“Pasti berat untukmu. Tentang hal itu, aku ikut berduka. Informasinya cukup untuk saat ini. Sidang sudah diputuskan minggu depan. Kamu datanglah sebagai saksi!” perintahnya.
“Hanya segini saja?” tanyaku.
“Iya, segini saja. Hubungi saya kalau kamu perlu bantuan atau menemukan bukti lain.”
Tanganku hendak merogoh kantung di balik jaket warna hitam. Akan tetapi, aku mengurungkan niatku lantaran berubah pikiran dengan cepat. Bisa saja ini akan jadi kartu as untuk menjebloskan kedua pengkhianat itu ke dalam penjara lebih lama lagi.
“Kalau begitu, saya permisi!” Aku berdiri dari tempat dudukku.
“Pras!” Panggilan Rafael menghentikan langkahku. Memalingkang wajah dari pintu lalu menjawabnya.
“Iya?”
“Terima kasih sudah menjaga Erika.” Pria kekar itu tersenyum. Rautnya menunjukkan ketulusan.
Terasa ujung bibirku melebar, membalas kalimatnya kemudian meninggalkan ruangan sempit itu.
Baru saja bunga di dadaku bermekaran untuk sesaat sekarang sudah layu hanya dalam beberapa menit ketika mataku menangkap sebuah benda berwarna emas berkilauan melingkar di jari manis kanan Gayatri. Berantakan, patah dan pecah, perasaan yang sama seperti saat aku kematian kedua orang tuaku. Mataku memandang benda yang melingkar di jari manis lentik Gayatri. Kalimat yang sudah di ujung lidah menghilang sudah. Alih-alih mengatakan hal yang seharusnya, aku malah mengangguk pelan. Gayatri tersenyum, dielusnya benda itu dengan tangan kirinya. Meski mantan kekasihku itu tesenyum namun, matanya bak jendela yang bisa diintip isi di dalamnya. Mata yang menyembulkan titik bening. Perasaannya tumbah bersama air mata yang mengalir di pipinya yang tirus. “Kalau kamu tidak menikah, mungkin aku juga tidak akan menikah-,” Gayatri menggigit bibir. “Tapi, kenyataan tidak bisa dilawan, bahkan di hari terakhir kita ketemu pun gak ada pernyataan putus,” im
Aku tidak langsung pulang melainkan singgah ke tempat kerja. Jika aku terus membolos seperti ini, Erika akan mengomeliku habis-habisan di depan para karyawannya. Atau kemunungkinan aku dapat cibiran, “Ih, mentang-mentang suami Manajer Erika bisa seenaknya saja!” Meskipun aku tidak bermaksud memanfaatkan statusku sebagai suami Bu Manajer untuk bersikap seenaknya seperti itu. Aku tetaplah seorang karyawan. Kantor Erika tampak begitu sibuk. Beberapa karyawan lalu-lalang di koridor. Ada juga karyawan yang mendorong troli dengan setumpuk kardus produk. Di tengah kesibukan itulah aku berjalan, berpapasan dnegan beberapa karyawan wanita hingga akhirnya menghentikan langkah saat sampai di depan ruangan bertuliskan Manajer. “Kamu jadi kacau setelah pernikahanmu, ya!” suara bariton seorang pria di dalam sana mengurungkan niatku untuk membuka pintu. Suara seorang yang kukenal. Dari pintu yang menyisakan celah karena tidak ditutup rapa
Perlahan, waktu merangkak ke pertengahan bulan. Tahu-tahu waktuku hanya tinggal dua minggu lagi untuk membuktikan siapa dalang di balik kebakaran kedai. Sekaligus, aku tidak ingin membayar denda kepada ayah mertuaku. Hari ini pun aku bangun lebih awal sebelum Erika. Mandi dengan air dingin yang siap membekukan tubuhku kapan saja kemudian mengenakan kemeja formal. Menyisir rambut potongan undercut yang sudah mulai memanjang setelah mengolesinya dengan minyak rambut. Di depan cermin, aku memerhatikan diriku sendiri. Pada cermin lemari pakaian, sama sekali tak ada yang sama dengan diriku. “Pagi-pagi begini udah rapi aja.” Suara Dwi membuatku terperanjat. Dia masih menutupi badannya dengan selimut. Rambutnya awut-awutan sembari menguap, menumpuk bantal untuk dijadikan sandaran punggung. “Mau kemana, Kak?” tanyanya. “Hari ini sidang perkara pembakaran kedai,” jawabku sembari melingkarkan benda bulat dengan tali kulit di pergelangan tanga
Seseorang menepuk pundakku, mengembalikanku dari lamunan. “Permisi, Anda menghalangi jalan!” ucapnya. Menyadari aku telah lama berdiri di sini, aku bergeser ke samping. Pria yang menepuk pundakku tadi pun bersikap acuh kemudian masuk ke ruangan bertulisakan “Ruang Sidang III.” Di dalam ruangan itulah nantinya aku akan duduk, mendengarkan pernyataan Rey dan Yus sebagai seorang tersangka. Tidak, maksudku sebagai seorang pengkhianat. “Sudah berapa lama kamu melamun di sini?” Refael tiba-tiba saja mendekat entah dari arah mana. Hari ini dia tampil berkarisma seperti sebelumnya dengan jaket kulit hitam. Celana kain dan pantofel yang membuatnya gagah. “Belum ada tiga puluh menit kok,” jawabku. “Sebagai pria, kamu cukup tepat waktu juga. Cocok sekali bersanding dengam Erika,” pujinya. “Enggak begitu, kok.” Rafael menepuk pundakku, ujung bibirnya melengkung, seakan ingin tertawa. “Sebaiknya kita tunggu di
“Apa maksudnya itu?” Aku memelotot pada Rafael. “Lihat saja keseruannya.” Rafael menajawab santai. Pria ini menyaksikan sidang seperti menonton sebuah drama. Dia mungkin memang sering menikmati suasana drama dalam sidang, akan tetapi apa dia tidak bisa memasang keseriusan sedikit saja atau malah dibalik wajah santainya itu, dia sedang menganalisa yang terjadi seperti menebak akhir dari drama. Sidang berlanjut. Kali ini, giliran Rey yang menjawab pertanyaan itu. “Meski pun saya masuk ke kedai lewat pintu pagar belakang, saya tidak melakukan apapun di dapur. Saya hanya berniat meminjam toilet karena kebelet pipis. Sudah jelas pun, di kayu itu adalah sidik jari saudara Yus,” jawabnya diiringi tawa kecil. “Yang Mulia, hari ini kami menghadirkan seorang saksi sekaligus pemilik kedai. Mohon izinkan yang bersangkutan untuk duduk di meja saksi,” Hakim melirik dokumen panitera pengganti sebentar, sesaat ke
Dita selama ini menulis laporan dengan pulpen. Terlebih lagi ada dua jenis pulpen yang digunakan yaitu pulpen dengan tinta hitam dan merah. Akan tetapi, vinyl eraser dua warna bisa digunakan untuk menghapus tinta. Jika diperhatikan baik-baik, gambar vinyl eraser itu tidak meninggalkan bekas tinta pada ujung yang tumpul. Terlebih lagi, warna vinyl eraser yang digunakan adalah putih, akan sangat kentara jika digunakan untuk menghapus tinta pulpen. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana benda yang tidak kami gunakan di kedai bisa ada di TKP. “Apa di kedai Saudara menggunakan pensil untuk menulis?” tanya pengacara wanita. “Tidak. Karyawan saya hanya menggunkan pulpen saja untuk menulis laporan penjualan,” sanggahku. “Dari sini kami menarik kesimpulan bahwa, pelaku kembali ke tempat kejadian bertujuan untuk menghapus atau mengilangkan barang bukti.” “Keberatan, Yang Mulia!” Pengacara di seberang sana kembali menyela.
Adu Argumen tidak ada habisnya sampai akhirnya Sang Pengadil angkat bicara. “Setelah mendengar kesaksian saksi. Pernyataan-pernyataan serta barnag bukti maka, sidang ditunda.” Palu pun diketuk di atas meja. Kemudian para pengadil di depan sana membubarkan diri setelah merapikan berkas. Menghilang di pintu di belakang sana. Dua orang yang berbaju tahanan itu pun digiring oleh petugas sipil. Rey memandangku dengan wajah menyeringai, seakan-akan tidak terjadi apa-apa meskipun dia berstatus sebagai terdakwa. Jika mata sipitnya itu bisa bicara mungkin akan berkata, “Hukum ini tidak berlaku untukku, lihat saja!” Aku mengalihkan pandangan ke arah Yus yang tertunduk. Berjalan pasrah dengan kedua tangan terborgol, tertunduk hingga melewati pintu ruangan. Aku menghela napas dalam-dalam, menyatukan ke sepuluh jariku. Hari ini sudah berakhir, hanya seperti ini saja tanpa ada hasil apa-apa. Menguras energi, buang-b
Mobil minibus yang dikendari Rafael melewati gapura area parkir pengadilan, menghilang setelah memasuki jalan raya. Jika persidangan ini hanya untuk menemukan pelaku, seharusnya jadi lebih mudah. Akan tetapi, meja hijau malah membuat ribet sendiri. Kalau hanya bertujuan menemukan pelaku sebenarnya, aku bisa melakukannya sendiri tapi, waktu itu otakku buntu. Mungkin tepatnya putus asa. Aku melangkah ke wagon hitam kesayanganku, duduk di belakang kemudi. Mengela napas dalam-dalam. Memandang lekat-lekat gedung megah dengan ornamen khas Bali di depanku. Apa mereka yang di dalam sana benar-benar bisa mengungkap kebenaran? Apa mereka yang disebut pengadil itu benar-benar bisa memberi hukuman dengan adil? Ah, aku meragukannya. *** Sepulang dari pengadilan, aku langsung pulang ke rumah. Tubuhku terasa begitu lelah, bahkan menanggalkan pakaian formal di badan ini pun rasanya aku tidak