Gretta diam sesaat setelah mendapat pertanyaan tersebut dari sang anak. Dia kemudian tersenyum tipis. "Ibu tidak tau, ibu menikah dengan ayahmu setelah kejadian itu berlalu. Jika ayahmu mengatakannya seperti itu, maka bisa jadi memang Liona pembunuhnya. Itu alasan ayah membenci Liona."
Aoura masih tak bisa berpikir jernih. Walau dia membenci Liona sejak dulu, tapi dia tak melihat ada bakat membunuh pada diri sang kakak. "Untungnya dia tak membunuhku saat aku selalu membulinya."Gretta hanya tersenyum, lalu berjalan ke arah sofa dan menghempaskan tubuhnya ke atas sana untuk melepas lelah.Aoura mengikuti sang ibu dan kembali bertanya, "kenapa ibu tidak menceritakannya sejak awal padaku jika benar kak Liona anak kandung ayah? Dan juga kenapa ibu tidak bercerita tentang alasan ayah membenci kak Liona? Lalu jika tau kak Liona jahat, kenapa ibu mau membawanya ke rumah? Apa ibu tidak takut dengannya? Bagaimana jika dia berencana untuk membunuh ibu?"Gr"Bunda ..."Seorang anak kecil mulai membuka pintu kamar orang tuanya dengan perlahan. Setelah pintu terbuka, matanya seketika membelalak terkejut. Seorang perempuan tengah tergeletak di lantai, dengan beberapa tablet obat bewarna putih berhamburan di sekitarnya. Mata perempuan itu masih terbuka, menatap ke arahnya. Mulutnya yang sudah dipenuhi busa berwarna putih, perlahan bergerak, mengucapkan sesuatu yang tak begitu jelas. "Liona ...""Bunda!"Mata Liona seketika terbuka. Keringat sudah bercucuran di seluruh tubuhnya, nafasnya tersengal-sengal. Dia mulai beringsut duduk. "Mimpi apa itu?" tanya Liona pada dirinya sendiri. Mimpi itu terlihat begitu nyata. Dia mulai berpikir, apakah barusan itu kepingan ingatannya yang hilang?Liona segera mengusap keningnya yang sudah basah karena keringat. Kepalanya mendadak berdenyut sakit. Dia berusaha mengingat wajah perempuan yang dia lihat di mimpinya barusan, namun s
Sehan masih ragu, namun Liona terlihat seperti sudah terlanjur mencurigainya. Sehan kemudian menghela nafas berat. "Mungkin ini sudah saatnya, aku mengatakan semuanya padamu Liona."Liona semakin tak paham. Benarkah Sehan selama ini telah menyembunyikan sesuatu darinya? "Maaf, sebelumnya aku tidak mengatakan ini padamu." Sehan kembali menunduk, merasa bersalah. Dia tau, pasti Liona akan sangat marah jika mengetahui dia telah menyimpan semua ini. "Aku bingung harus mengatakannya dari mana, sedangkan kamu telah kehilangan ingatanmu. Kamu pasti telah melupakanku."Liona mengernyit bingung. "Dua puluh tahun lalu, setelah aku dituduh mencelakai kak Galen. Aku memutuskan untuk ikut pergi ke luar kota bersama nenek yang sedang membangun proyek saat itu. Di sana, aku tidak menyangka akan bertemu teman baru yang sangat baik. Aku bercerita padanya tentang masalah yang ku alami di rumah saat itu. Di saat aku kehilangan banyak teman, dia berusaha
"Jadi, itu alasanmu mau menerima tawaran untuk menikahiku?"Sehan mengangguk membenarkan. "Aku mendekati Aoura juga agar bisa menemukan informasi tentangmu lebih dalam. Jika saat itu kamu tidak menawarkan pernikahan kontrak, aku pasti tetap akan menikahimu. Saat itulah aku berjanji, akan menjagamu selalu di sisiku Liona. Aku tidak mau kau pergi lagi."Mata Liona mulai memerah, menahan air mata. Cengkraman Liona yang sejak tadi masih berada di kerah baju Sehan perlahan terlepas. Dia terharu mendengar cerita Sehan yang begitu susah payah berjuang untuk menemuinya, tapi Liona juga merasa kecewa dengan cara Sehan yang seperti ini. Liona mengingat semua hal-hal yang dia lihat mencurigakan dari Sehan, tapi Liona tak pernah memikirkannya sejauh itu. "Saat kita pertama kali bertemu, pantas saja kamu langsung menyebut namaku. Aku sempat kaget saat itu, karena kita tidak pernah bertemu sebelumya tapi kamu sudah mengetahui bahwa aku kakaknya Aoura. Dan aku
