Aku menganggukkan kepalaku dengan lesu, ketika Vena menarikku masuk ke kantin siang itu.
“Nah … gitu dong. Kamu harus makan, biar isi kepalamu juga nggak zonk,” cicit Vena sembari menyodorkan semangkuk nasi ayam geprek dan segelas teh hangat ke hadapanku. “Gimana tadi? Simba kelihatan marah banget pas suruh kamu ke ruangannya,” tanya Vena padaku. “Ya gitu, deh,” sahutku tanpa semangat, “kayaknya sih dia emang benci aku. Kamu tahu kan, banyak kok yang sering nggak kerjain tugas tapi dia fine-fine aja. Tapi begitu aku yang ngelakuin …. Duar! Bom atom langsung jatuh dan meletus!” Aku memasukkan sesuap makananku. Terasa pedasnya sambal bawang menyengat di lidahku. Perlahan ku seruput teh hangatku sebelum melanjutkan kalimatku. “Udahlah … rasanya dia emang sengaja. Sepertinya dia punya dendam kesumat sama aku deh, tapi aku nggak tau, aku salah apa sama dia.” “Alea! Jangan-jangan … dia naksir kamu,” cetus Vena tiba-tiba membuatku hampir tersedak. “Kok kamu bilang gitu sih?” tanyaku setelah berhasil meredakan panasnya sambal bawang yang menyiksa tenggorokanku. “Coba pikir,” gumam Vena, “dia sedang mencari cara agar bisa berkomunikasi denganmu setiap hari. Macem cari gara-gara, biar dapat perhatian dari kamu.” “Ish! Kalau cara komunikasinya macem gitu, namanya bukan naksir. Tapi ngajak berantem!” sahutku dengan gemas. Vena tertawa, sepertinya kesialanku terlihat lucu di matanya. Tapi rasa kesalku langsung lenyap saat melihat Doni, kapten team basket sekolahku dari balik jendela kantin. Lelaki dengan postur yang menurutku paling sempurna di antara kaum adam itu, terlihat mempesona saat menggiring bola dan melemparkannya ke dalam ring. Vena menggerakkan telapak tangannya di depan wajahku. “Halah …. pasti Doni lagi,” gumamnya. “Dia emang sempurna, kan?” “Playboy macem dia, kamu demenin,” sinisnya, “semua cewek dia pacarin paling lama cuman sebulan doang. Emang kamu mau ada dalam daftar bekas pacar Doni?” Aku tertawa saat Vena menekankan kata bekas dengan gayanya yang khas. “Kamu yakin, dia bakalan buang cewek bervalue seperti aku dalam sebulan?” kelakarku. “Hmm … mungkin,” sahutnya, “tapi … beneran nih, kamu mau nerima dia jadi pacar kamu?” “Kalau dia minta lagi untuk yang ketiga kalinya, sih,” sahutku sambil menarik sudut bibirku. “Ciee …. Aku bisa membuatmu, jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta, kepadaku ….” Aku langsung mendelik pada sahabatku yang langsung menggodaku dengan penggalan lirik lagu Risalah Cinta itu. Sesaat kemudian, pikiranku kembali larut dalam percakapanku dengan papa semalam. Hal yang sebenarnya tidak ingin kuingat itu kembali mengganggu pikiranku. “Keluarganya akan datang besok sore. Papa mau kamu tampil rapi menyambut kedatangan calon suamimu dan keluarganya.” Astaga! Aku bisa gila! Bagaimana mungkin aku bisa menemui dan menerima lamaran mereka. Mengenalnya saja, tidak. “Ven, nanti malam aku nginep di rumah kamu, ya.” Sepertinya Vena terkejut mendengar ucapanku. Mungkin karena semalam aku sudah mengatakan hal aneh itu dan hari ini aku malah mengamininya. Vena meletakkan punggung tangannya di dahiku. “Kamu nggak papah, nih? Beneran nggak papah?” Aku mendecak kesal. Kutepiskan tangan Vena dari keningku. “Kamu bilang kemaren, kamu suka kalo ada temannya.” “Iyaah … cuman aneh aja kalo tiba-tiba kamu ngotot mau nginep gini,” sahut Vena, "masa sih, efek kena terkam simba jadi kek gini?” “Ah sudahlah. Nggak jadi.” Vena tertawa terkekeh. Tiba-tiba ia meletakkan tangannya ke pundakku. “Nggak papah, dateng aja. Aku welcome kok.” Kulihat Doni berlari-lari mendekat ke arahku. Diulurkannya tangannya membentuk senapan dan menembakkannya padaku. Kupegang dadaku seolah terkena pelurunya dan tersenyum tipis. “Ehem!” Suara Vena membuatku kembali sadar bahwa aku tidak sendirian. “Alea, ingat ya. Apapun masalah yang sedang kamu hadapi, aku akan selalu ada di samping kamu,” ucap Vena, “kapanpun kamu ingin cerita, aku siap mendengarmu. Oke.” Aku menganggukkan kepalaku. Tentu saja, tapi sekarang bukan saat yang tepat. Aku tidak siap terlihat sekonyol perjodohan itu bahkan di hadapan sahabatku sendiri. Namun hari berlalu dengan begitu cepat. Matahari seakan enggan untuk bertahta di langit terlalu lama. Perlahan ia bergeser dan terbenam di ufuk barat. Kumasukkan beberapa pakaian dan seragamku ke dalam tas. Bagaimanapun aku harus keluar dari rumah ini sebelum keluarga Darius tiba. Tapi ketika suara deru mobil terdengar, aku pun tersadar kalau semua sudah terlambat. Mereka sudah datang! Aku harus pergi secepatnya dari rumah. Tapi … aku nggak mungkin lewat pintu depan. Mereka bahkan sedang berada di sana. Ah! Sungguh tak terpikirkan olehku. Aku bisa saja turun lewat pohon mangga yang batangnya bahkan menjalar hingga ke balkon kamarku. Sedikit meniti batangnya saja dan turun ke bawah. Sangat mudah! Aku pasti bisa melaluinya! Kulangkahkan kakiku melewati pagar balkon dan kucoba kokohnya batang pohon mangga. Ternyata cukup kuat untuk menopang beratku yang hampir lima puluh kilo ini. Kurentangkan kedua tanganku dan mulai melangkah setapak demi setapak di batang yang sedikit curam itu. Aman! Tiba-tiba kurasakan sesuatu merambat di balik celana berbahan jeans ku. “Tahan Alea! Tahan! Itu cuman semut!” batinku menahan rasa gatal yang sebenarnya sudah sangat ingin kugaruk. Tapi apa ini? Sepertinya bukan hanya semut yang menyelinap di bawah sana, tapi sekawanan semut sekaligus. Perlahan aku membungkukkan badanku berusaha menggapai bagian tungkai kakiku yang gatalnya semakin tak tertahankan. Namun ternyata tak segampang yang kubayangkan. Kakiku terpeleset dan tubuhku hampir saja terhempas ke tanah seandainya saja kedua tanganku tidak sigap memeluk salah satu dahannya. Kutengokkan kepalaku melewati bahuku. Dan aku mendadak ketakutan. Bagaimana tidak, ternyata jarak tanah di bawahku masih begitu jauh! Bisa kubayangkan kalau badanku jatuh ke tanah berumput itu. Setidaknya badanku akan lebam dan cedera bahkan kepalaku bisa saja bocor karena batu-batuan di bawah sana. Atau paling tidak aku bisa mengalami gegar otak! Lalu bagaimana caraku turun, sementara kedua tanganku mulai tak sanggup menahan beban tubuhku sendiri. “Tolong!” teriakku pada akhirnya, “tolong aku! Tolong! Papa!” Tanganku gemetar. Apalagi semut-semut yang tadinya berbaris rapi di dahan itu, mulai merambat di tanganku. Barisan semut itu membuatku semakin gelisah dan rasa gatal di kakiku semakin menjadi, bersamaan gerakan merayap para semut di tungkai kakiku. “Tolong! Papa!” teriakku semakin kencang, “Alea nggak bisa turun, Pa! Tolong! Tolong!” “Kamu ini berisik! Dimana-mana selalu bikin ulah!” Suara itu terdengar tak asing di telingaku. Tapi tidak mungkin makhluk astral semacam dia, bisa muncul di rumahku. Tidak mungkin dia dengan sengaja mencuri data sekolah cuman karena berniat melaporkan ulahku di sekolah pada orang tuaku. “Memangnya hobi kamu manjat pohon, ya kalau di rumah?” lanjutnya, “sudah mirip koala saja.” Sumpah! Itu benar suara dia! Aku yakin sejuta persen, itu suara dia! Aku langsung menolehkan kepalaku melewati pundakku. Tapi karena kecerobohanku, tiba-tiba peganganku lepas begitu saja.“Aargh!” Aku tak sempat meraih dahan lain dan jatuh begitu saja tanpa bisa melakukan apapun. Pasrah! Tapi … kenapa tanah yang seharusnya keras itu tidak menghantamku. Justru badanku seperti … melayang di udara. Sungguh nggak masuk di akal. Aku nggak bisa terbang. Dan nggak mungkin bumi tiba-tiba saja kehilangan gaya gravitasinya. Kubuka mataku perlahan dan sungguh terkejutnya aku, saat melihat wajah Pak Jonathan yang begitu dekat denganku. Iya! Itu benar-benar dia! Bahkan dia sudah menyelamatkan aku dengan menangkap tubuhku tadi. Baru kali ini aku melihat wajahnya dengan begitu dekat. Kulitnya yang bersih terawat, hidungnya yang runcing dan jakunnya.Aku segera melompat turun dari gendongannya. Ini sama sekali nggak lucu. Apa yang ada di dalam pikiranku?Sebentar lagi, pasti aku bakalan dengar ceramah panjang dari papa dan si simba. Dan itu berarti aku nggak akan sempat kabur sebelum calon suami yang ditunggu papa datang.“Alea! Kamu ngapain di kebon?” tanya papa yang baru sekara
Mau tak mau, aku membuka pintu kamarku. Kuberanikan diri menatap wajah guru yang hampir tiga tahun ini mengajar kelas matematikaku. “Pak Jonathan nggak mau nikah sama aku, kan? Aku juga nggak mau,” cicitku langsung setelah membuka pintu, "jadi ... nggak usah perpanjang masalah ini. Bapak pulang dan kita lanjutkan hidup kita masing-masing."“Boleh aku masuk?”Aku terkejut ketika lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamarku. Baru kali ini ada lelaki selain papa yang dengan beraninya masuk ke kamarku. Lelaki itu bahkan memperhatikan setiap sudut kamarku sebelum duduk di atas kursi meja belajarku. “Benar, pada awalnya aku juga sepertimu. Aku menolak perjodohan ini. Persis sama sepertimu. Tapi ….” Lelaki itu menundukkan kepalanya seperti ada sesuatu beban dalam pikirannya yang ingin disampaikannya padaku.“Tapi apa? Bapak nggak bisa nolak?” tanyaku sebelum berdecih. Bagaimana mungkin guru segalak dia ternyata bisa selemah ini. Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tanganku. “Kakekku sedang sa
“Iya, iya. Aku lepasin.” Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat.“Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” “Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.”“Ogah! Buat apa?” “Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” “Kamu … udah gila ya?” “Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih?Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. Senyum Doni Aryanata, teman laki-
Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini. “Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.” Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?” Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!” Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya. Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya me
Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Pak Jonathan. Rumah yang tidak bisa dibilang besar itu hanya mempunyai satu kamar tidur dan sebuah kamar yang lebih terlihat mirip gudang. Namun perabot di dalam tiap ruangnya yang terkesan minimalis, membuat kesan rumah itu terlihat lebih luas dari yang seharusnya. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur empuk. Rasa capek karena padatnya aktivitas hari ini, membuatku ingin segera memejamkan mata. Tentu saja setelah aku membasuh tubuhku terlebih dahulu. Seharusnya Pak Jonathan sudah selesai membersihkan diri. Aku bisa menebaknya karena tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam sana. Tapi kenapa dia tak juga keluar dari kamar mandi. Dia terlalu lama, sampai kandung kemihku rasanya tak sanggup lagi menahan cairan yang sejak tadi kutahan. “Pak! Pak Jonathan,” panggilku di depan pintu kamar mandi.Baru saja kuayunkan tanganku untuk mengetuk, daun pintu itu terbuka lebar. Aku dapat melihat tubuh lelaki yang kini telah jadi suamiku itu. T
Sesuatu yang bergerak di bawah panci berbahan alumunium itu, membuatku perasaan gelisahku semakin kuat. Panci yang dalam posisi tertelungkup itu bergerak tak beraturan, memperlihatkan kehadiran sebuah nyawa di dalamnya. “Ti–tikus?” Pikiranku langsung tertuju pada sosok makhluk berwarna hitam yang paling kutakuti. Sosok hitam yang dalam pikiranku adalah makhluk terjorok penghuni selokan itu selalu sukses membuatku merinding jejingkrakan. Aku segera mencari perlindungan. Dan perlindungan terdekat adalah dia! Lelaki yang ada di dekatku. “Ti–tikus!” teriakku. Kutarik dia dan kujadikan sebagai tameng dari makhluk kecil di bawah sana. “Heh! Mesum!” Suara laki-laki itu terdengar beberapa saat kemudian.Saat itulah aku menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. Sepasang tanganku merasakan padat dan kerasnya dada Pak Jonathan yang kupeluk dari belakang. Kulitnya yang masih lembab dan terbuka itu terasa begitu segar, sesegar aroma segarnya sabun yang masih melekat di kulitnya. “Heh! Mesum,
“Aku bakal … bikin semua orang di sekolah kita tahu, kalau Bapak itu nggak pantes buat jadi guru kesiswaan. Bapak cuma … cuma predator siswi di bawah umur,” cicitku kesal, “Bapak bahkan menikahi siswinya yang belum genap sembilan belas tahun.” “Silahkan saja,” sahutnya dengan angkuh, “paling juga … kita berdua dikeluarkan dari sekolah. Dan … bukan aku yang rugi, tapi kamu yang seharusnya tinggal menyelesaikan ujian akhir saja.” Aku mencebik kesal. Mau tak mau kurebahkan tubuhku dengan posisi membelakanginya. Bisa kubayangkan, setiap malam aku harus mengalami hal menyebalkan seperti ini. Seperti kebahagiaan yang biasanya ada, tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Malam semakin larut dan aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Tidur di tempat yang sama sekali asing, bahkan bersama lelaki yang sebelum ini kukenali sebagai guru matematika di sekolahku. Guru temperamental yang seolah berambisi untuk menjatuhkan mentalku hanya karena tak sanggup menolak sebuah perjodohan. Tiba-tiba
Rasanya ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kekesalanku. Tidak ada sarapan, tidak ada pula ijin untuk cuti hari ini. Tidak ada kata selain si menyebalkan yang lebih pantas baginya. “Kok manyun gitu sih?” tanya Vena setengah berbisik di sela pelajaran bahasa Inggris yang sedang berlangsung, “ada masalah?” “Nggak, aku cuma sedikit lelah dan ngantuk,” balasku berbisik.“Ijin ke UKS?” sahutnya, “kamu mau tiduran sebentar, kan?” “Aku defisit lima jam istirahatku,” sahutku lagi, “bayangin … dari delapan jam, aku cuman tidur tiga jam.” “Emang ngapain aja kamu kok bisa tidur cuman tiga jam?” tanya Vena yang seperti mencurigaiku.“Aku —”“Alea! Vena! Pack your books and stationery, go to the student section and ask for punishment for your noisy chatter on my class,” perintahnya perempuan setengah baya bertubuh tambun itu. “Huu!” Suara itu berkumandang seolah paduan suara yang mengiringi gerakan kami mengemas semua harta benda kami yang terserak di atas meja.“Habislah kita!” Gumamk
“Jo? Kamu … sama dia. Kenapa bisa barengan?” Suara mendayu yang khas itu, spontan membuatku menoleh ke belakang.Dan benarlah apa yang kuduga. Bu Ella sedang berdiri di belakangku. Matanya begitu bulat seperti mau lompat saat melihatku ada di sisi suamiku. Dimana salahnya? Ah ~ tentu saja karena dia belum tahu kalau kami sudah menikah.“Selamat malam, Bu,” ucapku, mati-matian menyembunyikan rasa terkejut yang ada. Kutarik sudut bibirku untuk memberinya seulas senyuman. Tapi sepertinya ia tidak menyukainya. “Alea, jangan bilang kalau kamu sedang belajar di sini,” ucap wali kelas 12A-1 itu dengan nada meninggi. Tatapan mata curiganya seperti sinar laser yang hendak menembusku. “Tapi bukan saya loh, yang bilang. Ibu sendiri yang bilang kalau aku belajar,” balasku cepat. “Bu Ella, kami sedang makan malam. Apa ada yang salah?” ungkap Pak Jonathan dengan santainya. Mata perempuan itu menatapku dengan sinis, membuatku merasa tak nyaman karenanya. “Berdua?” “Kenapa Bu, apa salah jika Pa
“Alea … Alea! Dengarkan aku,” pinta Pak Jonathan dengan tegas. Aku menatap manik hitam itu masih dengan perasaan tak karuan. Bagiku kalimat yang diucapkannya tadi adalah momok paling menyeramkan dalam hidupku. Aku tidak ingin menghancurkan impian orang yang kusayang. “Kamu nggak perlu merasa gentar. Kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan. Kita pulang sekarang,” perintah Pak Jonathan. Heh! Apa dia semarah itu karena aku sudah menghancurkan impiannya? Sepanjang perjalanan, aku masih saja berpikir tentang semua peristiwa yang terjadi. Semuanya terjadi begitu saja seperti sebuah mimpi. Bahkan Pak Jonathan tak memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang membuat impiannya hancur hanya karena tak ingin aku merendahkan diri. Aku menghela napas panjang, berharap dengan masuknya oksigen ke dalam tubuhku, pikiranku akan semakin terbuka dan bisa menyelesaikan persoalan ini. Ya, aku yakin pasti ada cara untuk menyelesaikan persoalan ini.“Kenapa? Kamu masih nggak ikhlas bua
“Maaf Tante, sebenarnya kemarin aku cuma kebetulan lewat. Aku sama Doni cuman teman sekolah. Emh, teman akrab,” tuturku tanpa mempedulikan kegelisahan di wajah lelaki muda itu. Tentu saja dia sadar kalau aku sudah beberapa kali mencoba memutuskan hubungan kami. “Teman akrab?” ulang Doni seakan kata itu terdengar aneh di telinganya. Tok tok! Aku langsung menoleh ke arah pintu, tepat dimana Pak Jonathan berdiri. Lelaki itu menutup pintu dan langsung menebarkan senyumannya. “Kamu sudah baikan, Don?” tanya Pak Jonathan dengan penuh perhatian.“Lumayan Pak,” sahutnya, “terima kasih sudah datang.” Pak Jonathan mengulurkan tangannya pada perempuan itu. “Anda pasti mamanya Doni, kan. Kenalkan, saya Jonathan. Saya guru mereka, tapi hari ini saya kemari untuk menemani istri saya menjenguk Doni, temannya.” Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Pak Jonathan tanpa basa basi langsung memperkenalkan dirinya sebagai suamiku, pada mamanya Doni. Bahkan ia mengatakannya deng
“Siapa yang nelpon? Apa ada masalah? Kok kelihatannya serius banget?” Suara itu membuatku terkejut. Tentu saja aku tidak menyadari kehadirannya di sekitarku. Bisa saja Pak Jonathan sudah mendengar semua pembicaraan antara aku dan Vena. Tapi … dia nggak mungkin dengar apa yang Vena katakan. Bisa saja dia akan salah paham jika aku tidak menjelaskannya. Tapi … bagaimana kalau sebaliknya, dia justru sakit karena aku membahas masalah Doni lagi. “Vena … iya, Vena yang telpon,” sahutku tergagap saking gugupnya. “Kenapa lagi? Ada masalah?”“Eng … anu. Gimana ya, aduh … itu.” Sepertinya kegugupanku justru membuat lelaki itu makin penasaran. Ia menatapku dengan intens, seakan mencurigai sesuatu. “Alea. Kamu nggak perlu takut. Aku di sini bukan sebagai guru kamu,” bujuknya, “aku ini suami kamu. Dan aku janji, apapun yang terjadi aku bakal ada buat kamu, sebagai teman, supporter juga payung buat kamu berlindung.” Kalimat itu sedikit membuatku merasa lega. Aku rasa dia tidak akan marah sean
“Halo, Jo. Kamu mendengarku?” Pak Jonathan mendengus, sepertinya ia sudah mulai merasa terusik dengan tingkah Bu Ella yang memang terus melekat seperti permen karet. Tapi yang lebih menyebalkan bagiku hanyalah tingkah Pak Jonathan yang tidak dengan tegas menolaknya hanya karena takut hubungan kerjanya menjadi tidak harmonis.“Aku nggak sakit, Bu Ella. Aku cuma butuh istirahat. Jadi tolong jangan ganggu aku untuk urusan sekolah hari ini,” ucapnya dengan sopan.Aku mendecak kesal. Tentu saja kalimat itu bukan berarti sebuah penolakan. Bu Ella pasti tak bisa menangkap penolakan yang diterimanya secara ambigu itu. Nggak! Aku nggak bisa biarkan Bu Ella terus mengharapkan cinta dari Pak Jonathan. Kalau dulu, mungkin aku akan rela menyerahkan Pak Jonathan, seandainya ia bisa memenangkan hatinya. Tapi sekarang … aku tidak akan pernah membiarkan dia merayunya apalagi di depanku. Aku bukan tipe perempuan yang suka berbagi. Bagiku apa yang sudah menjadi milikku, tidak boleh dimiliki siapapun.
Rasa itu terasa begitu nyata. Bahkan sapuan basah di leherku seakan langsung menyentakku kembali ke alam nyata. Ini benar-benar nyata! Setiap sentuhan yang kurasakan benar-benar nyata.Aku langsung bernapas lega saat menyadari bahwa di hadapanku bukan lelaki yang sama. Tentu saja itu semua hanya mimpi. Doni tidak mungkin melakukan hal seaneh itu. Yang aku tahu, dia memang playboy. Namun ia tidak pernah memaksakan hal seperti itu padaku.Dan lagi, tidak seharusnya aku merasa cemas pada orang yang mungkin saat ini masih terbaring dalam masa pemulihan pasca operasi di kamar rawat inapnya. Itu semua hanya mimpi. Pak Jonathan menggenggam tanganku dengan erat. Bibirnya mengecup di leherku. Panas, seperti hendak membakar dan mengurungku dalam hasratnya yang membara. Napasku terengah, udara yang mengisi paru-paruku, membuat dadaku terasa penuh lalu kosong dalam seketika secara bergantian. Rasa gelitik terasa begitu nikmat saat ia menyentuh di bagian dadaku, membuat bagian puncaknya terasa p
Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat dua orang laki-laki yang sejak tadi mengetuk pintu rumahku itu bernapas lega. Mereka tersenyum tanpa tahu bahwa tingkah mereka telah mengganggu ketenangan kami.“Selamat malam, Pak Jonathan,” sapanya, “saya selaku RT di blok ini dan berdasar keputusan warga, memberitahukan bahwa setiap malamnya akan diadakan giliran piket.”“Loh … loh, kok mendadak seperti ini, toh Pak RT?” “Pak Jonathan sudah dengar, kan. Tadi sore di blok depan perumahan kita, ada pembunuhan. Kita juga belum pasti dengan motifnya. Bisa jadi karena perampokan,” sahut Pak RT, “karena itu warga jadi resah, mereka takut pelaku masih berkeliaran dan mengintai. Lalu keluarga mereka menjadi sasaran berikutnya.”“Kenapa nggak bayar saja, sih. Kan kita bisa patungan buat bayar beberapa penjaga khusus blok kita,” batinku. Ingin rasanya aku keluar dan langsung menegur dua lelaki yang seperti tidak punya sopan santun karena bertamu di jam selarut ini.“Iya, saya dengar dan saya ikut mend
Waktu benar-benar terasa bergerak dengan lambat saat lampu ruang operasi itu menyala. Bahkan Pak Jonathan juga belum terlihat. Dan itu membuatku semakin gelisah. Rasa lega baru saja kurasakan saat lelaki yang kutunggu-tunggu itu muncul. Ia berlari-lari menghampiriku, masih dalam balutan seragam formalnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah tegangnya.“Aku lewat di depan rumahnya ketika mobil patroli polisi dan ambulans datang dan mengangkutnya. Doni … ditusuk perutnya dan aku dengar mereka juga mengatakan kalau … papanya sudah … meninggal. Tidak ada wali. Bahkan mereka tidak menemukan cara untuk menghubungi mamanya. Jadi … aku mendesak rumah sakit agar mengambil tindakan terlebih dahulu. Pak Jonathan, apa aku sudah melakukan hal yang benar? Aku … aku, benar-benar takut.”Lelaki itu menghela napas. Satu tangannya terangkat dan tiba-tiba saja menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya begitu tenang saat berada dalam pelukan itu. Seperti semua kecemasan dan kegelisahan selama
Suara teriakan itu terdengar keras dari speaker ponselku. Entah apa yang dilihat oleh Doni sehingga ia berteriak histeris seperti itu sebelum sambungan telepon kami terputus. “Hei! Apa yang kalian lakukan?” Hanya itu kalimat terakhir yang terdengar di telingaku. Sepertinya Doni sedang mengalami suatu masalah serius. Tapi … ah, sudahlah. Seharusnya dia bisa mengatasi semua masalah ini. Bukankah dengan uang ayahnya yang banyak itu, dia dapat menyelesaikan semua masalah. Vena benar, Doni memang asik buat dijadiin pacar. Wajahnya oke, dia baik dan bukan tipe cowok yang suka split bill kalo pacaran. Tapi … kalau buat dijadiin suami, aku harus mikir seribu kali. Dia tipe orang yang santai, nggak mau terikat aturan dan selalu mengandalkan kekayaan keluarganya, yang notabene dari hasil bisnisnya di dunia malam. Mikirin hal seperti ini saja, sudah bikin aku merinding disko. Bayangkan saja jika suatu saat nanti papanya justru mewariskan usaha ini pada Doni. Bisa jadi sifatnya berubah sepe