“Ibu melamun?” Perkataan Indri membuyarkan lamunan Karenia.
“Ah tidak, hanya sedikit memikirkan pekerjaan saja,” ucap spontan Karenia.“Tidak usah dipikirkan dulu Bu! Yang penting sekarang memikirkan kesembuhan Abiandra dulu. Masalah pekerjaan ‘kan ada Pak Salim yang tentu telah meng-handle semuanya.”“Aku akan diangkat CEO dua minggu lagi. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Begitu Abiandra selesai dioperasi aku akan balik Jakarta.” “Tapi, Bu-““Urusan perawatan Abiandra biar ditangani sekolah. Toh itu sudah menjadi tanggung jawab sekolah ‘kan?”“Iya, Bu,” ucap Indri pelan. Dia seakan belum bisa memahami jalan pikiran Karenia. Seperti tidak ada rasa sayang sama sekali terhadap Abiandra.“Aku mau balik ke sekolah.”
Indri tidak bisa melarang kepergian Karenia dari rumah sakit.
Begitu pula Bagus. Ia tidak berniat untuk mencegah kepergian Karenia.
Karenia telah masuk mobil dan hendak pergi saat tiba-tiba nada panggilan hape-nya bunyi. Karenia malas mengangkat panggilan itu setelah dilihatnya nama opa yang memanggil. Setelah tiga kali panggilan masuk, Karenia baru mengangkat hape-nya.“Halo, ada apa Opa?”“Gimana keadaan Abi?”“Besok mau dioperasi kakinya.”“Kamu jangan balik ke Jakarta. Ya setidaknya sepekan Kamu temani Abi di sekolah.”“Nggak, Opa. Aku akan balik ke Jakarta besok pagi.”“Nia, cobalah sedikit kamu empati pada Abi. Dia itu anakmu, calon pewaris perusahaan opa. Jadi tolong Kamu rawat baik-baik. Jika tidak mau, opa akan coret Kamu dari daftar ahli waris dan juga pembatalan sebagai CEO bulan depan.”“Please Opa. Biarkan Nia menyelesaikan deal dengan perusahaan rekanan. Habis itu baru aku temani Abi.”“Tidak usah khawatir dengan pekerjaan. Nanti biar di-handle Nancy, sekretaris pribadimu. Kamu nggak usah pusing-pusing mikir pekerjaan dulu.”“Ya udah kalo itu maunya Opa. Aku pegang kata-kata Opa. Aku hanya sepekan di sekolah Abi. Setelah itu aku balik Jakarta.”“Ok, Nia. Makasih ya?”Karenia langsung mematikan panggilan. Dia keluar dari mobil dan berjalan menuju bangsal tempat di mana Abiandra dirawat. Saat sampai di depan pintu, ia mendengar tawa ceria Abi yang sedang bercanda dengan Bagus dan Indri.Padahal dulu Abi sangat takut dengan jarum suntik, apalagi ini mau dioperasi. Mengapa Abi bisa seceria itu?
*****Karenia mengetuk pintu bangsal. Indri membuka pintu dan mempersilakan Karenia masuk.
“Mama!” teriak Abiandra gembira.“Ibu mau pamitan sama Abi?” tanya Indri.Karenia menggeleng. Lalu ia duduk di sofa.“Silakan Pak Bagas dan Mbak Indri kalo mau pulang ke sekolah. Biar Abi, aku yang jaga.”“Asyik, Mama mau nemenin Abi. Makasih ya Ma?” Abiandra tersenyum riang dan menatap Karenia dengan mata berbinar.“Baiklah, Bu. Nanti kalo ada keperluan, tinggal menghubungi kami. Insya Allah kami siap membantu,” ucap Indri sopan.“Iya, terimakasih sebelumnya.” Karenia beranjak untuk membuka pintu bangsal. Bagas dan Indri pamit kepada Abiandra sebelum keluar bangsal.Karenia berjalan mendekati Abiandra. Dilihatnya lekat-lekat anak semata wayangnya itu. Dalam hati Karenia mengakui ada yang berubah dalam diri anak itu. Sejak pertama kali bertemu tadi siang, Abi seakan mulai mendekati dirinya. Padahal dulu sebelum masuk sekolah, Abi dan dirinya tidak pernah akur seperti air dan minyak. Tak ada rasa sayang di hati Karenia terhadap Abiandra. Begitu pula sebaliknya Abiandra juga membenci Karenia.Karenia mengakui bahwa semua itu adalah salahnya. Abiandra tidak salah dan tidak pantas menerima dendam penderitaan dari Karenia. Yang salah dan menyakiti hatinya adalah Sammy, bukan Abiandra yang tidak tahu apa-apa. Namun, semuanya sudah terjadi. Hampir delapan tahun Karenia telah membenci Abiandra tanpa sebab. Benci itu tumbuh karena pelampiasan kemarahan Karenia kepada Sammy. “Ma? Mengapa ngelamun? Mama tidak suka nemenin Abi di sini? “ Perkataan Abiandra membuyarkan lamunan Karenia.“Bukan begitu, Abi. Mama hanya-.”“Kalo Mama masih capek dan ingin istirahat, mama boleh pulang ke sekolah kok. Nanti biar Abi ditemani Pak Bagas atau Bu Indri lagi.”“Abi, mama di sini mau menemani Kamu.”“Ma, maafkan Abi ya? Selama ini Abi selalu tidak nurut sama Mama. Abi nakal dan tidak mau diatur. Tapi sekarang, Abi janji akan menjadi anak yang sholih, yang nurut sama Mama.”Deg. Tiba-tiba hati Karenia terasa hampir copot mendengar pengakuan Abiandra. Ternyata benar anak itu telah berubah. Tanpa terasa matanya terasa hangat dan berkaca-kaca. Namun segera ditepisnya hal itu. Ia tidak mau terlihat cengeng di depan Abiandra. Jujur, ia merasa terharu dan seakan baru menyadari bahwa Abiandra itu adalah darah dagingnya sendiri.“Udahlah,” ucap Karenia. Ia jadi teringat dengan masa dahulu kala. Selalu Bi Sum yang mengasuh Abiandra. Bahkan, dari bayi hingga Abiandra kelas tiga SD, Karenia jarang sekali menyentuh Abiandra.“Ma, apakah Pak Bagas udah cerita tentang Abi di sekolah?” tanya Abiandra.“Tentang apa?” Karenia balik bertanya.“Tentang sekolah Abi. Abi merasa senang sekolah di sini. Tidak banyak aturan. Sering jalan-jalan keluar sekolah dan bermain bersama teman-teman.” Abiandra bercerita dengan semangat dan menggebu-gebu.“Cukup Abi, Mama capek. Mau tiduran di sofa dulu. Kamu mau butuh apa sekarang?”Abiandra terdiam. Keinginannya bercerita jadi terhenti. Hatinya sedih. Namun, ia teringat janjinya kepada Pak Bagas untuk menjadi anak yang sholih yang menghormati mamanya.“Boleh minta tolong, Ma? Abi mau pipis.” “Di mana pispotnya?”“Pispot itu apa Ma?”“Tempat buang air kecil.” Karenia beranjak menuju kamar mandi. Dilihatnya ada pispot yang tergantung di dinding kamar mandi. Diambilnya pispot itu dan diberikan ke Abiandra.“Ma, ini diapain?”“Masukkan air senimu di tempat itu.”“Caranya?”Karenia mendengus kesal. Memang Abiandra belum pernah masuk rumah sakit hingga diopname. Makanya dia tidak tahu bagaimana menggunakan pispot.Mau tidak mau Karenia mengajari Abiandra menggunakan pispot dengan baik.
“Jenguk Abiandra, sekarang! Atau Opa akan batalkan penunjukanmu sebagai CEO bulan depan!” titah opa dengan nada suara meninggi.“Fuck that shit!” Ingin rasanya Karenia meneriakkan kata itu persis di dekat telinga lelaki paruh baya itu.Dilemparnya hape ke atas springbed. Terduduk ia di pinggir ranjang dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya yang berminyak. Perlahan diusap wajah itu beberapa kali, juga dahi dan matanya yang sedikit kering dan perih.Ini kali ketiga dirinya harus membatalkan ngedate-nya dengan Brian, anak direktur perusahaan rekanan bisnis utamanya. Jika acara itu batal, hangus juga investasi puluhan juta di depan mata. Itulah konsekuensi yang harus diterimanya. Setelah sekian lama dan sekian usaha telah diupayakan dengan tim marketing, akhirnya gagal juga proyek kerjasama itu. Memang rejeki sudah ada yang ngatur, ia percaya itu. Namun, kalau berulang begini apa ia harus selalu kalah dengan keadaan terus?Hanya dalam hitungan menit setelah mendapatkan
Karenia membuka pintu. Sesaat dilihatnya dua orang laki-laki berbaju safari menganggukkan kepada kepadanya.“Maaf, Non Nia. Kami diperintahkan untuk mengantar ke Jogja hari ini. Apakah bisa berangkat sekarang?” kata salah satu laki-laki itu dengan sopan.“ Ok, Aku dah siap. Tolong bawakan tas dan koper warna hitam itu!” ucap Karenia sambil berjalan menuju mobil SUV warna metalik yang telah terparkir di tepi jalan depan rumah.Saat hendak masuk mobil, Karenia menoleh ke driver yang bertanya kepadanya.“Non? Adakah tas yang perlu dibawakan lagi?”“Hanya itu saja, Pak. Aku hanya sebentar di Jogja karena agendaku bulan ini sangat padat.”“Baiklah Non.” Driver duduk di depan kemudi.Karenia masuk ke mobil dan duduk di kursi tengah. Driver menunggu aba-aba jalan dari Karenia. Sesaat mereka saling menunggu. Lalu Karenia sadar dengan situasinya.“Jalan, Pak!”Berangkat dari Jakarta ke Jogja menggunakan mobil? Ini adalah pengalaman pertama Karenia. Biasanya ia akan naik pesawat untuk menghema
Hanya sepuluh menit Karenia sudah sampai di tempat transit. Bagus menunjukkan kamar untuk Karenia yang terpisah dari kamar driver.Teman Bagus mengantar driver menuju kamar yang telah disiapkan. Ada pemisahan antara tamu laki-laki dan perempuan. Tempat transit itu terdiri dari empat bangunan. Dua bangunan untuk tamu laki-laki dan dua untuk tamu perempuan. Satu bangunan memiliki sepuluh kamar.Karenia merasa takjub dengan desain interior dalam kamar. Di dinding banyak ditemukan ornamen ukir kayu jati dan lampu-lampu klasik. Fasilitas kamar yang ditempatinya tak kalah dengan hotel bintang tiga.Benar apa yang dikatakan asisten pribadi opanya. Ruang transit yang ada di kawasan sekolah sangat nyaman. Padahal tadi sekilas ia merasa terkecoh dengan tampilan luarnya.Setelah membersihkan diri dan ganti pakaian, Karenia segera menghubungi Bagus melalui telepon yang tersedia di dalam kamar. Tak berapa lama pintu kamar diketuk dari luar.Karenia membuka pintu dan dilihatnya Bagus telah berdiri
Setengah jam berlalu. Principal masuk ruang kerjanya dan mendapati Karenia tertidur pulas di atas sofa. Ia meminta Indri mengambilkan selimut dan guling untuk Karenia. Tak berapa lama, Indri datang membawa selimut dan guling untuk Karenia.“Selimuti dia, kasihan masih capek kelihatannya!” perintah principal.Indri pun menyelimuti tubuh Karenia dan meletakkan guling di sampingnya.Begitu selimut hinggap di tubuh Karenia secara tidak sadar, ia meraih guling yang berada dekat di tangannya.Principal tersenyum melihatnya.“Apakah Mas mau menunggunya hingga bangun sendiri atau saya bangunkan setelah satu jam?”“Biarkan saja dia bangun sendiri. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Oh iya? Bagaimana dengan Abiandra? Apakah sudah didaftarkan untuk perawatan medis di rumah sakit?”“Sudah Mas. Tinggal berangkat saja kata dokter Himawan. Beliau juga telah merawat Abiandra untuk sementara waktu agar Abiandra tidak banyak bergerak.”“Makasih ya? Kalo begitu Kamu ikut menunggui Bu Kar
“ Mama!” teriak Abiandra tatkala melihat Karenia datang. Bola matanya berbinar senang.Namun, Karenia hanya tersenyum tipis. Ia mendekati Abiandra dan menjewer telinganya.“Aduh! Sakit Ma! Lepasin!”pinta Abiandra.“Bisa nggak sih normal dikit? Hari-hari hanya bikin onar terus. Mama tuh capek Abi!”“Maaf, Ma. Abi nggak sengaja kok jatuhnya.”Karenia tidak melepaskan telinga Abiandra hingga Indri berusaha membujuk Karenia untuk melepaskannya.“ Abi jatuh tidak sengaja Bu. Abi hanya ingin mengembalikan sarang burung yang jatuh dari pohonnya,” ucap Indri.Karenia justru semakin menarik kencang telinga Abiandra.“Sejak kapan kamu peduli dengan hewan? Kamu anggap itu bagus? Buat apa mengembalikan sarang burung jika akhirnya kamu justru jatuh dan patah tulang?”“Aduh! Sakit Ma! Pak Bagas tolongin Abi dong?” pinta Abi memelas.“Maaf Bu Karenia, tolong lepaskan telinga Abiandra!” Bagus berusaha meminta dengan lembut.Namun Karenia seakan tidak mau melepaskan. Lalu Bagus hendak memegang tangan
“Ibu melamun?” Perkataan Indri membuyarkan lamunan Karenia.“Ah tidak, hanya sedikit memikirkan pekerjaan saja,” ucap spontan Karenia.“Tidak usah dipikirkan dulu Bu! Yang penting sekarang memikirkan kesembuhan Abiandra dulu. Masalah pekerjaan ‘kan ada Pak Salim yang tentu telah meng-handle semuanya.”“Aku akan diangkat CEO dua minggu lagi. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Begitu Abiandra selesai dioperasi aku akan balik Jakarta.” “Tapi, Bu-““Urusan perawatan Abiandra biar ditangani sekolah. Toh itu sudah menjadi tanggung jawab sekolah ‘kan?”“Iya, Bu,” ucap Indri pelan. Dia seakan belum bisa memahami jalan pikiran Karenia. Seperti tidak ada rasa sayang sama sekali terhadap Abiandra.“Aku mau balik ke sekolah.”Indri tidak bisa melarang kepergian Karenia dari rumah sakit.Begitu pula Bagus. Ia tidak berniat untuk mencegah kepergian Karenia.Karenia telah masuk mobil dan hendak pergi saat tiba-tiba nada panggilan hape-nya bunyi. Karenia malas mengangkat panggilan itu setelah dil
“ Mama!” teriak Abiandra tatkala melihat Karenia datang. Bola matanya berbinar senang.Namun, Karenia hanya tersenyum tipis. Ia mendekati Abiandra dan menjewer telinganya.“Aduh! Sakit Ma! Lepasin!”pinta Abiandra.“Bisa nggak sih normal dikit? Hari-hari hanya bikin onar terus. Mama tuh capek Abi!”“Maaf, Ma. Abi nggak sengaja kok jatuhnya.”Karenia tidak melepaskan telinga Abiandra hingga Indri berusaha membujuk Karenia untuk melepaskannya.“ Abi jatuh tidak sengaja Bu. Abi hanya ingin mengembalikan sarang burung yang jatuh dari pohonnya,” ucap Indri.Karenia justru semakin menarik kencang telinga Abiandra.“Sejak kapan kamu peduli dengan hewan? Kamu anggap itu bagus? Buat apa mengembalikan sarang burung jika akhirnya kamu justru jatuh dan patah tulang?”“Aduh! Sakit Ma! Pak Bagas tolongin Abi dong?” pinta Abi memelas.“Maaf Bu Karenia, tolong lepaskan telinga Abiandra!” Bagus berusaha meminta dengan lembut.Namun Karenia seakan tidak mau melepaskan. Lalu Bagus hendak memegang tangan
Setengah jam berlalu. Principal masuk ruang kerjanya dan mendapati Karenia tertidur pulas di atas sofa. Ia meminta Indri mengambilkan selimut dan guling untuk Karenia. Tak berapa lama, Indri datang membawa selimut dan guling untuk Karenia.“Selimuti dia, kasihan masih capek kelihatannya!” perintah principal.Indri pun menyelimuti tubuh Karenia dan meletakkan guling di sampingnya.Begitu selimut hinggap di tubuh Karenia secara tidak sadar, ia meraih guling yang berada dekat di tangannya.Principal tersenyum melihatnya.“Apakah Mas mau menunggunya hingga bangun sendiri atau saya bangunkan setelah satu jam?”“Biarkan saja dia bangun sendiri. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Oh iya? Bagaimana dengan Abiandra? Apakah sudah didaftarkan untuk perawatan medis di rumah sakit?”“Sudah Mas. Tinggal berangkat saja kata dokter Himawan. Beliau juga telah merawat Abiandra untuk sementara waktu agar Abiandra tidak banyak bergerak.”“Makasih ya? Kalo begitu Kamu ikut menunggui Bu Kar
Hanya sepuluh menit Karenia sudah sampai di tempat transit. Bagus menunjukkan kamar untuk Karenia yang terpisah dari kamar driver.Teman Bagus mengantar driver menuju kamar yang telah disiapkan. Ada pemisahan antara tamu laki-laki dan perempuan. Tempat transit itu terdiri dari empat bangunan. Dua bangunan untuk tamu laki-laki dan dua untuk tamu perempuan. Satu bangunan memiliki sepuluh kamar.Karenia merasa takjub dengan desain interior dalam kamar. Di dinding banyak ditemukan ornamen ukir kayu jati dan lampu-lampu klasik. Fasilitas kamar yang ditempatinya tak kalah dengan hotel bintang tiga.Benar apa yang dikatakan asisten pribadi opanya. Ruang transit yang ada di kawasan sekolah sangat nyaman. Padahal tadi sekilas ia merasa terkecoh dengan tampilan luarnya.Setelah membersihkan diri dan ganti pakaian, Karenia segera menghubungi Bagus melalui telepon yang tersedia di dalam kamar. Tak berapa lama pintu kamar diketuk dari luar.Karenia membuka pintu dan dilihatnya Bagus telah berdiri
Karenia membuka pintu. Sesaat dilihatnya dua orang laki-laki berbaju safari menganggukkan kepada kepadanya.“Maaf, Non Nia. Kami diperintahkan untuk mengantar ke Jogja hari ini. Apakah bisa berangkat sekarang?” kata salah satu laki-laki itu dengan sopan.“ Ok, Aku dah siap. Tolong bawakan tas dan koper warna hitam itu!” ucap Karenia sambil berjalan menuju mobil SUV warna metalik yang telah terparkir di tepi jalan depan rumah.Saat hendak masuk mobil, Karenia menoleh ke driver yang bertanya kepadanya.“Non? Adakah tas yang perlu dibawakan lagi?”“Hanya itu saja, Pak. Aku hanya sebentar di Jogja karena agendaku bulan ini sangat padat.”“Baiklah Non.” Driver duduk di depan kemudi.Karenia masuk ke mobil dan duduk di kursi tengah. Driver menunggu aba-aba jalan dari Karenia. Sesaat mereka saling menunggu. Lalu Karenia sadar dengan situasinya.“Jalan, Pak!”Berangkat dari Jakarta ke Jogja menggunakan mobil? Ini adalah pengalaman pertama Karenia. Biasanya ia akan naik pesawat untuk menghema
“Jenguk Abiandra, sekarang! Atau Opa akan batalkan penunjukanmu sebagai CEO bulan depan!” titah opa dengan nada suara meninggi.“Fuck that shit!” Ingin rasanya Karenia meneriakkan kata itu persis di dekat telinga lelaki paruh baya itu.Dilemparnya hape ke atas springbed. Terduduk ia di pinggir ranjang dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya yang berminyak. Perlahan diusap wajah itu beberapa kali, juga dahi dan matanya yang sedikit kering dan perih.Ini kali ketiga dirinya harus membatalkan ngedate-nya dengan Brian, anak direktur perusahaan rekanan bisnis utamanya. Jika acara itu batal, hangus juga investasi puluhan juta di depan mata. Itulah konsekuensi yang harus diterimanya. Setelah sekian lama dan sekian usaha telah diupayakan dengan tim marketing, akhirnya gagal juga proyek kerjasama itu. Memang rejeki sudah ada yang ngatur, ia percaya itu. Namun, kalau berulang begini apa ia harus selalu kalah dengan keadaan terus?Hanya dalam hitungan menit setelah mendapatkan