Lemari pakaian yang menyatu dengan dinding dan dicat serasi masih tetap seperti terakhir kali kulihat di kamar orang tuaku ini. Pakaian formal papa yang diipat rapi dan jejeran jas yang digantung menguarkan aroma lembut dari pewangi pakaian. Slot kedua, berisi pakaian mama yang kebanyakan pakaian rumahan juga ditumpuk rapi. Mama jarang membeli pakaian formal.
‘Mama jarang-jarang pergi ke acara formal, buat apa boros!’ Begitu katanya.
Kusentuh salah satu jas formal papa, menggeser sedikit penggantung yang berjajar agar mudah ditarik. Aku mencoba jas warna biru itu, ukurannya agak kebesaran ketika kurentangkan kedua tangan dan bayanganku terlihat di kaca. Semakin aku melihat diriku di cermin, rasanya aku semakin mirip dengan papa. Hanya saja, perbedaan kami hanya bakat dalam berbisnis. Papa sangat pandai berbisnis, sementara aku tidak bisa sepertinya.
Rasanya sudah cukup aku mengagumi
“Pras!” Panggil Erika dari luar kamar. “Udah selesai dengan urusannmu?” “Sebentar lagi.” jawabku. “Aku tunggu di bawah!” “Iya.” Benar-benar tidak bisa kupercaya lembar deviden ini. Papa benar-benar penuh persiapan sebelum dia mati. Bahkan dia membeli saham atas namaku, putranya yang tidak tahu apa-apa tentang bisnis. Buru-buru aku melipat amplop menjadi lebih kecil. Mengapitnya di dalam celana dan menyembunyikan di balik bajuku. Menutup kotak uang rapat-rapat kemudian mengembalikan ke tempat semula. Om Jayanta pasti sudah tahu jika aku juga pemilik saham dari perusahaannya akan tetapi, untuk saat ini aku berniat menyembunyikannya dari Erika. Terlepas dari istriku itu tahu atau tidak, intinya aku harus menyembunyikan kebenaran jika aku sudah tahu perihal kepemilikanku atas saham. Aku menuruni tangga perlahan, Erika terlihat duduk
Matahari sore lembut masuk ke dalam dashboard mobil. Menyentuh tangan di atas perut. Erika mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, melewati satu demi satu pohon perindang di jalanan kota yang lenggang. “Sepertinya hari ini sendu sekali, ya,” komentarnya ketika mobil berhenti mengikuti nyala lampu merah. “Begitulah.” “Apa perutmu sakit?” tanyanya. “Enggak, kok!” Erika memincingkan mata, memerhatikan ke arah perutku. Buru-buru aku memiringkan badan, menghadap jendela samping. “Aku gak apa-apa!” tukasku. “Lapar?” “Enggak juga.” “Sayangnya, aku lapar. Tante di rumahmu tadi itu gak nawarin apapun sama sekali.” “Nanti kumasakan begitu sampai. Mau makan apa?” “Ayam sayur.” Erika menarik tuas perseneling, menginjak gas lalu mobil bergerak saat lampu kuning berubah jadi hijau. “Baiklah. Nanti kubuatkan,” jawabku. &n
Perkataan Erika nyaris membuatku tersedak. Dengan begini, dia akan melanggar perjanjian pernikahan nomor dua. Aku meneguk air putih, melegakan tenggorokanku.“Bukan berarti aku menolaknya, tapi itu sama saja melanggar perjanjian kita, kan?” tukasku. Erika menghentikan aktivitasnya. Makanan di piring itu masih sisa setengah.“Ya, kita lupakan saja perjanjiannya mulai sekarang.” Seenaknya saja. Dia yang membuat perjanjian dia juga yang mengakhirinya. Pikiran Bu Manajer di hadapanku ini benar-benar tidak bisa kumengerti jalan pikirannya. Bukankah jalan pikiran wanita memang rumit untuk dipahami seorang lelaki sepertiku.“Kalau pada akhirnya untuk dilupakan, kenapa repot-repot bikin perjanjian pernikahan?” tanyaku sembari mengunyah daging ayam yang lembut.“Udah kubilang untuk mencegah tindakan semena-mena dar
