Di sebuah ruang kantor yang cukup luas, Aufal sedang termenung sendirian mengingat perkataan Andra tadi siang. Setahunya, Andra pindah ke perusahaan ini atas kemauan sendiri, bukan karena disuruh siapa-siapa. Namun, kenapa tadi Andra bilang kalau itu atas permintaan ayahnya? Ketika dia mendesak Andra untuk menjawab, malah terkesan menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Aufal memijat pangkal hidungnya pusing mengingat kejadian siang tadi. “Jawab pertanyaan gue, Andra!” tekannya sekali lagi. “Eh, waktu istirahatnya hampir habis, nih. Sholat, yok, sholat.” Andra beranjak dari duduknya lantas menepuk pundah Kahfi. “Gue duluan, Fi. Baliknya hati-hati, ya.” Laki-laki itu kemudian berlalu dari sana menuju ke arah mushola. “Lo tau sesuatu, Fi?” tanya Aufal kepada Kahfi setelah memandang kepergian Andra. Kahfi menggeleng singkat. “Gue nggak tau.” Entahlah, Aufal merasa ada yang disembunyikan. Ada apa sebenarnya? Laki-laki yang memakai kemeja navy itu menghembuskan napas panjang, kemud
Pagi kembali menyapa. Aufal sudah siap berangkat kerja. Jarak kantor dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Jadi, dia tidak terlalu tergesa-gesa dan masih bisa bersantai. “Mas berangkat kerja, ya, Sayang.” Azwa mengangguk dan mencium tangan Aufal. “Doain Mas, ya. Semoga hari ini diberikan kelancaran dan kemudahan. Jaga diri baik-baik dirumah, oke?” “Iya, Mas. Mas juga hati-hati dijalan, jangan ngebut. Jaga mata, jaga hati,” ucap Azwa menirukan salah satu adegan di novel yang pernah dibacanya. "Iya, sayangku." Aufal mencium kening Azwa penuh perasaan. “Mas cinta kamu,” bisiknya sambil mengusap lembut pipi sang istri. Azwa hanya tersenyum sebagai balasan. “Udah sana, nanti telat.” “Mas berangkat, ya, assalamualaikum.” “Wa'alaikumsalam.” Azwa menatap kepergian suaminya dengan sendu. Aufal sudah sering mengucapkan tiga kata sakral itu. Namun, tak pernah sekalipun dirinya membalas. Ada sedikit rasa bersalah, tetapi dia tidak bisa membohongi hatinya hanya untuk menyenangkan Aufal kar
Aufal tengah berbaring di pangkuan Azwa sambil memainkan rambut panjang istrinya yang tergerai, sedangkan Azwa sendiri sedang memainkan ponsel untuk membalas pesan dari teman-temannya. Sesekali tangan kirinya mengusap kepala Aufal. Malam ini adalah malam terakhirnya berduaan dengan sang istri sebelum LDR. Oleh karena itu, Aufal menjadi sangat manja terhadap Azwa sejak pulang kantor. Dia bahkan tak mau melepaskan istrinya barang sedetikpun. “Dek,” panggil Aufal karena merasa dicuekin. “Bentar, ya, Mas.” Azwa segera membalas pesan temannya dengan cepat, menonaktifkan data, dan meletakkan ponselnya di nakas. Kemudian, dia memusatkan perhatiannya pada Aufal. “Dek, nggak bisa gitu baliknya ditunda? Mas masih ingin bersama kamu,” ujar Aufal setengah merengek. Azwa tersenyum sambil membelai lembut rambut Aufal. “Nggak bisa, Mas. Azwa harus balik besok mumpung ada barengannya. Kalau ditunda, Azwa nggak akan dapat tanda tangan DPA, terus nggak bisa ikut kuliah nanti.” “Mas ngerti, tapi M
Hari Kamis sesuai dengan jadwal, Azwa bersama teman-temannya akan melakukan bimbingan DPA. Sebenarnya bukan bimbingan, lebih tepatnya meminta tanda tangan KRS (Kartu Rencana Studi) dan KHS (Kartu Hasil Studi) pada DPA sebagai syarat untuk menempuh semester selanjutnya.Azwa pergi bersama ketiga sahabatnya yang kebetulan memiliki jadwal di hari yang sama. Pagi ini dia dijemput oleh Eliza seperti biasa.“Hai gaessss! Assalamualaikum, selamat pagi," sapa Almeyra yang kerap disapa Meyra yang baru saja datang di gazebo dekat GA1 (Gedung Akuntansi). Dia langsung mengambil tempat di samping Azwa.“Wa'alaikumsalam, pagi” balas Azwa dan Eliza yang sudah tiba lebih dulu.“Aku kangen banget sama kalian.” Meyra menatap teman-temannya satu-persatu. “Akhirnya, ketemu lagi.”“Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan buat bertemu lagi,” sahut Bahira, lalu pandangannya beralih ke Azwa. “Gimana-gimana, Wa?” Dia menampilkan senyum menggoda dan menaik turunkan alisnya.Azwa mengernyitkan dahi bingung.
