Aku tidak langsung pulang melainkan singgah ke tempat kerja. Jika aku terus membolos seperti ini, Erika akan mengomeliku habis-habisan di depan para karyawannya. Atau kemunungkinan aku dapat cibiran, “Ih, mentang-mentang suami Manajer Erika bisa seenaknya saja!” Meskipun aku tidak bermaksud memanfaatkan statusku sebagai suami Bu Manajer untuk bersikap seenaknya seperti itu. Aku tetaplah seorang karyawan.
Kantor Erika tampak begitu sibuk. Beberapa karyawan lalu-lalang di koridor. Ada juga karyawan yang mendorong troli dengan setumpuk kardus produk. Di tengah kesibukan itulah aku berjalan, berpapasan dnegan beberapa karyawan wanita hingga akhirnya menghentikan langkah saat sampai di depan ruangan bertuliskan Manajer.
“Kamu jadi kacau setelah pernikahanmu, ya!” suara bariton seorang pria di dalam sana mengurungkan niatku untuk membuka pintu. Suara seorang yang kukenal. Dari pintu yang menyisakan celah karena tidak ditutup rapa
Perlahan, waktu merangkak ke pertengahan bulan. Tahu-tahu waktuku hanya tinggal dua minggu lagi untuk membuktikan siapa dalang di balik kebakaran kedai. Sekaligus, aku tidak ingin membayar denda kepada ayah mertuaku. Hari ini pun aku bangun lebih awal sebelum Erika. Mandi dengan air dingin yang siap membekukan tubuhku kapan saja kemudian mengenakan kemeja formal. Menyisir rambut potongan undercut yang sudah mulai memanjang setelah mengolesinya dengan minyak rambut. Di depan cermin, aku memerhatikan diriku sendiri. Pada cermin lemari pakaian, sama sekali tak ada yang sama dengan diriku. “Pagi-pagi begini udah rapi aja.” Suara Dwi membuatku terperanjat. Dia masih menutupi badannya dengan selimut. Rambutnya awut-awutan sembari menguap, menumpuk bantal untuk dijadikan sandaran punggung. “Mau kemana, Kak?” tanyanya. “Hari ini sidang perkara pembakaran kedai,” jawabku sembari melingkarkan benda bulat dengan tali kulit di pergelangan tanga
Seseorang menepuk pundakku, mengembalikanku dari lamunan. “Permisi, Anda menghalangi jalan!” ucapnya. Menyadari aku telah lama berdiri di sini, aku bergeser ke samping. Pria yang menepuk pundakku tadi pun bersikap acuh kemudian masuk ke ruangan bertulisakan “Ruang Sidang III.” Di dalam ruangan itulah nantinya aku akan duduk, mendengarkan pernyataan Rey dan Yus sebagai seorang tersangka. Tidak, maksudku sebagai seorang pengkhianat. “Sudah berapa lama kamu melamun di sini?” Refael tiba-tiba saja mendekat entah dari arah mana. Hari ini dia tampil berkarisma seperti sebelumnya dengan jaket kulit hitam. Celana kain dan pantofel yang membuatnya gagah. “Belum ada tiga puluh menit kok,” jawabku. “Sebagai pria, kamu cukup tepat waktu juga. Cocok sekali bersanding dengam Erika,” pujinya. “Enggak begitu, kok.” Rafael menepuk pundakku, ujung bibirnya melengkung, seakan ingin tertawa. “Sebaiknya kita tunggu di
