"Mas, beli ayam krispi?" tanyaku seraya membalikkan badan melihat Mas Raffi. "Iya. Itu yang Rayyan mau, kan?" Dia balik bertanya seraya menghenyakkan bokong pada kursi plastik yang ada di dapur. Kuembuskan napas dengan kasar, lalu mengangkat ayam yang sudah berwarna kekuningan dari dalam penggorengan. Setelahnya, mematikan kompor dan kembali menatap Mas Raffi. "Iya, Mas. Memang itu yang Rayyan inginkan, tapi aku juga bisa bikin, kok. Kenapa harus beli?" ujarku."Lama, Ra. Kasihan Rayyan nunggu.""Ini sudah matang," timpalku lagi dengan tidak mau kalah. Sebenarnya belum matang semua, tapi dua potong ayam menurutku sudah cukup dan bisa mengenyangkan perut kecil putraku. Namun, pemikiran Mas Raffi denganku jelas berbeda. Dia dengan pendapatnya sendiri, dan aku pun demikian. Dengan hati yang dongkol, aku membawa ayam tepung buatanku ke meja makan untuk disantap putraku. Namun, lagi-lagi aku dibuat kecewa karena ternyata Rayyan sudah menikmati makanan yang dibeli Mas Raffi. Ah, men
"Ah ... pegal," kataku seraya memijit sebelah pundak. Namun, aku tidak mau mengubah posisi, takut jika Rayyan bangun dan menangis lagi. Satu jam aku berjalan mengelilingi isi rumah seraya menggendong Rayyan. Semua aku lakukan agar putraku berhenti menangis dan kembali tidur. Berhasil, memang. Dan korbannya adalah pundakku yang pegal akibat menahan bobot tubuh gemuk Rayyan. "Kita duduk, ya, Nak?" Pelan sekali aku menempelkan bokong pada sofa. Tangan mengambil bantal, dan dengan perlahan meletakkan kepala Rayyan di sana. Namun, belum juga kepala Rayyan berhasil menyentuh bantal, dia sudah merengek kembali seraya memanggil Mama. Cepat-cepat aku bangun, mengayunnya lagi hingga Rayyan kembali tidur. "Mbak, mau gantian sama Bibi?" Asisten rumah tangga itu menghampiri. "Tidak usah, Bi. Bibi sebaiknya tidur, sudah malam," kataku seraya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Tapi, kasihan Mbak Raya. Pasti pegel, ya?" "Enggak, kok, Bi. Masih bisa saya tahan, kok."
"Mimi?" Aku berdiri, kemudian menghampiri temanku yang kedatangannya tidak aku ketahui sebelumnya. "Kenapa bisa ada di sini, Mi?" tanyaku lagi.Namun, dia tidak menjawab pertanyaanku. Mimi langsung memelukku, lalu dia menangis tersedu membuatku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi kepada temanku itu. "Mi ...." Hanya itu kata yang keluar. Mataku melihat pada Bi Marni yang juga terlihat bingung dengan kedatangan temanku ini. Kuusap-usap punggung Mimi agar dia merasa tenang dan mau bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi hingga membuatnya datang ke mari. "Duduk, yuk." Aku mengurai pelukan, lalu menggiring dia ke meja makan. Satu gelas air putih aku berikan pada Mimi yang langsung disambut dan dihabiskan saat itu juga. Pertanyaan dalam benak masih sama. Apa yang terjadi pada dia hingga nekad datang ke sini? "Kebetulan, aku lagi sarapan, nih. Kamu juga sarapan, ya?" kataku kemudian. Mimi menggelengkan kepala. Dia menolak tawaranku, dan hanya melihat makanan dengan tatapa
"Yudis, Ra.""Hah?!"Aku kaget luar biasa saat Mimi mengatakan siapa pria yang sudah menodai dirinya. Yudistira. Dia salah satu karyawan di restoran A Yusuf, dan teman kami. Memang, Yudis sudah menaruh hati sejak lama pada Mimi. Namun, sungguh aku tidak menyangka jika dia akan melakukan hal sekeji itu. Yudis yang aku kenal, dia pria baik, meskipun kadang jahil. "Yudistira?" Aku menyebut nama pria itu. Mimi mengangguk. Air matanya kembali bercucuran seiring dengan suara tangis yang terdengar memilukan hati. "Ya Allah ...." Bibirku hanya mampu menyebut nama Tuhan, saking tidak percaya dan kaget yang luar biasa. Otakku tak mampu berpikir lagi. Rasanya buntu, tidak bisa mengambil langkah untuk Mimi kedepannya. "Ra, aku takut. Aku takut hamil, Raya," ujar Mimi dalam sedunya. "Mi, aku gak tahu harus melakukan apa sekarang, tapi ... apa yang kamu katakan ini sungguh-sungguh?""Kamu menganggapku berbohong?" ujar Mimi dengan mata tajam nan basah. "Aku sampai kabur ke sini untuk menghin
"Raya." Aku menyebut namaku, lalu hening. Napas kutarik panjang mengumpulkan kekuatan untuk bicara membahas hal yang bukan masalah sepele. Seperti paham akan situasi yang tidak mengenakkan ini, terdengar olehku Yudis pamit menjauh pada seseorang yang bersamanya. Entah siapa. Mungkin teman kerjanya. "Apa kabar, Ra?" tanyanya kemudian. "Baik. Aku sangat baik. Gimana denganmu?" "Buruk," jawabnya, "aku telah melakukan kesalahan besar."Aku tersenyum kecil. Yudis memang mengerti ke mana arah pembicaraan kami, meskipun aku belum membahasnya. "Kesalahan apa?" Aku terus bertanya untuk memancing dia bicara. Lagi-lagi Yudis mengembuskan napas begitu berat, lalu hening kembali. Lidahku pun sulit untuk menanyakan kenapa dia melakukan hal bodoh itu pada sahabatku? Mengingat wajah Mimi, air mataku tiba-tiba turun begitu saja. Bagaimana bisa, kejadian yang menyedihkan itu terjadi pada dia? "Ra, apa tujuanmu meneleponku untuk menanyakan tentang Mimi?" Yudis kembali berucap."Kenapa?" Hanya
"Aku tahu dari dulu kalau si Yudis suka sama aku, tapi aku gak mau nanggepin. Aku gak mau nikah sama orang kampung, aku mau punya suami orang kota yang kaya."Aku beristighfar berulang kali mendengar kejujuran Mimi. Demi Tuhan, aku tidak menyangka dia punya keinginan seperti itu. Bukan ingin meremehkan, tapi jodoh itu urusan Tuhan. Kita tidak bisa mengatur keputusan yang sudah Allah tetapkan. Termasuk jodoh tersebut. "Mimi, istighfar kamu, Mi. Kenapa kamu jadi orang yang berambisi?" kataku, setelah sekian menit diam menatapnya. "Salah, aku punya keinginan seperti itu?" "Tidak," jawabku, "tapi, sekarang keadaannya sudah beda. Kamu, sudah dinodai pria lain. Dan dia mau, loh tanggung jawab. Kamu harus menikah dengan Yudis.""Tidak, Raya! Jangan paksa aku menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Aku akan menuntut si Yudis biar dia dipenjara. Laki-laki bejad seperti dia harus mendekam di sel tahanan." Aku menggelengkan kepala dengan mata tak teralihkan dari Mimi yang berucap dengan
"Mi ...?" ucapku penuh tanda tanya. Sedangkan orang yang kupanggil diam tidak lagi berkata. Yudis yang mendengar permintaan Mimi, langsung menyanggupi. Dia berjanji akan mempersiapkan semuanya, termasuk meminta izin kepada orang tua Mimi dan ibu bapaknya juga. Tidak berapa lama sambungan telepon pun diputus Mimi, lalu temanku itu membuang napas berat seolah-olah mengeluarkan beban yang teramat berat. "Kamu yakin dengan keputusan ini?" tanyaku kemudian."Yakin," jawabnya, "bukannya tadi dia janji akan menceraikan aku dan bersedia dipenjara? Aku hanya butuh status yang jelas untuk menentukan nasibku, Ra."Ya, aku mengerti sekarang. Hanya untuk sebuah status yang jelas. Aku sama sekali tidak menyanggah dan membiarkan Mimi dengan keputusannya. Tidak ada hakku mengatur dia, hanya bisa memberikan saran saja. "Aku akan pulang besok, Ra. Maaf, ya jika aku datang dengan kesedihan, bukan membawa kabar gembira." Mimi kembali bicara. Aku tersenyum, lalu menggenggam tangannya. "Tidak usah
"Kamu baik-baik saja, Ra?" Mimi bertanya saat kami keluar dari toko pakaian. "Kenapa dengan aku? Apa aku terlihat menyedihkan?" Mimi mengembuskan napas kasar. "Sepertinya begitu. Dari tadi kamu diam terus, bengong, gak banyak ngomong seperti tadi kita ke sini."Kali ini akulah yang mengembuskan napas kasar. Bayangan Mas Raffi yang tadi berada di toko sepatu dengan seorang perempuan, masih sangat jelas dalam benakku. Entah siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Mas Raffi, tapi yang jelas aku cemburu. Suami yang kusangkakan bekerja, ternyata tidak sesibuk itu. Dia punya waktu untuk menemani orang lain belanja, tapi tidak ada waktu untuk bermain dengan putranya. "Tuh, kan bengong lagi. Kenapa?" Mimi kembali bertanya. "Tidak ada apa-apa, Mi. Sekarang kita pulang, ya? Sudah sore juga, nih," kataku kemudian. "Iya, Ra. Nanti suamimu dan mertuamu keburu pulang. Entar kamu dimarahi, lagi." "Mertuaku gak ada, Mi. Mereka sedang di luar kota. Dan Mas Raffi ... entahlah, mungkin dia g