Aufal dan Azwa tengah bersantai di ruang tengah untuk melepas penat. Hari ini sungguh melelahkan. Sehabis perjalanan jauh, keduanya langsung diberikan kejutan oleh teman-teman Aufal yang berasal dari kontrakan lama.
Mereka semua, laki-laki yang berjumlah sembilan orang itu, berkumpul menyambut kedatangan Aufal dengan suka cita karena sudah menganggap layaknya keluarga sendiri.
Aufal pun tidak menyangka mereka menyempatkan hadir dengan formasi lengkap ditengah-tengah kesibukan, bahkan ada yang rela menunda jadwal pulang kampungnya.
Ini benar-benar di luar rencana. Dia tidak tahu apapun tentang kejutan itu.
“Anggaplah buat menggantikan kami yang nggak bisa hadir di pernikahan kalian,” jawab salah satu dari mereka ketika ditanya oleh Aufal.
“Semua ini idenya Bang Andra. Kita, mah, cuma ngikut doang.”
Tidak banyak acara yang mereka adakan. Hanya makan-makan bersama, lalu dilanjutkan sesi perkenalan dengan Azwa. Mereka juga mengucapkan selamat serta memberikan kado pernikahan kepada sang pasutri.
Setelah itu habis dzuhur, barulah acara yang sebenarnya digelar, yakni syukuran dalam rangka pindah rumah dengan mengundang beberapa tetangga terdekat.
Kata orang tua, ketika akan menempati rumah baru wajib dilakukan syukuran dengan tujuan untuk keselamatan diri sekaligus sebagai bentuk penghormatan dan kirim doa kepada ‘penghuni terdahulu’.
Teman-teman Aufal tentunya membantu hingga acara selesai bahkan sampai ikut beres-beres.
“Kamu lelah banget, ya, Dek?” tanya Aufal melihat wajah istrinya yang tampak lelah. Maklum, sejak tiba di sini mereka tak mendapatkan waktu istirahat sama sekali.
“Maaf, ya, bikin kamu capek. Sini, Mas pijitin.” Dia meraih kaki Azwa untuk diletakkan di pangkuan lantas melakukan pijatan lembut.
Azwa diam menerima perlakuan Aufal. Senyum tipis terbit di wajah manisnya.
‘Seharusnya Azwa yang pijitin Mas, bukan Mas yang pijitin Azwa. Mas pasti juga sama capeknya kayak Azwa’, ucapnya dalam hati sambil menatap wajah Aufal.
“Udah, Mas. Azwa udah nggak capek. Makasih.” Gadis itu menurunkan kakinya lantas menatap sekeliling rumah. Dia kagum melihat seisi rumah yang lebih dari sekedar bagus untuk ukuran kontrakan.
“Gimana, Dek, sama kontrakannya? Kamu suka?” tanya Aufal.
Azwa mengangguk. “Suka. Bagus.”
“Alhamdulillah, kalau kamu suka.”
Rumah kontrakan baru Aufal ini merupakan rumah sederhana berlantai satu dengan kondisi yang cukup bagus dan modern.
Di dalamnya terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, dua kamar tidur, ruang makan yang menyatu dengan dapur, serta satu kamar mandi yang terletak di dekat dapur.
Ada pula kamar mandi dalam yang berada di kamar utama. Selain itu, fasilitasnya pun bisa dibilang cukup lengkap untuk ukuran kontrakan meskipun ada beberapa barang yang dibeli sendiri.
Semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh Aufal sehingga rumah ini siap dihuni dan membuat Azwa nyaman.
“Kamu pasti heran kan rumah kontrakan bisa sebagus ini?” tanya Aufal lagi dengan senyum mengembang menatap ekspresi istrinya.
“Iya, Mas, fasilitasnya lengkap banget.”
“Ini sebenarnya rumah baru yang ditinggalkan pemiliknya karena pindah ke luar kota. Belum pernah ada yang menyewa rumah ini karena harganya yang lumayan.”
“Tapi berhubung Mas kenal dan cukup akrab sama pemiliknya, alhamdulillah dapat harga diskon. Awal Mas kesini fasilitasnya juga belum lengkap, hanya ada beberapa barang yang memang sengaja ditinggal.”
