.Setelah bersiap Suly pergi ketempat kerjanya, begitupun Citra. Kedua langkahnya bergegas memasuki sebuah perusahaan tempatnya bekerja sebagai OB, membawa sebuah amplop besar berisi surat permohonan resign.
Selepas bertemu dengan atasannya. Citra langsung memberikan amplop yang dia bawa. "Maaf Pak. Saya mau menyerahkan ini, sebagai permohonan saya resign."Atasan Citra menatap heran. "Kenapa kamu mengundurkan diri apa kamu sudah kaya dan tidak membutuhkan uang lagi, sehingga kau mau berhenti?" Menatap datar dan memainkan ballpoint di jarinya.Citra menunduk. "Bu-bukan Pak saya hanya ingin mengurus Nenek saya di rumah," elak Citra agak gugup."Benarkah?" mengerenyitkan dahinya."Iya. Pak," sahut Citra lagi, menunduk dalam."Saya ... tidak akan semudah itu mengijinkan kamu resign, baiknya kamu pikirkan lagi. Siapa tau nanti kamu berubah pikiran dan ingin bekerja kembali. Sekarang saya ijinkan kamu libur dalam satu minggu ini. Nanti kamu bisa masuk lagi," ujar atasan Citra."Baiklah Pak terima kasih." Citra berpamitan dan berlalu dari tempat tersebut, karena ada janji bertemu seseorang di suatu tempat. Citra bergegas mempercepat langkahnya.Setelah sampai di tempat yang sudah di janjikan."Assalamu'alaikum, maaf lama menunggu?" ucap Citra pada seorang pemuda yang sudah menunggunya.Si pemuda menoleh ke arah Citra dan memberikan senyumnya. "Wa'alaikum salam, tidak apa-apa sudah biasa menunggu kok," semakin mengembangkan senyumnya."Hem ... bisa aja." Citra senyum samar! ia bingung harus memulai pembicaraan dari mana."Em ... Abang sudah lama menunggu?" tanya Citra melirik pemuda yang duduk di sebelahnya."Belum lama kok. Citra tidak bekerja kah hari ini?" balik nanya sembari melirik sekilas."Tidak, libur." Citra memandang lepas tempat sekitaran taman. Yang begitu indah, bunga-bunganya bermekaran dan berwarna-warni. Indah memang."Tumben, sudah banyak duit ya?" pria tersebut menatap heran."Iya lagi libur, istirahat dulu mau merawat nenek di rumah," elak Citra sambil menautkan jari jemarinya."Em ... Citra gak mengganggu Abang, kan?" sedikit ragu dan merasa gak enak."Tidak, lagi istirahat kok. Oya tumben mengajak Abang ketemuan di sini?" menatap penasaran ke arah Citra yang nampak kebingungan.Citra senyum tipis. Namun masih bingung harus mulai dari mana agar pembicaraan akhirnya menuju ke arah yang dimaksud."Em ... ada yang ingin aku bicarakan." Citra menggigit bibir bawahnya, seakan ragu untuk mengatakan sesuatu yang ingin sekali di ucapkan.Pria tersebut bernama Firman, dia berdiri menyilangkan tangan di dada dan menatap sendu ke arah Citra. "Katakanlah sama Abang.""Euh." Citra menghela napas dalam-dalam, ingin bicara namun bibir terasa kelu untuk mengungkap kan perasaannya.Firman menatap tajam. "Apa Citra sedang ada masalah, bicaralah." Sembari melirik jam yang ada di tangannya sekilas.Helaan nafas Citra semakin berat, jantungnya semakin berdebar tiada menentu. "Citra mau menikah."Firman terkejut serta menautkan kedua alisnya. "Kamu, kan tau. Abang masih butuh waktu. Abang masih ngumpulin uang buat nikah. Belum lagi buat biaya sekolah adik-adik." Firman Menatap sendu Citra yang menunduk dan meremas jemarinya sendiri."Aku mau nikah sama orang lain, dan itu kemauan keluarga Citra. Citra gak ada alasan lagi untuk bisa menolak. Sebab Abang yang Citra harapkan pun tak bisa membantu masalah yang Citra hadapi," ucapnya lirih dan suara yang bergetar."Apa, mau nikah sama orang. Siapa?" Firman menggenggam kedua bahu Citra, dan Citra menatap pilu dengan mata berkaca-kaca."Iya. Citra akan menikahi pria lain," akunya Citra, dan kembali menunduk menyeka air matanya yang terus menetes."Emang kamu punya masalah apa kalau boleh tau?" Firman duduk disebelah Citra.Sebelum teruskan pembicaraan, lagi-lagi Citra hembuskan nafas kasar. "Abang, kan tau juga. Kalau nenek sakit-sakitan, bahkan pernah di operasi. Beberapa lama di rawat dan itu butuh biaya yang tidak sedikit, de-demi pengobatan nenek, tante menggadaikan rumah milik nenek yang satu-satunya itu. Aku gak tau cerita detailnya, yang pasti a-aku akan menikah sama pemilik rumah yang asalnya rumah kami," ujar Citra terbata-bata.Firman termangu, ada rasa sedih sebab dirinya tak bisa membantu orang yang dia sayangi. Ada rasa marah karena Citra akan menikah dengan orang lain. Sementara dulu pernah terucap janji antara keduanya, bahwa satu saat nanti akan hidup bersama dalam biduk rumah tangga yang insyaAllah bahagia."Kenapa kamu baru cerita sekarang soal ini? kenapa harus menikah, tidak ada cara lain kah? gak harus menikah. Menyicil misalnya. Kita, kan bisa hadapi bersama," ujar Firman menyilangkan tangan di dada.Citra menggeleng. "Sudah terlambat, semuanya tinggal menunggu waktu dan semuanya tengah di persiapkan."Firman mendadak lemas, pandangannya kosong. Sesaat melihat Citra yang berusaha tegar mengusap air matanya. "Apa kamu tidak cinta lagi sama Abang, sehingga ingin meninggalkan Abang?" Menatap netra mata Citra sangat lekat."Apalah rasa yang aku miliki ini bila tanpa ujung, tak bertepi. Yang hanya mengisahkan penantian dan tak sedikit menimbulkan rasa lelah serta juga kecewa, kita saling mendoakan saja semoga kita mendapatkan bahagia. Dengan jalan kita masing-masing," lirih Citra."Abang, sangat--""Sudah lah Bang, jangan bahas apa pun lagi. Citra hanya memberi tahu saja, agar Abang tidak merasa di bohongi, itu saja." Citra memotong perkataan Firman.Helaan nafas Firman begitu panjang dengan jelas terdengar, dan menghembuskan nya sangat lah kasar, tak tahu harus berkata apa lagi untuk mempertahankan rasa yang selama ini terpupuk dengan baik.Citra melangkah jauh dari Firman menuju jalan raya, dengan gontai. Firman pun mengikuti dari belakang.Dari jauh ada mobil terparkir, sepasang mata mengawasi Citra dan Firman. Dia lah Yusuf habis pertemuan dengan rekan kerjanya, tak sengaja melihat Citra tengah berbincang serius dengan seorang pria. Setelah melihat Citra naik angkutan umum, dan Firman berjalan kelainan arah. Baru lah Yusuf menjalankan lagi mobilnya.Citra memutuskan langsung pulang ke rumah, khawatir nenek kambuh lagi sakitnya.Selang beberapa puluh menit. Citra sampai rumah. "Nek Citra pulang," namun mendapati Bu Fatma sedang menunaikan sholat dzuhur di kamarnya.Citra pergi ke dapur untuk mengambil minum, lalu masuk kamar mandi kebetulan dia belum melaksanakan sholat dzuhur. Citra masuk kamar yang terasa hening, mengelar sajadah, mengenakan mukena lantas menunaikan kewajibannya."Kau sudah pulang Citra ..." Sapa Bu Fatma setelah Citra selesai membaca doa.Citra menoleh dengan senyum samar nya. "Iya Nek, gimana sudah agak baikan Nek sakitnya?""Nenek baik-baik aja Cit," ngeloyor ke dapur.Sementara, Citra termangu tak percaya akan menikah dengan orang yang belum ia kenal. Ragu namun tak bisa apa-apa hanya menerima dengan ikhlas.****Suatu hari Citra sudah bersiap pergi dengan Suly. Sebab katanya hari ini akan piting pakaian pengantin dan semua sudah sedia di rumah Bu Habibah atau tuan Ikbal, makanya Citra dan Suly mau kesana ....Bersambung."Nenek mau ikut gak? bersama kita?" tanya Citra menatap lembut Bu Fatma sembari memegangi tangannya yang sudah keriput."Tidak, biar Nenek di rumah saja, kalian saja yang berangkat ke sana dan titip salam buat orang yang ada di sana ya," lirih bu Fatma sembari mengusap pipi cucunya penuh kasih."Yok! berangkat sekarang, itu mobilnya sudah menunggu di jalan." Jelas Suly mengambil tasnya dan melangkah yang sebelumnya pamitan pada sang Ibu terlebih dahulu."Citra pergi dulu ya Nek, hati-hati di rumah," citra mencium punggung tangan bu Fatma kemudian bergegas mengejar langkah Tante nya, Suly."Silakan masuk Bu dan Nona?" supir membukakan pintu untuk keduanya."Apa? I-Ibu, saya Nona. Karena saya belum Ibu-ibu," ketusnya Suly menatap tidak suka pada sang supir yang menyebutnya ibu."Baik Bu, eh Nona," supir mengangguk dan menyilaukan kembali untuk masuk ke dalam mobil.Sembari duduk Suly menggerutu. "Emangnya saya tua banget apa, di panggil Ibu segala."Citra diam-diam, senyum-senyum sendiri
