Mencari tahu jika perempuan itu memang sibuk dengan pekerjaan di kantor. Bukan sibuk mencari pacar ataupun calon suami.
Rosita menghela napas kasar. “Pikirkan kesehatan kamu, Justin. Jantung kamu masih bengkak. Luka dalam kamu belum sembuh betul. Jangan mikirin Selena terus. Dia masih jadi sekretaris kamu!”
Justin menoleh dengan pelan pada sang mama. “Dia memang masih jadi sekretaris aku. Tapi, kalau dia nyari pacar, gimana?”
“Yaa terserah dia lah, Justin. Gimana sih!”
Justin menghela napas jengah. “Tapi aku gak rela kalau Selena punya pacar, Ma!” Justin menjambak rambutnya dengan pelan.
Rosita menatap sang anak dengan lekat-lekat. “Kalau gak rela, kenapa memilih menyimpan dua nama perempuan di hati kamu?”
Justin terdiam. Pertanyaan Rosita berhasil membuat Justin mematung. Lantas perempuan paruh baya itu tersenyum miring.
“Justin. Kalau memang mencintai Selena, buang pe
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Selena tengah menunggu seseorang yang mengajaknya bertemu dengannya malam ini. Orang yang diduga adalah teman dekat Selena, oleh Justin.Namun, nyatanya Selena bertemu dengan Rosita. Mereka sengaja mengelabui Justin agar pria itu cepat sadar atas sikapnya yang tidak bisa sinkron itu."Maaf ya, datangnya telat. Hasil pemeriksaan kondisi jantung Justin baru keluar. Makanya saya bicara dulu sama Dokter Handoko," kata Rosita sembari duduk di depan Selena.Perempuan itu mengulas senyumnya. "Tidak apa-apa, Bu. Lalu, bagaimana dengan kondisi jantungnya? Baik-baik saja, kan?"Rosita tersenyum tipis. "Masih bermasalah, Selena. Aliran darahnya belum begitu lancar. Kondisi Justin benar-benar buruk. Setelah jantungnya bisa memompa darah dengan lancar, masih harus diperiksa dengan rutin." Rosita menjelaskan kondisi Justin."Astaga. Parah sekali kondisi Pak Justin. Berapa lama lagi perkiraan Pak Justin harus dirawat, Bu?" tanya Selena penuh khawatir."Satu sa
Perempuan itu lantas mengulas senyumnya. “Oh gitu.”“Selena. Saya serius!” kata Justin kembali.Selena menghela napasnya dengan panjang. “Serius? Serius dalam hal apa?" tanya Selena dengan santai.Justin menatap Selena dengan lekat. "Apa maksud ucapan kamu tadi? Kamu ... calon istri saya? Kenapa kamu bicara seperti itu pada saya?" Justin melemparkan beberapa pertanyaan kepada Selena.Perempuan itu lantas menghela napasnya dengan panjang. Ia menatap lekat wajah Justin yang tengah menatapnya dengan serius. Kemudian menerbitkan senyumnya sembari menyingkap anak rambutnya dengan pelan."Anda tidak mau bertanya dengan siapa saya bertemu?" tanya Selena dengan lembut.Namun, yang dilakukan oleh Justin malah membuang muka. Tak mengiyakan pertanyaan Selena ataupun menunggu Selena memberi tahu sendiri. Daripada sakit hati mendengarnya, lebih baik tak perlu tahu. Begitu pikirnya.Selena kembali mengembuskan napas kasar. "Pak Justin marah, sama saya? Maaf deh kalau gitu."Pria itu melirik tajam k
Selena mengulas senyum. "Hanya ini dan itu. Sedikit agak tak percaya kalau Anda sudah sadar. Tapi, semua manusia pasti akan berubah jika memang ada niat dalam hatinya."Justin meraih tangan Selena. Mengusapinya dengan lembut dan menatap Selena dengan amat dalam. "Saya sudah katakan pada kamu. Berkat penolakan kamu, akhirnya saya mau berubah. Sampai akhirnya saya tahu, kesetiaan itu mahal harganya. So, kalau kamu masih tidak percaya, jangan dulu mau menerima lamaran saya. Because ... ini baru ajakan saja. Saya akan melamar kamu di tempat yang lebih indah."Tidak etis rasanya melamar perempuan istimewa seperti kamu di tempat seperti ini. Saya ingin, ungkapan hati saya yang paling dalam itu diungkapkan di tempat yang tidak bisa kita lupakan. Masih ada waktu untuk berpikir ulang. Meyakinkan diri dan percaya, jika saya benar-benar sudah tak punya dua rasa lagi."**Satu minggu berlalu.Dengan segala kehidupan yang dilalui oleh Selena, melihat sendiri keyakinan dan kesungguhan Justin bahwa
Sesampainya di rumah sakit, Selena segera masuk ke dalam ruang Dokter Handoko yang di sana sudah ada orang tua Justin—Rosita dan Antony.“Ada apa, Ma, Pa?” tanya Selena dengan jantung yang berdetak tak karuan.Rosita menggenggam tangan Selena dengan erat. Mata yang sudah bengkak lantaran menangis itu menatap dengan lekat wajah Selena.“Ma, ada apa?” tanya Selena sekali lagi. “Ada apa dengan kondisi Mas Justin?” Kemudian, Selena menoleh kepada Dokter Handoko. Menuntut agar pria paruh baya itu menjawab pertanyaannya.“Pascaoperasi dua hari yang lalu, kondisi Justin semakin menurun. Kami nyatakan, operasinya gagal karena tidak ada perubahan pada kondisi Justin.”Mendengar penuturan Dokter Handoko, air mata Selena kembali berlinang. Apakah dia sedang bercanda? Tapi, bukan saat yang tepat untuk bercanda tentang kondisi seseorang.Selena menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia tak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya.“Nggak! Dokter bohong, kan?” ucap Selena menyangkal penuturan Dokter
Di kediaman Kevin, Jasmine tengah membahas kondisi Justin semakin hari semakin memburuk.Kevin menghela napasnya dengan pelan. “Umur manusia memang hanya Tuhan yang tahu, saya nggak bisa bilang Justin akan meninggal kalau sampai berbulan-bulan tidak mendapat pendonor.“Tapi, yang namanya jantungnya sudah tidak berfungsi dengan baik, cepat atau lambat pasti akan menemukan ajalnya.”Dada Jasmine begitu sesak mendengarnya. Ia merasa kasihan kepada Selena yang terus berupaya untuk tabah melihat kondisi Justin saat ini. Ditambah, mereka sudah merencanakan pernikahan secepatnya.Kemudian mengembuskan napas dengan panjang. "Mas?" panggilnya kembali."Saya tidak tahu, Jasmine. Mencari pendonor tidak segampang mencari jagung di pasar. Memangnya saya tidak kepikiran karena kondisi Justin? Saya juga memikirkan. Tapi, apa yang bisa kita lakukan, heum? Kamu mau nyuruh saya kasih jantung saya ke Justin? Mau jadi janda kembang, huh?"Jasmine lantas menyunggingkan bibirnya. "Isshh! Bukan itu maksud s
Andrian menghela napasnya dengan panjang, setelahnya menatap Selena dengan lekat dan menerbitkan senyumnya dengan tipis.“Sayang semuanya. Kamu, Diandra, dan Justin. Kalian adalah orang-orang yang saya sayangi. Pak Kevin dan Jasmine juga. Pada Arshi dan Gita, jangan ditanya. Mereka sudah saya anggap seperti anak sendiri.“Bahkan, Pak Kevin sering cemburu karena kedekatan saya dengan Gita dan Arshi. Lebih dekat dan sayang pada saya ketimbang pada papanya sendiri.”Andrian menjelaskan begitu detailnya menjawab pertanyaan Selena tentang dirinya yang menyayangi siapa. Andrian yang tak pernah jatuh cinta pun tidak bisa membedakan mana sayang terhadap perempuan dan saudara. Semuanya sama menurutnya.Selena pun mengangguk paham. “Begitu rupanya. Mungkin, Pak Andrian akan lebih menyayangi keponakan Anda kelak. Anak dari Bu Diandra.”Pria itu mengangguk sembari mengulas senyumnya. “Tentu saja. Pada anak dari bos saya saja sayang, pada keponakan sendiri harusnya lebih sayang.”“Iya, Pak. By the
Selena lantas menceritakan alasan Justin dibawa ke ruang ICU lagi. Jasmine terdiam. Keluar-masuk ruang ICU membuatnya menjadi khawatir.“Napas Pak Justin sudah dibantu oleh alat, Bu. Jika orang tua Pak Justin ingin melepaskannya dan berserah diri, Pak Justin akan pergi untuk selamanya,” tutur Selena memberi tahu kembali.“Apa?” Jasmine lantas terkejut mendengarnya.Selena mengangguk. “Jantungnya bener-bener udah nggak berfungsi dengan normal. Pak Justin … Pak Justin masih hidup juga karena dibantu oleh alat. Bukan kritis lagi. Melainkan sudah di antara hidup dan mati.”"Ma. Maaf, ya aku baru datang jenguk Mama lagi. Datang hanya untuk curhat tentang kehidupan aku yang sekarang lagi semrawut banget."Selena tengah mengunjungi makam sang mama di tempat pemakaman umum untuk mencurahkan isi hatinya yang kini terbalut luka lantaran menunggu Justin yang hingga kini belum juga sadarkan diri."Mama. Aku sudah menemukan orang yang tepat dan mungkin akan menjagaku dengan baik suatu saat nanti.
Selena geleng-geleng kepala melihat Jasmine yang mengelak kalau dirinya sedang hamil. "Ya sudah, ya sudah. Baik hamil ataupun tidak, kalau ada bapaknya, tidak perlu panik. Kecuali bapaknya gak ada."Kemudian, perempuan itu menarik tangan Jasmine menuju kantin karena ia pun merasakan lapar lantaran dari pagi hingga kini perutnya belum terisi apa pun."Proses penyembuhan jantung yang baru dioperasi itu sekitar tiga sampai enam minggu. Jadi, setelah Pak Justin sadarkan diri, belum bisa langsung naik ke pelaminan," tutur Jasmine sembari mengisi perutnya yang sudah keroncongan itu.Selena manggut-manggut. "Begitu rupanya. Gak apa-apa, Bu. Yang penting Pak Justin sembuh aja dulu. Saya kangen suara lembut Pak Justin. Kalau lagi ngomong serius itu suaranya lembuuuut banget."Jasmine mengangguk. "Iya, Mbak. Pak Justin kalau ngomong serius emang, kayak lagi gombal."Selena mengangguk. "Iya, bener banget. Padahal aslinya nggak. Hanya saja, dia terlalu dibawa perasaan. Makanya kalau ngomong udah
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa