“Nggak mau, Pa!” teriakku dengan kesal. Kuletakkan kedua tanganku menutup telingaku rapat-rapat. “Pokoknya Alea nggak mau dijodohin. Titik!”
“Alea, ini permintaan terakhir kakek kamu, loh. Dia udah janji bakal nikahin keturunannya dengan keturunan sahabatnya.” Sesak rasa di dadaku, ketika papa tiba-tiba menyampaikan wasiat kakekku. Bukan tentang harta, tapi tentang perjodohan konyol antara keluargaku dengan keluarga sahabatnya. “Kalau memang Papa mau, kenapa nggak Papa aja yang nikah sama anaknya?” balasku masih tidak bisa menerima kenyataan. “Anaknya cowok, Alea,” sahut papaku, “cowok nggak bisa nikah sama cowok.” “Iya, tapi nggak harus ngorbanin Alea juga, kan,” omelku, “emangnya Alea kucing, gitu? Bisa asal dikawinin gitu aja sama kucing lain yang baru ditemuinnya.” “Bukan gitu, Al. Papa udah lihat kok, calon suami kamu. Dia itu lelaki hebat! Dia sudah mandiri bahkan di usianya yang masih terbilang muda, pekerja keras, baik, sopan, ganteng, pinter pula. Paket lengkap lah buat diambil jadi mantu papa.” “Alea nggak mau, Pa. Pokoknya Alea nggak mau.” Tentu saja aku kekeh tidak mau menerima perjodohan ini. Seorang lelaki yang sempurna, pasti akan menolak perjodohan seperti ini. Faktanya hampir semua cowok tampan itu sudah punya pacar. Dan aku yakin, kriteria yang disebutkan papa itu semuanya palsu. Jadi yang ada dalam bayanganku saat ini adalah sosok Datuk Maringgih yang akan menikahi Siti Nurbaya. Hih! Ngebayangin aja sudah bikin bulu kudukku merinding. Cuma laki-laki tua beraroma minyak cap kapak yang mungkin tidak akan menolak dijodohkan seperti ini. Bisa kubayangkan bagaimana ciuman pertamaku yang nantinya bakal jadi pengalaman terburuk seumur hidupku. Membayangkan gigi geliginya yang sudah tidak lengkap saja sudah membuatku geli. “Kalau gitu, terpaksa ….” Ucapan papa berhenti sampai di situ. Dan itu membuatku semakin penasaran. “Terpaksa apa Pa?” “Terpaksa Papa hentikan uang saku kamu,” sahut papaku sambil melangkah pergi meninggalkan aku. “Yaelah …. Pa! Ini namanya pemaksaan, pemerasan, nggak berperikemanusiaan,” teriakku dengan kesal, “Pa, Alea bukan Siti Nurbaya yang bisa dijodoh-jodohin gini.” “Iya. Memang bukan Siti Nurbaya. Kamu Alea Nurbaya,” sahut papa dari dalam kamarnya. Hiih! Aku menghentakkan kakiku dengan kesal. Papa sungguh menyebalkan. Seandainya saja mama masih ada, pasti dia akan membantuku merayu papa agar membatalkan wasiat yang sama sekali tak masuk akal ini. Tapi pada kenyataannya, mama sudah meninggalkan aku setahun yang lalu. Suara ponsel seakan menyentakku kembali pada kenyataan. Kenyataan bahwa sekarang aku harus berjuang tanpa mama. Aku harus bisa melalui permasalahan ini dengan baik bagaimanapun caranya. “Alea! Kamu dah kerjain tugas math belum?” Suara cempreng itu langsung memenuhi rongga telingaku. “Ah … matematika minat, ya?” “Ho–oh! Jangan sampe lupa. Nanti bisa diterkam lagi sama Pak Simba.” Suara cempreng itu kini terkekeh. “Iyah … aman. Aku dah kasih tugas itu ke Tirza,” sahutku. “Hah! Kamu yakin dia bisa kerjainnya? Tirza itu cuman bisa diandalkan buat kerjain tugas macem tulis menulis yang modalnya nemu dari buku paket sama dari gugel,” cicit Vena, sahabatku. “Tapi dia bilang bisa. Dan aku dah bayar dia goban buat kerjain tugas itu.” “Yaah … siap-siap deh kamu,” ucap Vena dengan nada frustasi, “siap-siap diterkam sama simba.” Aku menghela napas. Rasanya beban di pundakku terus bertambah. Mulai dari tugas sekolah yang tiada akhir di kelas terakhir sekolahku tahun ini, hingga masalah wasiat konyol yang dibicarakan oleh papaku tadi. Untung saja papa ngomong masalah sensitif ini setelah makan malam. Seandainya tidak, pasti perutku masih kosong karena kehilangan nafsu makan. “Kamu kenapa, Al,” tanya Vena tiba-tiba. “Nggak … nggak papah, kok.” “Udah, nggak usah bete. Kamu kerjain aja di kertas. Besok kamu tempelin itu kertas ke buku kamu,” usul Vena seolah dapat membaca kegalauan hatiku. “Ven, kalau misal nih ya … misal. Aku kabur dari rumah, aku boleh nggak diam di rumah kamu,” tanyaku. Seribu satu ide muncul di benakku untuk menghindari perjodohan yang tak bisa ditolak ini. “Loh … kenapa? Kamu mau kabur dari rumah, Al?” tanya Vena. “Misal kok, misal aja,” lanjutku karena sedikit ragu untuk menceritakan hal yang sesungguhnya. “Astaga, kamu ini. Bikin aku kaget aja,” sahut Vena. “Tapi dibolehin nggak?” “Boleh! Boleh aja. Malah aku seneng ada teman di rumah. Nggak kesepian lagi, akunya.” Aku bisa menghela napas lega. Seandainya papa memaksa, tentu saja aku bakal pergi dari rumah. Gila aja kalo aku sampe nerima perjodohan macam ini. “Al …” “Hmm?” “Kamu yakin kamu nggak papah?” “Nggak, aku beneran nggak papah,” sahutku, “emangnya kenapa?” “Soalnya … kamu nggak kayak biasanya, deh. Aku kenal kamu nggak setahun dua tahun, loh,” sahut Vena yang sepertinya mencurigai sikapku. “Iya … iya. Kamu itu bestie aku, yang paling baik, pokoknya. Tapi aku beneran nggak papah kali ini. Jangan khawatir,” elakku. “Ah … sudahlah kalo kamu nggak mau cerita sekarang. Tapi … kalau kamu sudah siap buat cerita, jangan ragu buat cerita,” cicitnya, “aku siap nampung semua beban kamu. Walau mungkin aku nggak bisa bantu apa-apa.” Entah kenapa hatiku rasanya begitu dingin mendengar kalimat itu. Setidaknya ada seseorang yang mau mendengarku tanpa menghakimi, menuntut dan menyerangku atas ketidakmampuanku sebagai seorang remaja. “Pasti,” sahutku lemah sesaat sebelum menutup panggilan itu. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, kuarahkan sepasang mataku menatap langit-langit putih itu sambil menghela napas panjang. Delapan belas tahun! Kenapa justru papaku sendiri ingin mengakhiri masa remajaku dengan menjodohkanku, bahkan dengan lelaki yang sama sekali tidak pernah kukenal. Ah! Dunia memang benar-benar gila. Kucoba memejamkan mata, namun kalimat yang diucapkan papa terus terngiang bahkan sampai terbawa dalam mimpiku. “Alea, Alea! Bangun!” Suara papa seakan mengguncang isi kamarku. “Itu calon suami kamu sudah datang. Kenapa kamu masih tidur dan belum bersiap-siap?” tegur papa tanpa kompromi, “lima menit lagi acara ijab kabul dimulai. Cepat turun, atau papa suruh mereka melangsungkan acaranya di kamar ini.” Aku menelan kasar salivaku. Mulutku ternganga namun tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari dalamnya. Semua terjadi dengan begitu cepat. “Ok, jadi kamu nggak mau bergerak,” ancam papaku,” papa nggak main-main. Papa panggil mereka kemari sekarang juga. Kita lakukan ijabnya di kamar ini.” Mataku membulat. Heh! Apa-apaan ini. Kenapa pria tua itu bahkan diijinkan papa masuk ke kamar anak gadisnya. “Pa, jangan Pa. Alea nggak mau.” Setengah mati ingin ku ucapkan kalimat itu. Tapi tak ada satupun kata yang lepas dari mulutku. Pria tua itu mendekatiku lalu duduk di sisiku. Tiba-tiba saja ia berbisik di telingaku. “Calon istri abang … cantik juga ternyata.” Dengan sekuat tenaga, aku pun berteriak. “Tidaaaak!”“Non Alea sudah bangun?” Suara Bik Titin membuatku tersadar bahwa semua itu hanyalah mimpi. Perempuan setengah baya itu memang selalu datang di pagi hari dan pulang di sore hari. Ia satu-satunya orang yang kami andalkan membantu kami membereskan pekerjaan rumah semenjak mama pergi. “Mimpi apa sih Non, kok sampe teriak histeris gitu?” tanya Bik Titin mengkepo sementara tangannya sibuk merapikan tirai yang baru saja dibukanya. “Mimpi digigit macan ompong, Bik,” sahutku kesal. “Eh, macan ompong,” timpal Bik Titin sambil tertawa, “geli dong, Non. Diemut namanya, bukan digigit.” “Nggak tahu lah!” teriakku dari dalam kamar mandi. Tiba-tiba saja tercetus beragam ide di benakku. Bagaimana seandainya Bik Titin menggantikan aku untuk menikahi pria itu? Atau …. Bagaimana kalau aku kabur dari rumah? Mungkin papa akan membatalkan perjodohan itu. Lagipula aku bisa tinggal sementara di rumah Vena sampai papa nggak marah lagi. Ah! Sepertinya hanya ini hal yang paling masuk akal. Pagi itu sen
Aku menganggukkan kepalaku dengan lesu, ketika Vena menarikku masuk ke kantin siang itu. “Nah … gitu dong. Kamu harus makan, biar isi kepalamu juga nggak zonk,” cicit Vena sembari menyodorkan semangkuk nasi ayam geprek dan segelas teh hangat ke hadapanku. “Gimana tadi? Simba kelihatan marah banget pas suruh kamu ke ruangannya,” tanya Vena padaku. “Ya gitu, deh,” sahutku tanpa semangat, “kayaknya sih dia emang benci aku. Kamu tahu kan, banyak kok yang sering nggak kerjain tugas tapi dia fine-fine aja. Tapi begitu aku yang ngelakuin …. Duar! Bom atom langsung jatuh dan meletus!” Aku memasukkan sesuap makananku. Terasa pedasnya sambal bawang menyengat di lidahku. Perlahan ku seruput teh hangatku sebelum melanjutkan kalimatku. “Udahlah … rasanya dia emang sengaja. Sepertinya dia punya dendam kesumat sama aku deh, tapi aku nggak tau, aku salah apa sama dia.” “Alea! Jangan-jangan … dia naksir kamu,” cetus Vena tiba-tiba membuatku hampir tersedak. “Kok kamu bilang gitu sih?” tanyaku s
“Aargh!” Aku tak sempat meraih dahan lain dan jatuh begitu saja tanpa bisa melakukan apapun. Pasrah! Tapi … kenapa tanah yang seharusnya keras itu tidak menghantamku. Justru badanku seperti … melayang di udara. Sungguh nggak masuk di akal. Aku nggak bisa terbang. Dan nggak mungkin bumi tiba-tiba saja kehilangan gaya gravitasinya. Kubuka mataku perlahan dan sungguh terkejutnya aku, saat melihat wajah Pak Jonathan yang begitu dekat denganku. Iya! Itu benar-benar dia! Bahkan dia sudah menyelamatkan aku dengan menangkap tubuhku tadi. Baru kali ini aku melihat wajahnya dengan begitu dekat. Kulitnya yang bersih terawat, hidungnya yang runcing dan jakunnya.Aku segera melompat turun dari gendongannya. Ini sama sekali nggak lucu. Apa yang ada di dalam pikiranku?Sebentar lagi, pasti aku bakalan dengar ceramah panjang dari papa dan si simba. Dan itu berarti aku nggak akan sempat kabur sebelum calon suami yang ditunggu papa datang.“Alea! Kamu ngapain di kebon?” tanya papa yang baru sekara
Mau tak mau, aku membuka pintu kamarku. Kuberanikan diri menatap wajah guru yang hampir tiga tahun ini mengajar kelas matematikaku. “Pak Jonathan nggak mau nikah sama aku, kan? Aku juga nggak mau,” cicitku langsung setelah membuka pintu, "jadi ... nggak usah perpanjang masalah ini. Bapak pulang dan kita lanjutkan hidup kita masing-masing."“Boleh aku masuk?”Aku terkejut ketika lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamarku. Baru kali ini ada lelaki selain papa yang dengan beraninya masuk ke kamarku. Lelaki itu bahkan memperhatikan setiap sudut kamarku sebelum duduk di atas kursi meja belajarku. “Benar, pada awalnya aku juga sepertimu. Aku menolak perjodohan ini. Persis sama sepertimu. Tapi ….” Lelaki itu menundukkan kepalanya seperti ada sesuatu beban dalam pikirannya yang ingin disampaikannya padaku.“Tapi apa? Bapak nggak bisa nolak?” tanyaku sebelum berdecih. Bagaimana mungkin guru segalak dia ternyata bisa selemah ini. Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tanganku. “Kakekku sedang sa
