Erika mengguncang tubuhku, membangunkanku dari mimpi indah. Meski masih mengantuk, aku memaksa untuk membuka mata. Badanku terasa pegal karena tidur hanya beralaskan karpet.
“Apa Kak? Masih pagi loh ini!” protesku.
“Ssst! Sedang ada adikku, kamu panggil aku sayang aja.”
Aku mendongak ke kamar yang ada sedang ditempati Dwi. Mendengar permintaan Erika aku terpaksa menurut. Demi adik iparku tercinta yang semalam tertimpa kejadian malang.
“Mau berangkat?” tanyaku.
Erika menggeleng.
“Aku mengkhawatirkan Dwi. Hari ini biar aku bolos dulu.”
“Iya.”
“Kalau begitu, aku akan buatkan bubur untuk Dwi. Ka-, Bu Manajer mau kumasakan apa?”
“Aku gampang. Buatkan saja dulu Dwi bubur,” pintanya.
Kulirik jam di dinding, sudah jam delapan lewat lima be
Aku terbatuk, tubuhku memerosot terduduk di tanah. Seorang pria tegap, bertubuh kekar dengan seragam polisi mengarahkan pistolnya ke arah Rey. “Letakkan senjatamu, angkat tangan lalu jongkok!” teriaknya. Disudutkan oleh tiga orang polisi, Rey menurut pasrah. Diletakkannya pistol itu ke tanah lalu berjongkok. Tangan Rey diborgor oleh salah satu polisi, begitu pun dengan Yus, tangannya diborgol oleh rekan polisi satunya. “Kamu gak apa-apa. Pras?” tanyanya padaku. “Enggak, kok,” ucapku dalam napas yang tersengal. “Apa Bapak ini teman Erika?” tanyaku. Pria itu mengangguk sembari membantuku untuk berdiri. “Iya. Teman lama. Kamu gak apa-apa, kan?” “Enggak, kok. Makasih, ya.” “Kamu pulanglah dulu, kami akan urus mereka berdua. Salam untuk Erika, ya,” ucapnya. Kulirik nama yang tertempel di da
Erika tiba di rumah sebelum jam sebelas malam. Entah kemana istriku itu sedari siang tadi. Dia tidak berpakaian formal namun tetap anggun di dalam balutan celana kain dan baju lengan pendek motif kebaya brokat warna putih. “Aku pulang!” Apa aku tidak salah dengar? Erika mengucap salam untuk pertama kalinya saat masuk rumah. “Se…Selamat datang!” jawabku sembari tertawa kecil. “Apanya yang lucu?” ketusnya sembari meletakkan tas tangan di atas meja makan. Di depanku yang sedari tadi duduk melamun sambil menopang dagu. “Enggak apa-apa, kok.” “Dwi gimana?” sambung Erika. Kami duduk berhadap-hadapan. “Ya, sepertinya dia agak trauma. Kamu pasti sudah tahu ceritanya, kan?” “Apa?” “Tentang perbuatan pacarmu terhadap adikmu.” Erika mengerutkan kening, tidak mengerti dengan jelas ma
Perasaan kami seakan-akan menyatu satu sama lain. Untuk beberapa saat, kamibtidak bisa bergerak di dalam perasaan yang tumpah secara tiba-tiba ini. Dadaku campur aduk, tidak bisa dibilang sakit sepenuhnya namun juga tidak bisa dibilang bahagia. Kami berdua larut dalam perasaan yang sama, lupa diri ketika malam mulai merangkak ke subuh. Dalam remangnya kamar yang hanya diterangi lampu tidur, kami bergelut di atas kasur. Terlena dalam manisnya bibir yang bertaut, mencumbui tubuh istriku. Napasku memburu, seiring dengan Erika yang melenguh mengikuti irama gerakanku ke dalam lorong sempit di dalam sana. Untuk pertama kalinya kami saling menatap mesra setiap kali Erika melingkarkan tangannya di leherku sembari sesekali merengkuh. Napas kami mulai berat, sampai di puncak kenikmatan yang menghanyutkan. Kukecup leher Erika setelahnya lalu, menyandarkan kepala di dadanya. Keringat kami menyatu bersama dengan sisa kenikma
“Kamu gak boleh kemana-mana dulu!” ucapku pada Dwi. “Kenapa?” “Pokoknya gak boleh. Bahaya saat sekarang ini.” Dwi memandangku lekat-lekat untuk sessat kemudian dia mengeluarkan bungkusan dari kantong plastik. Mengambil mangkuk lalu menuangnya. “Jangan khawatir, aku punya Kak Pras.” Sejak adik iparku menggodaku kemarin, aku jadi agak canggung dengannya. Akan tetapi, kalau dilihat adik iparku gadis sempurna. Lelaki manapun pasti akan beruntung kalau jadi pacarnya. “Oh ya, Kak Pras. Kamu itu menantu papa, akuisisi saja sahammu di Fast Granola,” celetuknya lalu menyeruput kuah di sendok makan. Mendengar dia berbicara soal saham, aku sedikit terkejut. Jangan-jangan gadis ini sudah tahu kalau aku adalah pemegang saham. “Maksudmu?” tanyaku memandangnya lekat-lekat. Dwi berpindah dari balik konter membawa mangkuk yang terlihat panas. Lalu duduk di kur
Rafael pamit setelah seenaknya mangajak istriku jalan dan berhasil membakar dadaku. Ingin sekali rasanya memelintir tangan kekar pria itu akan tetapi dari fisik saja aku sudah kalah. Kaliamt terakhirnya di depan pintu saat aku dan Erika mengantarnya hanya kalimat pengingat yang berulang.“Jangan lupa datang, Pras!” ucapnya. Bahkan setelahnya, dia melempar senyum kepada Erika .“Kalian akrab, ya,” ujarku sembari menutup pintu.“Biasa saja,” jawab Erika. Aku mengikuti langkah Erika hingga ke dapur.“Di aitu benar temanmu?” Aku kembali penasaran.“Iya. Teman lama.”“Jenis teman yang bagaimana? Teman hidup? Teman dekat atau man-““Mantan pacar!” jawabnya kesal karena pertanyaan bertubi-tubi dariku. Erika melenggang ke belakang konter.“Dua hari lagi aku harus datang ke po
Pekerjaanku dimulai dari menata ulang sprei yang tersingkap. Kulanjutkan dengan menata bantal yang berserakan di lantai. Selimut yang awut-awutan kusatukan ujungnya hingga menjadi empat lipatan. Pekerjaan menata kamar Tuan Putri Dwi kulakukan dengan penuh ketidak ikhlasan. Sesuatu memantul di atas punggung kakiku, menimbulkan bunyi dentingan saat menyentuh permukaan lantai. Aku melirik menunduk,lalu menemukan sebuah benda tipis yang pipih. Mirip temometer. Penasaran, lantas memungutnya. Dua garis merah berjejer pada bagian tengah benda tersebut. Menyadari benda di tanganku adalah sebuah tes kehamilan, aku terperangah. Aku bisa merasakan mataku membulat. “Kak Pras!” Dwi bergeming, hanya berdiri di pintu. Memandangku dengan benda pipih di tangan. Bibir Dwi mengatup, menelan ludah. “I…ini?” tanyaku penasaran. Dwi mendekat dengan langkah terhuyung, direbutnya benda
Cahaya matahari kuning yang membias membentuk bayangan memanjang kami di jalanan aspal. Aku dan Dwi berjalan berdampingan tanpa berkata apapu, hanya ada suara langkah kaki kami yang bergantian mengisi kecanggungan diantara kami. Aku tidak tahu, apa perbuatan Dwi bisa disebut pengkhianatan. Satu hal yang kubayangkan saat ini adalah perasaaan Erika jika tahu kenyataannya. Sekelebat pertanyaan pun muncul di kepalaku saat melihat ekspresi wajah Dwi yang muram di sampingku. Sebenarnya siapa yang memulai pengkhianatan ini? Aku dan Erika, Yus, Rey atau Dwi? Atau mungkin keadaanlah yang memaksa kami tanpa disadari. Tahu-tahu sambil melamun, kami sudah menginjakkan kaki di beranda rumah. “Kami pulang!” sapa Dwi sembari membuka pintu rumah. Dwi menutup pintu begitu kami sudah masuk ke dalam rumah. Tidak ada jawaban dari Erika. “Kayaknya kakakmu masih tidur,” ucapku.
“Pasti berat untukmu. Tentang hal itu, aku ikut berduka. Informasinya cukup untuk saat ini. Sidang sudah diputuskan minggu depan. Kamu datanglah sebagai saksi!” perintahnya. “Hanya segini saja?” tanyaku. “Iya, segini saja. Hubungi saya kalau kamu perlu bantuan atau menemukan bukti lain.” Tanganku hendak merogoh kantung di balik jaket warna hitam. Akan tetapi, aku mengurungkan niatku lantaran berubah pikiran dengan cepat. Bisa saja ini akan jadi kartu as untuk menjebloskan kedua pengkhianat itu ke dalam penjara lebih lama lagi. “Kalau begitu, saya permisi!” Aku berdiri dari tempat dudukku. “Pras!” Panggilan Rafael menghentikan langkahku. Memalingkang wajah dari pintu lalu menjawabnya. “Iya?” “Terima kasih sudah menjaga Erika.” Pria kekar itu tersenyum. Rautnya menunjukkan ketulusan. Terasa ujung bibirku melebar, membalas kalimatnya kemudian meninggalkan ruangan sempit itu.