Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
“Ma-maksud Bapak apa ya? Saya tidak mengerti apa yang Bapak bicarakan,” katanya tergagap. “Da-dari mana Bapak tahu ... jika ayah saya memiliki utang?" tanya Jasmine lagi dengan semua kebingungan yang ada pada dirinya."Menikah denganku, dan kamu tidak perlu memikirkan utang orang tuamu lagi. Perlu kamu ketahui, aku tidak akan mengatakannya lagi. Jadi, buat keputusanmu sekarang juga!" Meski sedang duduk berhadapan dan terhalang sebuah meja, Jasmine bisa membayangkan postur tegap dan atletis lelaki tampan di hadapannya itu. Sepasang mata elang, hidung mancung, dan bibir tanpa senyum itu menguarkan aura yang sulit diabaikan.Tapi, bukan ini yang dibayangkan Jasmine ketika menerima tawaran interview kerja. Baru beberapa menit duduk di hadapan calon bosnya ini, bukannya mendapat pertanyaan seputar pengalaman kerja, dia malah dilamar! Apakah dia sudah gila?Kevin Prakarsa—pemimpin perusahaan retail Diamond Group yang sudah berdiri sejak dua puluh tahun lamanya—melipat tangan dengan angkuh.
“Baiklah kalau begitu. Saya terima tawaran itu,” ucapnya sembari mengambil cek di depannya.Kevin mengangguk pelan. “Sore ini juga, kita ke rumah orang tua kamu. Tunggu saya di loby. Kita berangkat sama-sama.”Jasmine menganggukkan kepalanya. “Baik, Pak.”Kevin menatap dengan lekat wajah ayu perempuan itu kemudian menghela napasnya dengan pelan.“Jika keberatan, tidak perlu diterima. Silakan keluar dari ruangan saya, dan jangan kembali ke sini lagi!”Jasmine segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Nggak kok, Pak. Saya tidak keberatan. Malahan saya ingin mengucapkan terima kasih sama Bapak.“Laki-laki tampan dan kaya seperti Bapak, siapa yang mau menolaknya. Hanya orang gila yang menolaknya,” ucapnya kemudian meringis pelan sambil menggaruk rambut yang tak gatal itu.Ucapan Jasmine nyatanya berbanding terbalik dengan perasaannya kini. Tapi, ia sudah menyetujui permintaan Kevin, juga tidak ingin keluar dari kantor tersebut.Mengingat betapa susahnya mencari pekerjaan di Jakarta, m
Hingga tiba waktunya di mana Jasmine dan Kevin menikah. Di hotel mewah dengan dekorasi pernikahan yang luar biasa megahnya. Mengundang ribuan tamu baik dari kalangan menengah sampai kalangan atas.Semua diundang tanpa terkecuali. Jangan lupakan Desi dan suami barunya. Karena memang ia ingin memberi tahu jika dirinya akan menikah dengan seorang gadis yang sudah dia beli dengan melunasi utang orang tuanya.Tak ada satu pun yang tahu tentang kebenaran itu. Sebisa mungkin, Kevin akan menyembunyikannya. Sebab semua orang tahu jika dia dan Jasmine memang memiliki status hubungan sampai akhirnya menikah.Kini, waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Waktu akad nikah akan segera dimulai. Calon kedua mempelai juga sudah ada di tempat dan siap melaksanakan ijab kabu di jam yang sudah ditentukan."Saya terima nikah dan kawinnya, Jasmine Mariana binti Dedi Kurnia. Dengan seperangkat sholat dan mas kawin dibayar tunai!""Bagaimana saksi, sah?""Sah!" ucap kedua saksi tersebut.Jasmine sudah resm
Setelah Kevin sudah memasuki kamar mandi, Jasmine memilih untuk segera mengganti pakaiannya. Mencari pakaian yang layak untuk ia kenakan. Mengganti gaun pengantin yang masih menempel di tubuhnya."Aku belum siap. Aku belum siap. Aku harus mencari cara supaya malam ini Pak Kevin tidak menyentuhku. Kenapa harus menyiapkan diri? Bukankah dia hanya menginginkan pernikahan ini."Jasmine hampir putus asa. Ia yang kini tengah mencari cara itu terus memikirkan agar tubuhnya tidak dijamah oleh suaminya itu. Khawatir akan ucapan Andrian. Bisa kalap dan hilang kendali.Kemudian, perempuan itu memilih untuk pura-pura tidur. Sebab waktu pun sudah menunjuk angka sebelas malam. Sudah waktunya istirahat. Ditambah kondisi tubuhnya yang lelah akibat menerima tamu undang yang banyak itu.Ternyata, bukan karena pura-pura tidur. Justru Jasmine terlelap dalam beberapa menit setelah menutup matanya. Rupanya, lelah itu mengantarkan dirinya untuk membawanya ke alam mimpi.Lima belas menit kemudian. Kevin kelu
Ucapan Kevin selalu berhasil membuat jantung Jasmine berirama dengan cepat. Selalu memberikan kode pada perempuan itu. Seolah Kevin akan menyentuhnya kelak. Sampai kapan, ia pun tak tahu.'Kenapa harus menginginkan itu, jika tidak akan perasaan cinta untuk saya, Pak. Lebih baik kita bersandiwara saja. Saya lebih menyukai itu. Walau harus berakting setiap hari, seolah kita saling mencintai.' Jasmine berucap dalam hati.Rasanya tak sanggup membayangkan bagaimana jadinya, bercinta tanpa ada rasa cinta di dalamnya. Ia masih gadis, butuh pengalaman yang bisa membuatnya tertarik untuk melakukannya lagi.Tapi, jika Kevin terus bersikap dingin padanya. Bahkan saat melakukan hubungan tersebut, sudah pasti Jasmine akan merasa sia-sia. Kesuciannya seperti direnggut dengan paksa oleh Kevin. Padahal, pria itu adalah suaminya.Begitulah yang dipikirkan Jasmine. Hingga kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Pergi ke rumah lama milik Desi dan Kevin. Sebelum akhirnya Kevin memutuskan untuk berpisah
Jasmine menelan saliva dengan susah payah. Ranti berhasil membuat Jasmine malu setengah mati. Sebab, saat Ranti berucap seperti itu, ia sembari memegang lehernya."Mama hanya bisa mendoakan agar kalian segera diberi momongan. Kasih adik untuk Arshi, cucu Mama satu-satunya."Karena Kevin memang anak tunggal. Menjadi pewaris tunggal perusahaan milik sang papa, Edward. Namun, banyaknya harta yang Kevin miliki, tidak bisa mengembalikan Kevin seperti dulu lagi.Menjadi dingin setelah perceraian dengan istri tercinta, tak ada satu pun orang yang bisa mencairkan hati Kevin yang sudah mengeras. Ranti hanya berharap kepada Jasmine, agar perempuan itu bisa mencairkan dinginnya sikap Kevin."Kalau begitu, kami pamit pulang. Sudah malam. Besok, sudah kembali kerja. Bulan madunya ditunda. Karena di kantor lagi banyak kerjaan," ucap Kevin. Padahal, dia memang tidak berniat pergi bulan madu dengan Jasmine.Setibanya di rumah. Waktu sudah menunjuk anga tujuh malam."Mas. Mau makan malam dengan apa?"
"Terima kasih.”“Justin. Sahabat pemilik perusahaan ini. Kevin Prakarsa." Justin mengenalkan diri pada Jasmine.Lalu, perempuan itu menerima jabatan tangan itu. "Jasmine." Dan ia tidak memberi tahu, jika dirinya adalah istrinya Kevin."Lagi apa di sini, Pak? Saya baru lihat soalnya.""Ingin memberi ucapan selamat ke Kevin. Karena akhirnya dia menikah. Kemarin, aku tidak bisa datang karena lagi di luar negeri."Jasmine manggut-manggut. "Begitu rupanya. Pak Kevinnya lagi di luar. Ada meeting katanya. Tunggu aja, Pak."Justin mengangguk. "Ya. Menunggu dengan perempuan cantik seperti kamu, tidak jadi masalah."Jasmine hanya mengulas senyumnya, sambil menggaruk rambutnya itu. 'Dewi dan Rani lama banget sih. Nyesel aku, nggak ikut aja sama mereka. Pak Kevin bakal marah nggak, yaa. Aahh ... mana mungkin. Apa hak dia marah-marah. Cemburu? Imposibble.'Namun, nyatanya. Di seberang sana. Andrian tengah menghubungi Kevin. Memberi tahu, jika Jasmine tengah berbincang dengan pria."Bilang pada Jus
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa