“Jangan-jangan tadi terjadi sesuatu? Makanya kamu main seharian dan malas memikirkan apa-apa, bahkan bolos kerja.”
Alih-alih menjawab Erika, aku tertunduk, seperti anak kecil yang dimarahi oleh ibunya karena melakukan kenakalan.
“Urusan approval jangan kamu pikirkan. Fokus saja pada kasus kedaimu itu.”
Erika lalu melenggang ke kamar.Kutatap Erika dari ruang tamu. Dia membuka laptopnya kemudian entah apa yang dia kerjakan. Sudah lama aku tidak melihatnya bekerja seperti itu lagi. Sepulang kerja bekerja lagi. Seperti waktu pertama kali aku mengajaknya tinggal untuk mengenal satu sama lain. Akan tetapi, aku belum benar-benar mengenalnya sampai sekarang. Aku hanya tahu Erika Hana yang dingin dan cepat berubah mood.
Aku menghela napas dalam-dalam. “Berpikirlah tanpa harus mendesak Erika, bodoh!” batinku.
***
“
Malam mulai merangkak ke pertengahan. Aku dan Erika duduk di atas karpet, berhadapan. Di tengah, koran dibentangkan dengan lebar. Highlight berita kebakaran menghadap ke atas. “Kalau kamu masih gak percaya sama apa yang kamu lihat, akua da videonya.” Aku membuka topik. “Tunjukkan!” pintanya. Aku membuka galeri, memutar video dari galeri kemudian menyodorkannya pada Erika. “Video itu aku dapat dari pos penjaga di sekitar lingkungan sana. Gambar di koran mungkin diambil dari rekaman itu juga. Gerak orang itu persis,” komentarku. Erika memerhatikan video itu. Memerhatikannya dengan seksama. “Kamu yakin ini bukan Yus?” tanya Erika kemudian. “Aku yakin. Dilihat dari manapun, postur Yus lebih tinggi.” “Kalau ini benar-benar Rey, motifnya apa?” “Aku masih ingin menyelidikinya. Menurut keterangan Dita, pelaku pembakaran adakah Yus. Jadi seharusnya Rey tidak ada sangkut pautnya.” “
Tubuh Dwi ambruk sebelum menjawabku. “Dwi, Dwi!” Aku membopong badan Dwi ke kamar Erika. Erika yang sudah terbaring di atas kasur bangun dari posisinya, dia tampak kaget karena tiba-tiba aku membopong tubuh adiknya. “Kenapa ini?” “Tidak tahu, minggir sedikit!” pintaku panik. Aku membaringkan tubuh Dwi di atas kasur. Memeriksa sushu tubuhnya dengan punggung tangan. Terasa panas. “Tolong ambilkan thermometer di laci!” perintahku pada Erika. Sesaat kemudian, benda itu diulurkan kepadaku. Aku memasangnya di bawah ketiak Dwi. “Aku akan memanaskan air untuk mengompresnya. Tolong jaga sebentar.” Aku melenggang ke dapur, menghangatkan air lalu kembali ke kamar dengan sebaskos air hangat-hangat kuku. Erika menyodorkan thermometer, memperlihatkan angka digital. 38, 8 derajat celcius. “Dia deman.” A
Erika mengguncang tubuhku, membangunkanku dari mimpi indah. Meski masih mengantuk, aku memaksa untuk membuka mata. Badanku terasa pegal karena tidur hanya beralaskan karpet.“Apa Kak? Masih pagi loh ini!” protesku.“Ssst! Sedang ada adikku, kamu panggil aku sayang aja.” Aku mendongak ke kamar yang ada sedang ditempati Dwi. Mendengar permintaan Erika aku terpaksa menurut. Demi adik iparku tercinta yang semalam tertimpa kejadian malang.“Mau berangkat?” tanyaku. Erika menggeleng.“Aku mengkhawatirkan Dwi. Hari ini biar aku bolos dulu.”“Iya.”“Kalau begitu, aku akan buatkan bubur untuk Dwi. Ka-, Bu Manajer mau kumasakan apa?”“Aku gampang. Buatkan saja dulu Dwi bubur,” pintanya. Kulirik jam di dinding, sudah jam delapan lewat lima be
Aku terbatuk, tubuhku memerosot terduduk di tanah. Seorang pria tegap, bertubuh kekar dengan seragam polisi mengarahkan pistolnya ke arah Rey. “Letakkan senjatamu, angkat tangan lalu jongkok!” teriaknya. Disudutkan oleh tiga orang polisi, Rey menurut pasrah. Diletakkannya pistol itu ke tanah lalu berjongkok. Tangan Rey diborgor oleh salah satu polisi, begitu pun dengan Yus, tangannya diborgol oleh rekan polisi satunya. “Kamu gak apa-apa. Pras?” tanyanya padaku. “Enggak, kok,” ucapku dalam napas yang tersengal. “Apa Bapak ini teman Erika?” tanyaku. Pria itu mengangguk sembari membantuku untuk berdiri. “Iya. Teman lama. Kamu gak apa-apa, kan?” “Enggak, kok. Makasih, ya.” “Kamu pulanglah dulu, kami akan urus mereka berdua. Salam untuk Erika, ya,” ucapnya. Kulirik nama yang tertempel di da
Erika tiba di rumah sebelum jam sebelas malam. Entah kemana istriku itu sedari siang tadi. Dia tidak berpakaian formal namun tetap anggun di dalam balutan celana kain dan baju lengan pendek motif kebaya brokat warna putih. “Aku pulang!” Apa aku tidak salah dengar? Erika mengucap salam untuk pertama kalinya saat masuk rumah. “Se…Selamat datang!” jawabku sembari tertawa kecil. “Apanya yang lucu?” ketusnya sembari meletakkan tas tangan di atas meja makan. Di depanku yang sedari tadi duduk melamun sambil menopang dagu. “Enggak apa-apa, kok.” “Dwi gimana?” sambung Erika. Kami duduk berhadap-hadapan. “Ya, sepertinya dia agak trauma. Kamu pasti sudah tahu ceritanya, kan?” “Apa?” “Tentang perbuatan pacarmu terhadap adikmu.” Erika mengerutkan kening, tidak mengerti dengan jelas ma
Perasaan kami seakan-akan menyatu satu sama lain. Untuk beberapa saat, kamibtidak bisa bergerak di dalam perasaan yang tumpah secara tiba-tiba ini. Dadaku campur aduk, tidak bisa dibilang sakit sepenuhnya namun juga tidak bisa dibilang bahagia. Kami berdua larut dalam perasaan yang sama, lupa diri ketika malam mulai merangkak ke subuh. Dalam remangnya kamar yang hanya diterangi lampu tidur, kami bergelut di atas kasur. Terlena dalam manisnya bibir yang bertaut, mencumbui tubuh istriku. Napasku memburu, seiring dengan Erika yang melenguh mengikuti irama gerakanku ke dalam lorong sempit di dalam sana. Untuk pertama kalinya kami saling menatap mesra setiap kali Erika melingkarkan tangannya di leherku sembari sesekali merengkuh. Napas kami mulai berat, sampai di puncak kenikmatan yang menghanyutkan. Kukecup leher Erika setelahnya lalu, menyandarkan kepala di dadanya. Keringat kami menyatu bersama dengan sisa kenikma
