Justin menghela napasnya dengan pelan. 'Bersikaplah masa bodoh, Justin. Buang rasa itu jika elo menginginkan Selena. Nggak ada cewek yang bisa menerima cowok brengsek kayak elo kalau bukan Selena. Elo harus ingat kata-kata Selena. Cukup jadikan Selena satu-satunya di hati elo, dan dia akan mencintai elo dengan setulus hatinya.'
Justin akan belajar. Melupakan nasib Diandra, masa bodoh dengan nasib perempuan itu. Justin tidak ingin kehilangan Selena. Ia harus mencari cara agar bisa mendapatkan hati perempuan itu, meyakinkan dia jika hanya Selena yang ada di hatinya. Walau tidak akan mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Doni baru tiba di Malang setelah hampir lima jam lamanya mereka menunggu kedatangannya.
"Pak Kevin!" panggilnya dengan napas yang tersengal.
Selena segera mengadahkan wajahnya kala mendengar suara yang tak asing di telinganya. Matanya membola dengan sempurna kala melihat pria yang ada di depannya itu
Hingga lima menit kemudian. Ketukan pintu kembali terdengar. Selena yang baru saja selesai packing lantas membuka pintu itu tanpa ada rasa was-was seperti tadi.Namun, matanya membola kala melihat orang yang sudah mengetuk pintu tadi. Lantas perempuan itu segera menutupnya kembali. Tapi, tenaga pria itu lebih kuat darinya.Orang itu tak lain adalah Doni. Ia masuk ke dalam kamar dan menguncinya."Kamu tidak bisa ke mana-mana, Selena. Teriak sesuka hatimu. Karena tak akan ada yang bisa menolongmu!" ucapnya kemudian tersenyum menyeringai bak iblis.Selena menggelengkan kepalanya dengan cepat. Napasnya memburu serta jantungnya berdetak dengan cepat. Kakinya gemetar, ia meraba-raba tempat tidurnya mencari ponselnya."Ngapain kamu ke sini! Keluar atau aku akan melaporkan kamu ke polisi!" teriak Selena ketakutan.Doni tersenyum campah. "Kalaupun dilaporkan, asal sudah menikmati tubuhmu yang sempat batal waktu itu.""Brengsek!! Kamu tidak akan pernah bisa menyentuhku, Doni."Selena semakin ke
Justin mengusap wajahnya dengan kasar. Menundukkan kepalanya di atas setir mobil kemudian mengembuskan napas dengan panjang.Hingga lima menit kemudian. Justin melajukan mobilnya setelah merenungi keadaan yang sedang terjadi padanya. Menutup hati untuk Diandra, mencoba mencintai Selena seorang.Bayangan Diandra belum sepenuhnya hilang. Tapi, menginginkan Selena menjadi miliknya.Hingga dering ponsel memecahkan lamunan pria itu. Dengan cepat Justin menerimanya."Di mana, lo?""Di jalan. Kenapa?""Gue lagi di rumah elo. Buruan pulang!""Mau ngapain, nyuruh gue buru-buru pulang? Mau nyari ide lagi, biar Selena mau gue nikahi?""Udah buruan, jangan banyak omong!"Kevin menutup panggilan tersebut secara sepihak. Hingga membuat Justin berdecak pelan.Sampai di rumah. Justin melangkahkan kakinya dengan malas dan masuk ke dalam."Muka elo asem bener. Kenapa sih? Putus, sama Selena?" Kevin langsung melemparkan pertanyaan kepada Justin yang dari Malang sudah ingin bertanya.Justin mengembuskan
Di dalam kamar mandi, Selena terus bergumam sambil menatap wajahnya di cermin. Mengusap wajahnya dengan pelan kemudian mengembuskan napas dengan panjang."Aku tidak pernah membiarkan rasa itu semakin tumbuh. Pak Justin lah yang membuatku semakin mencintainya. Tapi, dia licik. Tidak mau melepas Bu Diandra, tapi sudah membuka hati untukku." Selena menyunggingkan bibirnya.Hingga lima menit lamanya. Selena baru keluar dari kamar mandi dan segera mengenakan pakaian sehari-hari. Bukan pakaian kerja lantaran tidak jadi pergi ke kantor.Ia kembali menatap ponselnya. Masih tidak ada juga kabar dari Justin. Selena mengembuskan napas dengan pelan. "Masa, harus aku yang chat dia duluan. Hari ini kan lagi libur. Atau ... modus tanya ke Pak Kevin aja, yaa."Selena jadi bingung sendiri. Yang katanya akan berusaha untuk melupakan, nyatanya merasa kehilangan karena tidak ada kabar dari Justin, pria yang berhasil mengobrak-abrik hatinya.Selena menggigit jarinya de
“Kondisi Pak Justin masih kritis, Pak. Dokter Handoko sedang rapat bersama dokter lainnya. Jam sepuluh pagi baru selesai,” jawab Andrian kemudian.Antony memejamkan matanya sekejap kemudian menatap Justin di balik kaca tembok. “Kenapa suka sekali kamu menabrakan diri, Justin. Apa yang terjadi pada otak kamu itu.” Antony geleng-geleng kepala.“Selena. Apa yang terjadi dengan Justin? Tahun lalu, dia kecelakaan karena patah hati. Sekarang, saya yakin dia juga sedang patah hati,” kata Rosita bertanya kepada Selena.“Justin pernah bicara pada saya. Katanya dia ingin menikahimu. Apa kamu menolaknya?” tanyanya kembali.Selena melepaskan pelukan itu dengan pelan. Kemudian mengusap air mata yang jatuh membasahi pipinya.“Maaf, Bu. Saya memang menolak ajakan Pak Justin untuk menikah dengannya. Tapi, bukan tanpa sebab saya menolaknya.” Selena tengah menjelaskan alasan ia menolak Justin.
Giandra paham dengan ucapan Andrian. Ia juga tak ingin Diandra bertemu kembali dengan Justin. Bisa berantakan rencana mereka yang sengaja memisahkan Diandra dan Justin."Diandra menolak tinggal di London, Andrian. Kalau aku memaksanya, yang ada di curiga. Mungkin kami pindah kota saja. Bagaimana?" Giandra memberi usul.Andrian mengendikan bahunya. "Kalau kalian pindah kota, bukankah tetap sama, akan membuat Diandra curiga?""Iya juga sih. Terus, kita harus gimana? Memangnya mereka belum mau menikah?"Andrian menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Selena tidak akan mau menikah dengan Justin jika di hati pria itu masih ada nama Diandra."Giandra lantas terkekeh pelan. "Harusnya mereka menikah dulu. Aku yakin, setelah mereka tinggal serumah, rasa cinta itu akan semakin kuat. Mereka akan saling mencintai. Walau memang harus menerima kenyataan dulu. Lama-lama juga pasti akan terbiasa dan akhirnya lupa."Setelah itu, hanya akan kebahagiaan yang me
Mencari tahu jika perempuan itu memang sibuk dengan pekerjaan di kantor. Bukan sibuk mencari pacar ataupun calon suami.Rosita menghela napas kasar. “Pikirkan kesehatan kamu, Justin. Jantung kamu masih bengkak. Luka dalam kamu belum sembuh betul. Jangan mikirin Selena terus. Dia masih jadi sekretaris kamu!”Justin menoleh dengan pelan pada sang mama. “Dia memang masih jadi sekretaris aku. Tapi, kalau dia nyari pacar, gimana?”“Yaa terserah dia lah, Justin. Gimana sih!”Justin menghela napas jengah. “Tapi aku gak rela kalau Selena punya pacar, Ma!” Justin menjambak rambutnya dengan pelan.Rosita menatap sang anak dengan lekat-lekat. “Kalau gak rela, kenapa memilih menyimpan dua nama perempuan di hati kamu?”Justin terdiam. Pertanyaan Rosita berhasil membuat Justin mematung. Lantas perempuan paruh baya itu tersenyum miring.“Justin. Kalau memang mencintai Selena, buang pe
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Selena tengah menunggu seseorang yang mengajaknya bertemu dengannya malam ini. Orang yang diduga adalah teman dekat Selena, oleh Justin.Namun, nyatanya Selena bertemu dengan Rosita. Mereka sengaja mengelabui Justin agar pria itu cepat sadar atas sikapnya yang tidak bisa sinkron itu."Maaf ya, datangnya telat. Hasil pemeriksaan kondisi jantung Justin baru keluar. Makanya saya bicara dulu sama Dokter Handoko," kata Rosita sembari duduk di depan Selena.Perempuan itu mengulas senyumnya. "Tidak apa-apa, Bu. Lalu, bagaimana dengan kondisi jantungnya? Baik-baik saja, kan?"Rosita tersenyum tipis. "Masih bermasalah, Selena. Aliran darahnya belum begitu lancar. Kondisi Justin benar-benar buruk. Setelah jantungnya bisa memompa darah dengan lancar, masih harus diperiksa dengan rutin." Rosita menjelaskan kondisi Justin."Astaga. Parah sekali kondisi Pak Justin. Berapa lama lagi perkiraan Pak Justin harus dirawat, Bu?" tanya Selena penuh khawatir."Satu sa
Perempuan itu lantas mengulas senyumnya. “Oh gitu.”“Selena. Saya serius!” kata Justin kembali.Selena menghela napasnya dengan panjang. “Serius? Serius dalam hal apa?" tanya Selena dengan santai.Justin menatap Selena dengan lekat. "Apa maksud ucapan kamu tadi? Kamu ... calon istri saya? Kenapa kamu bicara seperti itu pada saya?" Justin melemparkan beberapa pertanyaan kepada Selena.Perempuan itu lantas menghela napasnya dengan panjang. Ia menatap lekat wajah Justin yang tengah menatapnya dengan serius. Kemudian menerbitkan senyumnya sembari menyingkap anak rambutnya dengan pelan."Anda tidak mau bertanya dengan siapa saya bertemu?" tanya Selena dengan lembut.Namun, yang dilakukan oleh Justin malah membuang muka. Tak mengiyakan pertanyaan Selena ataupun menunggu Selena memberi tahu sendiri. Daripada sakit hati mendengarnya, lebih baik tak perlu tahu. Begitu pikirnya.Selena kembali mengembuskan napas kasar. "Pak Justin marah, sama saya? Maaf deh kalau gitu."Pria itu melirik tajam k
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa