"Tadi memang sama saya, Mbak. Tapi, saya tinggal sebentar untuk ambil makan dan minumnya Dedek." "Terus sekarang Rayyan ke mana, Bi?" kataku, lalu segera kembali ke ruang tengah. Mataku menyapu seluruh ruangan besar ini, namun tak aku lihat putraku. Gegas aku pergi ke kamar Rayyan, siapa tahu putraku di sana. Tidak ada juga. Ke kamar Mama pun tidak ada. Bi Marni tidak diam. Dia pun mencari ke ruang bermain dan kolam renang. Rasanya mustahil jika Rayyan ke kolam renang. Pintunya saja dikunci, dan tidak akan bisa membukanya karena tinggi."Ada, Bi?" tanyaku saat keluar dari kamar Mama. "Enggak ada, Mbak.""Ya Allah ... ke mana putraku?!" Aku panik, sangat takut sekarang ini. Tidak ingin diam saja, aku pun kembali menyusuri seluruh ruangan di rumah ini untuk mencari keberadaan putraku. Semua tempat yang memungkinkan di jangkau Rayyan, aku datangi. Namun, tetap tidak membuahkan hasil. Apa jangan-jangan Rayyan keluar?Tanpa pikir panjang, aku pun pergi ke luar rumah, dan ... memici
Seperti paham akan ayahnya yang tidak ingin diganggu, Rayyan langsung menghampiriku, memeluk kakiku yang berdiri menatap punggung Mas Raffi. Kuusap-usap kepala putraku, lalu mengalihkan pandangan dari Mas Raffi yang sudah pergi. "Mandi, yuk!" ajakku lagi. Kali ini, Rayyan tidak menolak. Dia mengangguk dan berjalan dengan sukarela ke kamarnya. Aku tidak tahu apa yang salah denganku. Aku juga tidak mengerti kenapa Mas Raffi sedingin itu pada kami. Apa ini ada hubungannya dengan pesan tadi?Jika iya, berarti Mas Raffi memang tahu aku pergi bersama Reyhan. Lalu, kenapa dia membiarkan aku dengan temannya, jika sebenarnya dia tidak suka? Kenapa juga tidak menghampiri kami, lalu menggantikan Reyhan bermain bersama putranya? Ah, pusing sekali rasanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan tentang suamiku yang terasa misterius akhir-akhir ini. "Nda ...."Lamunanku dibuyarkan Rayyan yang memanggil. "Iya, Nak? Sudah, mandinya?" tanyaku pada Rayyan yang sedang berendam. Putraku mengangguk. A
Kusimpan dengan kesal gelas berisikan wedang jahe di atas mata. Setelah ditolak Mas Raffi, aku memutuskan untuk masuk ke kamar, membiarkan dia bersama Rayyan di luar. Kuambil ponsel, lalu duduk selonjoran di sofa menetralkan perasaan kesal. Saat membuka layar, ternyata ada pesan masuk. Aku pun membacanya yang ternyata dari Reyhan. Sudah tiga puluh menit yang lalu, berarti Reyhan mengirim pesan saat aku memandikan Rayyan. [Apa Rayyan rewel?] Pesan pertama yang Reyhan kirim. [Rayyan demam, gak, Ra. Aduh, aku khawatir, takutnya anak itu kelelahan dan sakit setelah main denganku.] Itu pesan kedua, dan aku pun berinisiatif untuk membalasnya. [Alhamdulillah Rayyan baik-baik saja. Dia tidak rewel dan tidak demam juga. Terima kasih sudah jadi teman main Rayyan tadi,] balasku. Pandangan aku alihkan dari ponsel ke pria yang masuk seraya membawa putranya. Rayyan berlari ke arahku setelah Mas Raffi menurunkannya dari gendongan. Sedangkan ayahnya, menutup pintu dan menguncinya kembali. "S
"Mas, beli ayam krispi?" tanyaku seraya membalikkan badan melihat Mas Raffi. "Iya. Itu yang Rayyan mau, kan?" Dia balik bertanya seraya menghenyakkan bokong pada kursi plastik yang ada di dapur. Kuembuskan napas dengan kasar, lalu mengangkat ayam yang sudah berwarna kekuningan dari dalam penggorengan. Setelahnya, mematikan kompor dan kembali menatap Mas Raffi. "Iya, Mas. Memang itu yang Rayyan inginkan, tapi aku juga bisa bikin, kok. Kenapa harus beli?" ujarku."Lama, Ra. Kasihan Rayyan nunggu.""Ini sudah matang," timpalku lagi dengan tidak mau kalah. Sebenarnya belum matang semua, tapi dua potong ayam menurutku sudah cukup dan bisa mengenyangkan perut kecil putraku. Namun, pemikiran Mas Raffi denganku jelas berbeda. Dia dengan pendapatnya sendiri, dan aku pun demikian. Dengan hati yang dongkol, aku membawa ayam tepung buatanku ke meja makan untuk disantap putraku. Namun, lagi-lagi aku dibuat kecewa karena ternyata Rayyan sudah menikmati makanan yang dibeli Mas Raffi. Ah, men
"Ah ... pegal," kataku seraya memijit sebelah pundak. Namun, aku tidak mau mengubah posisi, takut jika Rayyan bangun dan menangis lagi. Satu jam aku berjalan mengelilingi isi rumah seraya menggendong Rayyan. Semua aku lakukan agar putraku berhenti menangis dan kembali tidur. Berhasil, memang. Dan korbannya adalah pundakku yang pegal akibat menahan bobot tubuh gemuk Rayyan. "Kita duduk, ya, Nak?" Pelan sekali aku menempelkan bokong pada sofa. Tangan mengambil bantal, dan dengan perlahan meletakkan kepala Rayyan di sana. Namun, belum juga kepala Rayyan berhasil menyentuh bantal, dia sudah merengek kembali seraya memanggil Mama. Cepat-cepat aku bangun, mengayunnya lagi hingga Rayyan kembali tidur. "Mbak, mau gantian sama Bibi?" Asisten rumah tangga itu menghampiri. "Tidak usah, Bi. Bibi sebaiknya tidur, sudah malam," kataku seraya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Tapi, kasihan Mbak Raya. Pasti pegel, ya?" "Enggak, kok, Bi. Masih bisa saya tahan, kok."
"Mimi?" Aku berdiri, kemudian menghampiri temanku yang kedatangannya tidak aku ketahui sebelumnya. "Kenapa bisa ada di sini, Mi?" tanyaku lagi.Namun, dia tidak menjawab pertanyaanku. Mimi langsung memelukku, lalu dia menangis tersedu membuatku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi kepada temanku itu. "Mi ...." Hanya itu kata yang keluar. Mataku melihat pada Bi Marni yang juga terlihat bingung dengan kedatangan temanku ini. Kuusap-usap punggung Mimi agar dia merasa tenang dan mau bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi hingga membuatnya datang ke mari. "Duduk, yuk." Aku mengurai pelukan, lalu menggiring dia ke meja makan. Satu gelas air putih aku berikan pada Mimi yang langsung disambut dan dihabiskan saat itu juga. Pertanyaan dalam benak masih sama. Apa yang terjadi pada dia hingga nekad datang ke sini? "Kebetulan, aku lagi sarapan, nih. Kamu juga sarapan, ya?" kataku kemudian. Mimi menggelengkan kepala. Dia menolak tawaranku, dan hanya melihat makanan dengan tatapa
"Yudis, Ra.""Hah?!"Aku kaget luar biasa saat Mimi mengatakan siapa pria yang sudah menodai dirinya. Yudistira. Dia salah satu karyawan di restoran A Yusuf, dan teman kami. Memang, Yudis sudah menaruh hati sejak lama pada Mimi. Namun, sungguh aku tidak menyangka jika dia akan melakukan hal sekeji itu. Yudis yang aku kenal, dia pria baik, meskipun kadang jahil. "Yudistira?" Aku menyebut nama pria itu. Mimi mengangguk. Air matanya kembali bercucuran seiring dengan suara tangis yang terdengar memilukan hati. "Ya Allah ...." Bibirku hanya mampu menyebut nama Tuhan, saking tidak percaya dan kaget yang luar biasa. Otakku tak mampu berpikir lagi. Rasanya buntu, tidak bisa mengambil langkah untuk Mimi kedepannya. "Ra, aku takut. Aku takut hamil, Raya," ujar Mimi dalam sedunya. "Mi, aku gak tahu harus melakukan apa sekarang, tapi ... apa yang kamu katakan ini sungguh-sungguh?""Kamu menganggapku berbohong?" ujar Mimi dengan mata tajam nan basah. "Aku sampai kabur ke sini untuk menghin
"Raya." Aku menyebut namaku, lalu hening. Napas kutarik panjang mengumpulkan kekuatan untuk bicara membahas hal yang bukan masalah sepele. Seperti paham akan situasi yang tidak mengenakkan ini, terdengar olehku Yudis pamit menjauh pada seseorang yang bersamanya. Entah siapa. Mungkin teman kerjanya. "Apa kabar, Ra?" tanyanya kemudian. "Baik. Aku sangat baik. Gimana denganmu?" "Buruk," jawabnya, "aku telah melakukan kesalahan besar."Aku tersenyum kecil. Yudis memang mengerti ke mana arah pembicaraan kami, meskipun aku belum membahasnya. "Kesalahan apa?" Aku terus bertanya untuk memancing dia bicara. Lagi-lagi Yudis mengembuskan napas begitu berat, lalu hening kembali. Lidahku pun sulit untuk menanyakan kenapa dia melakukan hal bodoh itu pada sahabatku? Mengingat wajah Mimi, air mataku tiba-tiba turun begitu saja. Bagaimana bisa, kejadian yang menyedihkan itu terjadi pada dia? "Ra, apa tujuanmu meneleponku untuk menanyakan tentang Mimi?" Yudis kembali berucap."Kenapa?" Hanya