“Kamu gak boleh kemana-mana dulu!” ucapku pada Dwi.
“Kenapa?”
“Pokoknya gak boleh. Bahaya saat sekarang ini.”
Dwi memandangku lekat-lekat untuk sessat kemudian dia mengeluarkan bungkusan dari kantong plastik. Mengambil mangkuk lalu menuangnya.
“Jangan khawatir, aku punya Kak Pras.” Sejak adik iparku menggodaku kemarin, aku jadi agak canggung dengannya. Akan tetapi, kalau dilihat adik iparku gadis sempurna. Lelaki manapun pasti akan beruntung kalau jadi pacarnya.
“Oh ya, Kak Pras. Kamu itu menantu papa, akuisisi saja sahammu di Fast Granola,” celetuknya lalu menyeruput kuah di sendok makan.
Mendengar dia berbicara soal saham, aku sedikit terkejut. Jangan-jangan gadis ini sudah tahu kalau aku adalah pemegang saham.
“Maksudmu?” tanyaku memandangnya lekat-lekat.
Dwi berpindah dari balik konter membawa mangkuk yang terlihat panas. Lalu duduk di kur
Rafael pamit setelah seenaknya mangajak istriku jalan dan berhasil membakar dadaku. Ingin sekali rasanya memelintir tangan kekar pria itu akan tetapi dari fisik saja aku sudah kalah. Kaliamt terakhirnya di depan pintu saat aku dan Erika mengantarnya hanya kalimat pengingat yang berulang.“Jangan lupa datang, Pras!” ucapnya. Bahkan setelahnya, dia melempar senyum kepada Erika .“Kalian akrab, ya,” ujarku sembari menutup pintu.“Biasa saja,” jawab Erika. Aku mengikuti langkah Erika hingga ke dapur.“Di aitu benar temanmu?” Aku kembali penasaran.“Iya. Teman lama.”“Jenis teman yang bagaimana? Teman hidup? Teman dekat atau man-““Mantan pacar!” jawabnya kesal karena pertanyaan bertubi-tubi dariku. Erika melenggang ke belakang konter.“Dua hari lagi aku harus datang ke po
Pekerjaanku dimulai dari menata ulang sprei yang tersingkap. Kulanjutkan dengan menata bantal yang berserakan di lantai. Selimut yang awut-awutan kusatukan ujungnya hingga menjadi empat lipatan. Pekerjaan menata kamar Tuan Putri Dwi kulakukan dengan penuh ketidak ikhlasan. Sesuatu memantul di atas punggung kakiku, menimbulkan bunyi dentingan saat menyentuh permukaan lantai. Aku melirik menunduk,lalu menemukan sebuah benda tipis yang pipih. Mirip temometer. Penasaran, lantas memungutnya. Dua garis merah berjejer pada bagian tengah benda tersebut. Menyadari benda di tanganku adalah sebuah tes kehamilan, aku terperangah. Aku bisa merasakan mataku membulat. “Kak Pras!” Dwi bergeming, hanya berdiri di pintu. Memandangku dengan benda pipih di tangan. Bibir Dwi mengatup, menelan ludah. “I…ini?” tanyaku penasaran. Dwi mendekat dengan langkah terhuyung, direbutnya benda
Cahaya matahari kuning yang membias membentuk bayangan memanjang kami di jalanan aspal. Aku dan Dwi berjalan berdampingan tanpa berkata apapu, hanya ada suara langkah kaki kami yang bergantian mengisi kecanggungan diantara kami. Aku tidak tahu, apa perbuatan Dwi bisa disebut pengkhianatan. Satu hal yang kubayangkan saat ini adalah perasaaan Erika jika tahu kenyataannya. Sekelebat pertanyaan pun muncul di kepalaku saat melihat ekspresi wajah Dwi yang muram di sampingku. Sebenarnya siapa yang memulai pengkhianatan ini? Aku dan Erika, Yus, Rey atau Dwi? Atau mungkin keadaanlah yang memaksa kami tanpa disadari. Tahu-tahu sambil melamun, kami sudah menginjakkan kaki di beranda rumah. “Kami pulang!” sapa Dwi sembari membuka pintu rumah. Dwi menutup pintu begitu kami sudah masuk ke dalam rumah. Tidak ada jawaban dari Erika. “Kayaknya kakakmu masih tidur,” ucapku.
“Pasti berat untukmu. Tentang hal itu, aku ikut berduka. Informasinya cukup untuk saat ini. Sidang sudah diputuskan minggu depan. Kamu datanglah sebagai saksi!” perintahnya. “Hanya segini saja?” tanyaku. “Iya, segini saja. Hubungi saya kalau kamu perlu bantuan atau menemukan bukti lain.” Tanganku hendak merogoh kantung di balik jaket warna hitam. Akan tetapi, aku mengurungkan niatku lantaran berubah pikiran dengan cepat. Bisa saja ini akan jadi kartu as untuk menjebloskan kedua pengkhianat itu ke dalam penjara lebih lama lagi. “Kalau begitu, saya permisi!” Aku berdiri dari tempat dudukku. “Pras!” Panggilan Rafael menghentikan langkahku. Memalingkang wajah dari pintu lalu menjawabnya. “Iya?” “Terima kasih sudah menjaga Erika.” Pria kekar itu tersenyum. Rautnya menunjukkan ketulusan. Terasa ujung bibirku melebar, membalas kalimatnya kemudian meninggalkan ruangan sempit itu.
Baru saja bunga di dadaku bermekaran untuk sesaat sekarang sudah layu hanya dalam beberapa menit ketika mataku menangkap sebuah benda berwarna emas berkilauan melingkar di jari manis kanan Gayatri. Berantakan, patah dan pecah, perasaan yang sama seperti saat aku kematian kedua orang tuaku. Mataku memandang benda yang melingkar di jari manis lentik Gayatri. Kalimat yang sudah di ujung lidah menghilang sudah. Alih-alih mengatakan hal yang seharusnya, aku malah mengangguk pelan. Gayatri tersenyum, dielusnya benda itu dengan tangan kirinya. Meski mantan kekasihku itu tesenyum namun, matanya bak jendela yang bisa diintip isi di dalamnya. Mata yang menyembulkan titik bening. Perasaannya tumbah bersama air mata yang mengalir di pipinya yang tirus. “Kalau kamu tidak menikah, mungkin aku juga tidak akan menikah-,” Gayatri menggigit bibir. “Tapi, kenyataan tidak bisa dilawan, bahkan di hari terakhir kita ketemu pun gak ada pernyataan putus,” im
Aku tidak langsung pulang melainkan singgah ke tempat kerja. Jika aku terus membolos seperti ini, Erika akan mengomeliku habis-habisan di depan para karyawannya. Atau kemunungkinan aku dapat cibiran, “Ih, mentang-mentang suami Manajer Erika bisa seenaknya saja!” Meskipun aku tidak bermaksud memanfaatkan statusku sebagai suami Bu Manajer untuk bersikap seenaknya seperti itu. Aku tetaplah seorang karyawan. Kantor Erika tampak begitu sibuk. Beberapa karyawan lalu-lalang di koridor. Ada juga karyawan yang mendorong troli dengan setumpuk kardus produk. Di tengah kesibukan itulah aku berjalan, berpapasan dnegan beberapa karyawan wanita hingga akhirnya menghentikan langkah saat sampai di depan ruangan bertuliskan Manajer. “Kamu jadi kacau setelah pernikahanmu, ya!” suara bariton seorang pria di dalam sana mengurungkan niatku untuk membuka pintu. Suara seorang yang kukenal. Dari pintu yang menyisakan celah karena tidak ditutup rapa
Perlahan, waktu merangkak ke pertengahan bulan. Tahu-tahu waktuku hanya tinggal dua minggu lagi untuk membuktikan siapa dalang di balik kebakaran kedai. Sekaligus, aku tidak ingin membayar denda kepada ayah mertuaku. Hari ini pun aku bangun lebih awal sebelum Erika. Mandi dengan air dingin yang siap membekukan tubuhku kapan saja kemudian mengenakan kemeja formal. Menyisir rambut potongan undercut yang sudah mulai memanjang setelah mengolesinya dengan minyak rambut. Di depan cermin, aku memerhatikan diriku sendiri. Pada cermin lemari pakaian, sama sekali tak ada yang sama dengan diriku. “Pagi-pagi begini udah rapi aja.” Suara Dwi membuatku terperanjat. Dia masih menutupi badannya dengan selimut. Rambutnya awut-awutan sembari menguap, menumpuk bantal untuk dijadikan sandaran punggung. “Mau kemana, Kak?” tanyanya. “Hari ini sidang perkara pembakaran kedai,” jawabku sembari melingkarkan benda bulat dengan tali kulit di pergelangan tanga
Seseorang menepuk pundakku, mengembalikanku dari lamunan. “Permisi, Anda menghalangi jalan!” ucapnya. Menyadari aku telah lama berdiri di sini, aku bergeser ke samping. Pria yang menepuk pundakku tadi pun bersikap acuh kemudian masuk ke ruangan bertulisakan “Ruang Sidang III.” Di dalam ruangan itulah nantinya aku akan duduk, mendengarkan pernyataan Rey dan Yus sebagai seorang tersangka. Tidak, maksudku sebagai seorang pengkhianat. “Sudah berapa lama kamu melamun di sini?” Refael tiba-tiba saja mendekat entah dari arah mana. Hari ini dia tampil berkarisma seperti sebelumnya dengan jaket kulit hitam. Celana kain dan pantofel yang membuatnya gagah. “Belum ada tiga puluh menit kok,” jawabku. “Sebagai pria, kamu cukup tepat waktu juga. Cocok sekali bersanding dengam Erika,” pujinya. “Enggak begitu, kok.” Rafael menepuk pundakku, ujung bibirnya melengkung, seakan ingin tertawa. “Sebaiknya kita tunggu di