“Jenguk Abiandra, sekarang! Atau Opa akan batalkan penunjukanmu sebagai CEO bulan depan!” titah opa dengan nada suara meninggi.
“Fuck that shit!” Ingin rasanya Karenia meneriakkan kata itu persis di dekat telinga lelaki paruh baya itu.Dilemparnya hape ke atas springbed. Terduduk ia di pinggir ranjang dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya yang berminyak. Perlahan diusap wajah itu beberapa kali, juga dahi dan matanya yang sedikit kering dan perih.Ini kali ketiga dirinya harus membatalkan ngedate-nya dengan Brian, anak direktur perusahaan rekanan bisnis utamanya. Jika acara itu batal, hangus juga investasi puluhan juta di depan mata. Itulah konsekuensi yang harus diterimanya. Setelah sekian lama dan sekian usaha telah diupayakan dengan tim marketing, akhirnya gagal juga proyek kerjasama itu. Memang rejeki sudah ada yang ngatur, ia percaya itu. Namun, kalau berulang begini apa ia harus selalu kalah dengan keadaan terus?Hanya dalam hitungan menit setelah mendapatkan deal ideal, kini ia harus gigit jari. Sia-sia semuanya. Ia tahu kerugian yang telah dikeluarkannya akan dimaafkan oleh Opa sebagai pemilik perusahaan yang dikelolanya sekarang. Ia memang tak peduli dengan itu semua. Namun, rasanya dadanya nyesek jika akhirnya hanya selalu mengalah dengan keinginan Opa yang otoriter itu. Terlebih, ketika ia harus selalu mengutamakan anak yang tidak diinginkannya. Anak yang selalu membuat onar seperti Sammy, suaminya yang telah pergi mendahuluinya karena over dosis bersama selingkuhannya di luar negeri.Karenia sadar diri. Ia hanya menantu yang tidak memiliki arti penting lagi dalam keluarga besar Salim Admaja. Kepergian Sammy, anak laki-laki penerus imperium perusahaan Salim group itu membuat dirinya hanya dijadikan pengasuh cucu kesayangan Opa.
Siapa lagi kalau bukan Abiandra Admaja? Anak yang katanya baru OTW ke UGD karena patah kaki dan retak tulang tangan kanannya akibat naik pohon di sekolahnya. Itulah mengapa Opa menyuruhnya pergi ke Jogja, tempat sekolah alam di mana anak itu menikmati hari-harinya bebas tanpa diganggu siapa pun. Tidak Opa, tidak pula dirinya.
Sebuah notifikasi pesan WA masuk ke hape-nya. Dia buka dan baca sekilas.[Opa udah siapkan driver malam ini. Siapkan baju dari sekarang! Jam tujuh tepat kamu berangkat.]Uffh!Karenia membuang udara kasar lewat mulut tipisnya yang menawan.
Pintu kamar terdengar diketuk dari luar. Ia berdiri dengan malas. Berjalan pelan dan membuka pintu.“Maaf, Den. Ini bajunya udah bibi-“ ucapan Bi Sum terhenti saat dirinya melihat telunjuk Karenia mengarah ke lemari pakaian.Karenia lagi malas bicara ketika sedang marah. Itulah yang sering diingatnya dari psikiater yang selalu ia kunjungi di akhir bulan. Satu-satunya jalan meredakan emosinya yang mudah tersulut, dia harus menahan diri mengeluarkan ekspresinya melalui ucapan kata-kata verbal.Sebagai gantinya ia harus banyak melibatkan anggota badan untuk menyalurkan energi negatifnya tersalur.
Untung cuma guling ukuran jumbo yang selalu jadi sasaran pukulan dan emosinya. Ia akan memukulinya membabi buta dan gerakan brutal lainnya. Sebagaimana seorang petarung UFC sedang melancarkan serangan pertarungan bawah yang diakhiri dengan mencekik lawan hingga menyerah.Tak berapa lama, hape-nya bunyi. Panggilan masuk dengan nada khusus terdengar jelas. Karenia tahu siapa yang memanggilnya itu. Dengan cepat diraihnya benda pipih itu ke pipinya yang sedikit tirus.“Ya, Halo, Brian?” Karenia berusaha berkata sewajarnya tanpa emosi.“Gue tunggu dinnernya ya? Udah gue booking tuh kafenya, buat ngerayain kerja mutualan kita.” Suara renyah Brian terdengar seperti petir di siang bolong di telinga Karenia.Terlebih, ketika dengan bangganya Brian memperlihatkan tempat sekeliling kafe yang telah kosong dari hari-hari weekend sebelumnya melalui layar hape-nya.“Maafin ya? Gue nggak bisa datang Brian. Barusan Opa nyuruh aku ke Jogja, anakku masuk rumah sakit. Tolong nanti kirim tagihannya, biar gue transfer!” ucap Karenia datar.“Apa? Gila lo ya? Ok, kalo gitu maumu. Mulai detik ini, akan gue hapus namamu dari dalam kehidupan gue selamanya,” balas Brian sengit.Senyap. Tak ada lagi suara dan wajah Brian dari benda pipih itu. Bahkan kini, Karenia sudah dicampakkan oleh Brian. Gagal total semuanya. Keinginannya mendekati CEO tampan itu sirna. Sebenarnya, ia masih berharap, Brian tidak akan pernah semarah ini. Bukankah dua kali gagal ngedate kemarin juga tidak begitu masalah bagi Brian karena memang terbentur jadwal yang sibuk? Namun kali ini, praduganya meleset. Brian benar-benar merasa dipermainkan dan marahnya memuncak. Pupus sudah baginya untuk mencoba menjalin relasi dengan lelaki mapan idamannya. Ah, ia juga sadar di luaran sana, banyak cewek dari kalangan atas yang rela antri ingin mendekati putra mahkota PT Intan Mulia itu. Tak butuh waktu lama bagi Brian untuk mencari pengganti dirinya, yang bahkan sudah tidak gadis lagi. Menyadari hal itu, Karenia merasa dirinya kerdil. Tak berguna ikut bersaing mendapatkan hati lelaki idaman para gadis kaya di kotanya.Ini kali, Karenia tidak akan memukul guling jumbonya. Rasanya percuma membuang energi dan waktu namun tidak menghasilkan apa-apa. Ada sasaran lain dari kekesalan hari ini yang lebih enak dari pada guling. Sasaran itu adalah Kepala Sekolah atau wali kelasnya Abiandra.Ya, Karenia akan meluapkan semua kekesalan dan kemarahannya pada mereka.Bukankah karena kelalaian mereka menyebabkan anaknya patah kaki dan tulang bahu kiri? Atau kalau perlu, sekalian ia akan buat press realise di media dan minta kompensasi ganti rugi yang nilainya setara dengan nilai uang yang menguap beberapa waktu yang lalu?Tunggu saja! Bisik Karenia dalam hati. Kini ia telah berdamai dengan keadaan. Ia mulai berkemas dan mempersiapkan segalanya dengan baik. Lalu ia mulai berselancar dengan hape-nya mencari nama SD Alam yang menjadi sekolah Abiandra.Tidak sampai sepuluh menit, Karenia telah mengantongi seluruh identitas standar para guru SD Alam Bina Insani beserta dengan kepala sekolahnya sekalian. Lalu mencari foto-foto fisik gedung sekolah yang katanya bonafid itu. Aneh, pikirnya. Ada sekolah bonafid tapi dibangun di pelosok kaki pengunungan.Karenia mengeryitkan dahinya. Jujur, ia sempat takjub dengan foto gedung SD alam yang tampak beda seratus delapan puluh derajat dengan perkiraannya selama ini. Gedung itu tidak seperti bangunan kelas SD, tapi lebih seperti sebuah laboratorium kerja. Gila! Karenia jadi penasaran. Ia ketik media sosial dan langsung scroll akun SD Alam yang kini telah ia follow. Ia terperanjat. Ternyata salah satu pendirinya adalah tokoh nasional yang ia kagumi selama ini. Nyalinya jadi ciut. Sanggupkah ia akan menuntut sekolah alam itu?Tok … tok … tok ….Pintu kamar kembali terdengar pelan.
Karenia bergegas membukanya. Muncul wajah Bi Sum dari balik pintu kamarnya.“Ada apa, Bi?” Karenia memandangi wajah Bi Sum yang kebingungan.“Ada dua orang tamu yang maksa pengin ketemu, Den,” ucap Bi Sum agak gemetar.“Sekarang di mana orang itu, Bi?”“Masih di teras, Den.”Karenia menganggukkan kepalanya. Ia memang telah melarang Bi Sum menerima tamu asing masuk ke rumah tanpa ada kata janjian dengan dirinya. Sambil berjalan menuju ruang tamu, ia terus mengingat-ingat agenda kegiatannya hari ini. Sepertinya tidak ada janjian dengan orang lain, selain dengan Brian yang baru saja ia batalkan.Lalu siapa? Sialnya, Karenia justru jadi menebak-nebak dengan hati dongkol.****Karenia membuka pintu. Sesaat dilihatnya dua orang laki-laki berbaju safari menganggukkan kepada kepadanya.“Maaf, Non Nia. Kami diperintahkan untuk mengantar ke Jogja hari ini. Apakah bisa berangkat sekarang?” kata salah satu laki-laki itu dengan sopan.“ Ok, Aku dah siap. Tolong bawakan tas dan koper warna hitam itu!” ucap Karenia sambil berjalan menuju mobil SUV warna metalik yang telah terparkir di tepi jalan depan rumah.Saat hendak masuk mobil, Karenia menoleh ke driver yang bertanya kepadanya.“Non? Adakah tas yang perlu dibawakan lagi?”“Hanya itu saja, Pak. Aku hanya sebentar di Jogja karena agendaku bulan ini sangat padat.”“Baiklah Non.” Driver duduk di depan kemudi.Karenia masuk ke mobil dan duduk di kursi tengah. Driver menunggu aba-aba jalan dari Karenia. Sesaat mereka saling menunggu. Lalu Karenia sadar dengan situasinya.“Jalan, Pak!”Berangkat dari Jakarta ke Jogja menggunakan mobil? Ini adalah pengalaman pertama Karenia. Biasanya ia akan naik pesawat untuk menghema
Hanya sepuluh menit Karenia sudah sampai di tempat transit. Bagus menunjukkan kamar untuk Karenia yang terpisah dari kamar driver.Teman Bagus mengantar driver menuju kamar yang telah disiapkan. Ada pemisahan antara tamu laki-laki dan perempuan. Tempat transit itu terdiri dari empat bangunan. Dua bangunan untuk tamu laki-laki dan dua untuk tamu perempuan. Satu bangunan memiliki sepuluh kamar.Karenia merasa takjub dengan desain interior dalam kamar. Di dinding banyak ditemukan ornamen ukir kayu jati dan lampu-lampu klasik. Fasilitas kamar yang ditempatinya tak kalah dengan hotel bintang tiga.Benar apa yang dikatakan asisten pribadi opanya. Ruang transit yang ada di kawasan sekolah sangat nyaman. Padahal tadi sekilas ia merasa terkecoh dengan tampilan luarnya.Setelah membersihkan diri dan ganti pakaian, Karenia segera menghubungi Bagus melalui telepon yang tersedia di dalam kamar. Tak berapa lama pintu kamar diketuk dari luar.Karenia membuka pintu dan dilihatnya Bagus telah berdiri
Setengah jam berlalu. Principal masuk ruang kerjanya dan mendapati Karenia tertidur pulas di atas sofa. Ia meminta Indri mengambilkan selimut dan guling untuk Karenia. Tak berapa lama, Indri datang membawa selimut dan guling untuk Karenia.“Selimuti dia, kasihan masih capek kelihatannya!” perintah principal.Indri pun menyelimuti tubuh Karenia dan meletakkan guling di sampingnya.Begitu selimut hinggap di tubuh Karenia secara tidak sadar, ia meraih guling yang berada dekat di tangannya.Principal tersenyum melihatnya.“Apakah Mas mau menunggunya hingga bangun sendiri atau saya bangunkan setelah satu jam?”“Biarkan saja dia bangun sendiri. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Oh iya? Bagaimana dengan Abiandra? Apakah sudah didaftarkan untuk perawatan medis di rumah sakit?”“Sudah Mas. Tinggal berangkat saja kata dokter Himawan. Beliau juga telah merawat Abiandra untuk sementara waktu agar Abiandra tidak banyak bergerak.”“Makasih ya? Kalo begitu Kamu ikut menunggui Bu Kar