Azwa terdiam. Diingatkan tentang beasiswa membuat hatinya kembali resah. “Itu yang jadi masalah utamanya. Aku nggak punya solusi buat itu. Ayah-bunda sama kakakku juga memikirkan masalah ini. Kami sepakat untuk merahasiakan pernikahanku selama di kampus. Suamiku juga udah setuju dengan itu.” “Jadi, aku minta tolong banget sama kalian buat merahasiakan pernikahanku, ya. Jangan sampai ada yang tau, apalagi sampe didengar oleh dosen-dosen kita. Aku nggak mau beasiswaku dicabut. Please, aku minta tolong sama kalian,” pintanya seraya menangkupkan kedua tangan memohon. Meyra merangkul bahu Azwa. “Tenang, Wa, rahasia kamu aman sama kami.” “Iya, Wa, nggak usah khawatir. Kami nggak akan bilang siapa-siapa tentang ini.” Bahira ikut mengusap lengan Azwa. “Makasih.” “Kamu ini, kayak sama siapa aja.” “Kalau kalian mau tau, inilah alasannya kenapa aku nggak ngundang kalian dan teman-teman lainnya,” ungkap Azwa. “Tuh kan, benar. Pasti ada alasan yang kuat kenapa kamu nggak undang kami,” sahut
Azwa kembali menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswa. Perkuliahan semester enam mulai aktif. Beberapa dosen juga sudah memberikan tugas, baik kelompok maupun individu. Aktivitas sehari-hari pun tidak berubah banyak. Bedanya, jika dulu Azwa teleponan dengan bunda, sekarang beralih ke Aufal. Oleh karena itu, hubungan Azwa dan Aufal semakin dekat walaupun terbentang oleh jarak. “Wa, aku bener-bener nggak nyangka banget saat tau kalau kamu udah nikah secepat ini apalagi bukan sama si Doi,” ujar Meyra yang siang ini berkunjung di kosan Azwa sepulang kuliah. Diantara ketiga temannya, Azwa paling dekat dan akrab dengan Meyra. Dia sudah menceritakan kisah cintanya pada gadis itu. Meyra yang menjadi tempat curhatnya selama ini. “Aku bahkan lebih terkejut, Mey. Rasanya campur aduk, nggak bisa aku gambarkan dengan jelas. Paham kan maksudku?” Meyra mengangguk. “Gimana sama Doi? Kamu masih menyukainya? Atau udah move on?” tanyanya hati-hati. Azwa terdiam. Apakah dia harus mengatakan yang s
Azwa mengikuti teman-temannya menuju salah satu ruangan di GE3 untuk menghadiri seminar proposal skripsi milik kating. Sebenarnya, hari ini dia tidak ada matkul. Dia ke kampus niatnya untuk mengerjakan tugas metodologi penelitian bersama ketiga temannya. Namun, mereka malah berencana menghadiri sempro kakak tingkatnya. Mau tak mau Azwa mengikutinya agar bisa bareng-bareng. Menjadi audiens sempro adalah salah satu syarat agar bisa melaksanakan sempro di semester depan nanti. Sempro yang dihadiri minimal enam, tetapi Azwa baru mendapatkan tiga. Untungnya, di semester ini katingnya banyak yang sempro sehingga dia tidak terlalu khawatir kalau tidak kebagian. Sampai di depan ruangan, Azwa harus menelan kekecewaan karena kuotanya sudah penuh. Dia bersandar di tembok sambil memegangi perutnya yang semakin terasa sakit. Sudah sejak pagi perutnya terasa tidak enak. Mungkin magnya kembali kumat. Sudah minum obat juga, tetapi semakin ke sini rasa sakitnya semakin terasa. “Pulang, yuk. Kuo
Pagi hari Azwa tengah berbaring sambil memejamkan mata di kamar kosannya. Semalam dia tidak bisa tidur karena merasakan perutnya yang terasa diremas-remas. Berkali-kali pula dia harus bolak-balik ke kamar mandi akibat diare hebat. Makan pun rasanya tidak enak. Mual, pengen muntah, tapi tidak bisa. Entah kenapa, perutnya juga terasa nyeri saat dimasuki makanan. Sungguh sangat menyiksa. Namun, dia tetap harus makan agar tidak semakin parah. Usai sarapan tadi, Azwa langsung merebahkan kembali tubuhnya di kasur. Badannya benar-benar terasa lemas dan sakit kalau disentuh. Untungnya hari ini Azwa kuliah siang sekitar jam satu nanti. Jadi, dia bisa beristirahat sekarang. “Azwa, ada yang nyariin kamu di bawah,” ucap Nella, teman kos Azwa, di ambang pintu kamar. Azwa menoleh dan bertanya dengan suara lemah, “siapa?” “Nggak tau. Mending kamu temui aja, deh.” Azwa mengangguk dan perlahan bangkit dari tidurnya. Dia lantas mengenakan cardigan, rok panjang, serta kerudung karena sebelumn
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup