Awan putih mulai menghitam, langit berwarna biru, mulai menggelap. Angin sejuk mulai terasa membelai wajahku. Kuhirup udara dalam-dalam hingga akhirnya satu demi satu tetes air mulai jatuh membasahi bumi. Kuulurkan tangan membiarkan air hujan jatuh mengenai telapak tanganku. Rasa dingin dan geli membuatku ingin tertawa sendiri. Ponselku berdering, aku yang sedang berdiri di balkon seraya bermain air hujan, harus mengakhirinya untuk bisa masuk ke kamar dan melihat siapa seseorang yang menghubungiku."Hai!" seruku riang.Wajah di balik layar pun sama senangnya denganku."Apa kabar, Ra?" "Baik. Baik banget. Eh, Ibu? Kamu di rumah Ibu, Mi?" Mimi mengarahkan kamera ponselnya pada wanita yang tengah duduk di kursi seraya melipat pakaian. Ia tersenyum padaku, seraya melambaikan tangan.Rasa rindu tiba-tiba hadir. Ingin sekali aku lari ke sana untuk menikmati belaian tangan Ibu, di pucuk kepalaku. "Iya, sengaja maen ke sini. Soalnya kan ... makanan yang kamu kirim masih banyak," ujar Mim
"Ada yang mau diceritakan tentang hari ini?" Aku yang tengah mengunyah kacang almond, mengalihkan pandanganku pada Mas Raffi.Tiba-tiba saja pikiranku teringat pada sesuatu di jalan tadi. Tentang mobil Mas Raffi, yang terparkir di depan minimarket.'Apa aku tanyakan saja, ya?'"Hey, kok malah diam saja. Kenapa? Aku lagi punya banyak waktu, nih. Ayo, cerita. Katanya tadi pergi sama Mama, gimana seru, gak?" Mas Raffi mencolek pipiku."Kecilin dulu volume tivinya," ujarku.Mas Raffi mengambil remot, ia mengecilkan volume tivi menjadi seperti berbisik. Aku membenarkan letak dudukku semakin tegak."Mas.""Hm.""Jangan ada rahasia di antara kita, ya?""Heem." Mas Raffi mengangguk seraya bergumam. Ia yang tadi duduk di karpet, kini duduk di sofa, di sampingku. Aku meneguk ludah sebelum memulai mengeluarkan kata. Jujur, aku gugup dan ragu untuk bertanya. Aku takut jika Mas Raffi tidak mau mengaku, dan akhirnya aku jadi memiliki sifat curiga kepada suami. "Yang pertama, tadi aku bertemu den
"Hahaha!!" Suara tawa terdengar nyaring sampai ke lantai dua kamarku. Aku sangat yakin jika saat ini mereka yang ada di bawah, pasti tengah menertawakanku dan Mas Raffi, yang tadi terciduk oleh Citra. Sedangkan tersangka utama, dia tengah santai bermain lego yang waktu itu tertinggal di sini, seraya menonton kartun."Citra, tadi Citra sama siapa naik ke atas?" tanyaku pada gadis kecil yang duduk bersandar pada sofa di kamarku."Sama Bibi, diantelin sampai tengah."Aku membulatkan mulut berkata 'oh'."Citra ke sini sama siapa?" "Sama Papi.""Sama Mami juga?" Citra menggelengkan kepala, membuat rambut yang dikuncir kuda berayun ke sana kemari."Emang Maminya Citra ke mana?" tanyaku lagi."Bobok di lumah Nenek."Seketika pikiranku melayang pada Mbak Cindy. Kalau Citra bilang Nenek, itu artinya orang tua Mbak Cindy. Apa mungkin, Mbak Cindy dipulangkan ke rumah orang tuanya oleh Mas Raffa? Sungguh kasihan sekali, jika itu memang terjadi. "Citra, kita turun, yuk?" Mama masuk seraya me
"Bibi! Aku mau berangkat, tapi Pak Tarmin 'kan tidak ada, pergi sama Mama. Terus, aku naik apa?" Bi Marni yang tengah membawa rantang dari dapur, melihatku yang berjalan menuruni tangga."Lah, iya, ya? Naik taxi online, mau?" tawarnya."Gimana caranya, Bi?" "Biar Bibi yang pesankan. Mbak Raya, tunggu dulu, duduk manis saja, nanti juga datang," ujar Bi Marni mengeluarkan ponselnya. Ia memberikan rantang berisikan makan siang untuk Mas Raffi, padaku. Kemudian mengotak-atik ponsel dengan serius."Lama gak, Bi?" "Tidak akan. Yuk, Bibi antar ke depan."Aku pun mengangguk, dan berjalan beriringan menuju pintu utama. Aku dan Bi Marni duduk di teras rumah seraya mengobrol ringan. Tidak berapa lama, taxi yang aku pesan sudah datang. Aku pun berpamitan pada Bibi dan mobil pun langsung berangkat."Bismillah, semoga tidak nyasar," ucapku dengan pelan.Menunggu sampai ke tempat tujuan, aku mengeluarkan ponsel untuk sekedar melihat dunia maya. Tidak ada yang menarik, semuanya biasa saja. Mungkin