Dibalik wajah Suly yang kadang serius dan ceria. Tersimpan sendu dan duka, sebagai wanita normal Suly pun ingin seperti wanita lainnya yang hidup bahagia bersuami dan memiliki anak."Tante, sedang memikirkan apa? anteng saja! melamun ya, jangan melamun ... nanti anak ayam tetangga pada mati dan minta tanggung sama Tante." Citra sembari menepuk bahu Tantenya."Ah tidak, kau sangat cantik, apa lagi nanti kalau kau sudah di dandani, pasti sangat cantik. Tante ingin ... kamu bahagia, hidup terjamin dan berkecukupan. Jangan seperti hidup yang telah kita lewati, Kalau saja kau menikah dengan Firman, belum tentu. Lagian buktinya dia belum juga melamar kamu apa lagi menikahi," Suly berubah ketus, merasa geram mengingat Firman dan Citra berhubungan bukan baru sebentar.Citra merangkul bahu tantenya, memandangi dari balik cermin. "Citra juga ingin Tante hidup bahagia menemukan seseorang yang mencintai Tante, membahagiakan Tante. Jangan ngomongin orang ah.""Tante bukannya ngomongin orang, tapi .
Suly mengepalkan tangan. Matanya menatap tajam pria paruh baya yang masuk kedalam kamarnya tersebut.Kemudian Suly langkahkan kakinya keruang dimana Citra dan Habibah berada. Dengan hati yang sangat geram, merutuki dirinya sendiri kenapa ini sampai terjadi?"Kenapa? lama sekali Tante," tanya Citra sembari menatap dalam Tantenya yang baru saja masuk."Eh ... itu ... Tante sakit perut, iya sakit perut," Suly agak gugup. Pikirannya belum tenang, untuk menyembunyikan rasa gugupnya Suly pura-pura merapikan rambut sebahunya itu."Oh sakit perut. Citra kira kemana?" lalu citra mengalihkan pandangannya ke lain arah."Sakit perut, sebentar saya carikan obat di kotak ya?" Habibah langsung melengos mengambilkan obat."Ti- tidak usah," namun Habibah sudah pergi. "Huh ... " Suly menghela nafas panjang."Kenapa Tante? kaya orang gugup begitu, tidak ada apa-apa kan?" ucapnya citra dengan tatapan curiga."Ti-tidak, Tante baik-baik saja, kamu kenapa sih curiga amat? emangnya Tante menyembunyikan sesuat
Kini mereka sudah berkumpul melingkari meja makan kecuali Yusuf yang masih berada di kamarnya.Ketika makan mau di mulai. Yusuf barulah datang, berdiri nampak kebingungan mau duduk dimana? karena yang kosong itu disebelah nya Citra.Habibah menatap putranya. "Duduk sayang. Makannya baru mulai kok," titah Habibah menunjuk kursi sebelah Citra.Dengan terpaksa Yusuf pun duduk, mengambil piring dan menu kesukaannya. Tanpa melirik kanan kiri apa lagi calon istri yang duduk di sampingnya."Ya Allah, dia kah pria yang akan menikah dengan aku? dia begitu dingin mungkin menganggap aku tidak ada di sini," batin Citra membuang nafas kasar."Saya tidak perduli kamu ada atau tiada, jangan harap saya akan mencintaimu. Wanita sama saja bisanya mengkhianati," gerutu Yusuf dalam hati seraya menunduk dan mengunyah."Citra, tolong nasinya. Abang mau nambah," titah Habibah pada Citra.Citra pun mengambilkan nasi buat Yusuf, namun Yusuf berdiri dan melengos. Membuat Citra mengurungkan niatnya."Bu. Pak. Yu
Bu Fatma memeluk cucu satu-satunya itu dengan erat. Begitupun Citra membalas pelukan neneknya tersebut dengan mata berkaca-kaca."Nenek sehat terus ya, jangan sakit lagi. Citra pasti akan sering menjenguk Nenek," semakin mengeratkan pelukannya."Iya, insyaAllah Nenek akan sehat selalu. Citra jangan khawatir. Nenek di sini ada Tante yang akan menjaga Nenek.""Iya Nek, atau Nenek ikut Citra saja ya,?" menatap lekat wajah Bu Fatma yang sudah teramat tua."Tidak Citra, biar Nenek di sini saja. Ini rumah peninggalan kakek mu, Nenek tidak ingin meninggalkan rumah ini. Sekalipun jadi atas nama tuan Ikbal," bu Fatma mengusap pipinya yang basah.Rasanya berat jika harus meninggalkan rumah peninggalan suami almarhum. Terlalu banyak kenangan yang sulit di lupakan olehnya.Suly yang mendengar cerita Ibunya terharu, ikut meneteskan air mata. Kalau saja tidak terdesak oleh pengobatan Ibunya tidak mungkin rumah ini berpindah kepemilikan.Dan kini tuan Ikbal menawarkan, kalau mau rumah ini balik nama
Yusuf melenggang meninggalkan kamar tersebut. Dengan hati yang hancur dan berkeping, cinta yang dia pupuk sejak lama kini layu dan mengering. Rencana menikah dengan persiapan yang sedikit lagi rampung, harus gagal pula sebelum berlangsung. "Yusuf tunggu?" Rani bergegas turun dari tempat tidur dengan memeluk selimut hendak mengejar Yusuf. Namun tangannya di raih sama rekan lelaki itu. Sehingga Rani jatuh kedalam pelukan pria tersebut. "Sudah! jangan kau kejar dia lagi, kan sudah ada aku. Mari kita bersenang-senang lagi? melanjutkan yang tadi belum rampung," menyeringai di telinga Rani. Namun perasaan Rani menjadi kalut, kacau. Dan dia langsung meninggalkan pria itu. Dan pria yang bernama Lutfi itu membaringkan tubuh beralas tangan di bawah kepala! pikiran nya melayang menatapi langit-langit. Yusuf berjalan penuh amarah, dalam kepalanya penuh rasa kecewa yang teramat sangat. Orang yang selama ini dia percaya dan dia sayangi ternyata berselingkuh, mengkhianati kepercayaannya! selama in
Citra melangkahkan kakinya mengikuti nenek dan tantenya yang sudah duluan berjalan, di pintu. Citra berhenti dan memutar tubuhnya melihat kedalam rumah yang selama ini dia tinggali.Hari ini dia akan melepas masa lajangnya. Otomatis dia akan tinggal bersama suami dan tidak lagi tinggal di sini, di sudut matanya keluar buliran air bening yang jatuh ke pipinya yang mulus."Citra ... ayok siang nih, belum make up nya. Buruan?" lirih Suly kepada keponakannya yang tampak ragu-ragu untuk pergi.Citra menoleh ke arah sumber suara. Mengusap pipinya kemudian dengan basmallah Citra melangkahkan kedua kaki meninggalkan rumah masa kecilnya.Mobil jemputan sudah menunggu dari tadi, tanpa banyak pikir lagi Citra memasuki mobil tersebut. Lalu mobil pun bergerak berjalan cepat menuju kediaman tuan Ikbal.Waktu menunjukkan pukul 07.00 dan acaranya nanti sekitar jam 11.00 jadi masih banyak waktu untuk sang calon pengantin di make up. Di kediaman Ikbal sudah ramai dengan keluarga dan tamu undangan yang s
"Hem ... untung gak langsung membuka pintu," gumam Citra sambil menutup kepalanya dengan handuk. Membuka pintu hendak mengambil pakaian di dalam tas.Yusuf melirik langkah Citra yang keluar dari kamar mandi, lalu memalingkan lagi pandangannya ke lain tempat.Citra menunduk tak berani mengangkat kepalanya. Kemudian masuk kembali kedalam kamar mandi."Kenapa sih ini jantung rasanya tak karuan, berdebar begitu cepat?" Citra memegangi dadanya.Setelah berganti pakaian Citra keluar, menutup pintu perlahan. Lanjut menunaikan sholat isya sendiri, di lihatnya Yusuf memejamkan mata.Selepas sholat. Dia termenung, ini hari pertama di mana statusnya berubah menjadi seorang istri. Citra menarik nafas panjang, kembali melihat ke arah Yusuf yang tertidur ternyata masih mengenakan setelan yang tadi belum sempat ganti. Bahkan sepatu pun masih melekat di kakinya.Citra perlahan mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Dengan ragu Citra melepaskan sepatu Yusuf satu/satu kemudian di simpan pada tempatnya