Aku kembali bekerja dengan Erika sebagai freelancer di kantornya. Menjadi bagian dari tim Analisa bersama Bu Dewi seperti yang kulakukan sebelumnya. Kami berangkat bersama ke kantor dan tidak ada kekhawatiran lagi karena hubunganku dengan Erika tidak perlu lagi disembunyikan. Semua mata tertuju pada kami yang berjalan berdampingan. Ada yang berbisik senang namun ada juga yang memandangku dengan tatapan sinisnya. Seakan-akan aku ini pria rendahan yang tidak pantas menikah dengan wanita sekelas Erika. Langkah kami mengeluarkan suara berdecit di ubin putih secara bergantian.“Setelah kerja, ada sesuatu yang harus kulakukan. Kamu bawa aja mobilnya, ya!” Aku memecah kecanggungan diantara kami di lorong.“Menyelidiki kedai?” tanyanya. Aku tersenyum tipis.Aku dan Erika berpisah saat dia masuk ke dalam ruangannya. Sementara aku melanjutkan l
Matahari lembut masuk lewat atap yang berlubang, menyentuh punggungku. Langkahku yang awas menimbulkan bunyi gemerisik saat menginjak puing sisa kebakaran. Sekali lagi, aku datang ke sini untuk mendapatkan petunjuk. Pikirku, kemungkinan ada sesuatu seperti barang milik pelaku yang terjatuh atau semacamnya. Pokoknya, yang ada di pikiranku sekarang adalah petunjuk dan petunjuk terlepas dari Rey atau Yus pelakunya. Dari depan meja konter, aku menelusuri hingga ke dapur, sesekali melihat ke bawah sambil berharap ada benda yang ditinggalkan.“Tidak, tidak bisa dimulai seperti ini,” batinku. Kalau aku hanya mencari di sini saja, pelakunya malah akan lebih lama untuk ditangkap. Pria berhodie adalah kata kuncinya. Satu-satunya petunjuk di kepalaku sesuai dengan kesaksian Dwi. Namun, untuk memastikan siapa orang di balik hodie itu tidak cukup hanya memikirkannya saja.
Tidak percaya akan apa yang barusan kusaksikan di layar. Yus telah benar-benar mengkhianatiku. Dengan seijin petugas, aku mengkopii rekaman dari benda pipih itu ke ponselku. Satu bukti sudah kudapatkan untuk menangkap pelaku pembakaran kedai. Paling tidak, hari ini tidak sia-sia. Aku berterima kasih kepada Pak Satpam lalu pulang dengan perasaan membuncah. Di bawah langit yang tahu-tahu sudah mulai gelap saja. Lampu merkuri pun menyala secara otomatis di pinggir jalan. Berjalan di trotoar seorang diri menuju pemberhentian taksi. Angin malam yang lembut berembus membalut tubuhku yang hanya dilapisi oleh kaos tanpa jaket atau blazer. Aku berdiri menunggu taksi sembari mengusap-usap kedua tangan agar tubuhku sedikit lebih hangat. Tak lama, sebuah taksi biru menepi dan berhenti tepat di depanku.Taksi melaju dengan kecepatan standar setelah aku menyebutkan alamat rumah. Sementara itu,
Aku memutar kembali video di smartphone sambil duduk bersila di atas karpet. Video yang berdurasi dua menit itu masih belum cukup sebagai bukti untuk menangkap pelaku pembakaran kedai. Meski tidak ada yang aneh hingga akhir video, aku memutarnya berulang-ulang. Mataku fokus pada orang yang mengenakan celemek kedai. Tubuh pria yang memakai celemek dalam video lebih pendek dari tubuh Yus yang kukenal. Karena wajahnya terhalang topi, mata kamera tidak mampu menangkapnya dengan jelas terlebih lagi di tempat minim penerangan begitu. Aku tidak bisa menarik kesimpulan dengan cepat jika pria dengan celemek itu adalah Yus. Atau bisa saja Yus dan Rey bertukar pakaian agar tidak menimbulkan kecurigaan. Membuat kepala sakit saja. Mengungkap hal seperti ini bukanlah keahlianku. Aku menghela napas kemudian berbaring di atas karpet, memandang langit-langit ruang tamu yang menyilaukan.
Dita terdiam, mengangkat kepalanya. Mata yang basah itu memandangku lekat-lekat. “Iya.” Deg! Jawaban Dita seolah membuat petir menyambar di dadaku. Aku tidak ingin mempercayai Dita tetapi, dialah satu-satunya kunci saat kejadian. Terlebih lagi, dia adalah karyawanku. “Ba…bagaimana bisa?” Aku gemetar. “Yus, menyalakan kompor lalu membakar semuanya.” Sekali lagi, dadaku dihentak oleh sesuatu yang keras, melantakkan isi di dalamnya. Hatiku hancur, sakit karena pengkhianatan. Yus, benar-benar melakukannya. Brak! Gebrakan tanganku membuat Dita menggidikan bahu. “Dimana bocah itu sekarang!” Darah dari pembuluh darahku menggalir ke wajah. Entah sepadam apa sekarang ini, darah itu membuat mataku memanas. “An-,” “Jawab!” &nbs