Mataku menantang tatapan Rey. Tidak terima dengan perlakuannya terhadap calin istriku itu.
Bug! Bogem mentah dari tanganku mengahantam pipi pria berwajah oriental itu hingga dia terhempas ke lantai.“Itu untuk Erika!”Aku merangsek masuk, menarik tangan Erika keluar dari ruang kerja. Beberapa karyawan berdiri di depan ruangan, membuat suasana jadi sedikit riuh. Tanpa memperdulikan Rey, kami berjalan meninggalkan kekasih Erika.
ErikaSinar matahari yang turun menghangatkan pesta yang akan kami gelar di hari suci ini. Suasana serba putih namun tidak mengilangkan nuansa hijau kental dengan bunga indah yang menyempurnakan. Kain karpet putih terbentang sepanjang jala menuju altar, dimana samping kanan-kiri bertabur kelopak bunga mawar. Bunga-bunga segar juga menghias indah, berdiri di samping kanan- kiri, dimana penyangga tersebut terbalut kain berwarna putih juga. Terlihat simple dan putih. Konsep pernikahan outdoor ini disiapkan oleh Om Jayanta, katanya dipilih atas ide Dwi. Waktu mengalir begitu lembut sampai-sampai aku tidak sadar kalau hari ini tiba dengan cepat, datang begitu saja. Hari yang akan merubah status hubunganku dengan Erika dari bertunangan menjadi menikah. Taman ini jadi saksi bisu dengan puluhan pasang mata yang dudu
Teriakan yang tiba-tiba itu mendapat perhatian dari para tamu. Puluhan pasang mata itu memandang ke sosok pria berwajah oriental berdiri di ujung altar putih dengan pakaian semi formal. "Siapa dia?""Apa katanya?" Begitulah pertanyaan para undangan yang terheran-heran dengan kemunculan sosok Rey yang tiba-tiba. Dia berlari di altar, mendekat ke arah kami yang duduk di gazebo pernikahan sembari berteriak, "Kamu gak akan bahagia hidup dengannya, Erika. Pria ini hanya ingin mengambil hartamu!" Dua orang security kemudian berlari, mengkuti Rey. Rey semakin mendekat, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku blazzer warna hitam, sebilah besi tipis dan tajam yang bertangkai, berkilau di bawah sinar matahari. Melihat sesuati yang berpotensi berbahaya ini, aku mendorong Erika yang entah sejak kapan sudah berdiri tanpa kusadari. Aku menendang kursi ya
Sontak, aku bangkit dari tempatku, berlari ke arah dokter. "Bagaimana keadaan mama saya, dokter?" tanyaku. Dokter diam untuk sesaat, melihat alas papan lalu mengela napas."Pendarahan hebat. Sekarang masih dalam keadaan kritis.""Apa bisa selamat?""Tunggu sampai pasien melewati masa kritisnya. Setelah itu, semoga keadaannya berangsur membaik.""Boleh saya lihat keadaannya?""Maaf, belum boleh. Kalau begitu, saya permisi!" Dokter kemudian melenggang lalu menghilang di ujung lorong. Kutatap pintu ruangan tempat mama dirawat. Rasanya aku ingin menerobos masuk, menggenggam tangan mama erat-erat. Akan tetapi, rasa sakit di dadaku ini mengujam bersamaan dengan mataku yang terasa perih namun hangat. Seperti terserang de javu,aku membeku. Memoriku kembali memanggil tubuh kaku papa di brankar dengan tangan menjuntai ke bawah. Efek psikomatis menyerang kakiku, gemetar de
“Pak, bangun, jangan tidur di sini. Kami mau buka.” ucapnya. Suara itu membuat mataku samar-samar melihat bayangan seseorang dengan pakaian putih. Sontak, aku bangun dari posisi terlentang. Begitu aku sepenuhnya tersadar, aku bertanya kepada perawat yang membangunkanku. “Jam berapa ini, Mbak Suster?” tanyaku. Dia melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya. “Jam delapan,” jawabnya. Aku mengambil posisi duduk, mengumpulkan nyawa yang seolah baru saja kembali dari kelananya.“Maaf, saya ketiduran.” Aku tersenyum tanpa rasa bersalah karena sudah menggunakan fasilitas umum untuk keperluanku sendiri. Perawat itu hanya menggelengkan wajahnya, heran kemudian berdecap dan berlalu setelahnya sembari memeluk papan alas di dada. Semalam, rasa lapar dan lelahku dikalahkan oleh rasa kantuk. Aku berjalan dari atap ke ruang tunggu di depan loket pendaftaran. Aku menyibak rambut, menging
Dramaku dengan Erika cukup membuat mama terhibur. Ruang rawat ini terasa ceria, dipenuhi gelak tawa mama. Padahal, ibu susuku itu masih lemas di atas brankan dengan infus yang melekat. Sejak papa meninggal, tawa mama ikut mati bersama raga papa. Kalau mama bisa tertawa seperti ini, aku akan terus melakoni drama suami-istri ini. Pokoknya, asal mama bisa senyum dan tertawa saja sudah cukup. “Aduh, aku lapar!” keluhku. Selain kopi, perutku belum terisi apa-apa sejak kemarin. Aku bahkan tidak menjamah prasmanan di pesta. “Ah, maaf ya, aku lupa masak dan lupa bawain kamu makanan,” ujar Erika sembari menepuk perutku.“Memangnya Erika bisa masak dengan baik?” Pertanyaan terlontar dari bibir mama. Pertanyaan yang membuat harga diri Bu Manajer runtuh karena hasil masakan waktu itu. Erika melirikku, mengerling tajam. “Udahlah Ma, gak usah dibahas!” ucapku. Mama menghela napas dalam, menge
Matahari tepat berada di atas kepala manusia yang pergi ke mana pun itu, melawan panas yang menyengat kulit. Jalanan kota masih begitu padat, suara klakson bersahutan, ingin segera keluar dari kerumunan padat benda besi. Gorden yang tersibak langsung mempersilahkan bias matahari masuk ke kamar rawat VIP. Di jendela, aku menopang dagu, memandang ke bawah sana. Pemandangan dari atas memang sanat bagus. Meski pun di bawah sana kecil tapi, mata bisa menjangkau semuanya. “Pras!” Suara mama lirih, membuyarku dari lamunan singkat. Mama baru bangun dari tdurnya, kemudian mencoba bersandar pada bantal. Aku mendekat, membantu mama meningggikan bantal.“Sebaiknya berbaring saja,” saranku.“Mama capek kalau tiduran terus,” ucapnya. “Kamu gak pergi ke kedai?” “Gak bisa ninggalin Mama sendirian.” Aku mengerutkan badan, menyembunyikan ekspresi kalutku tentang kedai.“Terjadi sesuatu
“Setidaknya kamu berusaha lebih keras lagi untuk kedai ini. Kamu cuma lari saja dari kedai yang nyaris bangkrut. Alih-alih mengembangkan kedai, kamu malah ambil paruh waktu dengan alasan supaya bisa menutupi kekurangan operasional!” Yus malah mendongkol sembari memandangku lekat-lekat.“Kamu tutup saja kedai ini. Kami berdua bisa cari kerjaan lain, kok! Cuma buang-buang waktu saja kerja di sini!” keluh Dita. Aku dipojokkan oleh mereka yang tidak tahu apa-apa tentang usahaku untuk terus mempertahankan mereka di sini. Inilah yang aku terima karena tidak bisa berbisnis dengan baik dan tidak punya kemampuan memimpin yang baik. “Seharu-““Aku minta maaf!” Nadaku meninggi, memandang mereka berdua bergantian. Meski aku meminta maaf, mereka tetap memasang wajah sinis. Kedai dengan arura ceria namun sepi mendadak menyatu dalam ketegangan di antara kami bertiga. “Aku sungguh minta maaf pada kal
Jantungku seperti tersambar petir mendengar kabar buruk yang disampaikan oleh Dwi. Aku gemetar dan berkeringat. Terlebih, kejadiannya di saat kritis begini. Aku dipaksa memilih oleh keadaan, menunggui mama di depan ruang operasi atau pergi ke kedai untuk melihat kekacauan di sana? Sial, seandainya saja aku bisa membagi tubuhku. Mataku menatap pintu ruang operasi, di dalam sana ada orang-orang andal yang menangani mama. Seharusnya aku tidak perlu khawatir. Menanggalkan semua kekhawatiran terhadap mama di rumah sakit, aku sampai di tempat kejadian perkara. Kerumunan manusia menyaksikan kobaran api yang menjilat atap kedai. Lampu sirine dari mobil pemadam kebakaran menjatuhkan bayangan pada pohon perindang di tepi jalan. Pemadam kebakaran dikawal oleh beberapa polisi sedang sibuk menenangkan si jago merah dengan air yang mengucur dari selang berukuran besar. “Dua orang masih ada di dalam sana!” ucap se