“Setidaknya kamu berusaha lebih keras lagi untuk kedai ini. Kamu cuma lari saja dari kedai yang nyaris bangkrut. Alih-alih mengembangkan kedai, kamu malah ambil paruh waktu dengan alasan supaya bisa menutupi kekurangan operasional!”
Yus malah mendongkol sembari memandangku lekat-lekat.“Kamu tutup saja kedai ini. Kami berdua bisa cari kerjaan lain, kok! Cuma buang-buang waktu saja kerja di sini!” keluh Dita. Aku dipojokkan oleh mereka yang tidak tahu apa-apa tentang usahaku untuk terus mempertahankan mereka di sini. Inilah yang aku terima karena tidak bisa berbisnis dengan baik dan tidak punya kemampuan memimpin yang baik.“Seharu-““Aku minta maaf!”Nadaku meninggi, memandang mereka berdua bergantian. Meski aku meminta maaf, mereka tetap memasang wajah sinis. Kedai dengan arura ceria namun sepi mendadak menyatu dalam ketegangan di antara kami bertiga.
“Aku sungguh minta maaf pada kal
Jantungku seperti tersambar petir mendengar kabar buruk yang disampaikan oleh Dwi. Aku gemetar dan berkeringat. Terlebih, kejadiannya di saat kritis begini. Aku dipaksa memilih oleh keadaan, menunggui mama di depan ruang operasi atau pergi ke kedai untuk melihat kekacauan di sana? Sial, seandainya saja aku bisa membagi tubuhku. Mataku menatap pintu ruang operasi, di dalam sana ada orang-orang andal yang menangani mama. Seharusnya aku tidak perlu khawatir. Menanggalkan semua kekhawatiran terhadap mama di rumah sakit, aku sampai di tempat kejadian perkara. Kerumunan manusia menyaksikan kobaran api yang menjilat atap kedai. Lampu sirine dari mobil pemadam kebakaran menjatuhkan bayangan pada pohon perindang di tepi jalan. Pemadam kebakaran dikawal oleh beberapa polisi sedang sibuk menenangkan si jago merah dengan air yang mengucur dari selang berukuran besar. “Dua orang masih ada di dalam sana!” ucap se
Angin lembut berembus masuk ke kamar rawat, menyingkap gorden warna putih kemudian menerpa punggungku yang duduk memeluk lutut di atas brankar. Mataku perih karena air mata yang rasanya tidak akan kering. Dadaku terasa ditikam oleh sesuatu berkali-kali, menyesakkan karena dalam semalam dua momen apes terjadi. Menjadikanku yatim piatu kehilangan kedai. Kehidupanku yang datar tapi menyenangkan itu juga lenyap. Selanjutnya, aku tidak tahu bagaimana cara pandangku terhadap dunia setelah ini. Kehidupanku jadi kacau sejak memungut Erika di trotoar hingga pernikahan yang tidak pernah membawa kebahagiaan. Kepalaku berat, diselubungi kalut, aku letih dan tidak baik-baik saja dengan semua ini. Keputusan orang tua yang egois, laki-laki wajah oriental dan upaya untuk tidak memutus harapan kedua karyawan. Ketiga hal itu cukup untuk menyalakan api di dadaku. Dunia ini jalang kalau menyangkut kehidupan. Mama mati karena kekasih menantunya,
Erika bersandar pada palang pintu kamar saat aku keluar dari kamar mandi bertelanjang dada. Pakaian berkabung masih melekat di badannya. Tidak ada wajah muram, yang ada hanya tatapan dingin ke arahku di balik konter. Aku membuka kulkas, mengeluarkan air dingin. Bibir gelas beradu dengan bibir botol. Setelah dirasa cukup, aku meneguk cairan bening itu. Tenggorakanku terasa sejuk oleh air yang mengalir di sana, mendinginkan hatiku juga. Dari balik jendela, bulan putih menggantung di langit hitam kebiruan. Aku bertumpu pada bibir konter, menghela napas dalam-dalam. “Kamu mau makan apa?” tanyaku pada Erika. “Tidak usah, moodmu kurang bagus hari ini. Itu akan mempengaruhi rasa masakan,” komentar Erika. Dia memainkan kuku jarinya yang dicat dengan warna natural. “Lagipula, kamu gak bisa ngerasain rasa makanan, kan?” ucapku. Erika berjalan mendekat, menarik kursi terdekat dan duduk d
Selagi menunggu lampu hijau menyala, aku membuka pesan dari Dwi yang dia kirim lewat Postugram sejam lalu. ‘Jemput aku di kampus sejam lagi.’ Momennya tepat sekali. Setidaknya ada kegiatan setelah diusir oleh ayah Dita yang tidak tahu apa-apa itu. Aku pun menginjak gas, membanting setir ke arah kanan menuju kampus Dwi. Mobilku memasuki area parkir kampus Dwi. Kampus megah dengan gedung tinggi yang terkenal mahal dan hanya anak-anak elit saja yang bisa kuliah di sini. Kalaupun ada mahasiswa dari kalangan keluarga kelas menengah kebawah, mereka mengandalkan beasiswa. Begitulah rumor yang kudengar. Keluarga Jayanta sepertinya sangat memperhaikan pendidikan anak-anaknya. Dari dalam gedung, terlihat sosok Dwi yang berjalan bersama tiga orang gadis lainnya. Mereka berpisah di tangga, melambai satu sama lain. Dia lantas celingukan, mencari seseorang. ‘Aku sudah di
Kedatanganku ke rumah mertua secara perdana setelah sah menjadi suami Erika adalah hari ini, ketika aku mengantar Dwi pulang. Sebenarnya aku tidak ingin masuk ke dalam sana, akan tetapi Dwi memaksa agar aku mampir. “Aku pulag!” sapa Dwi begitu kami memasuki ruang tamu yang luas. Sama seperti saat pertama kali aku datang ke sini saat melamar Erika, tidak ada yang berubah. Hanya saja, sofa mewah bergaya Eropa membuat ruangan ini sedikit berbeda. Di sanalah ayah mertuaku duduk bak raja. Pada sofa terpisah bergaya sama, ibu mertuaku duduk tenang. Mendampingi suaminya. Di sampingnya, duduk Tante Gita, ibu mertuaku. “Wah, kita kedatangan tamu” sambutnya saat melihat sosokku di belakang Dwi. “Aku minta tolong Kak Pras untuk jemput,” jawab Dwi sembari mencium pipi ayah dan ibunya bergantian. “Selamat siang!” sapaku. “Wah, tumben sekali kamu mampir, Pras!” Tante Gita tersenyu
Kedai yang dulunya sepi tapi penuh keceriaan sekarang menjadi suram. Bagian pondasi dapur menghitam. Hanya menyisakan abu dan sisa pembakaran di lantai. Meski bagian depannya tidak terlalu terdampak karena api namun, merekontruksi bangunan ini tidak akan mudah. Aku mengusap pondasi yang sudah menghitam. Mengembarakan mata ke sekitar. Semuanya lenyap, semuanya jadi arang dan abu. Kedai ini juga mati, bersama dengan papa mama dan juga jiwaku yang terasa hilang setengah. Hanya ada aroma abu daripada aroma keceriaan yang disajikan Dita. Dadaku mengembang, memejamkan mata sembari menghirup aroma pembakaran kemudian aku mengembuskannya perlahan. Sampai rongga dadaku renggang. “Daripada frustasi begitu, lebih baik kamu memikirkan caranya!” suara parau yang kukenal. Sosok Erika muncul dari arah konter depan. Dia memerhatikan sekeliling. Pemandangan hitam yang tidak enak dipandang.“Aku sedang memikirkann
“Hentikan!” Suara itu menghentikan upayaku untuk membunuh pria oriental yang duduk di tanah. Keringat dinginnya menetes dari pelipis. Matanya yang membeliak namun lega. Seolah baru saja diselamatkan dari kematian oleh seseorang. Yus memandang mataku lekat-lekat, menahan lenganku yang nyaris saja menghantam kepala Rey. “Mau jadi kriminal, ya?” Dia menghempas tanganku hingga balok pun terlepas dari genggaman. Suara balok yang menghantam tanah membuatku naik pitam. “Pria ini sudah menghancurkan pesta pernikahanku, menusuk mama lalu membakar kedaiku.” Nadaku meninggi sembari menuding Rey dengan telunjukku. “Lalu kenapa?” “Hah? Kenapa katamu?” Aku mengambil jeda. “Dia membunuh ibuku, Yus!” Aku geram. Yus memandang Rey, dahinya mengernyit. Dia kemudian mengelap wajahnya kemudian bersedekap. “Kalau be
Meski tubuhku terasa lelah, aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Sesuatu sepertinya menekan kepalaku. Beberapa kali menguap tapi tidak lantas membuatku tidur pulas. Masih kupandangi langit-langit kamar yang remang. Padahal aku selalu membayar gajinya tepat waktu meski keuangan kedai sedang sulit. Aku menjadikan Yus sebagai praduga tak bersalah untuk pertama kalinya. Pertama kalinya berpikiran buruk kepada orang yang kupercaya bertahun-tahun. Boleh saja kusebut ini pengkhianatan. Rasanya sungguh menyakitkan sampai membuat dadaku benar-benar sesak Kepalaku jadi semakin sakit saja. *** Keesokan harinya, aku diantar ke rumah sakit oleh Erika untuk menjalani MRI sekaligus kontrol kepalaku pasca kebakaran itu. Badanku seluruhnya masuk ke dalam benda bulat besar. Setelah itu, petugas segera keluar dan memantau hasilnya lewat komputer.