Kevin melirik tajam pada Andrian yang sudah mengatakan dirinya dan Jasmine sedang sariawan."Arshi mau makan siang sama apa?" tanya Jasmine kemudian."Seperti biasa, Mama. Mama kenapa sih, nggak pernah ikut makan siang bareng lagi sama Arshi? Mama lagi marahan ya, sama Papa?"Seolah memiliki batin yang kuat, anak kecil itu bertanya tepat dengan situasi saat ini. Di mana Jasmine memang sedang marah kepada Kevin.Jasmine lantas mengusapi rambut Arshi. "Mama lagi sakit, Sayang. Makanya tidak bisa ikut makan siang bareng. Sekarang baru mendingan." Jasmine beralasan."Oh gitu. Sakit kenapa, Ma? Dedek bayinya nakal, yaa? Udah pengen keluar ya, dedek bayinya?"Jasmine kembali mengulas senyumnya. "Nggak kok. Bukan karena dedek bayi. Dedek bayi mah baik. Nggak pernah jahatin Mama. Sama seperti Arshi."Arshi mengulas senyumnya. "Oh gituu. Udah gak sabar, pengen lihat dedek bayi. Pengen gendong. Pengen main bareng-bareng."Jasmine tersenyum tipis mendengarnya. Begitu terharu dirinya mendengar uc
Di kediaman Desi.Perempuan itu tengah duduk sambil menjambak rambutnya. Tengah memikirkan strategi untuk menghancurkan rumah tangga mantan suaminya itu.Kemudian, perempuan itu menghubungi Justin. Memberi tahu, jika Jasmine dan Kevin tidak berpisah.“Di mana, lo?” tanya Desi kemudian.“Di rumah. Napa?”“Elo tahu, rencana kita gagal! Mas Kevin dan Jasmine tidak pisah, tidak cerai!”“Apa?! Kenapa begitu? Harusnya mereka udah pisah, Desi. Jasmine pernah bilang sama gue, kalau dia nggak akan pernah maafin Kevin kalau si Kevin main serong di belakang dia.”Justin tampak panik mendengar ucapan Desi, yang mengatakan jika Jasmine dan Kevin tidak berpisah. Walaupun sebenarnya Jasmine sudah keluar dari rumah Kevin.“Mana gue tahu, Justin. Elo punya cara lain, nggak? Biar mereka benar-benar pisah.”Terdengar helaan napas Justin di seberang sana. “Ada! Gue culik si Jasmine.”Desi memutar bola matanya dengan malas. “Kalau elo culik Jasmine, yang ada elo masuk penjara, begok!”“Haiiss! Tahu lah, g
Arshi merengek. Ingin Jasmine kembali pulang ke rumah itu. Arshi yang tak tahu apa pun itu jelas tak paham kenapa Jasmine tinggal di rumah mertuanya.Kevin akhirnya memiliki ide cemerlang. Ia akan menjadikan Arshi sebagai senjata untuk membawa Jasmine pulang. Pria itu lantas mengulas senyumnya.“Hari ini kita ke rumah Omma, yaa. Tapi, pulang sekolah Arshi. Sekarang, Arshi berangkat sekolah dulu. Papa antar Arshi ke sekolah. Papa mau mandi dulu.”Arshi mengangguk antusias. “Oke, Papa. Arshi tunggu di meja makan ya, Pa.”“Iya, Sayang.”Anak kecil itu keluar dari kamar Kevin. Sementara Kevin pergi ke kamar mandi. Semangatnya menggebu untuk menjemput Jasmine pulang. Karena jika Arshi yang memintanya, Jasmine tidak akan bisa menolaknya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi. Jasmine sedang berjalan sendirian di sekitar taman kota dekat rumah mertuanya.Menunggu jajanan lewat. Apa pun akan ia beli. Mulai dari pentol, cilok, hingga ketoprak. Jasmine yang doyan makan semakin menjadi setelah
Oleh Justin, pria itu semakin menggila. Tangannya semakin menggenggam dengan erat tangan Jasmine. Menatap Jasmine dengan amat sangat lekat. Membuat perempuan itu semakin ketakutan."Apa kamu bilang? Coba bilang sekali lagi. Aku tidak mendengarnya," bisik Justin tepat di telinga Jasmine.Perempuan itu masih berusaha untuk tenang. Ia yang tidak membawa ponsel pun bingung harus menghubungi siapa. Seperti sedang dalam penjara, bersama orang yang amat ingin Jasmine hindari."Lepaskan tangan saya, Pak. Sakit!" lirih Jasmine kemudian.Namun, pria itu menghiraukannya. Matanya semakin menatap tajam wajah Jasmine yang sudah menampakkan ketakutan. Kemudian tersenyum menyeringai.Lalu, pria itu meraup bibir Jasmine dengan ganas. Membuat perempuan itu memekik sambil melepaskan tangan Justin. Dengan semua tenaga yang ia miliki, Jasmine berhasil mendorong tubuh Justin.Plak!Tamparan keras meluncur sempurna pada pipi Justin. "Keterlaluan kamu, Justin!" pekik Jasmine kemudian berlari menghindari Just
Kevin mengangguk dalam pelukan itu. “Sangat menyayangi kamu. Sangat mencintai kamu.”“Kalau begitu, lakukan apa yang saya perintahkan tadi, oke? Saya udah lelah, Mas. Ketidaktegasan Mas Kevin membuat saya selalu berpikir, kalau Mas Kevin belum move on dengan masa lalu Mas.”Kevin melepaskan pelukan itu. Memegang kedua sisian wajah Jasmine, kemudian menghela napasnya dengan panjang.Lalu, menganggukkan kepalanya. “Baik, Jasmine. Selama ini, saya selalu berusaha jadi suami yang baik untuk kamu.“Merubah semua yang pernah saya lakukan di masa lalu. Kesalahan saya di masa lalu, sampai membuat rumah tangga saya hancur.“Saya juga tidak mau gagal lagi dalam membina rumah tangga. Maafkan saya, karena selama ini sikap saya tidak pernah tegas pada masa lalu saya.“Saya ingin memperbaiki semuanya. Berikan satu kesempatan lagi untuk saya merubah segalanya.”Jasmine mengangguk. “Ia, Mas. Jangan kecewakan saya lagi ya, Mas. Jangan mudah kejebak. Jangan minum lagi. Pokoknya semuanya jangan. Cuma bo
Kevin menggelengkan kepalanya sembari mengulas senyum. “Tidak, Jasmine. Kamu ingat kan, tadi Diandra bicara apa. Justin langsung kabur setelah Diandra menghubungi saya.”Jasmine manggut-manggut. “Syukurlah kalau begitu. Saya bisa istirahat dengan nyenyak.”Jasmine menoleh kembali pada Kevin. “Tapi, Mas. Pak Justin terlibat dalam jebakan Mas Kevin, bukan?”Kevin mengendikan bahunya. “Belum tahu, Jasmine. Kamu sudah bertanya tadi. Saya akan menanyakannya nanti. Sambil ngopi. Terus, kasih sianida di dalamnya.”Jasmine memukul lengan Kevin. “Dasar!”Kevin mengusapi wajah Jasmine sembari tersenyum. “Bercanda. Tidurlah, sudah malam. Saya juga ingin istirahat dengan tenang.”Jasmine mengangguk. Ia sudah tahu dari raut wajah Kevin. Tampak lelah, kusut dan pucat. Walaupun tidurnya masih sore dan bangun siang, tidak membuat Kevin puas.Lantaran pikirannya terus tertuju pada Jasmine. Mencari cara agar Jasmine kembali pulang ke rumahnya, memaafkan semua yang terjadi di minggu yang lalu.**Sement
Pagi hari telah tiba. Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi.Di rumah sakit, Jasmine tengah menunggu Kevin membayar biaya administrasi dan menebus obat untuk Jasmine.Lima menit kemudian, Kevin kembali. "Yuk! Sudah selesai. Nanti, diminum obatnya. Biar kondisi anak kita sehat lagi."Jasmine menganggukkan kepalanya. "Mas?" panggilnya kemudian."Heum? Kenapa, Sayang?"Kedua pasangan itu kembali menunjukkan sisi romantisnya."Pengen mangga muda. Dicocol pake sambel gula merah kayaknya enak, Mas." Jasmine berucap sambil mengecap.Kevin menelan air liurnya yang hampir jatuh kala mendengar permintaan Jasmine. "Tapi, Jasmine. Ini masih pagi, lho. Agak siang aja ya, belinya.""Belinya sekarang aja, Mas. Makannya nanti siang. Nanti lupa, kalau ditunda-tunda.""Ya sudah. Kita cari mangga mudanya dulu, okay. Sambalnya biar Bibi saja yang buatkan."Jasmine menganggukkan kepalanya dengan antusias. "Mas Kevin juga nanti makan, yaa!"Kevin terdiam sejenak. Ia yang tak pernah memakan rujak seperti
Kevin hanya geleng-geleng kepala kala mendengar ucapan Jasmine mengenai perjodohan anaknya dengan gadis kecil tadi. Lalu, masuk ke dalam mobil secara bersamaan."Mas Kevin nggak setuju ya, saya jodohkan Arshi sama Shara? Karena dia orang biasa, dan ibunya seorang wanita bayaran?" tanya Jasmine setelah masuk ke dalam mobil.Kevin terkekeh pelan. "Bukan. Masih jauh perjalanannya, Sayang. Usia Arshi baru enam tahun. Baru sekolah dasar. Belum SMP dan SMA. Kemudian kuliah. Masih jauh untuk menemukan jodoh."Jasmine menggaruk rambutnya. "Hanya berandai-andai aja, Mas. Kalau nggak jodoh yaa udah. Mau gimana lagi.""Iya, Sayang." Kevin kemudian menoleh pada Arshi yang duduk di belakang."Arshi, sudah lama berteman dengan Shara? Kok Papa baru lihat?"Arshi mengadahkan wajahnya. "Shara jarang masuk sekolah, Pa. Katanya, mamanya jarang pulang. Dia nggak ada yang anter sekolah.""Oh. Papanya pasti udah gak ada, yaa?""Ya iyalah, Mas Kevin. Kalau ada, nggak bakalan dia jadi perempuan bayaran. Gima
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa