Keesokan harinya.
Liona masih berada di rumah, duduk di sofa ruang tengah menunggu kabar dari sang suami.Karena kejadian kemarin, Sehan tak mau lagi membawa Liona pergi keluar rumah. Selama Sehan belum menemui Gretta, laki-laki itu meminta Liona untuk tetap berada di rumah.Sesekali Liona menatap layar ponselnya yang sejak tadi terus dia pegang, menunggu jika Sehan akan menelponnya. Suaminya itu masih mencari keberadaan Gretta dengan beberapa orang suruhannya.Tak lama, sebuah panggilan yang sejak tadi dia nantikan akhirnya memenuhi layar ponsel yang dia genggam. Dengan segera Liona langsung menjawabnya."Halo Sehan, bagaimana?" tanya Liona penasaran. Dari ponsel itu dia mendengar, Sehan tengah menghela nafas berat.'Aku baru saja ke rumahnya, Aoura mengatakan bahwa Gretta sejak kemarin tidak pulang. Mungkin karena kejadian kemarin, Gretta takut aku mencarinya.'Liona mengangguk paham. Dia lalu kembali bertanya, "bPerlahan mata Darwin terbuka saat mendengar suara yang tak begitu asing bertanya padanya. Dia lalu menoleh dan mendapati putri sulungnya sudah berdiri tak terlalu jauh dari sana. Darwin menghela nafas kasar. "Kenapa kau ke sini lagi? Kau ingin menuduh istriku lagi sebagai penjahat?"Liona mulai menghampiri Darwin dengan langkah pelan. Dia masih tak menyangka jika Darwin masih sebenci ini padanya."Ayah pasti masih meminum suplemen yang diberikan ibu, itu sebabnya kondisi ayah semakin memburuk." Liona tersenyum kosong. Dia menatap Darwin dengan sorot kasihan. "Kenapa ayah tidak mencoba berhenti meminum obat itu? Siapa tau kondisi ayah semakin baik.""Jika kau ke sini hanya untuk menuduh istriku, pergilah saja! Jangan muncul lagi di hadapanku."Liona menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Dia berusaha menguatkan hatinya agar tak terluka karena ucapan Darwin barusan."Ayah, apa ayah tau bahwa ibu saat ini memim
'Bunda ...'Kepala Liona mendadak pusing. Suaranya saat masih kecil kini mendadak terngiang di telinganya. Dia memanggil bundanya?'Bunda kenapa?''Liona ...'Dada Liona sesak. Dia bisa mengingat sebuah suara wanita dengan lembut memanggilnya. Suara itu semakin lemah, namun Liona bisa mendengarnya dengan jelas. "Bunda?"Darwin tersenyum perih saat sang anak menyebut panggilan yang sering dia dengar dua puluh tahun lalu. "Kau selalu memanggil ibumu dengan sebutan bunda. Apa kau ingat?"Liona kembali meluruskan pandangannya pada sang ayah. Dia tak bisa mengingat jelas, hanya sebuah suara yang mendadak terngiang di telinganya. Namun dia tak mau mempercayai apa yang sang ayah katakan barusan. Liona segera menggeleng. "Aku tidak membunuh ibu kandungku sendiri ayah! Aku tidak mungkin membunuh perempuan yang telah melahirkanku!""Teruslah membela dirimu Liona. Kau sama saja dengan dulu, saat semua
Dengan langkah cepat, Sehan menyusuri setiap lorong rumah sakit. Hingga sampai di sebuah ruang penanganan sementara, Sehan langsung menyelonong masuk begitu saja. "Sehan -"Sehan tak menghiraukan perempuan berambut sebahu yang memanggilnya. Dia langsung menghampiri istrinya yang terlihat memprihatinkan duduk di brankar pasien. "Apa yang terjadi padamu Liona?"Liona tak menjawab. Pandangannya terus menatap kosong ke depan. Ini mengingatkan Sehan pada saat dia menghampiri Liona di kantor polisi yang hampir terserempet mobil. Sehan juga ingat, Liona pernah seperti ini saat setelah menemui Darwin yang tengah di rawat waktu itu. Dia tau, Liona selalu seperti ini setiap melewati hal yang sangat berat. Hal inilah yang membuat Sehan semakin khawatir dengan perempuan tersebut. "Aku sudah mengatakan padamu, jangan keluar rumah sebelum aku kembali. Kenapa kau selalu melanggar perintahku Liona?"Sehan ingin memarahi Li
Pintu kamar terbuka, Liona sama sekali tak menghiraukan kedatangan sang suami yang tengah membawakan makan malam untuknya ke kamar.Sehan lalu meletakkan nampan berisi makanan dan minuman untuk sang istri ke atas meja, samping tempat tidur. Sehan kemudian duduk di sisi kasur, samping Liona. "Aku sudah membuatkan bubur untukmu, sekarang kamu makan ya?"Liona menggeleng lemah. Dia telah kehilangan nafsu makannya."Liona, aku tidak mau melihatmu sakit. Bukankah kita harus menyelesaikan semua ini? Jika kamu sakit, aku tidak mungkin bisa menyelesaikannya dengan cepat."Liona masih diam. Dia berpikir, apa yang dikatakan Sehan memang tidak salah. Akhirnya dia mengangguk lemah, mau untuk memakan makanan yang telah diantarkan sang suami ke kamar.Sehan tersenyum lega. Kemudian mengambil semangkuk bubur yang berada di atas nampan, lalu menyuapkan satu sendok bubur ke arah Liona. Perempuan itu melahapnya.Di tengah Liona mengunyah