“Sisanya Mas beli sendiri dengan bantuan Mama dan teman-teman. Semuanya Mas siapin buat kamu biar kamu merasa nyaman,” jelas Aufal.
Pria itu menghela nafas panjang. Dia menggeser posisi duduk menjadi lebih dekat dengan istrinya. Diraihnya tangan mungil Azwa untuk digenggam.
“Mas minta maaf, untuk sementara cuma ini yang bisa Mas berikan untukmu. Mas belum bisa membelikan rumah yang bagus,” ungkapnya.
“Nggak papa, yang penting kita punya tempat bernaung.”
Aufal mencium tangan Azwa. “Makasih, ya, udah berusaha menerima Mas,” ungkapnya.
Dia sangat bahagia karena sikap Azwa mulai lunak dan tidak sedingin di awal, meskipun saat berbicara masih singkat dan datar.
Azwa hanya tersenyum tipis sebagai balasan. Mau tidak mau dia harus menerima Aufal kan? Ingin mengelak bagaimanapun, Aufal tetap menjadi suaminya sekarang.
Bercerai pun tidak mungkin karena baginya pernikahan hanya sekali seumur hidup. Jadi, yang bisa dia lakukan hanya berusaha ikhlas menerima Aufal dalam hidupnya.
“Mas,” panggilnya.
“Iya, Sayang?”
Deg!
Azwa merasakan jantungnya merosot ke bawah diikuti dengan degupan yang keras. Dia tidak salah dengar kan? Barusan Aufal memanggilnya sayang?
Meskipun panggilan itu sudah sering didapatkan dari keluarganya, tapi entah kenapa ketika Aufal yang mengucapkan rasanya berbeda.
Melihat istrinya yang mematung, Aufal jadi salah tingkah. Dia mengusap tengkuknya dan berdehem. “Boleh kan Mas panggil kamu Sayang?”
“Bo-boleh,” jawab Azwa sama gugupnya.
Aufal berdehem sekali lagi. “Ada apa, Dek? Ada yang ingin kamu sampaikan, hm?”
“Kamarnya kan ada dua, em… boleh nggak Azwa tidur sendirian di kamar yang satunya?” tanya Azwa ragu-ragu.
“Nggak boleh!” Aufal berkata dengan tegas. “Mas akan turuti semua kemauanmu, tapi untuk ini. Mas nggak izinin.”
“Kenapa?”
Aufal menjadi gemas sendiri. Astaga, istrinya ini memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, sih?
“Kita itu suami-istri, Dek, udah seharusnya kita satu kamar, bukan malah pisah. Nggak baik. Kamu paham kan maksud Mas?”
“Iya, tapi—”
Aufal menggeleng tegas. “Nggak ada tapi-tapian. Kita tetap satu kamar, oke? Mas yakin lama kelamaan kamu pasti terbiasa. Untuk kamar lainnya biar buat tamu yang menginap.”
“Lagian kalau pisah kamar, gimana kita mau saling mengenal lebih dekat? Semuanya harus diawali dengan hal-hal kecil seperti itu, Dek,” ucapnya.
Azwa mengangguk pasrah dengan raut cemberut. Dalam hati, dirinya masih ingin memiliki kamar sendiri seperti dulu lagi.
Dia tahu, tidak baik suami-istri pisah kamar apalagi suaminya yang melarang, tapi kembali lagi ke perasaannya. Gadis itu belum bisa menerima Aufal sepenuhnya.
Lagi pula dia juga belum siap kalau harus satu kamar dengan Aufal selamanya. Kemarin-kemarin dirinya bersedia agar tidak ada yang curiga.
“Kok mukanya cemberut gitu? Senyum dong, Sayang. Dapat pahala besar loh senyum untuk suami.”
Perlahan, Azwa mengembangkan senyum manis hingga menampakkan lesung pipi di ujung bibirnya.
“Masyaallah… manisnya senyum istri Mas, jadi makin cantik.” Aufal mencubit hidung Azwa gemas.
Setelah itu, dia beranjak lalu mengulurkan tangannya ke arah Azwa. “Ikut Mas, Yuk.”
Azwa mengernyit heran. “Kemana?”
“Ngedate.”
“Eh?”
Aufal tersenyum mesam-mesem. “Iya, ngedate biar kayak pasangan di luar sana gitu. Kan belum pernah. Sekalian nanti belanja bulanan. Mau nggak? Eh, tapi kalau kamu capek nggak us–”
“Mau. Azwa ganti baju dulu.” Tanpa menunggu respons Aufal yang terbengong-bengong, Azwa langsung melesat ke kamar untuk mengganti bajunya.
“Yes!” seru Aufal begitu kesadarannya terkumpul.
—o0o—
Azwa merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Sekarang ini, dia sendirian di kontrakan karena Aufal sudah mulai masuk kerja setelah satu bulan cuti.
Ada sedikit rasa takut dalam hatinya berada di rumah sendirian tanpa Aufal. Dia belum bisa beradaptasi dengan baik di lingkungan baru ini dan butuh teman.
Tapi mau bagaimana lagi, tidak setiap saat Aufal berada di sampingnya. Laki-laki itu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keduanya.
Gadis itu mendongak menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Ingatannya tertuju pada hari-hari sebelumnya bersama keluarga.
Kemarin-kemarin dia masih bisa bercanda tawa dengan mereka, tapi sekarang semua sudah berubah. Dirinya berpisah untuk kehidupan yang baru.
Di kota ini, dia sendirian bersama Aufal. Apakah dia bisa menjalaninya?
“Ayah, Bunda, Mas Diaz… Adek kangen. Adek pengen pulang.” Air matanya menetes tanpa disadarinya. Baru dua hari berpisah, dia sudah merasakan kerinduan yang mendalam.
Azwa teringat sesuatu. Dengan segera dia bangkit dan mencari ponselnya di dalam tas. Sudah beberapa hari dirinya tidak memegang ponsel.
Terakhir tiga hari sebelum menikah, mungkin? Dia bahkan menonaktifkan ponsel dengan tujuan agar tidak ada yang bisa menghubunginya.
Setelah ketemu, Azwa langsung menyalakan ponselnya beserta data seluler. Baterainya masih lumayan banyak sehingga tak perlu di-charger.
Dia menunggu sejenak dan… boom! Berbagai notifikasi muncul meramaikan ponselnya. Kebanyakan dari aplikasi W******p.
Satu-persatu Azwa membaca pesan yang masuk dan membalasnya. Tidak ada masalah sejauh ini. Kemudian dia beralih pada grup bersama ketiga teman dekatnya di kampus.
Dibacanya pesan-pesan itu sesekali tertawa geli menyimak obrolan absurd mereka. Hingga sampailah pada beberapa pesan foto yang dikirimkan oleh salah satu anggota grup.
Azwa membelalakkan matanya terkejut dengan jantung berdegup cepat. Dari mana foto itu didapatkan?
Azwa tampak serius memainkan ponselnya untuk membalas pesan dari ibu dan kakaknya. Kemudian berlanjut membuka grup kelas. Ada lebih dari seratus pesan yang membahas tentang keluarnya nilai di semester ini, kalender akademik, surat edaran dari kampus, dan sisanya obrolan random mereka. Dia berdoa semoga nilainya naik atau paling tidak sama seperti semester kemarin. Yang terpenting lebih dari tiga agar beasiswanya tidak dicabut.Keluar dari room chat grup kelas, gadis itu lantas membuka grup bersama ketiga teman dekatnya yang diberi nama ‘Cecan Sukses Aamiin😍’. Wow! Cukup banyak, hampir menandingi pesan di grup kelas. Entah apa saja yang mereka bahas. Azwa pun membaca satu-persatu obrolan random dan absurd mereka sambil terkekeh kecil karena lucu. Hingga tibalah pada pesan yang dikirim dua hari lalu.Almeyra : [Breaking News! Azwa Aila Putri Adiba dikabarkan telah menikah dengan seorang laki-laki misterius pada tanggal 16 Januari kemarin. Tampaknya acara tersebut digelar di kediaman sa
