Mobil minibus yang dikendari Rafael melewati gapura area parkir pengadilan, menghilang setelah memasuki jalan raya.
Jika persidangan ini hanya untuk menemukan pelaku, seharusnya jadi lebih mudah. Akan tetapi, meja hijau malah membuat ribet sendiri. Kalau hanya bertujuan menemukan pelaku sebenarnya, aku bisa melakukannya sendiri tapi, waktu itu otakku buntu. Mungkin tepatnya putus asa.
Aku melangkah ke wagon hitam kesayanganku, duduk di belakang kemudi. Mengela napas dalam-dalam. Memandang lekat-lekat gedung megah dengan ornamen khas Bali di depanku. Apa mereka yang di dalam sana benar-benar bisa mengungkap kebenaran? Apa mereka yang disebut pengadil itu benar-benar bisa memberi hukuman dengan adil? Ah, aku meragukannya.
***
Sepulang dari pengadilan, aku langsung pulang ke rumah. Tubuhku terasa begitu lelah, bahkan menanggalkan pakaian formal di badan ini pun rasanya aku tidak
Aku tidak punya uang lagi kalau sisa tabungan daruratku yang tinggal tujuh juta itu kubayarkan untuk tagihan rumah sakit. Mau bagaimana lagi, terpaksa. “Dwi!” panggilku lirih. “Huum?” “Tolong kembalikan dokumen Kakak yang kamu ambil itu!” aku memberanikan diri. “Sudah kubilang akan kusimpan untuk kebahagiaan Kak Pras dan Kak Erika di masa depan.” “Tap-,” “Pokoknya jangan khawatir, aku menyimpannya di tempat yang aman.” ujar Dwi. “Sudah ah, aku mau istirahat dulu!” Aku berdecak, mengusap muka. Hanya itu warisan papa yang ditinggalkan untukku. Ditambah lagi, waktuku tidak banyak agar tidak membayar sewa kedai yang terbakar kalau pelakunya tidak berhasil diungkap. Derit di pintu membuyar pikiranku yang berat. Erika dengan pakaian formal berwarna biru langit muncul dari balik pintu masuk. “Selamat datang!” sambutku sambil menoleh ke arah
“Mau bermain di kotak pasir?” ajakku. Erika mengerem pergerakan ayunan dengan kedua kaki jenjang, “Hah?” Erika memiringkan kepala. “Ayolah! Kita kembali ke masa kanak-kanak sebentar. Kita sudah frustasi dengan berbagai urusan orang dewasa.” Aku berdiri dari ayunan, melangkah mundur sambil melayangkan senyum ke arah Erika yang masih terheran. “Aku duluan!” Aku berlari, masuk ke kotak pasir, berjongkok kemudian memampatkan pasir hitam. Aku tersenyum, istriku akhirnya ikut juga berjongkok di dalam area kotak pasir, tepat di hadapanku. Dia menumpuk pasir dengan tangannya yang kurus. Tumpukan pasir itu kemudian menggunung, lalu ujungnya dibuat jadi mengerucut. Di sisi puncak gnnung pasir mahakaryanya, Erika membuat garis lekukan melingkari puncak. “Ini Gunung Fuji!” serunya. Aku memerhatikan dengan seksama mahakarya itu, tersenyum tipis sambil terus memapatkan pasir dengan tan
Kami tidak langsung pulang ke rumah karena Erika mengajakku makan di sebuah kafe dekat sini. Kafe yang kukunjungi bersama Dwi saat tahu perihal kehamilan adik iparku. Bahkan, tempat yang kududuki sekarang ini adalah tempat duduk waktu itu. Hanya saja, di depanku sekarang adalah Erika yang sedang asik mengelanakan mata di atas menu. “Makan apa, ya?” ucapnya. “Apa saja kurasa tidak masalah karena yang lapar itu perut, bukan lidah,” celetukku. Erika memincingkan mata sesaat kemudian kembali mengalihkan pandangannya di atas menu. “Mi ayam ajalah!” ucapnya. Aku mengangkat tangan, memanggil pelayan. Sejurus kemudian seorang pelayan laki-laki menghampiri kami dengan sebuah nota dan pulpen di tangan. “Pesan apa, Kak?” tanyanya kemudian. “Mi ayam dua porsi,” jawabku. “Minumnya?” “Saya mau mojito,” jawab Erika. “Saya es teh saja!” susulku. Pelaya
Kami kembali ke rumah, membawa sebuah bungkusan berisi mi ayam untuk Dwi. Aku terkesiap, ketika mendapati ayah mertuaku duduk berhadapan dengan Dwi di meja makan. Masih mengenakan pakaian formal, dia datang tanpa pemberitahuan sama sekali. “Selamat malam, Papa!” sapaku. Aku mendekat ke meja makan, disusul oleh Erika di belakangku. “Sudah lama, Pa?” tanyaku. “Sekitar tiga puluh menit yang lalu,” jawabnya. Entah apa yang ayah mertua dan adik iparku bicarakan tadi, atmosfir di sini terasa panas. Sejak aku dan Erika datang, ayah mertuaku memandang ke arah Dwi yang tertunduk dengan ekspresi serius. “Erika!” panggilnya kemudian. “Iya!” Erika menyahut dari belakang konter dapur. “Apa kamu tidak bisa menjaga adikmu ini dengan baik? Masa depannya sudah hancur. Pewaris keluarga Jayanta ini, tidak bisa diharapkan lag
“Tidak!” jawabku.“Jangan bohong, Pras!” Erika mendelik sembari bersedekap. Karena dia sudah terlanjur tahu kehamilan adiknya, aku tidak bisa mengelak lagi. Akhirnya aku pun berkata, “Ya, aku tahu!” Erika kembali menutup mulutnya dengan tangan setelah mendengar jawaban yang kulontarkan. Titik air di kelopak matanya pun mengalir di pipi.“Ka … kamu!” Erika bergetar lalu menutupi wajahnya. Melihat istriku menumpahkan kekecewaannya, dadaku rasanya terhentak oleh sesuatu akan tetapi, tidak ada yang bisa kulakukan selain mengusap wajah. Menerima kenyataan bersama dirinya. Wajah muram Erika tampak begitu dia menurunkan tangan, air mata memenuhi area wajahnya.“Aku sangat menyayanginya … Adikku itu meski pun dia bukan ad-,” kalimat Erika terhenti. Tonjolan kecil di lehernya na
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku memutuskan untuk bermalam di rumah mendiang orang tuaku. Meski tidak pernah kutinggali, kamarku tetao bersih dan rapi karena bantuan Tante. Dulu sekali, tempat favoritku untuk berpikir adalah di sofa single di dekat jendela. Di depannya ada sebuah meja kayu yang biasa kugunakan untuk meletakkan kopi. Sekarang pun aku mengulangi kegiatan ini untuk merenungi apa yang terjadi dalam kehidupanku setelah menikah. Pemanadangan kota di kejauhan yang gemerlap begitu indah dipandang. Cahaya dari gedung-gedung pencakar langit yang sebagian redup, sudah lama aku tidak melihat pemandangan di luar sana. Berlama-lama seperti ini. Drrrt … Drrrrt! Suara ponsel yang merambat ke meja membuyarku. “Halo.” [Hai, Pras!] Suara bariton dari seberang sana. “Siapa?” [Rafael!] Aku mengembuskan napas. “Ada apa?” [Sidang selanjutn
Aku melipat kertas menjadi kecil dan muat di kantong jaket. Merasa lega karena satu urusanku selesai hari ini, sisanya hanya kupasrahkan saja dan berdoa. Sepatu berecit di permukaan lantai yang rumah sakit yang licin. Melewati loket pendaftaran yang agak ramai, aku berjalan dengan santai, melintas di depan orang tua yang duduk di deretan bangku paling depan. Suara panggilan dari mesin pemanggil otomatis bergantian memanggil nomor antrian secara urut. [Nomor antrian sepuluh silakan ke loket tiga] Namun, langkahku terhenti ketika seorang petugas dari balik meja konter loket pendaftaran memanggil seorang nama yang kuenal. “Ibu Dwi Harmoni!” panggilnya. Dan benar, mataku membeliak begitu sosok Dwi berdiri dari bangku tunggu. Dia memakai tas tangan tanpa menyadari kehadiranku. Dwi menuju meja konter dan melakukan pendaftaran. Penasaran, aku berdiri di belakangnya, mendongak mengintip selembar ker
“Maybe I’am just a dreamer … hiding away from life. Maybe we’re just pretending it never cuts like knife.” Lagu milik MLTR mengalun dari pemutar musik memecah keheningan antara aku dan Dwi. Sejak Dwi mendapatkan obatnya hingga sekarang, tidak ada percakapan diantara kami. Selama itu pun aku fokus mengendalikan wagon kesayangan sementara adik iparku yang manis sibuk dengan ponselnya. Lagu pun berganti seiring roda kendaraan memasuki area parkir. Tanganku menarik rem tangan, mengembalikan persneling ke pengaturan netral kemudian mematikan mesin. Segera setelah itu, Dwi turun dari wagon hitam kesayanganku tanpa mengucapkan terima kasih. Punggung Dwi bergoyang, menapaki undakan kemudian bak ditelan pintu, sosoknya tidak terlihat lagi. Sementara, aku menghela napas berat di belakang kemudi akan tetapi, berlama-lama di dalam mobil juga tidak akan menyelesaikan masalah. Seperti kata tanteku, aku tidak boleh lari. ***