"Yudis, Ra.""Hah?!"Aku kaget luar biasa saat Mimi mengatakan siapa pria yang sudah menodai dirinya. Yudistira. Dia salah satu karyawan di restoran A Yusuf, dan teman kami. Memang, Yudis sudah menaruh hati sejak lama pada Mimi. Namun, sungguh aku tidak menyangka jika dia akan melakukan hal sekeji itu. Yudis yang aku kenal, dia pria baik, meskipun kadang jahil. "Yudistira?" Aku menyebut nama pria itu. Mimi mengangguk. Air matanya kembali bercucuran seiring dengan suara tangis yang terdengar memilukan hati. "Ya Allah ...." Bibirku hanya mampu menyebut nama Tuhan, saking tidak percaya dan kaget yang luar biasa. Otakku tak mampu berpikir lagi. Rasanya buntu, tidak bisa mengambil langkah untuk Mimi kedepannya. "Ra, aku takut. Aku takut hamil, Raya," ujar Mimi dalam sedunya. "Mi, aku gak tahu harus melakukan apa sekarang, tapi ... apa yang kamu katakan ini sungguh-sungguh?""Kamu menganggapku berbohong?" ujar Mimi dengan mata tajam nan basah. "Aku sampai kabur ke sini untuk menghin
"Raya." Aku menyebut namaku, lalu hening. Napas kutarik panjang mengumpulkan kekuatan untuk bicara membahas hal yang bukan masalah sepele. Seperti paham akan situasi yang tidak mengenakkan ini, terdengar olehku Yudis pamit menjauh pada seseorang yang bersamanya. Entah siapa. Mungkin teman kerjanya. "Apa kabar, Ra?" tanyanya kemudian. "Baik. Aku sangat baik. Gimana denganmu?" "Buruk," jawabnya, "aku telah melakukan kesalahan besar."Aku tersenyum kecil. Yudis memang mengerti ke mana arah pembicaraan kami, meskipun aku belum membahasnya. "Kesalahan apa?" Aku terus bertanya untuk memancing dia bicara. Lagi-lagi Yudis mengembuskan napas begitu berat, lalu hening kembali. Lidahku pun sulit untuk menanyakan kenapa dia melakukan hal bodoh itu pada sahabatku? Mengingat wajah Mimi, air mataku tiba-tiba turun begitu saja. Bagaimana bisa, kejadian yang menyedihkan itu terjadi pada dia? "Ra, apa tujuanmu meneleponku untuk menanyakan tentang Mimi?" Yudis kembali berucap."Kenapa?" Hanya
"Aku tahu dari dulu kalau si Yudis suka sama aku, tapi aku gak mau nanggepin. Aku gak mau nikah sama orang kampung, aku mau punya suami orang kota yang kaya."Aku beristighfar berulang kali mendengar kejujuran Mimi. Demi Tuhan, aku tidak menyangka dia punya keinginan seperti itu. Bukan ingin meremehkan, tapi jodoh itu urusan Tuhan. Kita tidak bisa mengatur keputusan yang sudah Allah tetapkan. Termasuk jodoh tersebut. "Mimi, istighfar kamu, Mi. Kenapa kamu jadi orang yang berambisi?" kataku, setelah sekian menit diam menatapnya. "Salah, aku punya keinginan seperti itu?" "Tidak," jawabku, "tapi, sekarang keadaannya sudah beda. Kamu, sudah dinodai pria lain. Dan dia mau, loh tanggung jawab. Kamu harus menikah dengan Yudis.""Tidak, Raya! Jangan paksa aku menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Aku akan menuntut si Yudis biar dia dipenjara. Laki-laki bejad seperti dia harus mendekam di sel tahanan." Aku menggelengkan kepala dengan mata tak teralihkan dari Mimi yang berucap dengan
"Mi ...?" ucapku penuh tanda tanya. Sedangkan orang yang kupanggil diam tidak lagi berkata. Yudis yang mendengar permintaan Mimi, langsung menyanggupi. Dia berjanji akan mempersiapkan semuanya, termasuk meminta izin kepada orang tua Mimi dan ibu bapaknya juga. Tidak berapa lama sambungan telepon pun diputus Mimi, lalu temanku itu membuang napas berat seolah-olah mengeluarkan beban yang teramat berat. "Kamu yakin dengan keputusan ini?" tanyaku kemudian."Yakin," jawabnya, "bukannya tadi dia janji akan menceraikan aku dan bersedia dipenjara? Aku hanya butuh status yang jelas untuk menentukan nasibku, Ra."Ya, aku mengerti sekarang. Hanya untuk sebuah status yang jelas. Aku sama sekali tidak menyanggah dan membiarkan Mimi dengan keputusannya. Tidak ada hakku mengatur dia, hanya bisa memberikan saran saja. "Aku akan pulang besok, Ra. Maaf, ya jika aku datang dengan kesedihan, bukan membawa kabar gembira." Mimi kembali bicara. Aku tersenyum, lalu menggenggam tangannya. "Tidak usah
"Kamu baik-baik saja, Ra?" Mimi bertanya saat kami keluar dari toko pakaian. "Kenapa dengan aku? Apa aku terlihat menyedihkan?" Mimi mengembuskan napas kasar. "Sepertinya begitu. Dari tadi kamu diam terus, bengong, gak banyak ngomong seperti tadi kita ke sini."Kali ini akulah yang mengembuskan napas kasar. Bayangan Mas Raffi yang tadi berada di toko sepatu dengan seorang perempuan, masih sangat jelas dalam benakku. Entah siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Mas Raffi, tapi yang jelas aku cemburu. Suami yang kusangkakan bekerja, ternyata tidak sesibuk itu. Dia punya waktu untuk menemani orang lain belanja, tapi tidak ada waktu untuk bermain dengan putranya. "Tuh, kan bengong lagi. Kenapa?" Mimi kembali bertanya. "Tidak ada apa-apa, Mi. Sekarang kita pulang, ya? Sudah sore juga, nih," kataku kemudian. "Iya, Ra. Nanti suamimu dan mertuamu keburu pulang. Entar kamu dimarahi, lagi." "Mertuaku gak ada, Mi. Mereka sedang di luar kota. Dan Mas Raffi ... entahlah, mungkin dia g
"Raya, kamu mau buka pintu atau tidak?" Mas Raffi kembali bicara. Namun, aku masih dengan isak tangis dan enggan untuk menjawab pertanyaan Mas Raffi. Meskipun, nada suaranya naik satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya.Rayyan yang dari tadi memukul pintu, kini berhenti dan menghampiriku. Dia menarik-narik bajuku meminta ibunya ini membuka pintu. "Nda, puka, Nda ...," ujarnya merengek. Tak kupedulikan permintaan Rayyan. Aku sibuk menata perasaan dan mengeluarkan beban pikiran yang tertanam sedari di mall tadi. Saat ini aku tidak ingin mendengar penjelasan Mas Raffi, karena yang dia katakan pasti pembelaan. "Yasudah kalau tidak mau keluar. Diam saja di sana sampai besok!"Aku sedikit terkejut saat daun pintu dipukul dari luar. Tidak terlalu keras, tapi berhasil membuat hatiku tersayat. Tidak kudengar lagi panggilan dan bujuk Mas Raffi. Dia benar-benar pergi membiarkan aku yang merajuk karena sakit hati. Namun, masih ada Rayyan. Putraku itu semakin merengek meminta keluar dari
"Kita apa, Mas?" "Bukan kita, tapi kamu," ujar Mas Raffi, kemudian pria itu keluar dari ruang bermain. Aku menyipitkan mata, lalu menggelengkan kepala karena tidak mengerti dengan apa yang dia katakan. Mas Raffi menyuruhku berhemat seolah-olah aku selalu menghabiskan uangnya. Padahal, baru sekarang saja aku mengeluarkan uang banyak dalam waktu hanya satu jam saja. Dan itu pun bukan untukku, melainkan untuk Mimi. Setelah beberapa saat merenungi setiap ucapan Mas Raffi, aku pun keluar juga dari ruang bermain dan menghampiri Rayyan yang tengah bermain dengan Mimi. Aku kira Mas Raffi akan mengambil Rayyan dari Mimi, tapi rupanya tidak. "Rayyan rewel, gak?" tanyaku, hanya untuk sekadar basa-basi."Tidak. Eh, Ra, barusan Raffi marah sama kamu karena aku ada di sini, ya? Maaf, Ra, gara-gara aku, kamu dimarahi suamimu."Aku menggelengkan kepala. "Tidak, Mi. Sama sekali bukan karena itu, kok. Tapi ... karena hal lain.""Hal lain apa?" tanya Mimi penasaran. Lagi-lagi aku menggelengkan ke
"Hati-hati, ya, Mi? Ingat, jangan macam-macam kalau nanti sudah di kampung.""Siap, Ra. Kamu juga hati-hati di sini, ya? Dan makasih buat hadiah pernikahan yang belum terjadi," ujar Mimi sebelum masuk ke dalam taksi online yang aku pesankan untuknya."Harus jadi. Pernikahan kamu dan Yudis harus terjadi. Oke?"Temanku itu mengangguk, lalu masuk dan menutup pintu mobil. Aku melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan, dan mobil pun melaju menjauhiku. "Yah ... Tante Mimi-nya sudah pulang, deh. Sekarang kita masuk, yuk!" kataku, pada Rayyan yang sedari tadi di sampingku.Saat akan masuk ke rumah, Mas Raffi keluar dengan kunci mobil di tangannya. Seketika Rayyan langsung merengek minta ikut pada ayahnya yang akan pergi bekerja. "Papa mau kerja, Nak. Rayyan main dulu sama Bunda di sini, ya?" ujar Mas Raffi membujuk.Namun, putraku malah semakin merengek dan sekarang menangis seraya memeluk kaki ayahnya. "Astagfirullah ... kok, malah nangis? Ra, ambil Rayyan dan bawa ke dalam," titah Mas