“Apa maksudnya itu?” Aku memelotot pada Rafael. “Lihat saja keseruannya.” Rafael menajawab santai. Pria ini menyaksikan sidang seperti menonton sebuah drama. Dia mungkin memang sering menikmati suasana drama dalam sidang, akan tetapi apa dia tidak bisa memasang keseriusan sedikit saja atau malah dibalik wajah santainya itu, dia sedang menganalisa yang terjadi seperti menebak akhir dari drama. Sidang berlanjut. Kali ini, giliran Rey yang menjawab pertanyaan itu. “Meski pun saya masuk ke kedai lewat pintu pagar belakang, saya tidak melakukan apapun di dapur. Saya hanya berniat meminjam toilet karena kebelet pipis. Sudah jelas pun, di kayu itu adalah sidik jari saudara Yus,” jawabnya diiringi tawa kecil. “Yang Mulia, hari ini kami menghadirkan seorang saksi sekaligus pemilik kedai. Mohon izinkan yang bersangkutan untuk duduk di meja saksi,” Hakim melirik dokumen panitera pengganti sebentar, sesaat ke
Dita selama ini menulis laporan dengan pulpen. Terlebih lagi ada dua jenis pulpen yang digunakan yaitu pulpen dengan tinta hitam dan merah. Akan tetapi, vinyl eraser dua warna bisa digunakan untuk menghapus tinta. Jika diperhatikan baik-baik, gambar vinyl eraser itu tidak meninggalkan bekas tinta pada ujung yang tumpul. Terlebih lagi, warna vinyl eraser yang digunakan adalah putih, akan sangat kentara jika digunakan untuk menghapus tinta pulpen. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana benda yang tidak kami gunakan di kedai bisa ada di TKP. “Apa di kedai Saudara menggunakan pensil untuk menulis?” tanya pengacara wanita. “Tidak. Karyawan saya hanya menggunkan pulpen saja untuk menulis laporan penjualan,” sanggahku. “Dari sini kami menarik kesimpulan bahwa, pelaku kembali ke tempat kejadian bertujuan untuk menghapus atau mengilangkan barang bukti.” “Keberatan, Yang Mulia!” Pengacara di seberang sana kembali menyela.
Adu Argumen tidak ada habisnya sampai akhirnya Sang Pengadil angkat bicara. “Setelah mendengar kesaksian saksi. Pernyataan-pernyataan serta barnag bukti maka, sidang ditunda.” Palu pun diketuk di atas meja. Kemudian para pengadil di depan sana membubarkan diri setelah merapikan berkas. Menghilang di pintu di belakang sana. Dua orang yang berbaju tahanan itu pun digiring oleh petugas sipil. Rey memandangku dengan wajah menyeringai, seakan-akan tidak terjadi apa-apa meskipun dia berstatus sebagai terdakwa. Jika mata sipitnya itu bisa bicara mungkin akan berkata, “Hukum ini tidak berlaku untukku, lihat saja!” Aku mengalihkan pandangan ke arah Yus yang tertunduk. Berjalan pasrah dengan kedua tangan terborgol, tertunduk hingga melewati pintu ruangan. Aku menghela napas dalam-dalam, menyatukan ke sepuluh jariku. Hari ini sudah berakhir, hanya seperti ini saja tanpa ada hasil apa-apa. Menguras energi, buang-b
Mobil minibus yang dikendari Rafael melewati gapura area parkir pengadilan, menghilang setelah memasuki jalan raya. Jika persidangan ini hanya untuk menemukan pelaku, seharusnya jadi lebih mudah. Akan tetapi, meja hijau malah membuat ribet sendiri. Kalau hanya bertujuan menemukan pelaku sebenarnya, aku bisa melakukannya sendiri tapi, waktu itu otakku buntu. Mungkin tepatnya putus asa. Aku melangkah ke wagon hitam kesayanganku, duduk di belakang kemudi. Mengela napas dalam-dalam. Memandang lekat-lekat gedung megah dengan ornamen khas Bali di depanku. Apa mereka yang di dalam sana benar-benar bisa mengungkap kebenaran? Apa mereka yang disebut pengadil itu benar-benar bisa memberi hukuman dengan adil? Ah, aku meragukannya. *** Sepulang dari pengadilan, aku langsung pulang ke rumah. Tubuhku terasa begitu lelah, bahkan menanggalkan pakaian formal di badan ini pun rasanya aku tidak
Aku tidak punya uang lagi kalau sisa tabungan daruratku yang tinggal tujuh juta itu kubayarkan untuk tagihan rumah sakit. Mau bagaimana lagi, terpaksa. “Dwi!” panggilku lirih. “Huum?” “Tolong kembalikan dokumen Kakak yang kamu ambil itu!” aku memberanikan diri. “Sudah kubilang akan kusimpan untuk kebahagiaan Kak Pras dan Kak Erika di masa depan.” “Tap-,” “Pokoknya jangan khawatir, aku menyimpannya di tempat yang aman.” ujar Dwi. “Sudah ah, aku mau istirahat dulu!” Aku berdecak, mengusap muka. Hanya itu warisan papa yang ditinggalkan untukku. Ditambah lagi, waktuku tidak banyak agar tidak membayar sewa kedai yang terbakar kalau pelakunya tidak berhasil diungkap. Derit di pintu membuyar pikiranku yang berat. Erika dengan pakaian formal berwarna biru langit muncul dari balik pintu masuk. “Selamat datang!” sambutku sambil menoleh ke arah
“Mau bermain di kotak pasir?” ajakku. Erika mengerem pergerakan ayunan dengan kedua kaki jenjang, “Hah?” Erika memiringkan kepala. “Ayolah! Kita kembali ke masa kanak-kanak sebentar. Kita sudah frustasi dengan berbagai urusan orang dewasa.” Aku berdiri dari ayunan, melangkah mundur sambil melayangkan senyum ke arah Erika yang masih terheran. “Aku duluan!” Aku berlari, masuk ke kotak pasir, berjongkok kemudian memampatkan pasir hitam. Aku tersenyum, istriku akhirnya ikut juga berjongkok di dalam area kotak pasir, tepat di hadapanku. Dia menumpuk pasir dengan tangannya yang kurus. Tumpukan pasir itu kemudian menggunung, lalu ujungnya dibuat jadi mengerucut. Di sisi puncak gnnung pasir mahakaryanya, Erika membuat garis lekukan melingkari puncak. “Ini Gunung Fuji!” serunya. Aku memerhatikan dengan seksama mahakarya itu, tersenyum tipis sambil terus memapatkan pasir dengan tan
Kepada Pembaca, Kepada pembaca, dengan ini penulis menyatakan novel Menikahi Bu Manajer sudah tamat pertanggal 23 Desember 2021. Hampir 7 bulan menyelesaikannya karena kesibukan bekerja dan kadang juga dilanda malas. Menikahi Bu Manajer mungkin bukan karya yang sempurna tetapi, author berharap semua bisa menikmati karya yang tidak sempurna ini dan para pembaca bisa turut menikmati prosesnya. Author sangat berharap bisa membuat karya yang lebih sempurna lagi tentunya dengan kritik, saran dan masukan dari para pembaca. Jadi, silakan tuangkan sarannya di sini mengenai kekurangan dalam novel Menikahi Bu Manajer. Nantikan karya selanjutnya yang lebih baik, ya. Semangat semuanya.Salam dari langit utara,Ursa Mayor, Jangan lupa follow akun media sosial penulisF*: Omang YayuzI*: @mang_yayus
Dua bulan kemudian, hubunganku dengan Erika berangsur akur. Kami menjalankan semua kesibukan kami bersama dan yang menggembirakan adalah aku mendapat berita bahwa Rey masuk bui dengan pasal berlapis. Kabar itu kudapat dari Rahayu melalui pesan singkat Waktuchat. Ayahnya dipecat dari Jayanta Tambang. Dan hari ini, aku tidak sengaja bertemu Dita di sebuah kafetaria. Gadis ceria itu sangat senang melayaniku dan menguarkan keceriaannya kembali. Di sela-sela senggangnya, dia bahkan mendampingku seperti sekarang, duduk satu meja. “Kak Pras, aku sangat senang karena Yus sudah bebas. Padahal, aku juga sebenarnya tidak punya bukti apa-apa tentang kasus kedai itu.” Dita memulai pembicaraan. “Lupakan masalah itu. Aku tidak akan membiarkan dia di sana terlalu lama.” “Tapi, bagaimana Kak Pras membebaskannya tanpa syarat?” tanya Dita. Aku menyedot es capucino di depanku. “Rahasia!” jawabku kemudian sambil terse
Aku malah jadi frustasi karena semua ini. Mendadak jadi pemimpin hanya karena ancaman yang kulakukan. “Sebenarnya Papa mau aku gimana?” Aku mengumpat kepada papa yang sudah tidak ada dan tentu saja sudah tidak bisa mendengar keluh kesahku. Pernikahan dengan Erika yang membuat hidup berantakan, cerita-cerita yang tidak masuk akal dari ayah mertua, Erika atau mungkin juga dari Tante yang tidak masuk ke logikaku dan sekarang menjadikanku pemegang Jayanta Tambang. Sekarang aku baru menyadari sesuatu, pemicu sebenarnya dari kehidupanku yang berantakan bukanlah pernikahanku dengan Erika, tetapi kepemilikan saham. Aku tidak bisa mengatakan diriku ini alat untuk merebut kekuasaan karena di sisi lain aku juga yang diuntungkan, tetapi aku menyayangkan keputusan mereka. “Kamu ini gak sopan banget, malah melenggang gitu aja!” Erika sudah duduk di kursi di sebelahku, menutup pintu wagon dengan kesal. “Kenapa sih, Pras!” tanyanya sembari melipat t
Suara TV dari ruang tamu membuat mataku terbuka padahal seingatku sebelum aku tidur semalam, aku sudah mematikannya. Namun, agaknya Erika bangun sebelum aku bangun. Bukan tanpa alasan mataku jadi terbuka tetapi, karena telingaku menangkap suara seorang pewarta yang membawakan berita pagi ini. “CEO Jayanta Tambang melaporkan kasus putranya….” Kalimat itulah alasan utama. Aku bangkit dari tempat tidur, melakukan peregangan pada bagian badan, menguap melepaskan sisa kantuk. Badanku terisi ulang dengan energi, tapi tenggorokan yang kering memaksa untuk pergi ke dapur dan mengambil minum. “Sebenarnya, apa yang kamu lakukan kemarin?” Erika masih dengan pakaian yang dia kenakan semalam, duduk bersila di sofa sambil menatap layar. Di layar TV terpampang highlight bertuliskan, “Putra Jayanta Tambang Tersandung Kasus.” Ternyata, secepat ini beritanya tersiar. “Jawab, Pras!” Erika menurunkan hodie telinga kucing, memand
Puas menghabiskan sisa hari ini bersama Tante dan Ryan, aku pulang ke rumah dengan bekal masakan hasil karya Tante ketika langit sudah mulai gelap. “Aku pulang!” Kudapati istriku itu sedang duduk di sofa mengenakan piyama putih sembari bersila. Ekspresinya sangat serius menonton tayangan luar negeri, seakan dia tidak menyadari kehadiranku dia sama sekali tidak menoleh atau bahkan membalas salam. Tetapi satu hal yang membuat aku terenyum adalah atasan tambahan yang dia kenakan. Atasan yang dia kenakan sangat kontras dengan kepribadiannya. Jaket rajut warna cokelat dengan hodie bertelinga mirip seperti hewan kucing atau semacamnya. Saking seriusnya menonton dan suara TV yang mengalahkan derap langkahku, aku berjalan mendekat, menarik salah satu telinga kucing pada hodienya. Masih belum juga menyadari kehadiranku dan mengira hodienya melorot aku ikut bersenandung ketika iklan dengan soundtrack anak-anak muncul. “
Meski rumah ini sudah ditinggal oleh orang tuaku, pintu rumah yang selalu terbuka seakan selalu menyambutku kapan saja aku datang. Bagaimana pun keadaanku dan sesulit apapun masalah yang menghampiri, rumah ini adalah tempat aku meletakkan semua lelah untuk sesaat. Sekarang pun masih tetap sama hanya saja, dengan kasih yang datang dari orang berbeda. Kasih seorang ibu juga. Aku memasuki ruang tamu, kudapati Tante sedang membuka sebuah benda seperti buku. “Aku pulang!” Aku memberi salam. Tante pun menoleh untuk sesaat. “Eh, Pras,” sahutnya. “Lihat apa, Tante?” tanyaku sembari mendongak. Tampak beberapa foto nostalgia di dalam album foto yang dipangku Tante. “Mendadak Tante kangen sama orang tuamu. Juga beberapa fotomu waktu kecil.” Tante tersenyum sembari membalik album. “Oh ya, sebelum lupa-,” Aku mengeluarkan dokumen dari dalam saku jass kemudian memberikannya pada Tante-.”tolong disimpan dengan baik lagi, ya1"
“Selanjutnya, saya serahkan kepada Rahayu dan Bapak.” Aku bangkit dari posisiku. “Saya tunggu di law firm.” Rahayu menyodorkan kartu namanya kemudian menepuk pundakku memberi tanda untuk segera pergi. Kami berdua berjalan bergantian dengan derap langkah yang tegas. “Kok bisa-bisanya kamu berpikir tentang rencana ini?” tanya Rahayu ketika kami menuruni tangga, keluar dari gedung. “Yah, mau bagaimana lagi. Aku juga gak ada cara lain. Dengan begini pun firma hukummu seharusnya diuntungkan,” jawabku. “Apa Erika tahu tentang ini?” tanyanya lagi. “Ini tidak ada hubungannya lagi dengan Erika. Aku pun gak perlu validasi dari istriku.” Kami berhenti di depan mobil wagonku. Rahayu pun tersenyum untuk pertama kalinya kepadaku. “Kali ini, aku serahkan padamu.” Aku berbalik, membuka pintu mobil. “Tunggu!” “Apalagi?” “K
Aku duduk di sofa, menyilangkan kakiku dan merentangkan tangan di atas daun sofa. Pria paruh baya yang kulihat di TV pasca Rey dijebloskan dipenjara untuk pertama kalinya sekarang ada di di depanku. “Kamu siapa? Kenapa lancang masuk ke ruangan ini tanpa izin?” tanyanya. “Dia Pras, Ayah!” sahut Rey. “Salam, Pak!” Aku menangkupkan tangan sambil tersenyum. “Jadi kamu yang telah merebut Erika dari anak saya?" Pria itu mendekat sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku. “Tenanglah, Pak!” ucapku santai. “Apa maksudmu datang ke sini tiba-tiba begini? Belum puas kamu membawa penderitaan kepada anakku?” Senyum di bibirku luntur seketika. Aku bangkit berdiri di hadapan pria yang sudah membesarkan Rey hingga dia menjadi seberengsek itu. “Penderitaan katamu, wahai Tuan CEO yang terhormat?” Kupandang wajahnya yang berkerut. Sesaat kemudian, aku beralih pandang ke Rey yang berdiri di depan meja kerja mewah ayahnya.
Sesaat kemudian, Tante turun membawa dokumen yang kuminta. Dia mengeluarkan seluruh isinya di hadapanku. “Kamu hanya perlu dokumen pailit, jadi Tante akan memberikan itu saja. Sisanya, Tante akan menyimpannya untukmu nanti.” Tante memasukan dokumen yang kuperlukan ke dalam amplop kemudian merapikan sisanya. “Ini.” Tante mengulurkan benda pipih cokelat itu kepadaku. Aku mengambilnya kemudian menyimpan di kantong bagian dalam jasku. “Sebenarnya Tante mengkhawatirkanmu. Maafkan, Tante atas tamparan itu. Kamu sudah seperti putraku sendiri, Nak.” Tante mulai terisak. Aku berjongkok di hadapan tante, meletakkan kepalaku di pahanya. “Tante, aku mencintaimu. Cuma Tante yang bisa gantiin sosok Mama dan orang tua untukku. Aku minta maaf karena lancang dan merepotkan selama ini. Terima kasih.” Aku kembali merasakan kehangat seorang ibu ketika tangan tante mengelus lembut kepalaku. A