Kedatanganku ke rumah mertua secara perdana setelah sah menjadi suami Erika adalah hari ini, ketika aku mengantar Dwi pulang. Sebenarnya aku tidak ingin masuk ke dalam sana, akan tetapi Dwi memaksa agar aku mampir.
“Aku pulag!” sapa Dwi begitu kami memasuki ruang tamu yang luas. Sama seperti saat pertama kali aku datang ke sini saat melamar Erika, tidak ada yang berubah. Hanya saja, sofa mewah bergaya Eropa membuat ruangan ini sedikit berbeda. Di sanalah ayah mertuaku duduk bak raja. Pada sofa terpisah bergaya sama, ibu mertuaku duduk tenang. Mendampingi suaminya.
Di sampingnya, duduk Tante Gita, ibu mertuaku.
“Wah, kita kedatangan tamu” sambutnya saat melihat sosokku di belakang Dwi.
“Aku minta tolong Kak Pras untuk jemput,” jawab Dwi sembari mencium pipi ayah dan ibunya bergantian.
“Selamat siang!” sapaku.
“Wah, tumben sekali kamu mampir, Pras!” Tante Gita tersenyu
Kedai yang dulunya sepi tapi penuh keceriaan sekarang menjadi suram. Bagian pondasi dapur menghitam. Hanya menyisakan abu dan sisa pembakaran di lantai. Meski bagian depannya tidak terlalu terdampak karena api namun, merekontruksi bangunan ini tidak akan mudah. Aku mengusap pondasi yang sudah menghitam. Mengembarakan mata ke sekitar. Semuanya lenyap, semuanya jadi arang dan abu. Kedai ini juga mati, bersama dengan papa mama dan juga jiwaku yang terasa hilang setengah. Hanya ada aroma abu daripada aroma keceriaan yang disajikan Dita. Dadaku mengembang, memejamkan mata sembari menghirup aroma pembakaran kemudian aku mengembuskannya perlahan. Sampai rongga dadaku renggang. “Daripada frustasi begitu, lebih baik kamu memikirkan caranya!” suara parau yang kukenal. Sosok Erika muncul dari arah konter depan. Dia memerhatikan sekeliling. Pemandangan hitam yang tidak enak dipandang.“Aku sedang memikirkann
“Hentikan!” Suara itu menghentikan upayaku untuk membunuh pria oriental yang duduk di tanah. Keringat dinginnya menetes dari pelipis. Matanya yang membeliak namun lega. Seolah baru saja diselamatkan dari kematian oleh seseorang. Yus memandang mataku lekat-lekat, menahan lenganku yang nyaris saja menghantam kepala Rey. “Mau jadi kriminal, ya?” Dia menghempas tanganku hingga balok pun terlepas dari genggaman. Suara balok yang menghantam tanah membuatku naik pitam. “Pria ini sudah menghancurkan pesta pernikahanku, menusuk mama lalu membakar kedaiku.” Nadaku meninggi sembari menuding Rey dengan telunjukku. “Lalu kenapa?” “Hah? Kenapa katamu?” Aku mengambil jeda. “Dia membunuh ibuku, Yus!” Aku geram. Yus memandang Rey, dahinya mengernyit. Dia kemudian mengelap wajahnya kemudian bersedekap. “Kalau be
Meski tubuhku terasa lelah, aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Sesuatu sepertinya menekan kepalaku. Beberapa kali menguap tapi tidak lantas membuatku tidur pulas. Masih kupandangi langit-langit kamar yang remang. Padahal aku selalu membayar gajinya tepat waktu meski keuangan kedai sedang sulit. Aku menjadikan Yus sebagai praduga tak bersalah untuk pertama kalinya. Pertama kalinya berpikiran buruk kepada orang yang kupercaya bertahun-tahun. Boleh saja kusebut ini pengkhianatan. Rasanya sungguh menyakitkan sampai membuat dadaku benar-benar sesak Kepalaku jadi semakin sakit saja. *** Keesokan harinya, aku diantar ke rumah sakit oleh Erika untuk menjalani MRI sekaligus kontrol kepalaku pasca kebakaran itu. Badanku seluruhnya masuk ke dalam benda bulat besar. Setelah itu, petugas segera keluar dan memantau hasilnya lewat komputer.