Sehan akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumah itu. Untuk saat ini dia tidak tau bagaimana cara untuk mengobati rasa kecewa Liona terhadapnya. Paling tidak, Sehan telah berhasil membuat Liona tetap berada di dalam rumah itu. Dengan begitu Sehan tidak perlu khawatir, karena jika berada di rumahnya Liona pasti akan aman dari Gretta.Sehan juga sadar, dia harus memberikan waktu untuk Liona menyendiri.Malam harinya, Sehan berada di sebuah bar. Dia sudah menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol, hingga membuat kepalanya mulai terasa pusing. Pikiran Sehan saat ini benar-benar kacau, dia harap dengan mengkonsumsi minuman beralkohol tersebut pikirannya bisa sedikit tenang. Sehan tidak tau lagi, cara apa yang harus dia lakukan untuk meminta maaf pada Liona. Dia sudah membuat kesalahan yang parah, hingga membuat perempuan yang dia cintai terluka. Sehan menyadari kesalahannya itu. Dia menyesal."Sehan?"Sehan
"Kesempatan?" Sehan tersenyum mengejek. "Aku ingin memberikannya, tapi sayang sekali sepertinya kau tidak semenarik Liona."Mata Aoura melotot, menatap Sehan tak terima. Laki-laki itu melepaskan cekalan Aoura dari tangannya dengan kasar."Aoura, berhentilah untuk merebut kebahagiaan Liona. Liona tidak pernah mengganggumu, tapi kau yang lebih dulu mengusik kebahagiaannya. Kau iri, kau ... selalu ingin menjadi seperti Liona. Apa yang Liona lakukan, kau selalu mengikutinya. Kau tidak pernah mau kalah dari Liona, apa yang Liona bisa kau juga harus bisa."Rahang Aoura mulai mengeras. Dia menahan marah. "Apa kak Liona mengatakan semua itu padamu? Pasti dia ingin aku terlihat buruk di matamu.""Liona tidak pernah menjelekkanmu di depanku, tapi kamulah yang membuatku sadar bahwa Liona jauh lebih baik dibandingkan dirimu." Sehan cukup puas bisa mengatakan semua itu pada Aoura. Dia harap, ucapannya barusan bisa mewakili sakit hati Liona saat ini terhadap Ao
Kelopak mata Liona akhirnya kembali terbuka. Dia melirik jam dinding di kamarnya, sudah menunjukan pukul sebelas malam, namun Liona masih tidak bisa tidur.Sudah beberapa kali berusaha memejamkan mata, namun kantuknya belum juga datang. Liona beringsut duduk, dan menghela nafas pelan. Entah kenapa, pikirannya saat ini tidak bisa tenang. Dia terus saja teringat dengan Sehan. Mata Liona mengarah pada pintu kamarnya yang tertutup. Dia terus bertanya pada dirinya sendiri. "Benarkah Sehan tidak pulang?"Penasaran. Liona akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Dia melangkah keluar kamar, dan berjalan ke arah kamar sang suami. Sebelum meraih kenop pintu kamar Sehan, Liona menempelkan telinganya dari balik pintu tersebut. Tidak ada suara apapun, membuatnya semakin penasaran apakah Sehan benar tidak ada di dalam kamar. Tapi jika Sehan pulang, seharusnya Liona mendengarkan suara langkah kaki laki-laki itu sejak tadi.
Minggu pagi yang mendung, Sehan duduk di kafe sambil menatap cuaca di luar sana dari balik jendela di dekatnya. "Cuacanya sedang tidak baik ya?"Sehan menoleh, seorang pria sudah berdiri di sampingnya. Pria itu terkekeh sesaat, sebelum akhirnya duduk di kursi samping Sehan. Sehan kembali meluruskan pandangannya, menatap suasana di luar sana kembali. "Cuacanya hari ini tidak begitu baik, ini menggambarkan suasana hatiku sekarang."Matt mendelik tak percaya. "Ucapanmu terdengar seperti anak muda yang sedang patah hati. Tapi aku tidak menyangkal, kau juga terlihat masih muda. Apa kau sedang patah hati?"Sehan tak mengiyakan. Mendadak dia justru teringat pada istrinya. Biasanya pagi-pagi seperti ini dia sudah memasak, membuatkan sarapan pagi untuk perempuan itu. Sekarang Sehan hanya bisa bertanya-tanya, sedang apa Liona saat ini?"Apa ... istrimu sedang selingkuh?"Sehan kembali menoleh, menatap Matt dengan sorot protes ka
Mendengar cerita tersebut, Sehan tersentak kaget. Kini banyak pertanyaan mulai muncul di kepalanya. "Siapa orang yang menolong Liona? Apa kau masih ingat wajahnya? Dan, siapa orang yang menyuruhmu membunuh Liona?" Matt berusaha mengingat kejadian itu lebih jelas lagi, tapi sayang sekali itu sudah terlalu lama. "Aku tidak bisa mengingat wajah pria yang menolong Liona saat itu. Tapi aku ingat, dia adalah pria tua. Dan aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dan orang yang menyuruhku untuk membunuh Liona saat itu, adalah orang yang sama yang saat ini juga memintaku untuk melenyapkan Liona." Mata Sehan kembali membelalak, nyaris tak percaya. "Jadi maksudmu ... orang yang menyuruhmu membunuh Liona saat itu adalah Gretta?" Matt mengangguk membenarkan. Tangan Sehan seketika mengepal, rahangnya mulai mengeras menahan amarah. Ternyata sejak kecil nyawa Liona sudah diincar oleh Gretta, bahkan s