahku. “Halah …. pasti Doni lagi,” gumamnya. “Dia emang sempurna, kan?” “Playboy macem dia, kamu demenin,” sinisnya, “semua cewek dia pacarin paling lama cuman sebulan doang. Emang kamu mau ada dalam daftar bekas pacar Doni?” Aku tertawa saat Vena menekankan kata bekas dengan gayanya yang khas. “Kamu yakin, dia bakalan buang cewek bervalue seperti aku dalam sebulan?” kelakarku. “Hmm … mungkin,” sahutnya, “tapi … beneran nih, kamu mau nerima dia jadi pacar kamu?” “Kalau dia minta lagi untuk yang ketiga kalinya, sih,” sahutku sambil menarik sudut bibirku. “Ciee …. Aku bisa membuatmu, jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta, kepadaku ….” Aku langsung mendelik pada sahabatku yang langsung menggodaku dengan penggalan lirik lagu Risalah Cinta itu. Sesaat kemudian, pikiranku kembali larut dalam percakapanku dengan papa semalam. Hal yang sebenarnya tidak ingin kuingat itu kembali mengganggu pikiranku. “Keluarganya akan datang besok sore. Papa mau kamu tampil rapi menyambut kedatangan calon suamimu dan keluarganya.” Astaga! Aku bisa gila! Bagaimana mungkin aku bisa menemui dan menerima lamaran mereka. Mengenalnya saja, tidak. “Ven, nanti malam aku nginep di rumah kamu, ya.” Sepertinya Vena terkejut mendengar ucapanku. Mungkin karena semalam aku sudah mengatakan hal aneh itu dan hari ini aku malah mengamininya. Vena meletakkan punggung tangannya di dahiku. “Kamu nggak papah, nih? Beneran nggak papah?” Aku mendecak kesal. Kutepiskan tangan Vena dari keningku. “Kamu bilang kemaren, kamu suka kalo ada temannya.” “Iyaah … cuman aneh aja kalo tiba-tiba kamu ngotot mau nginep gini,” sahut Vena, "masa sih, efek kena terkam simba jadi kek gini?” “Ah sudahlah. Nggak jadi.” Vena tertawa terkekeh. Tiba-tiba ia meletakkan tangannya ke pundakku. “Nggak papah, dateng aja. Aku welcome kok.” Kulihat Doni berlari-lari mendekat ke arahku. Diulurkannya tangannya membentuk senapan dan menembakkannya padaku. Kupegang dadaku seolah terkena pelurunya dan tersenyum tipis. “Ehem!” Suara Vena membuatku kembali sadar bahwa aku tidak sendirian. “Alea, ingat ya. Apapun masalah yang sedang kamu hadapi, aku akan selalu ada di samping kamu,” ucap Vena, “kapanpun kamu ingin cerita, aku siap mendengarmu. Oke.” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja, tapi sekarang bukan saat yang tepat. Aku tidak siap terlihat sekonyol perjodohan itu bahkan di hadapan sahabatku sendiri. Namun hari berlalu dengan begitu cepat. Matahari seakan enggan untuk bertahta di langit terlalu lama. Perlahan ia bergeser dan terbenam di ufuk barat. Kumasukkan beberapa pakaian dan seragamku ke dalam tas. Bagaimanapun aku harus keluar dari rumah ini sebelum keluarga Darius tiba. Tapi ketika suara deru mobil terdengar, aku pun tersadar kalau semua sudah terlambat. Mereka sudah datang! Aku harus pergi secepatnya dari rumah. Tapi … aku nggak mungkin lewat pintu depan. Mereka bahkan sedang berada di sana. Ah! Sungguh tak terpikirkan olehku. Aku bisa saja turun lewat pohon mangga yang batangnya bahkan menjalar hingga ke balkon kamarku. Sedikit meniti batangnya saja dan turun ke bawah. Sangat mudah! Aku pasti bisa melaluinya! Kulangkahkan kakiku melewati pagar balkon dan kucoba kokohnya batang pohon mangga. Ternyata cukup kuat untuk menopang beratku yang hampir lima puluh kilo ini. Kurentangkan kedua tanganku dan mulai melangkah setapak demi setapak di batang yang sedikit curam itu. Aman! Tiba-tiba kurasakan sesuatu merambat di balik celana berbahan jeans ku. “Tahan Alea! Tahan! Itu cuman semut!” batinku menahan rasa gatal yang sebenarnya sudah sangat ingin kugaruk. Tapi apa ini? Sepertinya bukan hanya semut yang menyelinap di bawah sana, tapi sekawanan semut sekaligus. Perlahan aku membungkukkan badanku berusaha menggapai bagian tungkai kakiku yang gatalnya semakin tak tertahankan. Namun ternyata tak segampang yang kubayangkan. Kakiku terpeleset dan tubuhku hampir saja terhempas ke tanah seandainya saja kedua tanganku tidak sigap memeluk salah satu dahannya. Kutengokkan kepalaku melewati bahuku. Dan aku mendadak ketakutan. Bagaimana tidak, ternyata jarak tanah di bawahku masih begitu jauh! Bisa kubayangkan kalau badanku jatuh ke tanah berumput itu. Setidaknya badanku akan lebam dan cedera bahkan kepalaku bisa saja bocor karena batu-batuan di bawah sana. Atau paling tidak aku bisa mengalami gegar otak! Lalu bagaimana caraku turun, sementara kedua tanganku mulai tak sanggup menahan beban tubuhku sendiri. “Tolong!” teriakku pada akhirnya, “tolong aku! Tolong! Papa!” Tanganku gemetar. Apalagi semut-semut yang tadinya berbaris rapi di dahan itu, mulai merambat di tanganku. Barisan semut itu membuatku semakin gelisah dan rasa gatal di kakiku semakin menjadi, bersamaan gerakan merayap para semut di tungkai kakiku. “Tolong! Papa!” teriakku semakin kencang, “Alea nggak bisa turun, Pa! Tolong! Tolong!” “Kamu ini berisik! Dimana-mana selalu bikin ulah!” Suara itu terdengar tak asing di telingaku. Tapi tidak mungkin makhluk astral semacam dia, bisa muncul di rumahku. Tidak mungkin dia dengan sengaja mencuri data sekolah cuman karena berniat melaporkan ulahku di sekolah pada orang tuaku. “Memangnya hobi kamu manjat pohon, ya kalau di rumah?” lanjutnya, “sudah mirip koala saja.” Sumpah! Itu benar suara dia! Aku yakin sejuta persen, itu suara dia! Aku langsung menolehkan kepalaku melewati pundakku. Tapi karena kecerobohanku, tiba-tiba peganganku lepas begitu saja.“Aargh!” Aku tak sempat meraih dahan lain dan jatuh begitu saja tanpa bisa melakukan apapun. Pasrah! Tapi … kenapa tanah yang seharusnya keras itu tidak menghantamku. Justru badanku seperti … melayang di udara. Sungguh nggak masuk di akal. Aku nggak bisa terbang. Dan nggak mungkin bumi tiba-tiba saja kehilangan gaya gravitasinya. Kubuka mataku perlahan dan sungguh terkejutnya aku, saat melihat wajah Pak Jonathan yang begitu dekat denganku. Iya! Itu benar-benar dia! Bahkan dia sudah menyelamatkan aku dengan menangkap tubuhku tadi. Baru kali ini aku melihat wajahnya dengan begitu dekat. Kulitnya yang bersih terawat, hidungnya yang runcing dan jakunnya.Aku segera melompat turun dari gendongannya. Ini sama sekali nggak lucu. Apa yang ada di dalam pikiranku?Sebentar lagi, pasti aku bakalan dengar ceramah panjang dari papa dan si simba. Dan itu berarti aku nggak akan sempat kabur sebelum calon suami yang ditunggu papa datang.“Alea! Kamu ngapain di kebon?” tanya papa yang baru sekara
Mau tak mau, aku membuka pintu kamarku. Kuberanikan diri menatap wajah guru yang hampir tiga tahun ini mengajar kelas matematikaku. “Pak Jonathan nggak mau nikah sama aku, kan? Aku juga nggak mau,” cicitku langsung setelah membuka pintu, "jadi ... nggak usah perpanjang masalah ini. Bapak pulang dan kita lanjutkan hidup kita masing-masing."“Boleh aku masuk?”Aku terkejut ketika lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamarku. Baru kali ini ada lelaki selain papa yang dengan beraninya masuk ke kamarku. Lelaki itu bahkan memperhatikan setiap sudut kamarku sebelum duduk di atas kursi meja belajarku. “Benar, pada awalnya aku juga sepertimu. Aku menolak perjodohan ini. Persis sama sepertimu. Tapi ….” Lelaki itu menundukkan kepalanya seperti ada sesuatu beban dalam pikirannya yang ingin disampaikannya padaku.“Tapi apa? Bapak nggak bisa nolak?” tanyaku sebelum berdecih. Bagaimana mungkin guru segalak dia ternyata bisa selemah ini. Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tanganku. “Kakekku sedang sa
“Iya, iya. Aku lepasin.” Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat.“Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” “Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.”“Ogah! Buat apa?” “Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” “Kamu … udah gila ya?” “Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih?Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. Senyum Doni Aryanata, teman laki-
Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini. “Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.” Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?” Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!” Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya. Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya me
Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Pak Jonathan. Rumah yang tidak bisa dibilang besar itu hanya mempunyai satu kamar tidur dan sebuah kamar yang lebih terlihat mirip gudang. Namun perabot di dalam tiap ruangnya yang terkesan minimalis, membuat kesan rumah itu terlihat lebih luas dari yang seharusnya. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur empuk. Rasa capek karena padatnya aktivitas hari ini, membuatku ingin segera memejamkan mata. Tentu saja setelah aku membasuh tubuhku terlebih dahulu. Seharusnya Pak Jonathan sudah selesai membersihkan diri. Aku bisa menebaknya karena tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam sana. Tapi kenapa dia tak juga keluar dari kamar mandi. Dia terlalu lama, sampai kandung kemihku rasanya tak sanggup lagi menahan cairan yang sejak tadi kutahan. “Pak! Pak Jonathan,” panggilku di depan pintu kamar mandi.Baru saja kuayunkan tanganku untuk mengetuk, daun pintu itu terbuka lebar. Aku dapat melihat tubuh lelaki yang kini telah jadi suamiku itu. T
Sesuatu yang bergerak di bawah panci berbahan alumunium itu, membuatku perasaan gelisahku semakin kuat. Panci yang dalam posisi tertelungkup itu bergerak tak beraturan, memperlihatkan kehadiran sebuah nyawa di dalamnya. “Ti–tikus?” Pikiranku langsung tertuju pada sosok makhluk berwarna hitam yang paling kutakuti. Sosok hitam yang dalam pikiranku adalah makhluk terjorok penghuni selokan itu selalu sukses membuatku merinding jejingkrakan. Aku segera mencari perlindungan. Dan perlindungan terdekat adalah dia! Lelaki yang ada di dekatku. “Ti–tikus!” teriakku. Kutarik dia dan kujadikan sebagai tameng dari makhluk kecil di bawah sana. “Heh! Mesum!” Suara laki-laki itu terdengar beberapa saat kemudian.Saat itulah aku menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. Sepasang tanganku merasakan padat dan kerasnya dada Pak Jonathan yang kupeluk dari belakang. Kulitnya yang masih lembab dan terbuka itu terasa begitu segar, sesegar aroma segarnya sabun yang masih melekat di kulitnya. “Heh! Mesum,
“Aku bakal … bikin semua orang di sekolah kita tahu, kalau Bapak itu nggak pantes buat jadi guru kesiswaan. Bapak cuma … cuma predator siswi di bawah umur,” cicitku kesal, “Bapak bahkan menikahi siswinya yang belum genap sembilan belas tahun.” “Silahkan saja,” sahutnya dengan angkuh, “paling juga … kita berdua dikeluarkan dari sekolah. Dan … bukan aku yang rugi, tapi kamu yang seharusnya tinggal menyelesaikan ujian akhir saja.” Aku mencebik kesal. Mau tak mau kurebahkan tubuhku dengan posisi membelakanginya. Bisa kubayangkan, setiap malam aku harus mengalami hal menyebalkan seperti ini. Seperti kebahagiaan yang biasanya ada, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Malam semakin larut dan aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Tidur di tempat yang sama sekali asing, bahkan bersama lelaki yang sebelum ini kukenali sebagai guru matematika di sekolahku. Guru temperamental yang seolah berambisi untuk menjatuhkan mentalku hanya karena tak sanggup menolak sebuah perjodohan. Tiba-tiba
Rasanya ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kekesalanku. Tidak ada sarapan, tidak ada pula ijin untuk cuti hari ini. Tidak ada kata selain si menyebalkan yang lebih pantas baginya. “Kok manyun gitu sih?” tanya Vena setengah berbisik di sela pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung, “ada masalah?” “Nggak, aku cuma sedikit lelah dan ngantuk,” balasku berbisik.“Ijin ke UKS?” sahutnya, “kamu mau tiduran sebentar, kan?” “Aku defisit lima jam istirahatku,” sahutku lagi, “bayangin … dari delapan jam, aku cuman tidur tiga jam.” “Emang ngapain aja kamu kok bisa tidur cuman tiga jam?” tanya Vena yang seperti mencurigaiku.“Aku —”“Alea! Vena! Pack your books and stationery, go to the student section and ask for punishment for your noisy chatter on my class,” perintahnya perempuan setengah baya bertubuh tambun itu. “Huu!” Suara itu berkumandang seolah paduan suara yang mengiringi gerakan kami mengemas semua harta benda kami yang terserak di atas meja.“Habislah kita!” Gumamk
Kurasakan hangatnya hembusan napas di leherku. Seperti menyapu di setiap inci kulit leherku, memagut dengan liar bersama napasnya yang memburu. Tangannya dengan gesit menarik lepas kaos berukuran jumbo yang kupakai. Gegas aku menyilangkan kedua tanganku, menutupi sepasang gundukan kenyal, tempat Kiara biasa mendapatkan nutrisinya. “Kamu makin seksi, Alea.” “Ish! Emang dulu enggak?” “Semakin berisi dan menggemaskan,” godanya sembari menarik tanganku yang berusaha menyembunyikan puncak dadaku. Bagian berwarna merah itu saat ini sedang membengkak lebih dari biasanya karena Kiara sering kali menggigitnya, dan aku malu untuk sekedar memperlihatkannya. Tapi … Pak Jonathan justru tersenyum saat melihatnya. Dan, sumpah! Itu membuatku semakin nggak percaya diri. Tapi lagi-lagi Pak Jonathan justru menahan tanganku agar aku tak bisa lagi menyembunyikannya. Tangannya menggapai dan mengusap di puncaknya, menciptakan sensasi yang membuatku tak mampu menahan desah yang keluar dari bibirku.Sen
Suara tangis itu menyadarkan aku. Samar kulihat bayi dengan kulitnya yang merah menangis dengan kencangnya. “Bayi perempuan yang cantik. Semuanya lengkap, sempurna.” Seorang perawat memperlihatkan bayi itu kepadaku. Namun aku merasa tanpa daya, bahkan untuk mengucapkan sebuah kata. Ingin kusentuh makluk mungil itu, namun aku tak sanggup untuk meraihnya. Mungkin efek dari anestesi itu benar-benar kuat di tubuhku. Dan aku kembali ke alam bawah sadarku.Saat aku terjaga, aku telah berada di dalam ruang kamar inapku. Ruangan dengan wallpaper bernuansa merah jambu itu seperti sengaja di desain untuk penghuninya. Rasa dingin itu terasa sampai ke tulangku. Aku benar-benar menggigil seperti sedang berada dalam lemari pendingin. Bahkan selimut yang menutup tubuhku seperti tak berarti. “Alea … kamu sudah sadar?” tanya Pak Jonathan sembari menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat sangat cemas. “Dingin,” ucapku. Pak Jonathan segera menekan tombol di dinding untuk memanggil tenaga medis.“Ap
“Dia menendangku! Aku bisa merasakannya!” teriak Pak Jonathan dengan wajah sumringah seakan baru pertama kalinya merasakan gerakan bayi di dalam perutku. Tentu saja, ini bukan yang pertama kalinya. Apalagi di usia kehamilanku yang sudah sembilan bulan ini. Ia bukan hanya menyentuh dan mengamati perutku sekali ini saja, tapi hampir setiap malam!Kini hanya tersisa beberapa hari sebelum jadwal kelahiran putra pertama kami. Sepertinya ia lebih kerap memperhatikan perutku. Gerak yang membuat perutku menjadi tak simetris pun, tak luput dari pandangannya. “Kamu nggak takut, kan?” tanyanya.“Jujur. Aku takut.” Pak Jonathan tersenyum, namun terlihat canggung. “Aku … sebenarnya aku juga. Aku mungkin … justru lebih takut dari kamu, Alea.” “Takut?” “Iya, aku takut tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku takut tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik buat anak kita. Aku takut gagal menjadi seorang imam dalam keluarga kecil kita,” sahutnya.Aku menarik sudut bibirku. “Kamu itu suami yang palin
“Jujur, katakan sama aku. Kamu masih ada perasaan kan, sama dia?” tanyaku dengan perasaan tak karuan. Mungkin seharusnya aku tak pernah mengatakan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang justru seperti bom waktu yang kupasang di antara kami. “Masih.” Jawaban itu seakan membuat jantungku berhenti berdetak. Aku masih menatapnya dalam diam. Sebuah jawaban yang akan menentukan nasib sebuah pernikahan. “Tapi perasaan yang berbeda dengan yang kurasakan untukmu,” lanjutnya, “dan aku sadar … dulu maupun sekarang, hubungan kami bukan tentang cinta.” “Lalu apa kalau bukan cinta? Tapi, kalian pacaran, kan. Mana mungkin nggak cinta?” cecarku. “Kamu mau dengar ceritaku?” tanyanya.Aku mengangguk dengan perasaan ragu. Tentu saja karena aku tidak yakin akan cerita yang akan dituturkannya. Bisa saja semua itu hanya karangannya agar aku memaafkannya. Tapi tak urung, aku ingin mendengar pembelaannya. Apa yang sebenarnya dirasakannya pada perempuan itu.Pak Jonathan menarik kursi dan duduk tepat
Setelah mengatakan semua yang mengganjal di hatiku, aku segera menutup panggilan itu. Napasku bahkan terengah hanya karena menyampaikan emosiku yang meluap hebat. Bagaimana bisa dia menuduhku seperti itu, sementara dirinya sendiri melakukan hal yang tak berbeda. Hah! Seandainya saja dia tahu kalau Doni bahkan sudah tak ada lagi di hatiku. Seandainya saja dia tahu kalau perasaanku hilang begitu saja setelah mengenal keluarganya, setelah aku merasakan betapa takutnya kehilangan dirinya saat ditahan dulu. Seandainya saja dia tahu, bahwa aku bahkan hanya mengurung diri di kamarku sejak kedatanganku, menikmati kesendirianku. Seandainya saja dia tahu bahwa kenyataan bahwa keantusiasannya datang ke acara itu telah menorehkan luka di hatiku tentang masih adanya jejak cinta di hatinya. “Ah, pusingnya kepalaku,” keluhku. Kuangkat tanganku dan mulai memijit keningku yang terasa berdenyut. Suara telepon kembali terdengar. Kali ini sengaja aku tidak mengangkatnya. Kepalaku semakin terasa pusin
