Home / Romansa / Menikah Paksaan / Mana mungkin

Share

Mana mungkin

.Setelah bersiap Suly pergi ketempat kerjanya, begitupun Citra. Kedua langkahnya bergegas memasuki sebuah perusahaan tempatnya bekerja sebagai OB, membawa sebuah amplop besar berisi surat permohonan resign.

Selepas bertemu dengan atasannya. Citra langsung memberikan amplop yang dia bawa. "Maaf Pak. Saya mau menyerahkan ini, sebagai permohonan saya resign."

Atasan Citra menatap heran. "Kenapa kamu mengundurkan diri apa kamu sudah kaya dan tidak membutuhkan uang lagi, sehingga kau mau berhenti?" Menatap datar dan memainkan ballpoint di jarinya.

Citra menunduk. "Bu-bukan Pak saya hanya ingin mengurus Nenek saya di rumah," elak Citra agak gugup.

"Benarkah?" mengerenyitkan dahinya.

"Iya. Pak," sahut Citra lagi, menunduk dalam.

"Saya ... tidak akan semudah itu mengijinkan kamu resign, baiknya kamu pikirkan lagi. Siapa tau nanti kamu berubah pikiran dan ingin bekerja kembali. Sekarang saya ijinkan kamu libur dalam satu minggu ini. Nanti kamu bisa masuk lagi," ujar atasan Citra.

"Baiklah Pak terima kasih." Citra berpamitan dan berlalu dari tempat tersebut, karena ada janji bertemu seseorang di suatu tempat. Citra bergegas mempercepat langkahnya.

Setelah sampai di tempat yang sudah di janjikan.

"Assalamu'alaikum, maaf lama menunggu?" ucap Citra pada seorang pemuda yang sudah menunggunya.

Si pemuda menoleh ke arah Citra dan memberikan senyumnya. "Wa'alaikum salam, tidak apa-apa sudah biasa menunggu kok," semakin mengembangkan senyumnya.

"Hem ... bisa aja." Citra senyum samar! ia bingung harus memulai pembicaraan dari mana.

"Em ... Abang sudah lama menunggu?" tanya Citra melirik pemuda yang duduk di sebelahnya.

"Belum lama kok. Citra tidak bekerja kah hari ini?" balik nanya sembari melirik sekilas.

"Tidak, libur." Citra memandang lepas tempat sekitaran taman. Yang begitu indah, bunga-bunganya bermekaran dan berwarna-warni. Indah memang.

"Tumben, sudah banyak duit ya?" pria tersebut menatap heran.

"Iya lagi libur, istirahat dulu mau merawat nenek di rumah," elak Citra sambil menautkan jari jemarinya.

"Em ... Citra gak mengganggu Abang, kan?" sedikit ragu dan merasa gak enak.

"Tidak, lagi istirahat kok. Oya tumben mengajak Abang ketemuan di sini?" menatap penasaran ke arah Citra yang nampak kebingungan.

Citra senyum tipis. Namun masih bingung harus mulai dari mana agar pembicaraan akhirnya menuju ke arah yang dimaksud.

"Em ... ada yang ingin aku bicarakan." Citra menggigit bibir bawahnya, seakan ragu untuk mengatakan sesuatu yang ingin sekali di ucapkan.

Pria tersebut bernama Firman, dia berdiri menyilangkan tangan di dada dan menatap sendu ke arah Citra. "Katakanlah sama Abang."

"Euh." Citra menghela napas dalam-dalam, ingin bicara namun bibir terasa kelu untuk mengungkap kan perasaannya.

Firman menatap tajam. "Apa Citra sedang ada masalah, bicaralah." Sembari melirik jam yang ada di tangannya sekilas.

Helaan nafas Citra semakin berat, jantungnya semakin berdebar tiada menentu. "Citra mau menikah."

Firman terkejut serta menautkan kedua alisnya. "Kamu, kan tau. Abang masih butuh waktu. Abang masih ngumpulin uang buat nikah. Belum lagi buat biaya sekolah adik-adik." Firman Menatap sendu Citra yang menunduk dan meremas jemarinya sendiri.

"Aku mau nikah sama orang lain, dan itu kemauan keluarga Citra. Citra gak ada alasan lagi untuk bisa menolak. Sebab Abang yang Citra harapkan pun tak bisa membantu masalah yang Citra hadapi," ucapnya lirih dan suara yang bergetar.