"Enggak, tadi gue, cuma liatin doang. Belum, makan nasi," ujar Mas Raffi tergagap. Selera makanku hilang begitu saja saat mendengar suamiku sudah makan siang. Dan yang membuatku sedih ialah, ia makan dengan teman wanitanya, bukan dengan aku, istrinya. Dalam keadaan dada yang sesak, aku tetap membuka dan menghidangkan makanan untuk Mas Raffi, meskipun tanpa bicara. "Raya, sorry. Aku sepertinya salah ngomong. Kukira Raffi tadi ikutan makan, tapi ternyata tidak. Yasudah, aku keluar dulu, ya? Kalian selamat makan!" ujar Mas Bayu seraya berlalu. Aku hanya mengangguk seraya menunduk. Sungguh, aku sedang cemburu."Ra, kamu tidak marah padaku, 'kan?" tanya Mas Raffi yang melihatku membisu."Ra—""Silahkan dimakan, Mas. Em ... maaf, jika makanannya tidak enak. Kalau gitu, aku pulang duluan, ya? Sebenarnya aku cuma mau nganterin ini doang, aku sudah makan di rumah tadi. Selamat makan, Mas!" "Raya!" Aku tidak mengindahkan panggilan Mas Raffi. Aku terus berjalan dengan tergesa meninggalkan
Di dalam kamar, aku menumpahkan kekecewaanku terhadap Mas Raffi. Aku merutuki kebodohanku yang datang ke sana tanpa memberi kabar. Namun, aku tidak akan tahu apa-apa jika Mas Raffi tahu akan kedatanganku. Dengan air mata yang masih membanjiri wajahku, aku mengambil ponsel yang berdering. Rupanya Mas Raffi menghubungiku. Namun, aku abaikan. Aku tidak ingin mengangkat telepon dan berbicara dengannya.Tidak hanya meneleponku, Mas Raffi juga mengirimkan beberapa pesan yang tidak aku balas sama sekali. Aku ingin sendiri, ingin mengendalikan diri yang tidak bisa mengontrol emosi. "Raya ada di rumah 'kan, Bi?" Aku yang hendak akan keluar, mengurungkan niatku saat mendengar derap langkah, juga suara Mas Raffi yang bertanya kepada Bibi."Ada, Mas. Baru saja masuk. Tapi ... wajahnya murung. Tidak secerah saat pergi tadi," jawab Bi Marni.Kembali aku menjatuhkan tubuhku pada ranjang. Aku meringkuk menyembunyikan mata yang sudah memerah dengan air mata."Sayang, kamu marah padaku?" Mas Raffi m
"Sudahlah waktumu denganku kamu gantikan dengan wanita lain. Sekarang, makanan pun kamu habiskan, Mas. Tega." Aku menggerutu."Lalu aku harus apa? Kalau tidak dimakan, nanti kamu tersinggung. Sudah dimakan, masih salah. Aku, kok jadi serba salah, ya?" Aku tidak lagi bicara. Memilih diam seraya memikirkan sesuatu. Entahlah, aku masih menaruh curiga pada wanita bernama Malika itu. Menurutku, dia berlebihan. Mengucapkan terima kasih tidak harus dengan cara datang ke tempat kerja suamiku. Apalagi, sampai membawakan makan siang. 'Apa mungkin hanya perasaanku yang terlalu cemburu? Ah, mungkin saja.' "Ra, tidur?" Mas Raffi kembali mendekat. "Iya, aku ngantuk. Jangan ganggu," ucapku jutek. "Yasudah, tidur saja. Aku temenin." Mas Raffi kembali merebahkan diri di sampingku. Ia mengusap-usap kepalaku hingga akhirnya aku pun terlelap.Entah berapa lama aku tertidur, tapi rasa lapar memaksaku untuk bangun. Saat kulihat jam yang menempel di dinding, rupanya sudah pukul dua. Buru-buru aku pergi
Aku harus tahu, siapa sebenarnya Malika itu. Apa mungkin mantan kekasih Mas Raffi? Namun, Mas Raffi tidak pernah bercerita jika dia pernah punya pacar. Bahkan, dia selalu bilang jika aku, adalah wanita pertama yang menerima pernyataan cinta darinya."Mbak Raya, kenapa diam di sini?" Mama dan Mas Raffi langsung menoleh saat Bibi yang baru saja datang, bertanya padaku. Tentu saja, aku jadi salah tingkah karena ketahuan menguping."Sudah lama di sana, Ra? Kenapa tidak ke sini?" tanya Mama membuatku kian gugup."Ah, tidak. Baru juga nyampe. Raya mau makan, Ma. Tapi ... pengen sambil nonton tv," ujarku berjalan mendekati mereka."Boleh. Di mana pun juga boleh. Asal, harus makan. Tidak boleh, tidak makan," ucap Mama seraya tersenyum.Aku mengambil piring, menuangkan nasi serta lauk, lalu pergi meninggalkan mereka. Aku tidak ingin mengganggu obrolan Mama dan Mas Raffi, tentang masa lalu dan Malika. Sampai di ruang televisi, aku menyalakan tv dan duduk untuk menikmati makan siang yang sudah