“Non Alea sudah bangun?” Suara Bik Titin membuatku tersadar bahwa semua itu hanyalah mimpi.
Perempuan setengah baya itu memang selalu datang di pagi hari dan pulang di sore hari. Ia satu-satunya orang yang kami andalkan membantu kami membereskan pekerjaan rumah semenjak mama pergi. “Mimpi apa sih Non, kok sampe teriak histeris gitu?” tanya Bik Titin mengkepo sementara tangannya sibuk merapikan tirai yang baru saja dibukanya. “Mimpi digigit macan ompong, Bik,” sahutku kesal. “Eh, macan ompong,” timpal Bik Titin sambil tertawa, “geli dong, Non. Diemut namanya, bukan digigit.” “Nggak tahu lah!” teriakku dari dalam kamar mandi. Tiba-tiba saja tercetus beragam ide di benakku. Bagaimana seandainya Bik Titin menggantikan aku untuk menikahi pria itu? Atau …. Bagaimana kalau aku kabur dari rumah? Mungkin papa akan membatalkan perjodohan itu. Lagipula aku bisa tinggal sementara di rumah Vena sampai papa nggak marah lagi. Ah! Sepertinya hanya ini hal yang paling masuk akal. Pagi itu sengaja aku mempercepat persiapanku untuk berangkat ke sekolah. Bahkan aku sengaja tidak menghampiri meja makan untuk sekedar sarapan pagi. Tentu saja karena aku tidak ingin terlibat perdebatan yang pasti akan menghancurkan mood ku seharian ini. “Non Lea nggak sarapan dulu, Non?” panggil Bik Titin saat aku hendak membuka pintu. “Nggak keburu, Bik. Ada yang harus Lea kerjain di sekolah,” sahutku sembari langsung keluar dari pintu. Ku starter motor matic ku cepat-cepat karena tak ingin terlibat pembicaraan lebih panjang lagi. “Tapi Non, Bibik sudah siapkan nasi goreng cumi hitam kesukaan Non Lea,” lanjut Bik Titin sembari menyembulkan kepalanya dari jendela ruang tamu. Aku tak menjawabnya. Hanya lambaian tangan yang kuberikan pada perempuan setengah baya itu sembari berlalu begitu saja. Jalanan masih sangat lengang saat aku meluncur dari rumahku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk tiba di sekolah. Hanya terlihat beberapa siswa dan guru yang sudah tiba lebih awal dariku. Dan gadis berkacamata yang sangat kukenal. Tirza! “Gimana? Tugasku udah kamu selesaiin, kan?” tanyaku langsung pada tujuan. “Aih … maap, sori, gomenasai,” ucapnya dalam aneka bahasa yang diketahuinya, “aku nggak tahu kalo itu tugas matematika. Aku nggak pinter matematika, Lea. Kalo aku kerjain, sama aja aku ngancurin nilai formatif kamu.” “Astaga, Tirza. Apa bedanya? Kalo kamu nggak kerjain, sama aja aku nggak dapat nilai,” sahutku. Lututku terasa lemas seketika. “Ini buku kamu. Mending kamu contek aja punya teman sekelas kamu sekarang,” lanjut Tirza sambil menyerahkan buku matematika minat yang kemarin ku selipkan uang kertas berwarna biru. Gadis itu menatap arloji di pergelangan tangannya, “masih sisa lima belas menit sebelum bel. Buruan!” Aku menarik bukuku dengan kasar. Tentu saja karena aku merasa sangat kesal. Bagaimana bisa aku mengerjakan sepuluh soal matematika berikut jalan hitungnya dalam waktu lima belas menit. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Seandainya moodku semalam tidak rusak gara-gara perjodohan konyol itu, mungkin aku masih bisa mengerjakan soal-soal itu di kertas kosong. “Syukurlah kamu dah datang, Ven.” “Kenapa?” “Tirza nggak bisa matematika!” “Lah kamu … anak Sos disuruh kerjain tugasnya anak MIPA,” sahutnya sambil tertawa terkekeh. Gadis itu mengeluarkan buku bersampul kertas warna hijau, sampul yang ditentukan oleh Pak Jonathan untuk mata pelajarannya. “Iya … iya. Nggak lagi-lagi deh,” sahutku sambil membuka buku itu untuk menyalin isinya ke dalam bukuku. Tapi baru tiga nomor berhasil kusalin, tiba-tiba Vena menarik bukunya. Aku langsung menoleh, memperlihatkan raut kesalku padanya. “Belum selesai, Markonah. Mana –” Namun ketika aku melihat sosok yang berdiri di sampingnya, aku pun segera menarik sudut bibirku. “Eh … Pak Jonathan. Selamat pagi, Pak.” Lelaki itu terlihat menatap buku yang ada di depanku. Buku yang masih bertuliskan tiga nomer pertama tugas yang diberikannya itu justru membuat perasaanku tak enak. “Alea, bawa tugas kamu dan ikut ke ruangan saya sekarang!” perintahnya dengan suaranya yang tegas. Ya ampun! Rasanya seperti udah jatuh ketimpa tangga. Seperti keluar dari liang ular, masuk ke goa simba. Mimpi apa aku semalam. Euh … apa arti mimpi nikah sama aki-aki itu sama dengan diterkam simba, ya? “Bapak sudah nggak tau lagi harus bilang apa,” ucap laki-laki itu setelah kami sampai di ruangannya. Ia mengatupkan kedua tangannya di atas meja dan menatapku dengan tajam, setajam silet. “Nggak usah bilang, Pak!” batinku dengan perasaan kesal. “Kamu tahu gunanya tugas yang Bapak berikan?” “Tahu. Buat ambil nilai formatif,” sahutku dengan polosnya. “Bukan cuman itu. Tugas itu buat latihan kamu, biar nanti waktu ujian nggak ada kesulitan,” tuturnya. “Ooooh ….” ucapku spontan, “jadi nggak masuk nilai, ya Pak?” “Masuk nilai. Dan kamu nggak dapat nilai kali ini.” “Yaaah …. Jangan gitu, dong Pak,” rayuku, “masa sih Bapak mau bikin nama sekolah ini jelek karena siswanya ada yang nggak lulus?” “Bapak nggak peduli, nggak mau terima komplain apalagi dari siswa yang nggak tertib seperti kamu, Alea Putri Harya Wenang.” Aku melihat keseriusan dari nada suaranya. Lebih daripada biasanya, lebih daripada tegurannya pada siswa yang membolos atau bahkan mencorat-coret tembok sekolah. Nada suara itu menekan pada nama panjangku seakan penuh kebencian. Bahkan aku bisa merasakan aura tak bersahabatnya lebih daripada biasanya. “Sebagai guru kesiswaan sekolah ini, Bapak tidak akan mentolerir hal-hal seperti ini. Dan satu hal yang perlu kamu ingat, kemalasan adalah jalan awal menuju kehancuran. Tidak masalah jika satu siswa tidak lulus di tahun ini, jika itu bakal menjadi cemeti bagimu untuk bangkit dan maju,” ucapnya lagi, “entah jadi apa pemalas sepertimu jika tetap diluluskan nantinya.” Aku mengatupkan rahangku. Rasa malu, kesal, gelisah dan marah bercampur aduk menjadi satu. Seandainya saja dia bukan guruku, mungkin saja aku akan memprotesnya dengan keras. Kenapa dia bisa sekasar itu kepadaku? Cukup Pak! Apa Bapak cuma bisa marah tanpa menyelidiki alasanku tidak mengerjakan tugas itu? Kenapa Bapak cuma bisa menuntut tanpa tahu bahwa aku juga punya kehidupan dan masalah lain di luar sekolah? Aku juga ingin menikmati masa mudaku dengan bahagia seperti yang lainnya, hanya memikirkan pelajaran dan sekolah. Tapi bahkan perjodohan tolol itu membuatku muak dan merasa tak berharga. Ingin rasanya kusampaikan semua yang ada dalam hatiku. Tapi aku rasa semua itu tak ada gunanya. Entah kenapa aku merasa Pak Jonathan tidak akan mau mendengar penjelasan apapun dariku. “Kenapa kamu melotot seperti itu? Apa kamu masih juga nggak merasa bersalah?”Aku menganggukkan kepalaku dengan lesu, ketika Vena menarikku masuk ke kantin siang itu. “Nah … gitu dong. Kamu harus makan, biar isi kepalamu juga nggak zonk,” cicit Vena sembari menyodorkan semangkuk nasi ayam geprek dan segelas teh hangat ke hadapanku. “Gimana tadi? Simba kelihatan marah banget pas suruh kamu ke ruangannya,” tanya Vena padaku. “Ya gitu, deh,” sahutku tanpa semangat, “kayaknya sih dia emang benci aku. Kamu tahu kan, banyak kok yang sering nggak kerjain tugas tapi dia fine-fine aja. Tapi begitu aku yang ngelakuin …. Duar! Bom atom langsung jatuh dan meletus!” Aku memasukkan sesuap makananku. Terasa pedasnya sambal bawang menyengat di lidahku. Perlahan ku seruput teh hangatku sebelum melanjutkan kalimatku. “Udahlah … rasanya dia emang sengaja. Sepertinya dia punya dendam kesumat sama aku deh, tapi aku nggak tau, aku salah apa sama dia.” “Alea! Jangan-jangan … dia naksir kamu,” cetus Vena tiba-tiba membuatku hampir tersedak. “Kok kamu bilang gitu sih?” tanyaku s
“Aargh!” Aku tak sempat meraih dahan lain dan jatuh begitu saja tanpa bisa melakukan apapun. Pasrah! Tapi … kenapa tanah yang seharusnya keras itu tidak menghantamku. Justru badanku seperti … melayang di udara. Sungguh nggak masuk di akal. Aku nggak bisa terbang. Dan nggak mungkin bumi tiba-tiba saja kehilangan gaya gravitasinya. Kubuka mataku perlahan dan sungguh terkejutnya aku, saat melihat wajah Pak Jonathan yang begitu dekat denganku. Iya! Itu benar-benar dia! Bahkan dia sudah menyelamatkan aku dengan menangkap tubuhku tadi. Baru kali ini aku melihat wajahnya dengan begitu dekat. Kulitnya yang bersih terawat, hidungnya yang runcing dan jakunnya.Aku segera melompat turun dari gendongannya. Ini sama sekali nggak lucu. Apa yang ada di dalam pikiranku?Sebentar lagi, pasti aku bakalan dengar ceramah panjang dari papa dan si simba. Dan itu berarti aku nggak akan sempat kabur sebelum calon suami yang ditunggu papa datang.“Alea! Kamu ngapain di kebon?” tanya papa yang baru sekara
Mau tak mau, aku membuka pintu kamarku. Kuberanikan diri menatap wajah guru yang hampir tiga tahun ini mengajar kelas matematikaku. “Pak Jonathan nggak mau nikah sama aku, kan? Aku juga nggak mau,” cicitku langsung setelah membuka pintu, "jadi ... nggak usah perpanjang masalah ini. Bapak pulang dan kita lanjutkan hidup kita masing-masing."“Boleh aku masuk?”Aku terkejut ketika lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamarku. Baru kali ini ada lelaki selain papa yang dengan beraninya masuk ke kamarku. Lelaki itu bahkan memperhatikan setiap sudut kamarku sebelum duduk di atas kursi meja belajarku. “Benar, pada awalnya aku juga sepertimu. Aku menolak perjodohan ini. Persis sama sepertimu. Tapi ….” Lelaki itu menundukkan kepalanya seperti ada sesuatu beban dalam pikirannya yang ingin disampaikannya padaku.“Tapi apa? Bapak nggak bisa nolak?” tanyaku sebelum berdecih. Bagaimana mungkin guru segalak dia ternyata bisa selemah ini. Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tanganku. “Kakekku sedang sa
“Nggak mau, Pa!” teriakku dengan kesal. Kuletakkan kedua tanganku menutup telingaku rapat-rapat. “Pokoknya Alea nggak mau dijodohin. Titik!”“Alea, ini permintaan terakhir kakek kamu, loh. Dia udah janji bakal nikahin keturunannya dengan keturunan sahabatnya.” Sesak rasa di dadaku, ketika papa tiba-tiba menyampaikan wasiat kakekku. Bukan tentang harta, tapi tentang perjodohan konyol antara keluargaku dengan keluarga sahabatnya. “Kalau memang Papa mau, kenapa nggak Papa aja yang nikah sama anaknya?” balasku masih tidak bisa menerima kenyataan. “Anaknya cowok, Alea,” sahut papaku, “cowok nggak bisa nikah sama cowok.” “Iya, tapi nggak harus ngorbanin Alea juga, kan,” omelku, “emangnya Alea kucing, gitu? Bisa asal dikawinin gitu aja sama kucing lain yang baru ditemuinnya.”“Bukan gitu, Al. Papa udah lihat kok, calon suami kamu. Dia itu lelaki hebat! Dia sudah mandiri bahkan di usianya yang masih terbilang muda, pekerja keras, baik, sopan, ganteng, pinter pula. Paket lengkap lah buat d