“Kamu gak boleh kemana-mana dulu!” ucapku pada Dwi. “Kenapa?” “Pokoknya gak boleh. Bahaya saat sekarang ini.” Dwi memandangku lekat-lekat untuk sessat kemudian dia mengeluarkan bungkusan dari kantong plastik. Mengambil mangkuk lalu menuangnya. “Jangan khawatir, aku punya Kak Pras.” Sejak adik iparku menggodaku kemarin, aku jadi agak canggung dengannya. Akan tetapi, kalau dilihat adik iparku gadis sempurna. Lelaki manapun pasti akan beruntung kalau jadi pacarnya. “Oh ya, Kak Pras. Kamu itu menantu papa, akuisisi saja sahammu di Fast Granola,” celetuknya lalu menyeruput kuah di sendok makan. Mendengar dia berbicara soal saham, aku sedikit terkejut. Jangan-jangan gadis ini sudah tahu kalau aku adalah pemegang saham. “Maksudmu?” tanyaku memandangnya lekat-lekat. Dwi berpindah dari balik konter membawa mangkuk yang terlihat panas. Lalu duduk di kur
Rafael pamit setelah seenaknya mangajak istriku jalan dan berhasil membakar dadaku. Ingin sekali rasanya memelintir tangan kekar pria itu akan tetapi dari fisik saja aku sudah kalah. Kaliamt terakhirnya di depan pintu saat aku dan Erika mengantarnya hanya kalimat pengingat yang berulang.“Jangan lupa datang, Pras!” ucapnya. Bahkan setelahnya, dia melempar senyum kepada Erika .“Kalian akrab, ya,” ujarku sembari menutup pintu.“Biasa saja,” jawab Erika. Aku mengikuti langkah Erika hingga ke dapur.“Di aitu benar temanmu?” Aku kembali penasaran.“Iya. Teman lama.”“Jenis teman yang bagaimana? Teman hidup? Teman dekat atau man-““Mantan pacar!” jawabnya kesal karena pertanyaan bertubi-tubi dariku. Erika melenggang ke belakang konter.“Dua hari lagi aku harus datang ke po
Kepada Pembaca, Kepada pembaca, dengan ini penulis menyatakan novel Menikahi Bu Manajer sudah tamat pertanggal 23 Desember 2021. Hampir 7 bulan menyelesaikannya karena kesibukan bekerja dan kadang juga dilanda malas. Menikahi Bu Manajer mungkin bukan karya yang sempurna tetapi, author berharap semua bisa menikmati karya yang tidak sempurna ini dan para pembaca bisa turut menikmati prosesnya. Author sangat berharap bisa membuat karya yang lebih sempurna lagi tentunya dengan kritik, saran dan masukan dari para pembaca. Jadi, silakan tuangkan sarannya di sini mengenai kekurangan dalam novel Menikahi Bu Manajer. Nantikan karya selanjutnya yang lebih baik, ya. Semangat semuanya.Salam dari langit utara,Ursa Mayor, Jangan lupa follow akun media sosial penulisF*: Omang YayuzI*: @mang_yayus
Dua bulan kemudian, hubunganku dengan Erika berangsur akur. Kami menjalankan semua kesibukan kami bersama dan yang menggembirakan adalah aku mendapat berita bahwa Rey masuk bui dengan pasal berlapis. Kabar itu kudapat dari Rahayu melalui pesan singkat Waktuchat. Ayahnya dipecat dari Jayanta Tambang. Dan hari ini, aku tidak sengaja bertemu Dita di sebuah kafetaria. Gadis ceria itu sangat senang melayaniku dan menguarkan keceriaannya kembali. Di sela-sela senggangnya, dia bahkan mendampingku seperti sekarang, duduk satu meja. “Kak Pras, aku sangat senang karena Yus sudah bebas. Padahal, aku juga sebenarnya tidak punya bukti apa-apa tentang kasus kedai itu.” Dita memulai pembicaraan. “Lupakan masalah itu. Aku tidak akan membiarkan dia di sana terlalu lama.” “Tapi, bagaimana Kak Pras membebaskannya tanpa syarat?” tanya Dita. Aku menyedot es capucino di depanku. “Rahasia!” jawabku kemudian sambil terse
Aku malah jadi frustasi karena semua ini. Mendadak jadi pemimpin hanya karena ancaman yang kulakukan. “Sebenarnya Papa mau aku gimana?” Aku mengumpat kepada papa yang sudah tidak ada dan tentu saja sudah tidak bisa mendengar keluh kesahku. Pernikahan dengan Erika yang membuat hidup berantakan, cerita-cerita yang tidak masuk akal dari ayah mertua, Erika atau mungkin juga dari Tante yang tidak masuk ke logikaku dan sekarang menjadikanku pemegang Jayanta Tambang. Sekarang aku baru menyadari sesuatu, pemicu sebenarnya dari kehidupanku yang berantakan bukanlah pernikahanku dengan Erika, tetapi kepemilikan saham. Aku tidak bisa mengatakan diriku ini alat untuk merebut kekuasaan karena di sisi lain aku juga yang diuntungkan, tetapi aku menyayangkan keputusan mereka. “Kamu ini gak sopan banget, malah melenggang gitu aja!” Erika sudah duduk di kursi di sebelahku, menutup pintu wagon dengan kesal. “Kenapa sih, Pras!” tanyanya sembari melipat t
Suara TV dari ruang tamu membuat mataku terbuka padahal seingatku sebelum aku tidur semalam, aku sudah mematikannya. Namun, agaknya Erika bangun sebelum aku bangun. Bukan tanpa alasan mataku jadi terbuka tetapi, karena telingaku menangkap suara seorang pewarta yang membawakan berita pagi ini. “CEO Jayanta Tambang melaporkan kasus putranya….” Kalimat itulah alasan utama. Aku bangkit dari tempat tidur, melakukan peregangan pada bagian badan, menguap melepaskan sisa kantuk. Badanku terisi ulang dengan energi, tapi tenggorokan yang kering memaksa untuk pergi ke dapur dan mengambil minum. “Sebenarnya, apa yang kamu lakukan kemarin?” Erika masih dengan pakaian yang dia kenakan semalam, duduk bersila di sofa sambil menatap layar. Di layar TV terpampang highlight bertuliskan, “Putra Jayanta Tambang Tersandung Kasus.” Ternyata, secepat ini beritanya tersiar. “Jawab, Pras!” Erika menurunkan hodie telinga kucing, memand
Puas menghabiskan sisa hari ini bersama Tante dan Ryan, aku pulang ke rumah dengan bekal masakan hasil karya Tante ketika langit sudah mulai gelap. “Aku pulang!” Kudapati istriku itu sedang duduk di sofa mengenakan piyama putih sembari bersila. Ekspresinya sangat serius menonton tayangan luar negeri, seakan dia tidak menyadari kehadiranku dia sama sekali tidak menoleh atau bahkan membalas salam. Tetapi satu hal yang membuat aku terenyum adalah atasan tambahan yang dia kenakan. Atasan yang dia kenakan sangat kontras dengan kepribadiannya. Jaket rajut warna cokelat dengan hodie bertelinga mirip seperti hewan kucing atau semacamnya. Saking seriusnya menonton dan suara TV yang mengalahkan derap langkahku, aku berjalan mendekat, menarik salah satu telinga kucing pada hodienya. Masih belum juga menyadari kehadiranku dan mengira hodienya melorot aku ikut bersenandung ketika iklan dengan soundtrack anak-anak muncul. “
Meski rumah ini sudah ditinggal oleh orang tuaku, pintu rumah yang selalu terbuka seakan selalu menyambutku kapan saja aku datang. Bagaimana pun keadaanku dan sesulit apapun masalah yang menghampiri, rumah ini adalah tempat aku meletakkan semua lelah untuk sesaat. Sekarang pun masih tetap sama hanya saja, dengan kasih yang datang dari orang berbeda. Kasih seorang ibu juga. Aku memasuki ruang tamu, kudapati Tante sedang membuka sebuah benda seperti buku. “Aku pulang!” Aku memberi salam. Tante pun menoleh untuk sesaat. “Eh, Pras,” sahutnya. “Lihat apa, Tante?” tanyaku sembari mendongak. Tampak beberapa foto nostalgia di dalam album foto yang dipangku Tante. “Mendadak Tante kangen sama orang tuamu. Juga beberapa fotomu waktu kecil.” Tante tersenyum sembari membalik album. “Oh ya, sebelum lupa-,” Aku mengeluarkan dokumen dari dalam saku jass kemudian memberikannya pada Tante-.”tolong disimpan dengan baik lagi, ya1"
“Selanjutnya, saya serahkan kepada Rahayu dan Bapak.” Aku bangkit dari posisiku. “Saya tunggu di law firm.” Rahayu menyodorkan kartu namanya kemudian menepuk pundakku memberi tanda untuk segera pergi. Kami berdua berjalan bergantian dengan derap langkah yang tegas. “Kok bisa-bisanya kamu berpikir tentang rencana ini?” tanya Rahayu ketika kami menuruni tangga, keluar dari gedung. “Yah, mau bagaimana lagi. Aku juga gak ada cara lain. Dengan begini pun firma hukummu seharusnya diuntungkan,” jawabku. “Apa Erika tahu tentang ini?” tanyanya lagi. “Ini tidak ada hubungannya lagi dengan Erika. Aku pun gak perlu validasi dari istriku.” Kami berhenti di depan mobil wagonku. Rahayu pun tersenyum untuk pertama kalinya kepadaku. “Kali ini, aku serahkan padamu.” Aku berbalik, membuka pintu mobil. “Tunggu!” “Apalagi?” “K
Aku duduk di sofa, menyilangkan kakiku dan merentangkan tangan di atas daun sofa. Pria paruh baya yang kulihat di TV pasca Rey dijebloskan dipenjara untuk pertama kalinya sekarang ada di di depanku. “Kamu siapa? Kenapa lancang masuk ke ruangan ini tanpa izin?” tanyanya. “Dia Pras, Ayah!” sahut Rey. “Salam, Pak!” Aku menangkupkan tangan sambil tersenyum. “Jadi kamu yang telah merebut Erika dari anak saya?" Pria itu mendekat sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku. “Tenanglah, Pak!” ucapku santai. “Apa maksudmu datang ke sini tiba-tiba begini? Belum puas kamu membawa penderitaan kepada anakku?” Senyum di bibirku luntur seketika. Aku bangkit berdiri di hadapan pria yang sudah membesarkan Rey hingga dia menjadi seberengsek itu. “Penderitaan katamu, wahai Tuan CEO yang terhormat?” Kupandang wajahnya yang berkerut. Sesaat kemudian, aku beralih pandang ke Rey yang berdiri di depan meja kerja mewah ayahnya.
Sesaat kemudian, Tante turun membawa dokumen yang kuminta. Dia mengeluarkan seluruh isinya di hadapanku. “Kamu hanya perlu dokumen pailit, jadi Tante akan memberikan itu saja. Sisanya, Tante akan menyimpannya untukmu nanti.” Tante memasukan dokumen yang kuperlukan ke dalam amplop kemudian merapikan sisanya. “Ini.” Tante mengulurkan benda pipih cokelat itu kepadaku. Aku mengambilnya kemudian menyimpan di kantong bagian dalam jasku. “Sebenarnya Tante mengkhawatirkanmu. Maafkan, Tante atas tamparan itu. Kamu sudah seperti putraku sendiri, Nak.” Tante mulai terisak. Aku berjongkok di hadapan tante, meletakkan kepalaku di pahanya. “Tante, aku mencintaimu. Cuma Tante yang bisa gantiin sosok Mama dan orang tua untukku. Aku minta maaf karena lancang dan merepotkan selama ini. Terima kasih.” Aku kembali merasakan kehangat seorang ibu ketika tangan tante mengelus lembut kepalaku. A