"Apa, mau nikah sama orang. Siapa?" Firman menggenggam kedua bahu Citra, dan Citra menatap pilu dengan mata berkaca-kaca.

"Iya. Citra akan menikahi pria lain," akunya Citra, dan kembali menunduk menyeka air matanya yang terus menetes.

"Emang kamu punya masalah apa kalau boleh tau?" Firman duduk disebelah Citra.

Sebelum teruskan pembicaraan, lagi-lagi Citra hembuskan nafas kasar. "Abang, kan tau juga. Kalau nenek sakit-sakitan, bahkan pernah di operasi. Beberapa lama di rawat dan itu butuh biaya yang tidak sedikit, de-demi pengobatan nenek, tante menggadaikan rumah milik nenek yang satu-satunya itu. Aku gak tau cerita detailnya, yang pasti a-aku akan menikah sama pemilik rumah yang asalnya rumah kami," ujar Citra terbata-bata.

Firman termangu, ada rasa sedih sebab dirinya tak bisa membantu orang yang dia sayangi. Ada rasa marah karena Citra akan menikah dengan orang lain. Sementara dulu pernah terucap janji antara keduanya, bahwa satu saat nanti akan hidup bersama dalam biduk rumah tangga yang insyaAllah bahagia.

"Kenapa kamu baru cerita sekarang soal ini? kenapa harus menikah, tidak ada cara lain kah? gak harus menikah. Menyicil misalnya. Kita, kan bisa hadapi bersama," ujar Firman menyilangkan tangan di dada.

Citra menggeleng. "Sudah terlambat, semuanya tinggal menunggu waktu dan semuanya tengah di persiapkan."

Firman mendadak lemas, pandangannya kosong. Sesaat melihat Citra yang berusaha tegar mengusap air matanya. "Apa kamu tidak cinta lagi sama Abang, sehingga ingin meninggalkan Abang?" Menatap netra mata Citra sangat lekat.

"Apalah rasa yang aku miliki ini bila tanpa ujung, tak bertepi. Yang hanya mengisahkan penantian dan tak sedikit menimbulkan rasa lelah serta juga kecewa, kita saling mendoakan saja semoga kita mendapatkan bahagia. Dengan jalan kita masing-masing," lirih Citra.

"Abang, sangat--"

"Sudah lah Bang, jangan bahas apa pun lagi. Citra hanya memberi tahu saja, agar Abang tidak merasa di bohongi, itu saja." Citra memotong perkataan Firman.

Helaan nafas Firman begitu panjang dengan jelas terdengar, dan menghembuskan nya sangat lah kasar, tak tahu harus berkata apa lagi untuk mempertahankan rasa yang selama ini terpupuk dengan baik.

Citra melangkah jauh dari Firman menuju jalan raya, dengan gontai. Firman pun mengikuti dari belakang.

Dari jauh ada mobil terparkir, sepasang mata mengawasi Citra dan Firman. Dia lah Yusuf habis pertemuan dengan rekan kerjanya, tak sengaja melihat Citra tengah berbincang serius dengan seorang pria. Setelah melihat Citra naik angkutan umum, dan Firman berjalan kelainan arah. Baru lah Yusuf menjalankan lagi mobilnya.

Citra memutuskan langsung pulang ke rumah, khawatir nenek kambuh lagi sakitnya.

Selang beberapa puluh menit. Citra sampai rumah. "Nek Citra pulang," namun mendapati Bu Fatma sedang menunaikan sholat dzuhur di kamarnya.

Citra pergi ke dapur untuk mengambil minum, lalu masuk kamar mandi kebetulan dia belum melaksanakan sholat dzuhur. Citra masuk kamar yang terasa hening, mengelar sajadah, mengenakan mukena lantas menunaikan kewajibannya.

"Kau sudah pulang Citra ..." Sapa Bu Fatma setelah Citra selesai membaca doa.

Citra menoleh dengan senyum samar nya. "Iya Nek, gimana sudah agak baikan Nek sakitnya?"

"Nenek baik-baik aja Cit," ngeloyor ke dapur.

Sementara, Citra termangu tak percaya akan menikah dengan orang yang belum ia kenal. Ragu namun tak bisa apa-apa hanya menerima dengan ikhlas.

****

Suatu hari Citra sudah bersiap pergi dengan Suly. Sebab katanya hari ini akan piting pakaian pengantin dan semua sudah sedia di rumah Bu Habibah atau tuan Ikbal, makanya Citra dan Suly mau kesana ....

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status