Gretta diam sesaat setelah mendapat pertanyaan tersebut dari sang anak. Dia kemudian tersenyum tipis. "Ibu tidak tau, ibu menikah dengan ayahmu setelah kejadian itu berlalu. Jika ayahmu mengatakannya seperti itu, maka bisa jadi memang Liona pembunuhnya. Itu alasan ayah membenci Liona."Aoura masih tak bisa berpikir jernih. Walau dia membenci Liona sejak dulu, tapi dia tak melihat ada bakat membunuh pada diri sang kakak. "Untungnya dia tak membunuhku saat aku selalu membulinya."Gretta hanya tersenyum, lalu berjalan ke arah sofa dan menghempaskan tubuhnya ke atas sana untuk melepas lelah. Aoura mengikuti sang ibu dan kembali bertanya, "kenapa ibu tidak menceritakannya sejak awal padaku jika benar kak Liona anak kandung ayah? Dan juga kenapa ibu tidak bercerita tentang alasan ayah membenci kak Liona? Lalu jika tau kak Liona jahat, kenapa ibu mau membawanya ke rumah? Apa ibu tidak takut dengannya? Bagaimana jika dia berencana untuk membunuh ibu?"Gr
"Bunda ..."Seorang anak kecil mulai membuka pintu kamar orang tuanya dengan perlahan. Setelah pintu terbuka, matanya seketika membelalak terkejut. Seorang perempuan tengah tergeletak di lantai, dengan beberapa tablet obat bewarna putih berhamburan di sekitarnya. Mata perempuan itu masih terbuka, menatap ke arahnya. Mulutnya yang sudah dipenuhi busa berwarna putih, perlahan bergerak, mengucapkan sesuatu yang tak begitu jelas. "Liona ...""Bunda!"Mata Liona seketika terbuka. Keringat sudah bercucuran di seluruh tubuhnya, nafasnya tersengal-sengal. Dia mulai beringsut duduk. "Mimpi apa itu?" tanya Liona pada dirinya sendiri. Mimpi itu terlihat begitu nyata. Dia mulai berpikir, apakah barusan itu kepingan ingatannya yang hilang?Liona segera mengusap keningnya yang sudah basah karena keringat. Kepalanya mendadak berdenyut sakit. Dia berusaha mengingat wajah perempuan yang dia lihat di mimpinya barusan, namun s
Sehan masih ragu, namun Liona terlihat seperti sudah terlanjur mencurigainya. Sehan kemudian menghela nafas berat. "Mungkin ini sudah saatnya, aku mengatakan semuanya padamu Liona."Liona semakin tak paham. Benarkah Sehan selama ini telah menyembunyikan sesuatu darinya? "Maaf, sebelumnya aku tidak mengatakan ini padamu." Sehan kembali menunduk, merasa bersalah. Dia tau, pasti Liona akan sangat marah jika mengetahui dia telah menyimpan semua ini. "Aku bingung harus mengatakannya dari mana, sedangkan kamu telah kehilangan ingatanmu. Kamu pasti telah melupakanku."Liona mengernyit bingung. "Dua puluh tahun lalu, setelah aku dituduh mencelakai kak Galen. Aku memutuskan untuk ikut pergi ke luar kota bersama nenek yang sedang membangun proyek saat itu. Di sana, aku tidak menyangka akan bertemu teman baru yang sangat baik. Aku bercerita padanya tentang masalah yang ku alami di rumah saat itu. Di saat aku kehilangan banyak teman, dia berusaha
"Jadi, itu alasanmu mau menerima tawaran untuk menikahiku?"Sehan mengangguk membenarkan. "Aku mendekati Aoura juga agar bisa menemukan informasi tentangmu lebih dalam. Jika saat itu kamu tidak menawarkan pernikahan kontrak, aku pasti tetap akan menikahimu. Saat itulah aku berjanji, akan menjagamu selalu di sisiku Liona. Aku tidak mau kau pergi lagi."Mata Liona mulai memerah, menahan air mata. Cengkraman Liona yang sejak tadi masih berada di kerah baju Sehan perlahan terlepas. Dia terharu mendengar cerita Sehan yang begitu susah payah berjuang untuk menemuinya, tapi Liona juga merasa kecewa dengan cara Sehan yang seperti ini. Liona mengingat semua hal-hal yang dia lihat mencurigakan dari Sehan, tapi Liona tak pernah memikirkannya sejauh itu. "Saat kita pertama kali bertemu, pantas saja kamu langsung menyebut namaku. Aku sempat kaget saat itu, karena kita tidak pernah bertemu sebelumya tapi kamu sudah mengetahui bahwa aku kakaknya Aoura. Dan aku