Tidak percaya akan apa yang barusan kusaksikan di layar. Yus telah benar-benar mengkhianatiku.
Dengan seijin petugas, aku mengkopii rekaman dari benda pipih itu ke ponselku. Satu bukti sudah kudapatkan untuk menangkap pelaku pembakaran kedai. Paling tidak, hari ini tidak sia-sia.
Aku berterima kasih kepada Pak Satpam lalu pulang dengan perasaan membuncah. Di bawah langit yang tahu-tahu sudah mulai gelap saja. Lampu merkuri pun menyala secara otomatis di pinggir jalan. Berjalan di trotoar seorang diri menuju pemberhentian taksi.
Angin malam yang lembut berembus membalut tubuhku yang hanya dilapisi oleh kaos tanpa jaket atau blazer. Aku berdiri menunggu taksi sembari mengusap-usap kedua tangan agar tubuhku sedikit lebih hangat. Tak lama, sebuah taksi biru menepi dan berhenti tepat di depanku.
Taksi melaju dengan kecepatan standar setelah aku menyebutkan alamat rumah. Sementara itu,
Aku memutar kembali video di smartphone sambil duduk bersila di atas karpet. Video yang berdurasi dua menit itu masih belum cukup sebagai bukti untuk menangkap pelaku pembakaran kedai. Meski tidak ada yang aneh hingga akhir video, aku memutarnya berulang-ulang. Mataku fokus pada orang yang mengenakan celemek kedai. Tubuh pria yang memakai celemek dalam video lebih pendek dari tubuh Yus yang kukenal. Karena wajahnya terhalang topi, mata kamera tidak mampu menangkapnya dengan jelas terlebih lagi di tempat minim penerangan begitu. Aku tidak bisa menarik kesimpulan dengan cepat jika pria dengan celemek itu adalah Yus. Atau bisa saja Yus dan Rey bertukar pakaian agar tidak menimbulkan kecurigaan. Membuat kepala sakit saja. Mengungkap hal seperti ini bukanlah keahlianku. Aku menghela napas kemudian berbaring di atas karpet, memandang langit-langit ruang tamu yang menyilaukan.
Dita terdiam, mengangkat kepalanya. Mata yang basah itu memandangku lekat-lekat. “Iya.” Deg! Jawaban Dita seolah membuat petir menyambar di dadaku. Aku tidak ingin mempercayai Dita tetapi, dialah satu-satunya kunci saat kejadian. Terlebih lagi, dia adalah karyawanku. “Ba…bagaimana bisa?” Aku gemetar. “Yus, menyalakan kompor lalu membakar semuanya.” Sekali lagi, dadaku dihentak oleh sesuatu yang keras, melantakkan isi di dalamnya. Hatiku hancur, sakit karena pengkhianatan. Yus, benar-benar melakukannya. Brak! Gebrakan tanganku membuat Dita menggidikan bahu. “Dimana bocah itu sekarang!” Darah dari pembuluh darahku menggalir ke wajah. Entah sepadam apa sekarang ini, darah itu membuat mataku memanas. “An-,” “Jawab!” &nbs
“Jangan-jangan tadi terjadi sesuatu? Makanya kamu main seharian dan malas memikirkan apa-apa, bahkan bolos kerja.” Alih-alih menjawab Erika, aku tertunduk, seperti anak kecil yang dimarahi oleh ibunya karena melakukan kenakalan. “Urusan approval jangan kamu pikirkan. Fokus saja pada kasus kedaimu itu.” Erika lalu melenggang ke kamar. Kutatap Erika dari ruang tamu. Dia membuka laptopnya kemudian entah apa yang dia kerjakan. Sudah lama aku tidak melihatnya bekerja seperti itu lagi. Sepulang kerja bekerja lagi. Seperti waktu pertama kali aku mengajaknya tinggal untuk mengenal satu sama lain. Akan tetapi, aku belum benar-benar mengenalnya sampai sekarang. Aku hanya tahu Erika Hana yang dingin dan cepat berubah mood. Aku menghela napas dalam-dalam. “Berpikirlah tanpa harus mendesak Erika, bodoh!” batinku. *** “
Malam mulai merangkak ke pertengahan. Aku dan Erika duduk di atas karpet, berhadapan. Di tengah, koran dibentangkan dengan lebar. Highlight berita kebakaran menghadap ke atas. “Kalau kamu masih gak percaya sama apa yang kamu lihat, akua da videonya.” Aku membuka topik. “Tunjukkan!” pintanya. Aku membuka galeri, memutar video dari galeri kemudian menyodorkannya pada Erika. “Video itu aku dapat dari pos penjaga di sekitar lingkungan sana. Gambar di koran mungkin diambil dari rekaman itu juga. Gerak orang itu persis,” komentarku. Erika memerhatikan video itu. Memerhatikannya dengan seksama. “Kamu yakin ini bukan Yus?” tanya Erika kemudian. “Aku yakin. Dilihat dari manapun, postur Yus lebih tinggi.” “Kalau ini benar-benar Rey, motifnya apa?” “Aku masih ingin menyelidikinya. Menurut keterangan Dita, pelaku pembakaran adakah Yus. Jadi seharusnya Rey tidak ada sangkut pautnya.” “
Tubuh Dwi ambruk sebelum menjawabku. “Dwi, Dwi!” Aku membopong badan Dwi ke kamar Erika. Erika yang sudah terbaring di atas kasur bangun dari posisinya, dia tampak kaget karena tiba-tiba aku membopong tubuh adiknya. “Kenapa ini?” “Tidak tahu, minggir sedikit!” pintaku panik. Aku membaringkan tubuh Dwi di atas kasur. Memeriksa sushu tubuhnya dengan punggung tangan. Terasa panas. “Tolong ambilkan thermometer di laci!” perintahku pada Erika. Sesaat kemudian, benda itu diulurkan kepadaku. Aku memasangnya di bawah ketiak Dwi. “Aku akan memanaskan air untuk mengompresnya. Tolong jaga sebentar.” Aku melenggang ke dapur, menghangatkan air lalu kembali ke kamar dengan sebaskos air hangat-hangat kuku. Erika menyodorkan thermometer, memperlihatkan angka digital. 38, 8 derajat celcius. “Dia deman.” A
Erika mengguncang tubuhku, membangunkanku dari mimpi indah. Meski masih mengantuk, aku memaksa untuk membuka mata. Badanku terasa pegal karena tidur hanya beralaskan karpet.“Apa Kak? Masih pagi loh ini!” protesku.“Ssst! Sedang ada adikku, kamu panggil aku sayang aja.” Aku mendongak ke kamar yang ada sedang ditempati Dwi. Mendengar permintaan Erika aku terpaksa menurut. Demi adik iparku tercinta yang semalam tertimpa kejadian malang.“Mau berangkat?” tanyaku. Erika menggeleng.“Aku mengkhawatirkan Dwi. Hari ini biar aku bolos dulu.”“Iya.”“Kalau begitu, aku akan buatkan bubur untuk Dwi. Ka-, Bu Manajer mau kumasakan apa?”“Aku gampang. Buatkan saja dulu Dwi bubur,” pintanya. Kulirik jam di dinding, sudah jam delapan lewat lima be
Aku terbatuk, tubuhku memerosot terduduk di tanah. Seorang pria tegap, bertubuh kekar dengan seragam polisi mengarahkan pistolnya ke arah Rey. “Letakkan senjatamu, angkat tangan lalu jongkok!” teriaknya. Disudutkan oleh tiga orang polisi, Rey menurut pasrah. Diletakkannya pistol itu ke tanah lalu berjongkok. Tangan Rey diborgor oleh salah satu polisi, begitu pun dengan Yus, tangannya diborgol oleh rekan polisi satunya. “Kamu gak apa-apa. Pras?” tanyanya padaku. “Enggak, kok,” ucapku dalam napas yang tersengal. “Apa Bapak ini teman Erika?” tanyaku. Pria itu mengangguk sembari membantuku untuk berdiri. “Iya. Teman lama. Kamu gak apa-apa, kan?” “Enggak, kok. Makasih, ya.” “Kamu pulanglah dulu, kami akan urus mereka berdua. Salam untuk Erika, ya,” ucapnya. Kulirik nama yang tertempel di da
Erika tiba di rumah sebelum jam sebelas malam. Entah kemana istriku itu sedari siang tadi. Dia tidak berpakaian formal namun tetap anggun di dalam balutan celana kain dan baju lengan pendek motif kebaya brokat warna putih. “Aku pulang!” Apa aku tidak salah dengar? Erika mengucap salam untuk pertama kalinya saat masuk rumah. “Se…Selamat datang!” jawabku sembari tertawa kecil. “Apanya yang lucu?” ketusnya sembari meletakkan tas tangan di atas meja makan. Di depanku yang sedari tadi duduk melamun sambil menopang dagu. “Enggak apa-apa, kok.” “Dwi gimana?” sambung Erika. Kami duduk berhadap-hadapan. “Ya, sepertinya dia agak trauma. Kamu pasti sudah tahu ceritanya, kan?” “Apa?” “Tentang perbuatan pacarmu terhadap adikmu.” Erika mengerutkan kening, tidak mengerti dengan jelas ma