Lemari pakaian yang menyatu dengan dinding dan dicat serasi masih tetap seperti terakhir kali kulihat di kamar orang tuaku ini. Pakaian formal papa yang diipat rapi dan jejeran jas yang digantung menguarkan aroma lembut dari pewangi pakaian. Slot kedua, berisi pakaian mama yang kebanyakan pakaian rumahan juga ditumpuk rapi. Mama jarang membeli pakaian formal. ‘Mama jarang-jarang pergi ke acara formal, buat apa boros!’ Begitu katanya. Kusentuh salah satu jas formal papa, menggeser sedikit penggantung yang berjajar agar mudah ditarik. Aku mencoba jas warna biru itu, ukurannya agak kebesaran ketika kurentangkan kedua tangan dan bayanganku terlihat di kaca. Semakin aku melihat diriku di cermin, rasanya aku semakin mirip dengan papa. Hanya saja, perbedaan kami hanya bakat dalam berbisnis. Papa sangat pandai berbisnis, sementara aku tidak bisa sepertinya. Rasanya sudah cukup aku mengagumi
“Pras!” Panggil Erika dari luar kamar. “Udah selesai dengan urusannmu?” “Sebentar lagi.” jawabku. “Aku tunggu di bawah!” “Iya.” Benar-benar tidak bisa kupercaya lembar deviden ini. Papa benar-benar penuh persiapan sebelum dia mati. Bahkan dia membeli saham atas namaku, putranya yang tidak tahu apa-apa tentang bisnis. Buru-buru aku melipat amplop menjadi lebih kecil. Mengapitnya di dalam celana dan menyembunyikan di balik bajuku. Menutup kotak uang rapat-rapat kemudian mengembalikan ke tempat semula. Om Jayanta pasti sudah tahu jika aku juga pemilik saham dari perusahaannya akan tetapi, untuk saat ini aku berniat menyembunyikannya dari Erika. Terlepas dari istriku itu tahu atau tidak, intinya aku harus menyembunyikan kebenaran jika aku sudah tahu perihal kepemilikanku atas saham. Aku menuruni tangga perlahan, Erika terlihat duduk
Matahari sore lembut masuk ke dalam dashboard mobil. Menyentuh tangan di atas perut. Erika mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, melewati satu demi satu pohon perindang di jalanan kota yang lenggang. “Sepertinya hari ini sendu sekali, ya,” komentarnya ketika mobil berhenti mengikuti nyala lampu merah. “Begitulah.” “Apa perutmu sakit?” tanyanya. “Enggak, kok!” Erika memincingkan mata, memerhatikan ke arah perutku. Buru-buru aku memiringkan badan, menghadap jendela samping. “Aku gak apa-apa!” tukasku. “Lapar?” “Enggak juga.” “Sayangnya, aku lapar. Tante di rumahmu tadi itu gak nawarin apapun sama sekali.” “Nanti kumasakan begitu sampai. Mau makan apa?” “Ayam sayur.” Erika menarik tuas perseneling, menginjak gas lalu mobil bergerak saat lampu kuning berubah jadi hijau. “Baiklah. Nanti kubuatkan,” jawabku. &n
Perkataan Erika nyaris membuatku tersedak. Dengan begini, dia akan melanggar perjanjian pernikahan nomor dua. Aku meneguk air putih, melegakan tenggorokanku.“Bukan berarti aku menolaknya, tapi itu sama saja melanggar perjanjian kita, kan?” tukasku. Erika menghentikan aktivitasnya. Makanan di piring itu masih sisa setengah.“Ya, kita lupakan saja perjanjiannya mulai sekarang.” Seenaknya saja. Dia yang membuat perjanjian dia juga yang mengakhirinya. Pikiran Bu Manajer di hadapanku ini benar-benar tidak bisa kumengerti jalan pikirannya. Bukankah jalan pikiran wanita memang rumit untuk dipahami seorang lelaki sepertiku.“Kalau pada akhirnya untuk dilupakan, kenapa repot-repot bikin perjanjian pernikahan?” tanyaku sembari mengunyah daging ayam yang lembut.“Udah kubilang untuk mencegah tindakan semena-mena dar
Aku kembali bekerja dengan Erika sebagai freelancer di kantornya. Menjadi bagian dari tim Analisa bersama Bu Dewi seperti yang kulakukan sebelumnya. Kami berangkat bersama ke kantor dan tidak ada kekhawatiran lagi karena hubunganku dengan Erika tidak perlu lagi disembunyikan. Semua mata tertuju pada kami yang berjalan berdampingan. Ada yang berbisik senang namun ada juga yang memandangku dengan tatapan sinisnya. Seakan-akan aku ini pria rendahan yang tidak pantas menikah dengan wanita sekelas Erika. Langkah kami mengeluarkan suara berdecit di ubin putih secara bergantian.“Setelah kerja, ada sesuatu yang harus kulakukan. Kamu bawa aja mobilnya, ya!” Aku memecah kecanggungan diantara kami di lorong.“Menyelidiki kedai?” tanyanya. Aku tersenyum tipis.Aku dan Erika berpisah saat dia masuk ke dalam ruangannya. Sementara aku melanjutkan l