“ Mama!” teriak Abiandra tatkala melihat Karenia datang. Bola matanya berbinar senang.Namun, Karenia hanya tersenyum tipis. Ia mendekati Abiandra dan menjewer telinganya.“Aduh! Sakit Ma! Lepasin!”pinta Abiandra.“Bisa nggak sih normal dikit? Hari-hari hanya bikin onar terus. Mama tuh capek Abi!”“Maaf, Ma. Abi nggak sengaja kok jatuhnya.”Karenia tidak melepaskan telinga Abiandra hingga Indri berusaha membujuk Karenia untuk melepaskannya.“ Abi jatuh tidak sengaja Bu. Abi hanya ingin mengembalikan sarang burung yang jatuh dari pohonnya,” ucap Indri.Karenia justru semakin menarik kencang telinga Abiandra.“Sejak kapan kamu peduli dengan hewan? Kamu anggap itu bagus? Buat apa mengembalikan sarang burung jika akhirnya kamu justru jatuh dan patah tulang?”“Aduh! Sakit Ma! Pak Bagas tolongin Abi dong?” pinta Abi memelas.“Maaf Bu Karenia, tolong lepaskan telinga Abiandra!” Bagus berusaha meminta dengan lembut.Namun Karenia seakan tidak mau melepaskan. Lalu Bagus hendak memegang tangan
“Ibu melamun?” Perkataan Indri membuyarkan lamunan Karenia.“Ah tidak, hanya sedikit memikirkan pekerjaan saja,” ucap spontan Karenia.“Tidak usah dipikirkan dulu Bu! Yang penting sekarang memikirkan kesembuhan Abiandra dulu. Masalah pekerjaan ‘kan ada Pak Salim yang tentu telah meng-handle semuanya.”“Aku akan diangkat CEO dua minggu lagi. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Begitu Abiandra selesai dioperasi aku akan balik Jakarta.” “Tapi, Bu-““Urusan perawatan Abiandra biar ditangani sekolah. Toh itu sudah menjadi tanggung jawab sekolah ‘kan?”“Iya, Bu,” ucap Indri pelan. Dia seakan belum bisa memahami jalan pikiran Karenia. Seperti tidak ada rasa sayang sama sekali terhadap Abiandra.“Aku mau balik ke sekolah.”Indri tidak bisa melarang kepergian Karenia dari rumah sakit.Begitu pula Bagus. Ia tidak berniat untuk mencegah kepergian Karenia.Karenia telah masuk mobil dan hendak pergi saat tiba-tiba nada panggilan hape-nya bunyi. Karenia malas mengangkat panggilan itu setelah dil
“Ibu melamun?” Perkataan Indri membuyarkan lamunan Karenia.“Ah tidak, hanya sedikit memikirkan pekerjaan saja,” ucap spontan Karenia.“Tidak usah dipikirkan dulu Bu! Yang penting sekarang memikirkan kesembuhan Abiandra dulu. Masalah pekerjaan ‘kan ada Pak Salim yang tentu telah meng-handle semuanya.”“Aku akan diangkat CEO dua minggu lagi. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Begitu Abiandra selesai dioperasi aku akan balik Jakarta.” “Tapi, Bu-““Urusan perawatan Abiandra biar ditangani sekolah. Toh itu sudah menjadi tanggung jawab sekolah ‘kan?”“Iya, Bu,” ucap Indri pelan. Dia seakan belum bisa memahami jalan pikiran Karenia. Seperti tidak ada rasa sayang sama sekali terhadap Abiandra.“Aku mau balik ke sekolah.”Indri tidak bisa melarang kepergian Karenia dari rumah sakit.Begitu pula Bagus. Ia tidak berniat untuk mencegah kepergian Karenia.Karenia telah masuk mobil dan hendak pergi saat tiba-tiba nada panggilan hape-nya bunyi. Karenia malas mengangkat panggilan itu setelah dil
“ Mama!” teriak Abiandra tatkala melihat Karenia datang. Bola matanya berbinar senang.Namun, Karenia hanya tersenyum tipis. Ia mendekati Abiandra dan menjewer telinganya.“Aduh! Sakit Ma! Lepasin!”pinta Abiandra.“Bisa nggak sih normal dikit? Hari-hari hanya bikin onar terus. Mama tuh capek Abi!”“Maaf, Ma. Abi nggak sengaja kok jatuhnya.”Karenia tidak melepaskan telinga Abiandra hingga Indri berusaha membujuk Karenia untuk melepaskannya.“ Abi jatuh tidak sengaja Bu. Abi hanya ingin mengembalikan sarang burung yang jatuh dari pohonnya,” ucap Indri.Karenia justru semakin menarik kencang telinga Abiandra.“Sejak kapan kamu peduli dengan hewan? Kamu anggap itu bagus? Buat apa mengembalikan sarang burung jika akhirnya kamu justru jatuh dan patah tulang?”“Aduh! Sakit Ma! Pak Bagas tolongin Abi dong?” pinta Abi memelas.“Maaf Bu Karenia, tolong lepaskan telinga Abiandra!” Bagus berusaha meminta dengan lembut.Namun Karenia seakan tidak mau melepaskan. Lalu Bagus hendak memegang tangan
Setengah jam berlalu. Principal masuk ruang kerjanya dan mendapati Karenia tertidur pulas di atas sofa. Ia meminta Indri mengambilkan selimut dan guling untuk Karenia. Tak berapa lama, Indri datang membawa selimut dan guling untuk Karenia.“Selimuti dia, kasihan masih capek kelihatannya!” perintah principal.Indri pun menyelimuti tubuh Karenia dan meletakkan guling di sampingnya.Begitu selimut hinggap di tubuh Karenia secara tidak sadar, ia meraih guling yang berada dekat di tangannya.Principal tersenyum melihatnya.“Apakah Mas mau menunggunya hingga bangun sendiri atau saya bangunkan setelah satu jam?”“Biarkan saja dia bangun sendiri. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Oh iya? Bagaimana dengan Abiandra? Apakah sudah didaftarkan untuk perawatan medis di rumah sakit?”“Sudah Mas. Tinggal berangkat saja kata dokter Himawan. Beliau juga telah merawat Abiandra untuk sementara waktu agar Abiandra tidak banyak bergerak.”“Makasih ya? Kalo begitu Kamu ikut menunggui Bu Kar
Hanya sepuluh menit Karenia sudah sampai di tempat transit. Bagus menunjukkan kamar untuk Karenia yang terpisah dari kamar driver.Teman Bagus mengantar driver menuju kamar yang telah disiapkan. Ada pemisahan antara tamu laki-laki dan perempuan. Tempat transit itu terdiri dari empat bangunan. Dua bangunan untuk tamu laki-laki dan dua untuk tamu perempuan. Satu bangunan memiliki sepuluh kamar.Karenia merasa takjub dengan desain interior dalam kamar. Di dinding banyak ditemukan ornamen ukir kayu jati dan lampu-lampu klasik. Fasilitas kamar yang ditempatinya tak kalah dengan hotel bintang tiga.Benar apa yang dikatakan asisten pribadi opanya. Ruang transit yang ada di kawasan sekolah sangat nyaman. Padahal tadi sekilas ia merasa terkecoh dengan tampilan luarnya.Setelah membersihkan diri dan ganti pakaian, Karenia segera menghubungi Bagus melalui telepon yang tersedia di dalam kamar. Tak berapa lama pintu kamar diketuk dari luar.Karenia membuka pintu dan dilihatnya Bagus telah berdiri
Karenia membuka pintu. Sesaat dilihatnya dua orang laki-laki berbaju safari menganggukkan kepada kepadanya.“Maaf, Non Nia. Kami diperintahkan untuk mengantar ke Jogja hari ini. Apakah bisa berangkat sekarang?” kata salah satu laki-laki itu dengan sopan.“ Ok, Aku dah siap. Tolong bawakan tas dan koper warna hitam itu!” ucap Karenia sambil berjalan menuju mobil SUV warna metalik yang telah terparkir di tepi jalan depan rumah.Saat hendak masuk mobil, Karenia menoleh ke driver yang bertanya kepadanya.“Non? Adakah tas yang perlu dibawakan lagi?”“Hanya itu saja, Pak. Aku hanya sebentar di Jogja karena agendaku bulan ini sangat padat.”“Baiklah Non.” Driver duduk di depan kemudi.Karenia masuk ke mobil dan duduk di kursi tengah. Driver menunggu aba-aba jalan dari Karenia. Sesaat mereka saling menunggu. Lalu Karenia sadar dengan situasinya.“Jalan, Pak!”Berangkat dari Jakarta ke Jogja menggunakan mobil? Ini adalah pengalaman pertama Karenia. Biasanya ia akan naik pesawat untuk menghema
“Jenguk Abiandra, sekarang! Atau Opa akan batalkan penunjukanmu sebagai CEO bulan depan!” titah opa dengan nada suara meninggi.“Fuck that shit!” Ingin rasanya Karenia meneriakkan kata itu persis di dekat telinga lelaki paruh baya itu.Dilemparnya hape ke atas springbed. Terduduk ia di pinggir ranjang dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya yang berminyak. Perlahan diusap wajah itu beberapa kali, juga dahi dan matanya yang sedikit kering dan perih.Ini kali ketiga dirinya harus membatalkan ngedate-nya dengan Brian, anak direktur perusahaan rekanan bisnis utamanya. Jika acara itu batal, hangus juga investasi puluhan juta di depan mata. Itulah konsekuensi yang harus diterimanya. Setelah sekian lama dan sekian usaha telah diupayakan dengan tim marketing, akhirnya gagal juga proyek kerjasama itu. Memang rejeki sudah ada yang ngatur, ia percaya itu. Namun, kalau berulang begini apa ia harus selalu kalah dengan keadaan terus?Hanya dalam hitungan menit setelah mendapatkan