Setelah Kevin sudah memasuki kamar mandi, Jasmine memilih untuk segera mengganti pakaiannya. Mencari pakaian yang layak untuk ia kenakan. Mengganti gaun pengantin yang masih menempel di tubuhnya.
"Aku belum siap. Aku belum siap. Aku harus mencari cara supaya malam ini Pak Kevin tidak menyentuhku. Kenapa harus menyiapkan diri? Bukankah dia hanya menginginkan pernikahan ini."
Jasmine hampir putus asa. Ia yang kini tengah mencari cara itu terus memikirkan agar tubuhnya tidak dijamah oleh suaminya itu. Khawatir akan ucapan Andrian. Bisa kalap dan hilang kendali.
Kemudian, perempuan itu memilih untuk pura-pura tidur. Sebab waktu pun sudah menunjuk angka sebelas malam. Sudah waktunya istirahat. Ditambah kondisi tubuhnya yang lelah akibat menerima tamu undang yang banyak itu.
Ternyata, bukan karena pura-pura tidur. Justru Jasmine terlelap dalam beberapa menit setelah menutup matanya. Rupanya, lelah itu mengantarkan dirinya untuk membawanya ke alam mimpi.
Lima belas menit kemudian. Kevin keluar dari kamar mandi. Sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk, pria itu menatap Jasmine yang sudah berbalut selimut. Matanya tertutup, tidur sangat lelap.
Kevin mengulas senyum tipis. "Tidur rupanya. Ya sudah. Tunggu besok saja. Biarkan dia istirahat terlebih dahulu. Mempersiapkan dan menyetujui semua yang aku perintahkan padanya," gumamnya kemudian.
"Semoga apa yang saya harapkan dari kamu, bisa kamu laksanakan dengan baik. Jangan jadikan pernikahan sebagai balas utang budi. Karena saya sudah melunasi utang orang tua kamu. Melainkan, jadilah istri yang baik untuk saya."
Kevin sangat berharap penuh jika pernikahan keduanya ini abadi, langgeng dan tentunya menemukan kebahagiaan sebagaimana mestinya. Ia sangat berharap jika Jasmine akan menurut, melayaninya dengan baik, serta menjadi istri yang bisa ia banggakan.
**
Pagi hari.
Jasmine terbangun. Namun, tubuhnya merasa tertindih oleh beban yang sangat berat. Akhirnya, mata itu menoleh ke arah samping. Kevin, sang suami rupanya tengah memeluknya. Entah sengaja atau memang karena tidur yang terlalu lelap.
Jasmine terkejut. Namun, masih ia tahan. Tak mungkin pula jika ia harus berteriak. Kevin tidak melukainya, ataupun sedang mengerjainya. Mata yang selalu sayu itu masih tertutup rapat.
'Kalau dilihat dari dekat, wajah Pak Kevin jauh lebih tampan. Wajah asli manusia bisa dilihat saat ia tertidur. Dan inilah wajah asli Pak Kevin.' Jasmine berucap dalam hati.
'Laki-laki tampan seperti Pak Kevin harus mengalami kepahitan dalam rumah tangganya. Dikhianati oleh istri tercintanya adalah sebuah kesakitan yang luar biasa, yang Pak Kevin alami dulu.
'Semoga saya bisa menjadi istri yang baik untuk Pak Kevin. Walau tak akan ada ruang di hati Pak Kevin untuk saya. Karena, saya yakin ... Pak Kevin masih menyimpan nama mama dari anak semata wayang kalian.'
Jasmine tak akan berharap penuh. Akan adanya cinta di dalam rumah tangganya kini. Ia hanya perlu memerankan statusnya sebagai istri Kevin. Menggantikan posisi Desi yang sudah berhasil meruntuhkan bahtera rumah tangga.
Tok tok tok!
"Papa ... Mama ... udah bangun belum?" teriak Arshi di luar sana.
Jasmine terkesiap. Dengan sangat hati-hati, perempuan itu memindahkan tangan serta kaki yang sedari tadi menindihnya. Ingin membukakan pintu untuk Arshi yang tengah menunggu mereka keluar.
"Ada apa, Sayang?" tanya Jasmine sembari mengusap rambut anak tirinya itu.
"Mama ... ayok sarapan bareng!" kata Arshi antusias.
Jasmine terdiam. Dirinya dipanggil mama oleh Arshi menimbulkan perasaan yang bercabang. Bahagia dan takut akan Desi yang tidak bisa menerima itu semua.
"Euum ... Arshi. Diminta siapa, panggil saya dengan sebutan mama?" tanya Jasmine dengan lembut.
"Kata Papa. Sekarang, Arshi kan udah punya dua mama dan dua papa. Sama papa baru juga Arshi manggil papa." Anak berusia enam tahun itu sangat polos.
Hati Jasmine mencelos. Ada rasa kasihan pada anak sekecil itu harus merasakan jadi anak broken home. Tapi, Arshi tak pernah kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Mereka sangat menyayangi Arshi.
"Oh begitu. Mau sarapan bareng ya, Sayang? Papanya belum bangun. Gimana dong?"
"Ya udah. Biar Arshi aja yang bangunin," ucapnya dengan semangat.
"Eehh ... jangan, Nak. Nanti papanya marah." Jasmine mencoba menghalau Arshi yang ingin membangunkan papanya itu.
"Gak akan, Ma. Papa tidak pernah marah kalau Arshi bangunin. Kalau Papa marah, Arshi akan pulang dan tinggal sama Mama aja."
Jasmine meringis pelan. "Ya sudah. Kalau begitu, silakan bangunkan papanya," ucapnya dengan pelan.
Lalu, anak kecil itu berlari menuju sang papa yang masih tertidur di atas tempat tidur. Menggoyangkan tubuh sang papa sambil memanggil, membangunkannya.
"Papa, ayo bangun. Kita sarapan bareng," kata Arshi sambil menggoyangkan lengan Kevin.
Kemudian, pria itu membuka matanya setelah bising dari mulut manis sang anak yang terus membangunkannya. "Heung?" Suara seraknya hanya berucap itu saja.
"Ayo sarapan, Papa. Udah lama banget Arshi nggak pernah sarapan bareng Papa," kata Arshi kemudian duduk di perut sang papa.
Lalu, Kevin bangun dari tidurnya. Mencium kening sang anak sembari mengulas senyumnya. "Oke, Sayang. Kita sarapan bareng. Arshi tunggu di meja makan. Papa mau mandi dulu."
Arshi mengangguk. Bergegas keluar dari kamar sang papa sambil melambaikan tangannya pada Jasmine, yang masih berdiri di ambang pintu kamar. Kemudian, menghampiri Kevin yang masih duduk di tepi kasur.
"Mau saya siapkan air hangat, Pak?" tanya Jasmine pelan.
Kevin menggeleng. "Saya tidak pernah mandi pakai air hangat. Poin penting yang harus kamu ingat!" ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. "Ada beberapa poin yang harus kamu lakukan setelah menjadi istri saya. Kita bicarakan setelah mengantar Arshi pulang."
"Baik, Pak. Tapi, kalau boleh tahu ... kenapa Arshi dibawa pulang ke mamanya? Maaf, jika saya sudah lancang menanyakan itu pada Bapak," ucapnya dengan hati-hati. Ia sangat menjaga ucapannya agar tidak membuat Kevin marah padanya.
"Hak asuh anak jatuh ke tangan mamanya. Tidak diambil hak sebelum Arshi beranjak dewasa. Setelah dewasa, biarkan Arshi yang memilih." Kemudian, pria itu berlalu pergi menuju kamar mandi. Membersihkan diri terlebih dahulu sebelum sarapan bersama anak dan istri barunya.
Setelah keduanya selesai mandi. Pasangan pengantin baru itu mengayunkan langkahnya menuju meja makan. Menghampiri Arshi yang dengan setianya menunggu orang tuanya yang akhirnya hadir di sana.
"Maaf ya, sudah menunggu lama," kata Jasmine kepada Arshi.
Arshi manggut-manggut. "Nggak apa-apa, Mama. Arshi selalu diajarkan bersabar menunggu oleh Papa."
Jasmine mengulum senyumnya. Lalu, melirik ke arah Kevin yang hanya menerbitkan senyum lebar untuk anaknya itu. Tak ada respon apa pun darinya. Benar-benar membuat Jasmine harus membiasakan diri dengan sikap dingin suaminya itu.
"Hari ini Arshi pulang. Besok sekolah soalnya. Nanti, Mama Jasmine akan jemput kamu kalau Papa sudah izin sama Mama Desi untuk ketemu sama kamu," kata Kevin berbicara kepada anaknya itu.
"Iya, Papa. Sama Papa kan, jemputnya? Masa ... Mama Jasmine sendirian?"
Kevin tersenyum tipis. Lalu, melirik Jasmine sebentar, sebelum akhirnya dia menganggukkan kepalanya. "Iya, Sayang. Nanti Papa dan Mama Jasmine akan jemput kamu bareng-bareng. Tapi, kalau Papa lagi sibuk di kantor, nggak apa-apa kan, dijemput sama Mama Jasmine aja?"
Arshi yang penurut itu lantas menganggukkan kepalanya. "Siap, Papa," ucapnya dengan riang.
Sehingga membuat Jasmine spontan mengusap rambut anak kecil itu. Tak lama tersadar. Tindakannya terlalu berlebihan. Sehingga membuatnya menjadi tak enak hati kepada Kevin dan Arshi. Seolah-olah dia sangat memerankan statusnya yang kini menjadi mama sambung Arshi.
"Maaf, Pak. Saya hanya spontan saja. Karena gemas," ucapnya dengan pelan.
Kevin mengangguk. "Biasakan diri kamu untuk hal itu juga. Anggap Arshi sebagai anak kamu. Sampai nanti, kita bisa memberikan adik untuk Arshi."
Ucapan Kevin selalu berhasil membuat jantung Jasmine berirama dengan cepat. Selalu memberikan kode pada perempuan itu. Seolah Kevin akan menyentuhnya kelak. Sampai kapan, ia pun tak tahu.'Kenapa harus menginginkan itu, jika tidak akan perasaan cinta untuk saya, Pak. Lebih baik kita bersandiwara saja. Saya lebih menyukai itu. Walau harus berakting setiap hari, seolah kita saling mencintai.' Jasmine berucap dalam hati.Rasanya tak sanggup membayangkan bagaimana jadinya, bercinta tanpa ada rasa cinta di dalamnya. Ia masih gadis, butuh pengalaman yang bisa membuatnya tertarik untuk melakukannya lagi.Tapi, jika Kevin terus bersikap dingin padanya. Bahkan saat melakukan hubungan tersebut, sudah pasti Jasmine akan merasa sia-sia. Kesuciannya seperti direnggut dengan paksa oleh Kevin. Padahal, pria itu adalah suaminya.Begitulah yang dipikirkan Jasmine. Hingga kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Pergi ke rumah lama milik Desi dan Kevin. Sebelum akhirnya Kevin memutuskan untuk berpisah
Jasmine menelan saliva dengan susah payah. Ranti berhasil membuat Jasmine malu setengah mati. Sebab, saat Ranti berucap seperti itu, ia sembari memegang lehernya."Mama hanya bisa mendoakan agar kalian segera diberi momongan. Kasih adik untuk Arshi, cucu Mama satu-satunya."Karena Kevin memang anak tunggal. Menjadi pewaris tunggal perusahaan milik sang papa, Edward. Namun, banyaknya harta yang Kevin miliki, tidak bisa mengembalikan Kevin seperti dulu lagi.Menjadi dingin setelah perceraian dengan istri tercinta, tak ada satu pun orang yang bisa mencairkan hati Kevin yang sudah mengeras. Ranti hanya berharap kepada Jasmine, agar perempuan itu bisa mencairkan dinginnya sikap Kevin."Kalau begitu, kami pamit pulang. Sudah malam. Besok, sudah kembali kerja. Bulan madunya ditunda. Karena di kantor lagi banyak kerjaan," ucap Kevin. Padahal, dia memang tidak berniat pergi bulan madu dengan Jasmine.Setibanya di rumah. Waktu sudah menunjuk anga tujuh malam."Mas. Mau makan malam dengan apa?"
"Terima kasih.”“Justin. Sahabat pemilik perusahaan ini. Kevin Prakarsa." Justin mengenalkan diri pada Jasmine.Lalu, perempuan itu menerima jabatan tangan itu. "Jasmine." Dan ia tidak memberi tahu, jika dirinya adalah istrinya Kevin."Lagi apa di sini, Pak? Saya baru lihat soalnya.""Ingin memberi ucapan selamat ke Kevin. Karena akhirnya dia menikah. Kemarin, aku tidak bisa datang karena lagi di luar negeri."Jasmine manggut-manggut. "Begitu rupanya. Pak Kevinnya lagi di luar. Ada meeting katanya. Tunggu aja, Pak."Justin mengangguk. "Ya. Menunggu dengan perempuan cantik seperti kamu, tidak jadi masalah."Jasmine hanya mengulas senyumnya, sambil menggaruk rambutnya itu. 'Dewi dan Rani lama banget sih. Nyesel aku, nggak ikut aja sama mereka. Pak Kevin bakal marah nggak, yaa. Aahh ... mana mungkin. Apa hak dia marah-marah. Cemburu? Imposibble.'Namun, nyatanya. Di seberang sana. Andrian tengah menghubungi Kevin. Memberi tahu, jika Jasmine tengah berbincang dengan pria."Bilang pada Jus
Lagi, pria itu kembali menoreh luka di hati Jasmine. Hingga perempuan itu mengadahkan wajahnya. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Turun dengan derasnya."Sehina itu, saya di mata Mas Kevin? Harus banget, mengatai saya dengan sebutan murahan?" ucapnya sembari mengusap air mata di pipinya."Karena kamu sudah membuat saya marah, Jasmine. Jangan ulangi lagi! Kamu tidak tahu, bagaimana perasaan saya saat melihat kamu ngobrol dengan laki-laki lain."Kevin keluar dari kamar tersebut. Meninggalkan banyak luka kepada Jasmine.Braakk!Kevin menutup pintu dengan kasar. Sehingga Jasmine yang ada di dalam terperanjat kaget."Astagfirullah. Kuatkan hati hamba, ya Allah," lirih Jasmine sambil memegang dadanya.Terasa sesak karena ucapan menohok yang dilontarkan oleh Kevin padanya. Usia pernikahan yang belum ada satu minggu itu sudah berhasil menoreh luka di hati Jasmine."Gimana kalau pernikahan ini udah satu bulan. Mungkin tubuhku akan kurus kering, karena harus bersabar dan terus bersab
Bertepatan dengan lampu lalu lintas berwarna merah, Jasmine bertanya tentang hati pada suaminya itu. Kevin memandang lama perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu. Lalu, mengulas senyumnya sembari menunduk.Kembali menatap Jasmine. "Ruang di hati saya? Sudah dua tahun ini ruang hati saya kosong. Jadi, ada lowongan untuk kamu bisa masuk ke dalamnya. Berusahalah. Agar bisa menjadi wanita satu-satunya yang ada di dalam hati saya."Jasmine terdiam. Ia menyimpulkan jika Kevin belum mencintainya. Belum menyimpan namanya di hati pria itu.Hingga tiba di sebuah mall. Mereka memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu. Sebelum akhirnya mereka belanja kebutuhan yang ingin dibeli.Seperti biasanya. Ketika sedang makan, Kevin tak akan mengeluarkan suaranya. Pun dengan Jasmine. Hanya melirik sekilas suaminya itu, lalu kembali fokus pada makanannya."Kalau mau nambah, pesan lagi aja. Jangan malu-malu. Saya suami kamu. Tidak perlu jaga image. Bahkan, suatu saat nanti saya bisa melihat keseluruh
"Jasmine. Sudah tiba di apotek." Kevin melepaskan genggamannya."Oh iya, Mas. Saya masuk dulu." Jasmine pun masuk ke dalam apotek. Beruntung, pria itu tidak mengikutinya ke dalam. Jadi, dia bisa membeli pil pengaman itu."Semoga tidak terjadi sesuatu padaku. Semoga Mas Kevin tidak mengetahui hal ini," gumamnya sambil menunggu pelayan tersebut mengambil pesanannya.Tiba di rumah. Perempuan itu segera masuk ke kamar. Sekalian meminum satu butir pil tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan panjang.Ia menyimpan pil tersebut di dalam tas kerjanya. Agar tidak ketahuan oleh Kevin. Perempuan itu benar-benar khawatir Kevin mengetahuinya, lalu marah padanya."Jasmine?" panggil Kevin kembali.Jasmine menoleh. Lalu, menutup tas tersebut dan menyimpannya di atas nakas. "Kenapa, Mas?" ucapnya sembari menghampiri Kevin.Pria itu menatap lembut wajah Jasmine. Menatapnya dengan teduh. Tidak ada raut datar, atau emosi. Lalu, tangan itu menarik tengkuk Jasmine.Meraup bibir itu dengan lembut. Hingga
Jasmine menelan saliva dengan pelan. Sungguh, ini bukan mau Jasmine. Bahkan, dia ingin memberikan keturunan kepada suaminya itu. Walau cinta itu belum hadir dalam diri Kevin, tapi dia sudah lebih mencintai suaminya itu.Jasmine terperangkap dalam pernikahan itu. Dia mencintai suaminya. Karena baginya, itu hal yang wajar. Hanya bisa menunggu sampai Kevin bisa membalas cintanya."Sa-saya ... kemarin malam saya bertemu dengan Mbak Desi di toilet. Dia mengancam saya untuk jangan pernah memberikan Mas Kevin keturunan. Cukup Arshi saja anak satu-satunya Mas Kevin," ucapnya lirih. Akhirnya, pertahanan dia untuk tidak menangis pun gugur. Air mata itu berlinang.Kevin memijat keningnya. "Desi? Kenapa dia melarang kamu untuk memberikan anak kepada saya? Bahkan, Arshi saja sangat senang jika diberi adik."Jasmine menggeleng pelan. Sambil terisak dan sesenggukan. "Mbak Desi ... mengancam akan membunuh keluarga saya, juga janin yang akan saya kandung nanti, Mas. Ma-maaf, Mas. Bukannya saya mau men
Tiba di kantor.Jasmine melangkahkan kakinya dengan santai menuju ruang kerjanya. Di mana ia akan menjadi karyawan biasa jika sudah berada di lingkungan perusahaan. Bukan istri Kevin yang bisa seenaknya kerja, semaunya dia. Jasmine akan tetap profesional pada jabatan yang ia pegang."Jasmine. Pasti hari ini kamu tidak diantar oleh Pak Kevin. Karena aku lihat tadi dia ada di sekolah anaknya, sedang ngobrol sama mantan bininya juga," kata Dewi menghampiri Jasmine.Lantas perempuan itu menoleh dengan cepat ke arah Dewi. 'Lho. Bukannya Mas Kevin mau ke Bekasi. Kok malah ke sekolahnya Arshi. Merasa dibohogin nggak sih, aku?'"Ngobrol apa, Dew?" tanya Jasmine dengan pelan.Dewi mengendikan bahunya. "Nanti aku tanya ke tanteku. Kebetulan dia wali kelasnya si Arshi. Kan, aku lihat mereka karena abis nganterin tanteku."Jasmine tersenyum tipis. 'Semoga aja bukan membahas soal ancaman itu. Jangan sampai.' Jasmine tidak ingin Kevin memberi tahu Desi apalagi memperingati perempuan itu."Saranku,
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa