Jantungku seperti tersambar petir mendengar kabar buruk yang disampaikan oleh Dwi. Aku gemetar dan berkeringat. Terlebih, kejadiannya di saat kritis begini. Aku dipaksa memilih oleh keadaan, menunggui mama di depan ruang operasi atau pergi ke kedai untuk melihat kekacauan di sana? Sial, seandainya saja aku bisa membagi tubuhku. Mataku menatap pintu ruang operasi, di dalam sana ada orang-orang andal yang menangani mama. Seharusnya aku tidak perlu khawatir.
Menanggalkan semua kekhawatiran terhadap mama di rumah sakit, aku sampai di tempat kejadian perkara. Kerumunan manusia menyaksikan kobaran api yang menjilat atap kedai. Lampu sirine dari mobil pemadam kebakaran menjatuhkan bayangan pada pohon perindang di tepi jalan. Pemadam kebakaran dikawal oleh beberapa polisi sedang sibuk menenangkan si jago merah dengan air yang mengucur dari selang berukuran besar.“Dua orang masih ada di dalam sana!” ucap se
Angin lembut berembus masuk ke kamar rawat, menyingkap gorden warna putih kemudian menerpa punggungku yang duduk memeluk lutut di atas brankar. Mataku perih karena air mata yang rasanya tidak akan kering. Dadaku terasa ditikam oleh sesuatu berkali-kali, menyesakkan karena dalam semalam dua momen apes terjadi. Menjadikanku yatim piatu kehilangan kedai. Kehidupanku yang datar tapi menyenangkan itu juga lenyap. Selanjutnya, aku tidak tahu bagaimana cara pandangku terhadap dunia setelah ini. Kehidupanku jadi kacau sejak memungut Erika di trotoar hingga pernikahan yang tidak pernah membawa kebahagiaan. Kepalaku berat, diselubungi kalut, aku letih dan tidak baik-baik saja dengan semua ini. Keputusan orang tua yang egois, laki-laki wajah oriental dan upaya untuk tidak memutus harapan kedua karyawan. Ketiga hal itu cukup untuk menyalakan api di dadaku. Dunia ini jalang kalau menyangkut kehidupan. Mama mati karena kekasih menantunya,
Erika bersandar pada palang pintu kamar saat aku keluar dari kamar mandi bertelanjang dada. Pakaian berkabung masih melekat di badannya. Tidak ada wajah muram, yang ada hanya tatapan dingin ke arahku di balik konter. Aku membuka kulkas, mengeluarkan air dingin. Bibir gelas beradu dengan bibir botol. Setelah dirasa cukup, aku meneguk cairan bening itu. Tenggorakanku terasa sejuk oleh air yang mengalir di sana, mendinginkan hatiku juga. Dari balik jendela, bulan putih menggantung di langit hitam kebiruan. Aku bertumpu pada bibir konter, menghela napas dalam-dalam. “Kamu mau makan apa?” tanyaku pada Erika. “Tidak usah, moodmu kurang bagus hari ini. Itu akan mempengaruhi rasa masakan,” komentar Erika. Dia memainkan kuku jarinya yang dicat dengan warna natural. “Lagipula, kamu gak bisa ngerasain rasa makanan, kan?” ucapku. Erika berjalan mendekat, menarik kursi terdekat dan duduk d
Selagi menunggu lampu hijau menyala, aku membuka pesan dari Dwi yang dia kirim lewat Postugram sejam lalu. ‘Jemput aku di kampus sejam lagi.’ Momennya tepat sekali. Setidaknya ada kegiatan setelah diusir oleh ayah Dita yang tidak tahu apa-apa itu. Aku pun menginjak gas, membanting setir ke arah kanan menuju kampus Dwi. Mobilku memasuki area parkir kampus Dwi. Kampus megah dengan gedung tinggi yang terkenal mahal dan hanya anak-anak elit saja yang bisa kuliah di sini. Kalaupun ada mahasiswa dari kalangan keluarga kelas menengah kebawah, mereka mengandalkan beasiswa. Begitulah rumor yang kudengar. Keluarga Jayanta sepertinya sangat memperhaikan pendidikan anak-anaknya. Dari dalam gedung, terlihat sosok Dwi yang berjalan bersama tiga orang gadis lainnya. Mereka berpisah di tangga, melambai satu sama lain. Dia lantas celingukan, mencari seseorang. ‘Aku sudah di
Kedatanganku ke rumah mertua secara perdana setelah sah menjadi suami Erika adalah hari ini, ketika aku mengantar Dwi pulang. Sebenarnya aku tidak ingin masuk ke dalam sana, akan tetapi Dwi memaksa agar aku mampir. “Aku pulag!” sapa Dwi begitu kami memasuki ruang tamu yang luas. Sama seperti saat pertama kali aku datang ke sini saat melamar Erika, tidak ada yang berubah. Hanya saja, sofa mewah bergaya Eropa membuat ruangan ini sedikit berbeda. Di sanalah ayah mertuaku duduk bak raja. Pada sofa terpisah bergaya sama, ibu mertuaku duduk tenang. Mendampingi suaminya. Di sampingnya, duduk Tante Gita, ibu mertuaku. “Wah, kita kedatangan tamu” sambutnya saat melihat sosokku di belakang Dwi. “Aku minta tolong Kak Pras untuk jemput,” jawab Dwi sembari mencium pipi ayah dan ibunya bergantian. “Selamat siang!” sapaku. “Wah, tumben sekali kamu mampir, Pras!” Tante Gita tersenyu
Kedai yang dulunya sepi tapi penuh keceriaan sekarang menjadi suram. Bagian pondasi dapur menghitam. Hanya menyisakan abu dan sisa pembakaran di lantai. Meski bagian depannya tidak terlalu terdampak karena api namun, merekontruksi bangunan ini tidak akan mudah. Aku mengusap pondasi yang sudah menghitam. Mengembarakan mata ke sekitar. Semuanya lenyap, semuanya jadi arang dan abu. Kedai ini juga mati, bersama dengan papa mama dan juga jiwaku yang terasa hilang setengah. Hanya ada aroma abu daripada aroma keceriaan yang disajikan Dita. Dadaku mengembang, memejamkan mata sembari menghirup aroma pembakaran kemudian aku mengembuskannya perlahan. Sampai rongga dadaku renggang. “Daripada frustasi begitu, lebih baik kamu memikirkan caranya!” suara parau yang kukenal. Sosok Erika muncul dari arah konter depan. Dia memerhatikan sekeliling. Pemandangan hitam yang tidak enak dipandang.“Aku sedang memikirkann
“Hentikan!” Suara itu menghentikan upayaku untuk membunuh pria oriental yang duduk di tanah. Keringat dinginnya menetes dari pelipis. Matanya yang membeliak namun lega. Seolah baru saja diselamatkan dari kematian oleh seseorang. Yus memandang mataku lekat-lekat, menahan lenganku yang nyaris saja menghantam kepala Rey. “Mau jadi kriminal, ya?” Dia menghempas tanganku hingga balok pun terlepas dari genggaman. Suara balok yang menghantam tanah membuatku naik pitam. “Pria ini sudah menghancurkan pesta pernikahanku, menusuk mama lalu membakar kedaiku.” Nadaku meninggi sembari menuding Rey dengan telunjukku. “Lalu kenapa?” “Hah? Kenapa katamu?” Aku mengambil jeda. “Dia membunuh ibuku, Yus!” Aku geram. Yus memandang Rey, dahinya mengernyit. Dia kemudian mengelap wajahnya kemudian bersedekap. “Kalau be
Meski tubuhku terasa lelah, aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Sesuatu sepertinya menekan kepalaku. Beberapa kali menguap tapi tidak lantas membuatku tidur pulas. Masih kupandangi langit-langit kamar yang remang. Padahal aku selalu membayar gajinya tepat waktu meski keuangan kedai sedang sulit. Aku menjadikan Yus sebagai praduga tak bersalah untuk pertama kalinya. Pertama kalinya berpikiran buruk kepada orang yang kupercaya bertahun-tahun. Boleh saja kusebut ini pengkhianatan. Rasanya sungguh menyakitkan sampai membuat dadaku benar-benar sesak Kepalaku jadi semakin sakit saja. *** Keesokan harinya, aku diantar ke rumah sakit oleh Erika untuk menjalani MRI sekaligus kontrol kepalaku pasca kebakaran itu. Badanku seluruhnya masuk ke dalam benda bulat besar. Setelah itu, petugas segera keluar dan memantau hasilnya lewat komputer.
Lemari pakaian yang menyatu dengan dinding dan dicat serasi masih tetap seperti terakhir kali kulihat di kamar orang tuaku ini. Pakaian formal papa yang diipat rapi dan jejeran jas yang digantung menguarkan aroma lembut dari pewangi pakaian. Slot kedua, berisi pakaian mama yang kebanyakan pakaian rumahan juga ditumpuk rapi. Mama jarang membeli pakaian formal. ‘Mama jarang-jarang pergi ke acara formal, buat apa boros!’ Begitu katanya. Kusentuh salah satu jas formal papa, menggeser sedikit penggantung yang berjajar agar mudah ditarik. Aku mencoba jas warna biru itu, ukurannya agak kebesaran ketika kurentangkan kedua tangan dan bayanganku terlihat di kaca. Semakin aku melihat diriku di cermin, rasanya aku semakin mirip dengan papa. Hanya saja, perbedaan kami hanya bakat dalam berbisnis. Papa sangat pandai berbisnis, sementara aku tidak bisa sepertinya. Rasanya sudah cukup aku mengagumi
Kepada Pembaca, Kepada pembaca, dengan ini penulis menyatakan novel Menikahi Bu Manajer sudah tamat pertanggal 23 Desember 2021. Hampir 7 bulan menyelesaikannya karena kesibukan bekerja dan kadang juga dilanda malas. Menikahi Bu Manajer mungkin bukan karya yang sempurna tetapi, author berharap semua bisa menikmati karya yang tidak sempurna ini dan para pembaca bisa turut menikmati prosesnya. Author sangat berharap bisa membuat karya yang lebih sempurna lagi tentunya dengan kritik, saran dan masukan dari para pembaca. Jadi, silakan tuangkan sarannya di sini mengenai kekurangan dalam novel Menikahi Bu Manajer. Nantikan karya selanjutnya yang lebih baik, ya. Semangat semuanya.Salam dari langit utara,Ursa Mayor, Jangan lupa follow akun media sosial penulisF*: Omang YayuzI*: @mang_yayus
Dua bulan kemudian, hubunganku dengan Erika berangsur akur. Kami menjalankan semua kesibukan kami bersama dan yang menggembirakan adalah aku mendapat berita bahwa Rey masuk bui dengan pasal berlapis. Kabar itu kudapat dari Rahayu melalui pesan singkat Waktuchat. Ayahnya dipecat dari Jayanta Tambang. Dan hari ini, aku tidak sengaja bertemu Dita di sebuah kafetaria. Gadis ceria itu sangat senang melayaniku dan menguarkan keceriaannya kembali. Di sela-sela senggangnya, dia bahkan mendampingku seperti sekarang, duduk satu meja. “Kak Pras, aku sangat senang karena Yus sudah bebas. Padahal, aku juga sebenarnya tidak punya bukti apa-apa tentang kasus kedai itu.” Dita memulai pembicaraan. “Lupakan masalah itu. Aku tidak akan membiarkan dia di sana terlalu lama.” “Tapi, bagaimana Kak Pras membebaskannya tanpa syarat?” tanya Dita. Aku menyedot es capucino di depanku. “Rahasia!” jawabku kemudian sambil terse