“Aku kurang tau cerita lengkapnya seperti apa. Intinya papaku tuh punya sahabat yang ada di Semarang, terus mereka sepakat buat menjalin kerjasama dengan mendirikan sebuah perusahaan yang dikelola bersama. Dan jadilah perusahaan ini. Papa bilang, mulai pergantian tahun ini aku harus ikut membantu mengelola, nggak mungkin lepas tangan terus,” jelas gadis cantik itu panjang lebar. Aufal sangat terkejut. Jadi ini seseorang selain Danang yang kata ayahnya akan membantunya mengelola perusahaan? Dia sudah tahu bahwa perusahaan ini bukan sepenuhnya milik keluarganya melainkan atas hasil kerjasama antara sang ayah dengan sahabatnya. Dengan kata lain, gadis mengesalkan ini adalah anak dari sahabat ayahnya? “Aku kesini karena diminta Papa buat melakukan pengecekan bulanan. Katanya hari ini kedatangan pemimpin baru anak sahabatnya Papa. Sayang banget, aku nggak sempat ketemu. Aku tadi datang pas habis jam istirahat makan siang, jadi nggak ikut rapat besar. Waktu sampai sini, dia udah pergi yan
Aufal tersenyum lantas memperbaiki duduknya agar lebih nyaman. “Karena di mata Mas kamu itu istimewa, Dek. Mas memilihmu karena akhlak dan agamamu.” “Mas yakin kamu orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidup serta melengkapi kekurangan Mas yang sangat jauh dari kata sholeh ini.” “Kamu memang bukan berasal dari keluarga kaya maupun terpandang, tapi hati dan akhlakmu jauh lebih kaya yang menjadikanmu perempuan terhormat,” jelasnya. Azwa tertegun, tidak menyangka Aufal memandang dirinya seperti itu. “Tapi, Mas. Azwa nggak sebaik yang Mas kira. Azwa belum sesholehah itu.” “Mas tau sendiri kan sikap Azwa ke Mas seperti apa? Apalagi saat malam pertama waktu itu. Azwa marah sama Mas, Azwa bahkan meninggikan suara dihadapan Mas.” “Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, begitupun denganmu, Dek. Saat Mas mengucapkan janji suci, disitulah Mas berkomitmen untuk menerima semua yang ada dalam dirimu, baik kelebihan maupun kekurangan.” “Jujur, Mas juga kaget banget melihat sikapmu
“Mas Ofa?” Azwa mengerutkan keningnya mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pemilik nama Ofa. Dia merasa tidak asing dengan nama itu dan pernah mendengarnya, tapi dimana? “Iya, kita bertemu lagi di bawah pohon besar dekat belakang perkampungan. Saat itu kamu masih mengenakan seragam SD entah dari mana. Kamu ingat?” Kerutan di dahi Azwa semakin dalam dan semakin mengorek ingatan masa lalunya. Samar-samar, ada bayangan saat dia bertemu seorang anak laki-laki bertubuh gempal memakai seragam SMP sedang duduk lesehan di bawah pohon besar yang terkenal angker. Lalu bayangan beralih ketika dirinya berjalan bersama sambil memberitahu arah jalan raya kepada Mas Ofa yang katanya tersesat. Dia juga menunjukkan letak rumahnya yang memang dilewati. “Oh…. Mas itu Mas Ofa! Kenapa Mas bohong?” “Mas nggak bohong. Itu nama Mas waktu kecil saat Mas baru belajar ngomong, kata Mama.” “Tapi kok Mas beda?” Azwa memicingkan matanya memperhatikan penampilan Aufal dengan seksama. Seingatnya, Aufal yan
Waktu terus menggerakkan dentangnya. Hari demi hari berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah seminggu lebih Aufal dan Azwa tinggal bersama dalam satu rumah. Hubungan keduanya pun semakin dekat. Perlahan-lahan mereka saling mengenal karakter masing-masing. Mulai dari kebiasaan sehari-hari, apa yang disuka dan tidak disuka, sampai dengan kekurangan dan kelebihan dalam diri keduanya. Setelah deep talk malam itu, sikap Azwa berubah menjadi lebih baik. Yang semula dingin tak tersentuh, kini menjadi lebih ramah dan hangat. Dia mulai menunjukkan sifat aslinya, bahkan tanpa sengaja mengeluarkan sisi manjanya. Hal tersebut dilakukan karena dirinya sudah merasa nyaman. Gadis itu tidak lagi menganggap Aufal orang asing. Semua perlakuan Aufal terhadapnya membuktikan kalau dia adalah laki-laki yang baik. Tidak ada alasan bagi Azwa untuk terus bersikap dingin apalagi sama suaminya. Oleh karena itu, Azwa berusaha menjadi istri yang baik untuk Aufal. Seperti pagi ini contohnya. Azwa melangkahkan
Di sebuah ruang kantor yang cukup luas, Aufal sedang termenung sendirian mengingat perkataan Andra tadi siang. Setahunya, Andra pindah ke perusahaan ini atas kemauan sendiri, bukan karena disuruh siapa-siapa. Namun, kenapa tadi Andra bilang kalau itu atas permintaan ayahnya? Ketika dia mendesak Andra untuk menjawab, malah terkesan menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Aufal memijat pangkal hidungnya pusing mengingat kejadian siang tadi. “Jawab pertanyaan gue, Andra!” tekannya sekali lagi. “Eh, waktu istirahatnya hampir habis, nih. Sholat, yok, sholat.” Andra beranjak dari duduknya lantas menepuk pundah Kahfi. “Gue duluan, Fi. Baliknya hati-hati, ya.” Laki-laki itu kemudian berlalu dari sana menuju ke arah mushola. “Lo tau sesuatu, Fi?” tanya Aufal kepada Kahfi setelah memandang kepergian Andra. Kahfi menggeleng singkat. “Gue nggak tau.” Entahlah, Aufal merasa ada yang disembunyikan. Ada apa sebenarnya? Laki-laki yang memakai kemeja navy itu menghembuskan napas panjang, kemud
Pagi kembali menyapa. Aufal sudah siap berangkat kerja. Jarak kantor dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Jadi, dia tidak terlalu tergesa-gesa dan masih bisa bersantai. “Mas berangkat kerja, ya, Sayang.” Azwa mengangguk dan mencium tangan Aufal. “Doain Mas, ya. Semoga hari ini diberikan kelancaran dan kemudahan. Jaga diri baik-baik dirumah, oke?” “Iya, Mas. Mas juga hati-hati dijalan, jangan ngebut. Jaga mata, jaga hati,” ucap Azwa menirukan salah satu adegan di novel yang pernah dibacanya. "Iya, sayangku." Aufal mencium kening Azwa penuh perasaan. “Mas cinta kamu,” bisiknya sambil mengusap lembut pipi sang istri. Azwa hanya tersenyum sebagai balasan. “Udah sana, nanti telat.” “Mas berangkat, ya, assalamualaikum.” “Wa'alaikumsalam.” Azwa menatap kepergian suaminya dengan sendu. Aufal sudah sering mengucapkan tiga kata sakral itu. Namun, tak pernah sekalipun dirinya membalas. Ada sedikit rasa bersalah, tetapi dia tidak bisa membohongi hatinya hanya untuk menyenangkan Aufal kar
Aufal tengah berbaring di pangkuan Azwa sambil memainkan rambut panjang istrinya yang tergerai, sedangkan Azwa sendiri sedang memainkan ponsel untuk membalas pesan dari teman-temannya. Sesekali tangan kirinya mengusap kepala Aufal. Malam ini adalah malam terakhirnya berduaan dengan sang istri sebelum LDR. Oleh karena itu, Aufal menjadi sangat manja terhadap Azwa sejak pulang kantor. Dia bahkan tak mau melepaskan istrinya barang sedetikpun. “Dek,” panggil Aufal karena merasa dicuekin. “Bentar, ya, Mas.” Azwa segera membalas pesan temannya dengan cepat, menonaktifkan data, dan meletakkan ponselnya di nakas. Kemudian, dia memusatkan perhatiannya pada Aufal. “Dek, nggak bisa gitu baliknya ditunda? Mas masih ingin bersama kamu,” ujar Aufal setengah merengek. Azwa tersenyum sambil membelai lembut rambut Aufal. “Nggak bisa, Mas. Azwa harus balik besok mumpung ada barengannya. Kalau ditunda, Azwa nggak akan dapat tanda tangan DPA, terus nggak bisa ikut kuliah nanti.” “Mas ngerti, tapi M
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup