“Apa maksudmu, Diaz?” tanya Ayah Abyaz lantas bangkit dari duduknya diikuti oleh Aufal.
“Diaz nggak setuju Adek dibawa pergi sama Aufal ke Jakarta,” jawab Diaz datar.
“Kenapa memangnya? Aufal berhak membawa Adek kemanapun dia pergi.”
“Diaz tetep nggak setuju!”
Ayah Abyaz mengajak Diaz dan Aufal ke halaman rumah terlebih dahulu agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh istri dan putrinya. Beliau merasa akan ada perdebatan diantara keduanya.
“Setuju ndak setuju, kita harus menghargai keputusannya, Diaz. Mungkin mereka butuh privasi berdua yang ndak melibatkan keluarga di dalamnya. Ayah percaya Aufal bisa menjaga dan membahagiakan Adek,” ucapnya.
“Segampang itu Ayah percaya?” Diaz terkekeh sinis. Matanya menatap tajam ke arah Aufal. “Bagaimana bisa Ayah mempercayakan Adek pada orang asing macam dia?”
“Aufal bukan orang asing, Diaz. Dia kini udah jadi suami Adek. Kita memang belum saling mengenal sepenuhnya, tapi Ayah yakin Aufal ndak akan menyakiti Azwa. Ayah juga melihat Aufal memperlakukan Adek dengan sangat baik tadi.”
“Bisa aja itu cuma pencitraan. Dia bersikap baik hanya di depan keluarga kita. Di belakang itu siapa yang tau?” Diaz tersenyum miring terkesan mengejek.
“Nggak ada yang namanya pencitraan, Mas. Aku sungguh-sungguh menyayangi Azwa dengan tulus.” Aufal membuka suara mematahkan argumen Diaz.
“Menyayangi kok memaksa,” balas Diaz sengit, lalu berjalan mendekati Aufal.
“Aku selama ini diam bukan berarti aku menyetujui pernikahan kalian. Aku diam karena nggak ingin menambah masalah dengan keluargamu yang malah membuat masalah semakin runyam.”
“Terus kamu maunya aku gimana, Mas?” tanya Aufal. Dia dan Ardiaz sebenarnya seumuran, hanya terpaut beberapa bulan saja. Namun, status yang menjadi adik ipar mengharuskannya memanggil Diaz dengan sebutan ‘Mas’.
“Jangan libatkan Azwa ke dalam apapun masalah keluargamu.”
Aufal terbungkam. Azwa sudah menjadi istri dan menantu keluarga Ar-Rasyid yang secara otomatis akan terlibat dalam masalah keluarganya.
Bahkan mungkin tanpa disadarinya, Azwa sudah terjun langsung ke dalam konflik antara dirinya dengan sang ayah.
Melihat keterdiaman Aufal, Diaz kembali melanjutkan, “kamu kira aku nggak tau kalau keluargamu sedang bermasalah? Aku juga nggak buta untuk melihat kalau kebanyakan keluarga besarmu nggak menyetujui pernikahan kalian.”
“Mereka nggak menghargai dan memandang Azwa sebelah mata. Mau jadi seperti apa adikku di sana?”
Kumpul keluarga besar dua hari yang lalu di kediaman Aufal membuat laki-laki itu sadar bahwa Azwa tidak diinginkan kehadirannya di keluarga terpandang itu. Sebagai kakak, tentu saja dia sangat khawatir, takut adiknya akan menderita di sana.
“Kamu nggak perlu khawatir, Mas. Selama ada aku, Mama-Papa, insyaallah Azwa akan aman dan nyaman berada di sana,” jawab Aufal tenang.
Diaz tersenyum sinis. “Oh ya? Apa kamu bisa menjamin mereka semua nggak ngusik kehidupan rumah tanggamu?”
“Apa kamu bisa menjamin orang tuamu akan selalu membela Azwa dan tidak terpengaruh oleh ucapan mereka? Apa kamu bisa menjamin akan selalu ada buat adikku dalam keadaan sulit?” tantangnya.
“Tentu saja aku bisa menjamin semua itu, Mas. Makanya aku mengajak Azwa tinggal di Jakarta supaya nggak ada satupun keluargaku yang bisa ngusik kehidupan kami.”
“Seperti yang Ayah bilang, kami butuh privasi, butuh hidup berdua tanpa terpengaruh dari pihak luar.”
Aufal menghembuskan napas lelah. Sejak awal bertemu, laki-laki yang berstatus kakak Azwa itu selalu bersikap jutek terhadapnya. Inilah yang membuat dia tak berani mendekati Azwa meski dirinya sangat mampu.
Diaz begitu posesif dan protektif terhadap Azwa. Sikapnya yang galak dan jutek membuat para cowok yang mendekati gadis itu mundur teratur. Entah sudah diapakan mereka semua. Dia bukan takut, tapi lebih ke minder karena statusnya yang anak rentenir.
Diaz menudingkan jari telunjuknya mengarah ke wajah Aufal. “Denger, ya, Aufal. Jangan mentang-mentang kamu berhasil memiliki Azwa, artinya kamu bisa menguasai seenaknya.”
“Pertama, lamaran yang memaksa. Kedua, pernikahan cepet. Ketiga, kamu membawa adikku ke rumahmu dan baru malam ini kalian ke sini.”
“Lalu sekarang apa? Akan membawa Azwa ke Jakarta besok pagi di saat kami masih ingin menikmati waktu bersama kalian. Egois kamu!”
Aufal menurunkan tangan Diaz yang berada di depan wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam guna mengisi stok sabar menghadapi kakak ipar juteknya ini.
“Senin aku udah masuk kerja. Tanggung jawabku sangat besar di perusahaan Papa. Aku cuma punya waktu besok, jadi aku manfaatin sebaik mungkin.”
“Kenapa harus pagi? Karena kami berencana mengadakan acara syukuran di rumah kontrakan baru biar nggak kemalaman,” jelasnya dengan sangat sabar.
“Kalau kamu ingin pergi ke Jakarta, pergilah sendiri tanpa adikku. Azwa biar di sini sampai liburan selesai. Setelah itu, terserah kalian mau ngapain.”
“Atau kalian tetap disini dan tinggal di rumah ini. Setidaknya kasih kami kesempatan buat mengenalmu agar bisa menilai apakah pantas untuk Azwa atau nggak.”
“Kamu ini kenapa, to, Diaz? Tiba-tiba dateng terus marah-marah sama Aufal. Ada apa sebenarnya?” tanya Ayah Abyaz yang dari tadi hanya menyimak perdebatan keduanya.
Diaz tidak dapat menjawab pertanyaan ayahnya. Tidak mungkin dia bilang kalau tak sengaja mendengar pembicaraan ibu dan adiknya di kamar tentang ketakutan Azwa yang akan tinggal bersama orang asing.
Dirinya benar-benar dibuat emosi membayangkan kemungkinan terburuk itu. Dia hanya ingin melindungi adiknya, itu saja.
“Udahlah, Diaz. Kamu nggak usah keras kepala seperti ini. Biarin Aufal mengajak Adek ikut bersamanya. Beri dia kesempatan membuktikan semua ucapannya untuk membahagiakan Adek,” kata Ayah Abyaz bijak sekaligus menengahi.
Beliau mengusap-usap punggung putranya yang masih terbalut emosi. “Udah, jangan emosi. Istighfar, tenangin dirimu.”
Diaz mengusap wajahnya sambil menggumamkan istighfar berkali-kali. Akibat terlalu khawatir terhadap sang adik membuatnya jadi terbawa emosi.
Dia berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya perlahan. Laki-laki itu lantas menatap Aufal serius. “Apa kamu sanggup membuktikan semua ucapan dan janjimu?”
“Sanggup!” balas Aufal tegas membalas tatapan Diaz dengan sorot mata sungguh-sungguh.
“Baiklah, buktikan! Aku pegang ucapanmu dan Ayah yang jadi saksinya. Aku percayakan adikku kepadamu. Ingat! Jangan pernah kamu menyakiti maupun mengecewakan Azwa.”
“Setetes air mata yang jatuh di pipi Azwa, kamu harus mempertanggungjawabkannya. Kalau sampai kamu sakiti dia, aku nggak akan segan-segan misahin kalian dengan tanganku sendiri. Paham?!”
Aufal mengangguk mantap. “Aku paham, Mas.”
—o0o—
Pukul 10.00 WIB, Aufal dan Azwa tiba di Jakarta. Mereka baru saja turun dari pesawat dan berjalan menuju pintu keluar.
Aufal menggandeng erat tangan Azwa yang terasa sangat dingin dan gemetar akibat menahan rasa takut sejak masuk ke dalam kabin. Dia tahu, ini merupakan pengalaman pertama istrinya naik pesawat.
“Masih takut, Dek?” tanya Aufal khawatir melihat muka pucat istrinya. “Mau Mas gendong aja, hm?”
Azwa menggeleng pelan. “Malu diliatin orang.”
“Yaudah. Bilang, ya, kalau merasa nggak enak badan.” Aufal beralih merangkul pundak Azwa.
Keduanya pulang dijemput oleh Nabhan, salah satu teman kontrakan lama Aufal, menggunakan mobil Dzaky. Kini, mereka tengah menempuh perjalanan pulang menuju kontrakan baru.
Aufal tampak asyik mengobrol dengan Nabhan di kursi depan, sedangkan Azwa hanya menyimak dan sesekali melihat-lihat pemandangan di luar melalui kaca mobil.
“Mereka lagi nyiapin sesuatu buat kalian, makanya gue yang ditugaskan buat jemput,” jawab Nabhan ketika ditanya kenapa dirinya yang jemput oleh Aufal.
Aufal manggut-manggut mengerti. “Oh… nyiapin sesuatu buat acara tasyakuran nanti, ya?”
“Bukan, beda lagi. Ini tuh kejutan buat kalian.”
“Kejutan apa?”
“Ada deh. Lihat aja nanti.” Nabhan tersenyum misterius.
Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah kontrakan sederhana berlantai satu. Rumah yang disewa Aufal untuk ditinggali bersama istri beberapa waktu ke depan.
Untuk acara hari ini, Aufal sudah memasrahkan kepada Andra, sahabatnya dari kecil. Jadi, dia tinggal terima beres.
Nabhan mengarahkan pasutri baru itu masuk ke dalam rumah. Saat pintu terbuka, Aufal dan Azwa dibuat sangat terkejut melihat banyaknya orang yang berkumpul di sana padahal di luar tampak tak ada apapun.
“Surprise! Selamat datang pengantin baru!”
Aufal dan Azwa tengah bersantai di ruang tengah untuk melepas penat. Hari ini sungguh melelahkan. Sehabis perjalanan jauh, keduanya langsung diberikan kejutan oleh teman-teman Aufal yang berasal dari kontrakan lama. Mereka semua, laki-laki yang berjumlah sembilan orang itu, berkumpul menyambut kedatangan Aufal dengan suka cita karena sudah menganggap layaknya keluarga sendiri. Aufal pun tidak menyangka mereka menyempatkan hadir dengan formasi lengkap ditengah-tengah kesibukan, bahkan ada yang rela menunda jadwal pulang kampungnya. Ini benar-benar di luar rencana. Dia tidak tahu apapun tentang kejutan itu. “Anggaplah buat menggantikan kami yang nggak bisa hadir di pernikahan kalian,” jawab salah satu dari mereka ketika ditanya oleh Aufal. “Semua ini idenya Bang Andra. Kita, mah, cuma ngikut doang.” Tidak banyak acara yang mereka adakan. Hanya makan-makan bersama, lalu dilanjutkan sesi perkenalan dengan Azwa. Mereka juga mengucapkan selamat serta memberikan kado pernikahan kepada