“Aku ada ide!” teriak Vena tiba-tiba. Suara cempreng itu membuatku melompat saking terkejutnya. Ditambah lagi tepukannya di pundakku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu pergi aja sama Kak Bernard!” “Vena …. Kali aja dia nggak marah, ngeliat aku sama kakak kamu,” keluhku, “kamu inget kan, terakhir kali mereka ketemu juga berantem. Aku nggak mau Kak Bernard terluka cuma gara-gara jagain aku.”“Lah … memang mesti ada pengorbanan buat mencapai suatu tujuan, kan. Seperti Kak Bernard, ngelakuin itu pasti ada tujuan. Walau nggak semua tujuan itu bakal tercapai,” ucapnya, “butuh effort buat mencapai sesuatu yang kita ingini, Al.” “Iya, kamu benar. Tapi aku tetap harus memperhitungkan kerugian apa yang bakal aku terima kalau melakukan semua itu, kan?” Vena mengedikkan pundaknya. “Jadi … kamu nggak mau datang ke acara itu?” Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membuat kekacauan besar, yang bisa menahannya agar tidak bisa datang ke acara itu.” “Kekacau
“Marsha memberitahukan kalau dia akan datang pada saat reuni akbar sekolah kami nanti.” Aku langsung melotot saat mendengar nama acara itu. Bukan karena aku tidak pernah mendengarnya, tapi karena aku sering membaca di media sosial bahkan cerita-cerita orang tentang acara reuni seperti ini. Acara yang justru menjadi awal perpecahan sebuah rumah tangga. “Lalu … kamu juga mau datang buat ketemu dia?” tanyaku sekali lagi tanpa sebuah basa basi. “Acara itu sebenarnya ajang paling tepat untuk mencari koneksi, memperluas hubungan kerja.” Jawaban itu sebenarnya membuatku langsung bisa memprediksi bahwa ia ingin datang walau apapun alasannya. Aku juga pasti akan terlihat konyol jika harus menahannya untuk tidak pergi. Seperti … seorang istri pencemburu yang bahkan menghalangi kemajuan langkah suaminya. “Al, kamu percaya kan, sama aku?” tanyanya sembari menatap mataku lekat lekat.Aku menarik napas panjang dan terpaksa menganggukkan kepalaku walau sejujurnya firasatku mengatakan yang sebal
“Gimana? Yang ini atau yang ini?” tanyaku sementara kedua tanganku memegang dua hanger kaos pilihanku. Pak Jonathan menggelengkan kepalanya. “Nggak … sepertinya itu nggak cocok buat aku.” Sesaat kemudian, lelaki itu kembali mencari pakaian yang cocok untuknya. Kuletakkan kembali kedua hanger itu di tempatnya. Sudah cukup banyak model yang sudah kurekomendasikan buatnya, tapi belum satupun yang dipilihnya. Entah pakaian seperti apa yang sebenarnya ingin dicarinya. “Cari kaos untuk papanya, Kak?” sapa seorang yang memakai seragam pramuniaga toko, “sepertinya kemeja akan lebih cocok untuk lelaki seusia papa kakak, jika dibandingkan dengan t shirt.” Wait! Ini sudah yang ketiga kalinya Pak Jonathan dianggap sebagai papaku. Padahal usianya cuma berjarak belasan tahun saja. “Dia suami saya, Kak,” sahutku sekali lagi memberinya sebuah pembenaran, “dia sedang cari pakaian santai yang nyaman dan tidak membuatnya terkesan lebih tua dari usianya.” “Kemeja dengan corak yang cerah, mungkin,”
“Ini Non, susunya lekas di minum, keburu dingjn.” Mbak Santi meletakkan susu hamil yang sengaja dibelikan oleh Pak Jonathan untuk menunjang nutrisiku. Sejujurnya aku merasa enggan untuk meminumnya. Bukan karena rasanya, tapi karena aromanya yang membuat perutku berontak tak ingin menerimanya. Tapi mau gimana lagi, aku juga tidak ingin bayiku kekurangan nutrisi karena aku terus memuntahkan semua yang masuk ke dalam perutku. Kucepit hidungku dan segera menegak cairan berwarna putih yang ada di dalam gelasnya hingga tandas, sebelum memasukkan permen kenyal berbentuk hamburger ke dalam mulutku. “Loh, Non mau kemana? Ke kantor lagi?” tanya Mbak Santi saat melihatku langsung mengambil sling bag kecil yang biasa kupakai. “Iya, Mbak. Mau belanja sama Pak Jonathan,” sahutku, “ada titipan?” “Beli sabun sekalian sama pembersih lantai ya, Non. Stoknya udah menipis,” jawabnya cepat. “Udah? Itu aja kan?” “Iya Non.” Setelah mencatat semua keperluan itu di dalam otakku, aku p