“Iya, iya. Aku lepasin.” Audrico melepaskan cekalan tangannya setelah kuhentakkan tanganku dengan kuat.“Apaan sih,” omelku saking kesalnya, kuraba pergelangan tanganku yang terasa nyeri karena kekuatan tangan lelaki muda itu, “nggak usah tarik-tarik kenapa. Emangnya kamu kira aku kambing korban, apa.” “Enggak. Mana berani aku,” sahut Audrico dengan acuh, “ aku cuman dapat perintah buat bawa kamu ke belakang sekolah.”“Ogah! Buat apa?” “Udahlah, ikut aja. Atau … mau aku tarik lagi ke sana.” “Kamu … udah gila ya?” “Nggak, bukan aku yang gila. Tapi teman aku, kalo kamu nggak ikut sama aku.” Ish! Kenapa juga aku harus nuruti perkataannya. Tapi … temannya, maksudnya Doni, bukan sih?Karena rasa penasaran, dengan perasaan kesal, aku pun melangkahkan kakiku menyusuri koridor menuju ke taman belakang sekolah. Taman yang hampir tak terurus karena jarang dikunjungi oleh siapapun. Namun aku benar-benar terkejut ketika melihat apa yang menantiku di sana. Senyum Doni Aryanata, teman laki-
Pak Jonathan tersenyum. Sementara tangannya sibuk memarkirkan mobilnya dalam sederetan mobil lainnya di basement rumah sakit. Aku bisa membayangkan jawaban yang pasti keluar dari mulutnya. Tentu saja dia tidak akan menolaknya. Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan aku dengan menolak permintaan semudah ini. “Tidak.” Lelaki itu menatapku dengan matanya yang tajam. “Aku nggak bisa mentolerir siapapun yang mencontek apalagi yang berusaha membeli soal.” Aku mencebikkan bibirku dengan kesal. “Bapak suka ya, kalo aku nggak lulus? Gimana pikiran Om Darius sama papa kalo liat nilaiku ntar. Suaminya guru matematika, tapi kok istrinya nilai matematikanya jeblok?” Pak Jonathan mengangkat telunjuknya dan menekan keningku. “Makanya belajar!” Ish! Nyebelin banget nih orang. Seandainya saja dia nggak punya pengaruh buat nilai rapotku, pasti aku nggak akan segan buat balas perlakuannya. Lelaki itu turun dari mobilnya. Tentu saja aku cepat-cepat turun mengikuti langkahnya. Kaki-kaki panjangnya me
Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Pak Jonathan. Rumah yang tidak bisa dibilang besar itu hanya mempunyai satu kamar tidur dan sebuah kamar yang lebih terlihat mirip gudang. Namun perabot di dalam tiap ruangnya yang terkesan minimalis, membuat kesan rumah itu terlihat lebih luas dari yang seharusnya. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur empuk. Rasa capek karena padatnya aktivitas hari ini, membuatku ingin segera memejamkan mata. Tentu saja setelah aku membasuh tubuhku terlebih dahulu. Seharusnya Pak Jonathan sudah selesai membersihkan diri. Aku bisa menebaknya karena tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam sana. Tapi kenapa dia tak juga keluar dari kamar mandi. Dia terlalu lama, sampai kandung kemihku rasanya tak sanggup lagi menahan cairan yang sejak tadi kutahan. “Pak! Pak Jonathan,” panggilku di depan pintu kamar mandi.Baru saja kuayunkan tanganku untuk mengetuk, daun pintu itu terbuka lebar. Aku dapat melihat tubuh lelaki yang kini telah jadi suamiku itu. T
Sesuatu yang bergerak di bawah panci berbahan alumunium itu, membuatku perasaan gelisahku semakin kuat. Panci yang dalam posisi tertelungkup itu bergerak tak beraturan, memperlihatkan kehadiran sebuah nyawa di dalamnya. “Ti–tikus?” Pikiranku langsung tertuju pada sosok makhluk berwarna hitam yang paling kutakuti. Sosok hitam yang dalam pikiranku adalah makhluk terjorok penghuni selokan itu selalu sukses membuatku merinding jejingkrakan. Aku segera mencari perlindungan. Dan perlindungan terdekat adalah dia! Lelaki yang ada di dekatku. “Ti–tikus!” teriakku. Kutarik dia dan kujadikan sebagai tameng dari makhluk kecil di bawah sana. “Heh! Mesum!” Suara laki-laki itu terdengar beberapa saat kemudian.Saat itulah aku menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. Sepasang tanganku merasakan padat dan kerasnya dada Pak Jonathan yang kupeluk dari belakang. Kulitnya yang masih lembab dan terbuka itu terasa begitu segar, sesegar aroma segarnya sabun yang masih melekat di kulitnya. “Heh! Mesum,