Azwa tampak serius memainkan ponselnya untuk membalas pesan dari ibu dan kakaknya. Kemudian berlanjut membuka grup kelas. Ada lebih dari seratus pesan yang membahas tentang keluarnya nilai di semester ini, kalender akademik, surat edaran dari kampus, dan sisanya obrolan random mereka. Dia berdoa semoga nilainya naik atau paling tidak sama seperti semester kemarin. Yang terpenting lebih dari tiga agar beasiswanya tidak dicabut.Keluar dari room chat grup kelas, gadis itu lantas membuka grup bersama ketiga teman dekatnya yang diberi nama ‘Cecan Sukses Aamiin😍’. Wow! Cukup banyak, hampir menandingi pesan di grup kelas. Entah apa saja yang mereka bahas. Azwa pun membaca satu-persatu obrolan random dan absurd mereka sambil terkekeh kecil karena lucu. Hingga tibalah pada pesan yang dikirim dua hari lalu.Almeyra : [Breaking News! Azwa Aila Putri Adiba dikabarkan telah menikah dengan seorang laki-laki misterius pada tanggal 16 Januari kemarin. Tampaknya acara tersebut digelar di kediaman sa
“Aku kurang tau cerita lengkapnya seperti apa. Intinya papaku tuh punya sahabat yang ada di Semarang, terus mereka sepakat buat menjalin kerjasama dengan mendirikan sebuah perusahaan yang dikelola bersama. Dan jadilah perusahaan ini. Papa bilang, mulai pergantian tahun ini aku harus ikut membantu mengelola, nggak mungkin lepas tangan terus,” jelas gadis cantik itu panjang lebar. Aufal sangat terkejut. Jadi ini seseorang selain Danang yang kata ayahnya akan membantunya mengelola perusahaan? Dia sudah tahu bahwa perusahaan ini bukan sepenuhnya milik keluarganya melainkan atas hasil kerjasama antara sang ayah dengan sahabatnya. Dengan kata lain, gadis mengesalkan ini adalah anak dari sahabat ayahnya? “Aku kesini karena diminta Papa buat melakukan pengecekan bulanan. Katanya hari ini kedatangan pemimpin baru anak sahabatnya Papa. Sayang banget, aku nggak sempat ketemu. Aku tadi datang pas habis jam istirahat makan siang, jadi nggak ikut rapat besar. Waktu sampai sini, dia udah pergi yan
Aufal tersenyum lantas memperbaiki duduknya agar lebih nyaman. “Karena di mata Mas kamu itu istimewa, Dek. Mas memilihmu karena akhlak dan agamamu.” “Mas yakin kamu orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidup serta melengkapi kekurangan Mas yang sangat jauh dari kata sholeh ini.” “Kamu memang bukan berasal dari keluarga kaya maupun terpandang, tapi hati dan akhlakmu jauh lebih kaya yang menjadikanmu perempuan terhormat,” jelasnya. Azwa tertegun, tidak menyangka Aufal memandang dirinya seperti itu. “Tapi, Mas. Azwa nggak sebaik yang Mas kira. Azwa belum sesholehah itu.” “Mas tau sendiri kan sikap Azwa ke Mas seperti apa? Apalagi saat malam pertama waktu itu. Azwa marah sama Mas, Azwa bahkan meninggikan suara dihadapan Mas.” “Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, begitupun denganmu, Dek. Saat Mas mengucapkan janji suci, disitulah Mas berkomitmen untuk menerima semua yang ada dalam dirimu, baik kelebihan maupun kekurangan.” “Jujur, Mas juga kaget banget melihat sikapmu
“Mas Ofa?” Azwa mengerutkan keningnya mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pemilik nama Ofa. Dia merasa tidak asing dengan nama itu dan pernah mendengarnya, tapi dimana? “Iya, kita bertemu lagi di bawah pohon besar dekat belakang perkampungan. Saat itu kamu masih mengenakan seragam SD entah dari mana. Kamu ingat?” Kerutan di dahi Azwa semakin dalam dan semakin mengorek ingatan masa lalunya. Samar-samar, ada bayangan saat dia bertemu seorang anak laki-laki bertubuh gempal memakai seragam SMP sedang duduk lesehan di bawah pohon besar yang terkenal angker. Lalu bayangan beralih ketika dirinya berjalan bersama sambil memberitahu arah jalan raya kepada Mas Ofa yang katanya tersesat. Dia juga menunjukkan letak rumahnya yang memang dilewati. “Oh…. Mas itu Mas Ofa! Kenapa Mas bohong?” “Mas nggak bohong. Itu nama Mas waktu kecil saat Mas baru belajar ngomong, kata Mama.” “Tapi kok Mas beda?” Azwa memicingkan matanya memperhatikan penampilan Aufal dengan seksama. Seingatnya, Aufal yan
Waktu terus menggerakkan dentangnya. Hari demi hari berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah seminggu lebih Aufal dan Azwa tinggal bersama dalam satu rumah. Hubungan keduanya pun semakin dekat. Perlahan-lahan mereka saling mengenal karakter masing-masing. Mulai dari kebiasaan sehari-hari, apa yang disuka dan tidak disuka, sampai dengan kekurangan dan kelebihan dalam diri keduanya. Setelah deep talk malam itu, sikap Azwa berubah menjadi lebih baik. Yang semula dingin tak tersentuh, kini menjadi lebih ramah dan hangat. Dia mulai menunjukkan sifat aslinya, bahkan tanpa sengaja mengeluarkan sisi manjanya. Hal tersebut dilakukan karena dirinya sudah merasa nyaman. Gadis itu tidak lagi menganggap Aufal orang asing. Semua perlakuan Aufal terhadapnya membuktikan kalau dia adalah laki-laki yang baik. Tidak ada alasan bagi Azwa untuk terus bersikap dingin apalagi sama suaminya. Oleh karena itu, Azwa berusaha menjadi istri yang baik untuk Aufal. Seperti pagi ini contohnya. Azwa melangkahkan
Di sebuah ruang kantor yang cukup luas, Aufal sedang termenung sendirian mengingat perkataan Andra tadi siang. Setahunya, Andra pindah ke perusahaan ini atas kemauan sendiri, bukan karena disuruh siapa-siapa. Namun, kenapa tadi Andra bilang kalau itu atas permintaan ayahnya? Ketika dia mendesak Andra untuk menjawab, malah terkesan menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Aufal memijat pangkal hidungnya pusing mengingat kejadian siang tadi. “Jawab pertanyaan gue, Andra!” tekannya sekali lagi. “Eh, waktu istirahatnya hampir habis, nih. Sholat, yok, sholat.” Andra beranjak dari duduknya lantas menepuk pundah Kahfi. “Gue duluan, Fi. Baliknya hati-hati, ya.” Laki-laki itu kemudian berlalu dari sana menuju ke arah mushola. “Lo tau sesuatu, Fi?” tanya Aufal kepada Kahfi setelah memandang kepergian Andra. Kahfi menggeleng singkat. “Gue nggak tau.” Entahlah, Aufal merasa ada yang disembunyikan. Ada apa sebenarnya? Laki-laki yang memakai kemeja navy itu menghembuskan napas panjang, kemud
Pagi kembali menyapa. Aufal sudah siap berangkat kerja. Jarak kantor dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Jadi, dia tidak terlalu tergesa-gesa dan masih bisa bersantai. “Mas berangkat kerja, ya, Sayang.” Azwa mengangguk dan mencium tangan Aufal. “Doain Mas, ya. Semoga hari ini diberikan kelancaran dan kemudahan. Jaga diri baik-baik dirumah, oke?” “Iya, Mas. Mas juga hati-hati dijalan, jangan ngebut. Jaga mata, jaga hati,” ucap Azwa menirukan salah satu adegan di novel yang pernah dibacanya. "Iya, sayangku." Aufal mencium kening Azwa penuh perasaan. “Mas cinta kamu,” bisiknya sambil mengusap lembut pipi sang istri. Azwa hanya tersenyum sebagai balasan. “Udah sana, nanti telat.” “Mas berangkat, ya, assalamualaikum.” “Wa'alaikumsalam.” Azwa menatap kepergian suaminya dengan sendu. Aufal sudah sering mengucapkan tiga kata sakral itu. Namun, tak pernah sekalipun dirinya membalas. Ada sedikit rasa bersalah, tetapi dia tidak bisa membohongi hatinya hanya untuk menyenangkan Aufal kar
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup