Seseorang menepuk pundakku, mengembalikanku dari lamunan. “Permisi, Anda menghalangi jalan!” ucapnya. Menyadari aku telah lama berdiri di sini, aku bergeser ke samping. Pria yang menepuk pundakku tadi pun bersikap acuh kemudian masuk ke ruangan bertulisakan “Ruang Sidang III.” Di dalam ruangan itulah nantinya aku akan duduk, mendengarkan pernyataan Rey dan Yus sebagai seorang tersangka. Tidak, maksudku sebagai seorang pengkhianat.
“Sudah berapa lama kamu melamun di sini?” Refael tiba-tiba saja mendekat entah dari arah mana. Hari ini dia tampil berkarisma seperti sebelumnya dengan jaket kulit hitam. Celana kain dan pantofel yang membuatnya gagah.
“Belum ada tiga puluh menit kok,” jawabku.
“Sebagai pria, kamu cukup tepat waktu juga. Cocok sekali bersanding dengam Erika,” pujinya.
“Enggak begitu, kok.”
Rafael menepuk pundakku, ujung bibirnya melengkung, seakan ingin tertawa.
“Sebaiknya kita tunggu di
“Apa maksudnya itu?” Aku memelotot pada Rafael. “Lihat saja keseruannya.” Rafael menajawab santai. Pria ini menyaksikan sidang seperti menonton sebuah drama. Dia mungkin memang sering menikmati suasana drama dalam sidang, akan tetapi apa dia tidak bisa memasang keseriusan sedikit saja atau malah dibalik wajah santainya itu, dia sedang menganalisa yang terjadi seperti menebak akhir dari drama. Sidang berlanjut. Kali ini, giliran Rey yang menjawab pertanyaan itu. “Meski pun saya masuk ke kedai lewat pintu pagar belakang, saya tidak melakukan apapun di dapur. Saya hanya berniat meminjam toilet karena kebelet pipis. Sudah jelas pun, di kayu itu adalah sidik jari saudara Yus,” jawabnya diiringi tawa kecil. “Yang Mulia, hari ini kami menghadirkan seorang saksi sekaligus pemilik kedai. Mohon izinkan yang bersangkutan untuk duduk di meja saksi,” Hakim melirik dokumen panitera pengganti sebentar, sesaat ke
Dita selama ini menulis laporan dengan pulpen. Terlebih lagi ada dua jenis pulpen yang digunakan yaitu pulpen dengan tinta hitam dan merah. Akan tetapi, vinyl eraser dua warna bisa digunakan untuk menghapus tinta. Jika diperhatikan baik-baik, gambar vinyl eraser itu tidak meninggalkan bekas tinta pada ujung yang tumpul. Terlebih lagi, warna vinyl eraser yang digunakan adalah putih, akan sangat kentara jika digunakan untuk menghapus tinta pulpen. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana benda yang tidak kami gunakan di kedai bisa ada di TKP. “Apa di kedai Saudara menggunakan pensil untuk menulis?” tanya pengacara wanita. “Tidak. Karyawan saya hanya menggunkan pulpen saja untuk menulis laporan penjualan,” sanggahku. “Dari sini kami menarik kesimpulan bahwa, pelaku kembali ke tempat kejadian bertujuan untuk menghapus atau mengilangkan barang bukti.” “Keberatan, Yang Mulia!” Pengacara di seberang sana kembali menyela.
Adu Argumen tidak ada habisnya sampai akhirnya Sang Pengadil angkat bicara. “Setelah mendengar kesaksian saksi. Pernyataan-pernyataan serta barnag bukti maka, sidang ditunda.” Palu pun diketuk di atas meja. Kemudian para pengadil di depan sana membubarkan diri setelah merapikan berkas. Menghilang di pintu di belakang sana. Dua orang yang berbaju tahanan itu pun digiring oleh petugas sipil. Rey memandangku dengan wajah menyeringai, seakan-akan tidak terjadi apa-apa meskipun dia berstatus sebagai terdakwa. Jika mata sipitnya itu bisa bicara mungkin akan berkata, “Hukum ini tidak berlaku untukku, lihat saja!” Aku mengalihkan pandangan ke arah Yus yang tertunduk. Berjalan pasrah dengan kedua tangan terborgol, tertunduk hingga melewati pintu ruangan. Aku menghela napas dalam-dalam, menyatukan ke sepuluh jariku. Hari ini sudah berakhir, hanya seperti ini saja tanpa ada hasil apa-apa. Menguras energi, buang-b
Mobil minibus yang dikendari Rafael melewati gapura area parkir pengadilan, menghilang setelah memasuki jalan raya. Jika persidangan ini hanya untuk menemukan pelaku, seharusnya jadi lebih mudah. Akan tetapi, meja hijau malah membuat ribet sendiri. Kalau hanya bertujuan menemukan pelaku sebenarnya, aku bisa melakukannya sendiri tapi, waktu itu otakku buntu. Mungkin tepatnya putus asa. Aku melangkah ke wagon hitam kesayanganku, duduk di belakang kemudi. Mengela napas dalam-dalam. Memandang lekat-lekat gedung megah dengan ornamen khas Bali di depanku. Apa mereka yang di dalam sana benar-benar bisa mengungkap kebenaran? Apa mereka yang disebut pengadil itu benar-benar bisa memberi hukuman dengan adil? Ah, aku meragukannya. *** Sepulang dari pengadilan, aku langsung pulang ke rumah. Tubuhku terasa begitu lelah, bahkan menanggalkan pakaian formal di badan ini pun rasanya aku tidak
Aku tidak punya uang lagi kalau sisa tabungan daruratku yang tinggal tujuh juta itu kubayarkan untuk tagihan rumah sakit. Mau bagaimana lagi, terpaksa. “Dwi!” panggilku lirih. “Huum?” “Tolong kembalikan dokumen Kakak yang kamu ambil itu!” aku memberanikan diri. “Sudah kubilang akan kusimpan untuk kebahagiaan Kak Pras dan Kak Erika di masa depan.” “Tap-,” “Pokoknya jangan khawatir, aku menyimpannya di tempat yang aman.” ujar Dwi. “Sudah ah, aku mau istirahat dulu!” Aku berdecak, mengusap muka. Hanya itu warisan papa yang ditinggalkan untukku. Ditambah lagi, waktuku tidak banyak agar tidak membayar sewa kedai yang terbakar kalau pelakunya tidak berhasil diungkap. Derit di pintu membuyar pikiranku yang berat. Erika dengan pakaian formal berwarna biru langit muncul dari balik pintu masuk. “Selamat datang!” sambutku sambil menoleh ke arah
“Mau bermain di kotak pasir?” ajakku. Erika mengerem pergerakan ayunan dengan kedua kaki jenjang, “Hah?” Erika memiringkan kepala. “Ayolah! Kita kembali ke masa kanak-kanak sebentar. Kita sudah frustasi dengan berbagai urusan orang dewasa.” Aku berdiri dari ayunan, melangkah mundur sambil melayangkan senyum ke arah Erika yang masih terheran. “Aku duluan!” Aku berlari, masuk ke kotak pasir, berjongkok kemudian memampatkan pasir hitam. Aku tersenyum, istriku akhirnya ikut juga berjongkok di dalam area kotak pasir, tepat di hadapanku. Dia menumpuk pasir dengan tangannya yang kurus. Tumpukan pasir itu kemudian menggunung, lalu ujungnya dibuat jadi mengerucut. Di sisi puncak gnnung pasir mahakaryanya, Erika membuat garis lekukan melingkari puncak. “Ini Gunung Fuji!” serunya. Aku memerhatikan dengan seksama mahakarya itu, tersenyum tipis sambil terus memapatkan pasir dengan tan
Kami tidak langsung pulang ke rumah karena Erika mengajakku makan di sebuah kafe dekat sini. Kafe yang kukunjungi bersama Dwi saat tahu perihal kehamilan adik iparku. Bahkan, tempat yang kududuki sekarang ini adalah tempat duduk waktu itu. Hanya saja, di depanku sekarang adalah Erika yang sedang asik mengelanakan mata di atas menu. “Makan apa, ya?” ucapnya. “Apa saja kurasa tidak masalah karena yang lapar itu perut, bukan lidah,” celetukku. Erika memincingkan mata sesaat kemudian kembali mengalihkan pandangannya di atas menu. “Mi ayam ajalah!” ucapnya. Aku mengangkat tangan, memanggil pelayan. Sejurus kemudian seorang pelayan laki-laki menghampiri kami dengan sebuah nota dan pulpen di tangan. “Pesan apa, Kak?” tanyanya kemudian. “Mi ayam dua porsi,” jawabku. “Minumnya?” “Saya mau mojito,” jawab Erika. “Saya es teh saja!” susulku. Pelaya
Kami kembali ke rumah, membawa sebuah bungkusan berisi mi ayam untuk Dwi. Aku terkesiap, ketika mendapati ayah mertuaku duduk berhadapan dengan Dwi di meja makan. Masih mengenakan pakaian formal, dia datang tanpa pemberitahuan sama sekali. “Selamat malam, Papa!” sapaku. Aku mendekat ke meja makan, disusul oleh Erika di belakangku. “Sudah lama, Pa?” tanyaku. “Sekitar tiga puluh menit yang lalu,” jawabnya. Entah apa yang ayah mertua dan adik iparku bicarakan tadi, atmosfir di sini terasa panas. Sejak aku dan Erika datang, ayah mertuaku memandang ke arah Dwi yang tertunduk dengan ekspresi serius. “Erika!” panggilnya kemudian. “Iya!” Erika menyahut dari belakang konter dapur. “Apa kamu tidak bisa menjaga adikmu ini dengan baik? Masa depannya sudah hancur. Pewaris keluarga Jayanta ini, tidak bisa diharapkan lag