Aku malah jadi frustasi karena semua ini. Mendadak jadi pemimpin hanya karena ancaman yang kulakukan. “Sebenarnya Papa mau aku gimana?” Aku mengumpat kepada papa yang sudah tidak ada dan tentu saja sudah tidak bisa mendengar keluh kesahku. Pernikahan dengan Erika yang membuat hidup berantakan, cerita-cerita yang tidak masuk akal dari ayah mertua, Erika atau mungkin juga dari Tante yang tidak masuk ke logikaku dan sekarang menjadikanku pemegang Jayanta Tambang. Sekarang aku baru menyadari sesuatu, pemicu sebenarnya dari kehidupanku yang berantakan bukanlah pernikahanku dengan Erika, tetapi kepemilikan saham. Aku tidak bisa mengatakan diriku ini alat untuk merebut kekuasaan karena di sisi lain aku juga yang diuntungkan, tetapi aku menyayangkan keputusan mereka. “Kamu ini gak sopan banget, malah melenggang gitu aja!” Erika sudah duduk di kursi di sebelahku, menutup pintu wagon dengan kesal. “Kenapa sih, Pras!” tanyanya sembari melipat t
Suara TV dari ruang tamu membuat mataku terbuka padahal seingatku sebelum aku tidur semalam, aku sudah mematikannya. Namun, agaknya Erika bangun sebelum aku bangun. Bukan tanpa alasan mataku jadi terbuka tetapi, karena telingaku menangkap suara seorang pewarta yang membawakan berita pagi ini. “CEO Jayanta Tambang melaporkan kasus putranya….” Kalimat itulah alasan utama. Aku bangkit dari tempat tidur, melakukan peregangan pada bagian badan, menguap melepaskan sisa kantuk. Badanku terisi ulang dengan energi, tapi tenggorokan yang kering memaksa untuk pergi ke dapur dan mengambil minum. “Sebenarnya, apa yang kamu lakukan kemarin?” Erika masih dengan pakaian yang dia kenakan semalam, duduk bersila di sofa sambil menatap layar. Di layar TV terpampang highlight bertuliskan, “Putra Jayanta Tambang Tersandung Kasus.” Ternyata, secepat ini beritanya tersiar. “Jawab, Pras!” Erika menurunkan hodie telinga kucing, memand
Puas menghabiskan sisa hari ini bersama Tante dan Ryan, aku pulang ke rumah dengan bekal masakan hasil karya Tante ketika langit sudah mulai gelap. “Aku pulang!” Kudapati istriku itu sedang duduk di sofa mengenakan piyama putih sembari bersila. Ekspresinya sangat serius menonton tayangan luar negeri, seakan dia tidak menyadari kehadiranku dia sama sekali tidak menoleh atau bahkan membalas salam. Tetapi satu hal yang membuat aku terenyum adalah atasan tambahan yang dia kenakan. Atasan yang dia kenakan sangat kontras dengan kepribadiannya. Jaket rajut warna cokelat dengan hodie bertelinga mirip seperti hewan kucing atau semacamnya. Saking seriusnya menonton dan suara TV yang mengalahkan derap langkahku, aku berjalan mendekat, menarik salah satu telinga kucing pada hodienya. Masih belum juga menyadari kehadiranku dan mengira hodienya melorot aku ikut bersenandung ketika iklan dengan soundtrack anak-anak muncul. “
Meski rumah ini sudah ditinggal oleh orang tuaku, pintu rumah yang selalu terbuka seakan selalu menyambutku kapan saja aku datang. Bagaimana pun keadaanku dan sesulit apapun masalah yang menghampiri, rumah ini adalah tempat aku meletakkan semua lelah untuk sesaat. Sekarang pun masih tetap sama hanya saja, dengan kasih yang datang dari orang berbeda. Kasih seorang ibu juga. Aku memasuki ruang tamu, kudapati Tante sedang membuka sebuah benda seperti buku. “Aku pulang!” Aku memberi salam. Tante pun menoleh untuk sesaat. “Eh, Pras,” sahutnya. “Lihat apa, Tante?” tanyaku sembari mendongak. Tampak beberapa foto nostalgia di dalam album foto yang dipangku Tante. “Mendadak Tante kangen sama orang tuamu. Juga beberapa fotomu waktu kecil.” Tante tersenyum sembari membalik album. “Oh ya, sebelum lupa-,” Aku mengeluarkan dokumen dari dalam saku jass kemudian memberikannya pada Tante-.”tolong disimpan dengan baik lagi, ya1"
“Selanjutnya, saya serahkan kepada Rahayu dan Bapak.” Aku bangkit dari posisiku. “Saya tunggu di law firm.” Rahayu menyodorkan kartu namanya kemudian menepuk pundakku memberi tanda untuk segera pergi. Kami berdua berjalan bergantian dengan derap langkah yang tegas. “Kok bisa-bisanya kamu berpikir tentang rencana ini?” tanya Rahayu ketika kami menuruni tangga, keluar dari gedung. “Yah, mau bagaimana lagi. Aku juga gak ada cara lain. Dengan begini pun firma hukummu seharusnya diuntungkan,” jawabku. “Apa Erika tahu tentang ini?” tanyanya lagi. “Ini tidak ada hubungannya lagi dengan Erika. Aku pun gak perlu validasi dari istriku.” Kami berhenti di depan mobil wagonku. Rahayu pun tersenyum untuk pertama kalinya kepadaku. “Kali ini, aku serahkan padamu.” Aku berbalik, membuka pintu mobil. “Tunggu!” “Apalagi?” “K
Aku duduk di sofa, menyilangkan kakiku dan merentangkan tangan di atas daun sofa. Pria paruh baya yang kulihat di TV pasca Rey dijebloskan dipenjara untuk pertama kalinya sekarang ada di di depanku. “Kamu siapa? Kenapa lancang masuk ke ruangan ini tanpa izin?” tanyanya. “Dia Pras, Ayah!” sahut Rey. “Salam, Pak!” Aku menangkupkan tangan sambil tersenyum. “Jadi kamu yang telah merebut Erika dari anak saya?" Pria itu mendekat sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku. “Tenanglah, Pak!” ucapku santai. “Apa maksudmu datang ke sini tiba-tiba begini? Belum puas kamu membawa penderitaan kepada anakku?” Senyum di bibirku luntur seketika. Aku bangkit berdiri di hadapan pria yang sudah membesarkan Rey hingga dia menjadi seberengsek itu. “Penderitaan katamu, wahai Tuan CEO yang terhormat?” Kupandang wajahnya yang berkerut. Sesaat kemudian, aku beralih pandang ke Rey yang berdiri di depan meja kerja mewah ayahnya.
Sesaat kemudian, Tante turun membawa dokumen yang kuminta. Dia mengeluarkan seluruh isinya di hadapanku. “Kamu hanya perlu dokumen pailit, jadi Tante akan memberikan itu saja. Sisanya, Tante akan menyimpannya untukmu nanti.” Tante memasukan dokumen yang kuperlukan ke dalam amplop kemudian merapikan sisanya. “Ini.” Tante mengulurkan benda pipih cokelat itu kepadaku. Aku mengambilnya kemudian menyimpan di kantong bagian dalam jasku. “Sebenarnya Tante mengkhawatirkanmu. Maafkan, Tante atas tamparan itu. Kamu sudah seperti putraku sendiri, Nak.” Tante mulai terisak. Aku berjongkok di hadapan tante, meletakkan kepalaku di pahanya. “Tante, aku mencintaimu. Cuma Tante yang bisa gantiin sosok Mama dan orang tua untukku. Aku minta maaf karena lancang dan merepotkan selama ini. Terima kasih.” Aku kembali merasakan kehangat seorang ibu ketika tangan tante mengelus lembut kepalaku. A