Share

Menikahi Guru Killer
Menikahi Guru Killer
Penulis: Chocoberry pie

Bab 1

“Nggak mau, Pa!” teriakku dengan kesal. Kuletakkan kedua tanganku menutup telingaku rapat-rapat. “Pokoknya Alea nggak mau dijodohin. Titik!”

“Alea, ini permintaan terakhir kakek kamu, loh. Dia udah janji bakal nikahin keturunannya dengan keturunan sahabatnya.” 

Sesak rasa di dadaku, ketika papa tiba-tiba menyampaikan wasiat kakekku. Bukan tentang harta, tapi tentang perjodohan konyol antara keluargaku dengan keluarga sahabatnya. 

“Kalau memang Papa mau, kenapa nggak Papa aja yang nikah sama anaknya?” balasku masih tidak bisa menerima kenyataan. 

“Anaknya cowok, Alea,” sahut papaku, “cowok nggak bisa nikah sama cowok.” 

“Iya, tapi nggak harus ngorbanin Alea juga, kan,” omelku, “emangnya Alea kucing, gitu? Bisa asal dikawinin gitu aja sama kucing lain yang baru ditemuinnya.”

“Bukan gitu, Al. Papa udah lihat kok, calon suami kamu. Dia itu lelaki hebat! Dia sudah mandiri bahkan di usianya yang masih terbilang muda, pekerja keras, baik, sopan, ganteng, pinter pula. Paket lengkap lah buat diambil jadi mantu papa.” 

“Alea nggak mau, Pa. Pokoknya Alea nggak mau.”

Tentu saja aku kekeh tidak mau menerima perjodohan ini. Seorang lelaki yang sempurna, pasti akan menolak perjodohan seperti ini. Faktanya hampir semua cowok tampan itu sudah punya pacar. Dan aku yakin, kriteria yang disebutkan papa itu semuanya palsu.

Jadi yang ada dalam bayanganku saat ini adalah sosok Datuk Maringgih yang akan menikahi Siti Nurbaya. Hih! Ngebayangin aja sudah bikin bulu kudukku merinding. 

Cuma laki-laki tua beraroma minyak cap kapak yang mungkin tidak akan menolak dijodohkan seperti ini. Bisa kubayangkan bagaimana ciuman pertamaku yang nantinya bakal jadi pengalaman terburuk seumur hidupku. Membayangkan gigi geliginya yang sudah tidak lengkap saja sudah membuatku geli. 

“Kalau gitu, terpaksa ….” Ucapan papa berhenti sampai di situ. Dan itu membuatku semakin penasaran. 

“Terpaksa apa Pa?” 

“Terpaksa Papa hentikan uang saku kamu,” sahut papaku sambil melangkah pergi meninggalkan aku. 

“Yaelah …. Pa! Ini namanya pemaksaan, pemerasan, nggak berperikemanusiaan,” teriakku dengan kesal, “Pa, Alea bukan Siti Nurbaya yang bisa dijodoh-jodohin gini.”

“Iya. Memang bukan Siti Nurbaya. Kamu Alea Nurbaya,” sahut papa dari dalam kamarnya. 

Hiih! Aku menghentakkan kakiku dengan kesal. Papa sungguh menyebalkan. Seandainya saja mama masih ada, pasti dia akan membantuku merayu papa agar membatalkan wasiat yang sama sekali tak masuk akal ini. Tapi pada kenyataannya, mama sudah meninggalkan aku setahun yang lalu. 

Suara ponsel seakan menyentakku kembali pada kenyataan. Kenyataan bahwa sekarang aku harus berjuang tanpa mama. Aku harus bisa melalui permasalahan ini dengan baik bagaimanapun caranya.

“Alea! Kamu dah kerjain tugas math belum?” Suara cempreng itu langsung memenuhi rongga telingaku. 

“Ah … matematika minat, ya?” 

“Ho–oh! Jangan sampe lupa. Nanti bisa diterkam lagi sama Pak Simba.” Suara cempreng itu kini terkekeh. 

“Iyah … aman. Aku dah kasih tugas itu ke Tirza,” sahutku.

“Hah! Kamu yakin dia bisa kerjainnya? Tirza itu cuman bisa diandalkan buat kerjain tugas macem tulis menulis yang modalnya nemu dari buku paket sama dari gugel,” cicit Vena, sahabatku.

“Tapi dia bilang bisa. Dan aku dah bayar dia goban buat kerjain tugas itu.” 

“Yaah … siap-siap deh kamu,” ucap Vena dengan nada frustasi, “siap-siap diterkam sama simba.” 

Aku menghela napas. Rasanya beban di pundakku terus bertambah. Mulai dari tugas sekolah yang tiada akhir di kelas terakhir sekolahku tahun ini, hingga masalah wasiat konyol yang dibicarakan oleh papaku tadi. 

Untung saja papa ngomong masalah sensitif ini setelah makan malam. Seandainya tidak, pasti perutku masih kosong karena kehilangan nafsu makan. 

“Kamu kenapa, Al,” tanya Vena tiba-tiba.

“Nggak … nggak papah, kok.” 

“Udah, nggak usah bete. Kamu kerjain aja di kertas. Besok kamu tempelin itu kertas ke buku kamu,” usul Vena seolah dapat membaca kegalauan hatiku. 

“Ven, kalau misal nih ya … misal. Aku kabur dari rumah, aku boleh nggak diam di rumah kamu,” tanyaku. Seribu satu ide muncul di benakku untuk menghindari perjodohan yang tak bisa ditolak ini.

“Loh … kenapa? Kamu mau kabur dari rumah, Al?” tanya Vena. 

“Misal kok, misal aja,” lanjutku karena sedikit ragu untuk menceritakan hal yang sesungguhnya.

“Astaga, kamu ini. Bikin aku kaget aja,” sahut Vena.

“Tapi dibolehin nggak?”

“Boleh! Boleh aja. Malah aku seneng ada teman di rumah. Nggak kesepian lagi, akunya.” 

Aku bisa menghela napas lega. Seandainya papa memaksa, tentu saja aku bakal pergi dari rumah. Gila aja kalo aku sampe nerima perjodohan macam ini. 

“Al …” 

“Hmm?”

“Kamu yakin kamu nggak papah?” 

“Nggak, aku beneran nggak papah,” sahutku, “emangnya kenapa?” 

“Soalnya … kamu nggak kayak biasanya, deh. Aku kenal kamu nggak setahun dua tahun, loh,” sahut Vena yang sepertinya mencurigai sikapku. 

“Iya … iya. Kamu itu bestie aku, yang paling baik, pokoknya. Tapi aku beneran nggak papah kali ini. Jangan khawatir,” elakku. 

“Ah … sudahlah kalo kamu nggak mau cerita sekarang. Tapi … kalau kamu sudah siap buat cerita, jangan ragu buat cerita,” cicitnya, “aku siap nampung semua beban kamu. Walau mungkin aku nggak bisa bantu apa-apa.” 

Entah kenapa hatiku rasanya begitu dingin mendengar kalimat itu. Setidaknya ada seseorang yang mau mendengarku tanpa menghakimi, menuntut dan menyerangku atas ketidakmampuanku sebagai seorang remaja.

“Pasti,” sahutku lemah sesaat sebelum menutup panggilan itu.

Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, kuarahkan sepasang mataku menatap langit-langit putih itu sambil menghela napas panjang.

Delapan belas tahun! Kenapa justru papaku sendiri ingin mengakhiri masa remajaku dengan menjodohkanku, bahkan dengan lelaki yang sama sekali tidak pernah kukenal. 

Ah! Dunia memang benar-benar gila. 

Kucoba memejamkan mata, namun kalimat yang diucapkan papa terus terngiang bahkan sampai terbawa dalam mimpiku.

“Alea, Alea! Bangun!” Suara papa seakan mengguncang isi kamarku.

“Itu calon suami kamu sudah datang. Kenapa kamu masih tidur dan belum bersiap-siap?” tegur papa tanpa kompromi, “lima menit lagi acara ijab kabul dimulai. Cepat turun, atau papa suruh mereka melangsungkan acaranya di kamar ini.” 

Aku menelan kasar salivaku. Mulutku ternganga namun tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari dalamnya. Semua terjadi dengan begitu cepat.

“Ok, jadi kamu nggak mau bergerak,” ancam papaku,” papa nggak main-main. Papa panggil mereka kemari sekarang juga. Kita lakukan ijabnya di kamar ini.” 

Mataku membulat. Heh! Apa-apaan ini. Kenapa pria tua itu bahkan diijinkan papa masuk ke kamar anak gadisnya. 

“Pa, jangan Pa. Alea nggak mau.” Setengah mati ingin ku ucapkan kalimat itu. Tapi tak ada satupun kata yang lepas dari mulutku. 

Pria tua itu mendekatiku lalu duduk di sisiku. Tiba-tiba saja ia berbisik di telingaku. “Calon istri abang … cantik juga ternyata.”

Dengan sekuat tenaga, aku pun berteriak. “Tidaaaak!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status