"Mi ...?" ucapku penuh tanda tanya. Sedangkan orang yang kupanggil diam tidak lagi berkata. Yudis yang mendengar permintaan Mimi, langsung menyanggupi. Dia berjanji akan mempersiapkan semuanya, termasuk meminta izin kepada orang tua Mimi dan ibu bapaknya juga. Tidak berapa lama sambungan telepon pun diputus Mimi, lalu temanku itu membuang napas berat seolah-olah mengeluarkan beban yang teramat berat. "Kamu yakin dengan keputusan ini?" tanyaku kemudian."Yakin," jawabnya, "bukannya tadi dia janji akan menceraikan aku dan bersedia dipenjara? Aku hanya butuh status yang jelas untuk menentukan nasibku, Ra."Ya, aku mengerti sekarang. Hanya untuk sebuah status yang jelas. Aku sama sekali tidak menyanggah dan membiarkan Mimi dengan keputusannya. Tidak ada hakku mengatur dia, hanya bisa memberikan saran saja. "Aku akan pulang besok, Ra. Maaf, ya jika aku datang dengan kesedihan, bukan membawa kabar gembira." Mimi kembali bicara. Aku tersenyum, lalu menggenggam tangannya. "Tidak usah
"Kamu baik-baik saja, Ra?" Mimi bertanya saat kami keluar dari toko pakaian. "Kenapa dengan aku? Apa aku terlihat menyedihkan?" Mimi mengembuskan napas kasar. "Sepertinya begitu. Dari tadi kamu diam terus, bengong, gak banyak ngomong seperti tadi kita ke sini."Kali ini akulah yang mengembuskan napas kasar. Bayangan Mas Raffi yang tadi berada di toko sepatu dengan seorang perempuan, masih sangat jelas dalam benakku. Entah siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Mas Raffi, tapi yang jelas aku cemburu. Suami yang kusangkakan bekerja, ternyata tidak sesibuk itu. Dia punya waktu untuk menemani orang lain belanja, tapi tidak ada waktu untuk bermain dengan putranya. "Tuh, kan bengong lagi. Kenapa?" Mimi kembali bertanya. "Tidak ada apa-apa, Mi. Sekarang kita pulang, ya? Sudah sore juga, nih," kataku kemudian. "Iya, Ra. Nanti suamimu dan mertuamu keburu pulang. Entar kamu dimarahi, lagi." "Mertuaku gak ada, Mi. Mereka sedang di luar kota. Dan Mas Raffi ... entahlah, mungkin dia g
"Raya, kamu mau buka pintu atau tidak?" Mas Raffi kembali bicara. Namun, aku masih dengan isak tangis dan enggan untuk menjawab pertanyaan Mas Raffi. Meskipun, nada suaranya naik satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya.Rayyan yang dari tadi memukul pintu, kini berhenti dan menghampiriku. Dia menarik-narik bajuku meminta ibunya ini membuka pintu. "Nda, puka, Nda ...," ujarnya merengek. Tak kupedulikan permintaan Rayyan. Aku sibuk menata perasaan dan mengeluarkan beban pikiran yang tertanam sedari di mall tadi. Saat ini aku tidak ingin mendengar penjelasan Mas Raffi, karena yang dia katakan pasti pembelaan. "Yasudah kalau tidak mau keluar. Diam saja di sana sampai besok!"Aku sedikit terkejut saat daun pintu dipukul dari luar. Tidak terlalu keras, tapi berhasil membuat hatiku tersayat. Tidak kudengar lagi panggilan dan bujuk Mas Raffi. Dia benar-benar pergi membiarkan aku yang merajuk karena sakit hati. Namun, masih ada Rayyan. Putraku itu semakin merengek meminta keluar dari
"Kita apa, Mas?" "Bukan kita, tapi kamu," ujar Mas Raffi, kemudian pria itu keluar dari ruang bermain. Aku menyipitkan mata, lalu menggelengkan kepala karena tidak mengerti dengan apa yang dia katakan. Mas Raffi menyuruhku berhemat seolah-olah aku selalu menghabiskan uangnya. Padahal, baru sekarang saja aku mengeluarkan uang banyak dalam waktu hanya satu jam saja. Dan itu pun bukan untukku, melainkan untuk Mimi. Setelah beberapa saat merenungi setiap ucapan Mas Raffi, aku pun keluar juga dari ruang bermain dan menghampiri Rayyan yang tengah bermain dengan Mimi. Aku kira Mas Raffi akan mengambil Rayyan dari Mimi, tapi rupanya tidak. "Rayyan rewel, gak?" tanyaku, hanya untuk sekadar basa-basi."Tidak. Eh, Ra, barusan Raffi marah sama kamu karena aku ada di sini, ya? Maaf, Ra, gara-gara aku, kamu dimarahi suamimu."Aku menggelengkan kepala. "Tidak, Mi. Sama sekali bukan karena itu, kok. Tapi ... karena hal lain.""Hal lain apa?" tanya Mimi penasaran. Lagi-lagi aku menggelengkan ke
"Hati-hati, ya, Mi? Ingat, jangan macam-macam kalau nanti sudah di kampung.""Siap, Ra. Kamu juga hati-hati di sini, ya? Dan makasih buat hadiah pernikahan yang belum terjadi," ujar Mimi sebelum masuk ke dalam taksi online yang aku pesankan untuknya."Harus jadi. Pernikahan kamu dan Yudis harus terjadi. Oke?"Temanku itu mengangguk, lalu masuk dan menutup pintu mobil. Aku melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan, dan mobil pun melaju menjauhiku. "Yah ... Tante Mimi-nya sudah pulang, deh. Sekarang kita masuk, yuk!" kataku, pada Rayyan yang sedari tadi di sampingku.Saat akan masuk ke rumah, Mas Raffi keluar dengan kunci mobil di tangannya. Seketika Rayyan langsung merengek minta ikut pada ayahnya yang akan pergi bekerja. "Papa mau kerja, Nak. Rayyan main dulu sama Bunda di sini, ya?" ujar Mas Raffi membujuk.Namun, putraku malah semakin merengek dan sekarang menangis seraya memeluk kaki ayahnya. "Astagfirullah ... kok, malah nangis? Ra, ambil Rayyan dan bawa ke dalam," titah Mas
"Ada yang lucu?" tanyaku seraya menatapnya. "Enggak, enggak ada yang lucu, kok. Maaf. Warung kopi juga bagus, kok. Sama-sama usaha, kan?" Reyhan berujar ragu-ragu. Dia takut menyinggungku, padahal aku sama sekali tidak tersinggung. "Terus gimana? Mau bantuin, gak?" "Mau. Tenang saja, nanti aku akan cari tempat yang bagus dan strategis untuk warung kopinya. Eh, kafe maksudku," ujar Reyhan dengan sisa tawa di bibirnya. Ah, seandainya saja Mas Raffi semenyenangkan Reyhan, mungkin sekarang ini aku berdiskusi dengan dia, bukan dengan orang lain yang menjelma seperti malaikat penolong. Namun, sayangnya suamiku lebih sibuk dengan dunianya dan tidak sama sekali memberikanku kesempatan untuk mengembangkan diri di bidang usaha. Bekerja pun harus di bawah naungan Mama. Beberapa saat perjalanan, kami sampai di tempat tujuan. Kali ini tempat bermain yang menyatu dengan toko mainan itu terlihat penuh. Aku sampai ragu untuk masuk karena tidak nyaman berada satu tempat dengan orang banyak. "K
"Oh, Tante Rianti akan pulang dari luar kota?" Aku menganggukkan kepala. Mama mengirimkan pesan yang memberitahukan akan segera tiba di rumah. Makanya, aku meminta Reyhan untuk putar balik dan pulang ke rumah sebelum kedua mertuaku tiba duluan di sana. Bukan takut akan dimarahi Mama, aku hanya tidak ingin mereka mencurigaiku, menganggap aku dan Reyhan ada apa-apa karena datang bersama. Bagaimanapun, ada hati yang harus aku jaga. "Beneran putar balik, nih?" Reyhan bertanya saat laju mobil berhenti. "Iya, Rey. Makan siangnya lain waktu saja," kataku yakin. Reyhan tidak lagi bicara. Dia menuruti mauku yang meminta pulang padahal belum sampai ke tempat tujuan.Beberapa saat perjalanan, kami sampai di depan rumah, dana ku segera turun dari kendaraan Reyhan. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung masuk setelah mengucapkan terima kasih pada Reyhan. "Bibi, Mama akan pulang sekarang!" Aku berteriak memanggil asisten rumah tangga seraya berjalan ke ruang tengah. "Bibi sudah tahu, Mbak. In
"Sekarang mah sudah kebukti, ya? Aduh, gak kebayang jika foto itu tersebar dan dilihat keluarga si pria. Pasti sakit hati dan kecewa sekali, y?" timpal yang lainnya. Entah gambar apa yang mereka lihat, dan entah siapa yang jadi pembahasan, tapi perasaanku tiba-tiba tak enak. Mungkinkah mereka membicarakan aku? Ah, kurasa tidak. Aku pun jarang sekali bertegur sapa dengan ibu-ibu di perumahan ini. Bukan jarang lagi, nyaris tidak pernah. Apalagi kumpul-kumpul di warung sambil bergibah ria. Itu hal yang tidak penting bagiku. "Assalamualaikum," ucapku kemudian, membuat semua mata ibu-ibu tertuju padaku. Ponsel yang jadi pusat perhatian, langsung diambil oleh siempunya. Aku yang datang karena butuh sesuatu, langsung mengatakan maksud dan tujuanku. Mirisnya, salamku tidak dijawab oleh mereka semua. "Apalagi, Neng?" tanya pemilik warung. "Sudah, Bu, itu saja," kataku seraya memberikan satu lembar uang pecahan lima puluh ribu. "Kembaliannya enggak mau dijajanin aja, Neng?" Pemilik wa