“Aku kurang tau cerita lengkapnya seperti apa. Intinya papaku tuh punya sahabat yang ada di Semarang, terus mereka sepakat buat menjalin kerjasama dengan mendirikan sebuah perusahaan yang dikelola bersama. Dan jadilah perusahaan ini. Papa bilang, mulai pergantian tahun ini aku harus ikut membantu mengelola, nggak mungkin lepas tangan terus,” jelas gadis cantik itu panjang lebar. Aufal sangat terkejut. Jadi ini seseorang selain Danang yang kata ayahnya akan membantunya mengelola perusahaan? Dia sudah tahu bahwa perusahaan ini bukan sepenuhnya milik keluarganya melainkan atas hasil kerjasama antara sang ayah dengan sahabatnya. Dengan kata lain, gadis mengesalkan ini adalah anak dari sahabat ayahnya? “Aku kesini karena diminta Papa buat melakukan pengecekan bulanan. Katanya hari ini kedatangan pemimpin baru anak sahabatnya Papa. Sayang banget, aku nggak sempat ketemu. Aku tadi datang pas habis jam istirahat makan siang, jadi nggak ikut rapat besar. Waktu sampai sini, dia udah pergi yan
Aufal tersenyum lantas memperbaiki duduknya agar lebih nyaman. “Karena di mata Mas kamu itu istimewa, Dek. Mas memilihmu karena akhlak dan agamamu.” “Mas yakin kamu orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidup serta melengkapi kekurangan Mas yang sangat jauh dari kata sholeh ini.” “Kamu memang bukan berasal dari keluarga kaya maupun terpandang, tapi hati dan akhlakmu jauh lebih kaya yang menjadikanmu perempuan terhormat,” jelasnya. Azwa tertegun, tidak menyangka Aufal memandang dirinya seperti itu. “Tapi, Mas. Azwa nggak sebaik yang Mas kira. Azwa belum sesholehah itu.” “Mas tau sendiri kan sikap Azwa ke Mas seperti apa? Apalagi saat malam pertama waktu itu. Azwa marah sama Mas, Azwa bahkan meninggikan suara dihadapan Mas.” “Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, begitupun denganmu, Dek. Saat Mas mengucapkan janji suci, disitulah Mas berkomitmen untuk menerima semua yang ada dalam dirimu, baik kelebihan maupun kekurangan.” “Jujur, Mas juga kaget banget melihat sikapmu
“Mas Ofa?” Azwa mengerutkan keningnya mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pemilik nama Ofa. Dia merasa tidak asing dengan nama itu dan pernah mendengarnya, tapi dimana? “Iya, kita bertemu lagi di bawah pohon besar dekat belakang perkampungan. Saat itu kamu masih mengenakan seragam SD entah dari mana. Kamu ingat?” Kerutan di dahi Azwa semakin dalam dan semakin mengorek ingatan masa lalunya. Samar-samar, ada bayangan saat dia bertemu seorang anak laki-laki bertubuh gempal memakai seragam SMP sedang duduk lesehan di bawah pohon besar yang terkenal angker. Lalu bayangan beralih ketika dirinya berjalan bersama sambil memberitahu arah jalan raya kepada Mas Ofa yang katanya tersesat. Dia juga menunjukkan letak rumahnya yang memang dilewati. “Oh…. Mas itu Mas Ofa! Kenapa Mas bohong?” “Mas nggak bohong. Itu nama Mas waktu kecil saat Mas baru belajar ngomong, kata Mama.” “Tapi kok Mas beda?” Azwa memicingkan matanya memperhatikan penampilan Aufal dengan seksama. Seingatnya, Aufal yan
Waktu terus menggerakkan dentangnya. Hari demi hari berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah seminggu lebih Aufal dan Azwa tinggal bersama dalam satu rumah. Hubungan keduanya pun semakin dekat. Perlahan-lahan mereka saling mengenal karakter masing-masing. Mulai dari kebiasaan sehari-hari, apa yang disuka dan tidak disuka, sampai dengan kekurangan dan kelebihan dalam diri keduanya. Setelah deep talk malam itu, sikap Azwa berubah menjadi lebih baik. Yang semula dingin tak tersentuh, kini menjadi lebih ramah dan hangat. Dia mulai menunjukkan sifat aslinya, bahkan tanpa sengaja mengeluarkan sisi manjanya. Hal tersebut dilakukan karena dirinya sudah merasa nyaman. Gadis itu tidak lagi menganggap Aufal orang asing. Semua perlakuan Aufal terhadapnya membuktikan kalau dia adalah laki-laki yang baik. Tidak ada alasan bagi Azwa untuk terus bersikap dingin apalagi sama suaminya. Oleh karena itu, Azwa berusaha menjadi istri yang baik untuk Aufal. Seperti pagi ini contohnya. Azwa melangkahkan
Di sebuah ruang kantor yang cukup luas, Aufal sedang termenung sendirian mengingat perkataan Andra tadi siang. Setahunya, Andra pindah ke perusahaan ini atas kemauan sendiri, bukan karena disuruh siapa-siapa. Namun, kenapa tadi Andra bilang kalau itu atas permintaan ayahnya? Ketika dia mendesak Andra untuk menjawab, malah terkesan menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Aufal memijat pangkal hidungnya pusing mengingat kejadian siang tadi. “Jawab pertanyaan gue, Andra!” tekannya sekali lagi. “Eh, waktu istirahatnya hampir habis, nih. Sholat, yok, sholat.” Andra beranjak dari duduknya lantas menepuk pundah Kahfi. “Gue duluan, Fi. Baliknya hati-hati, ya.” Laki-laki itu kemudian berlalu dari sana menuju ke arah mushola. “Lo tau sesuatu, Fi?” tanya Aufal kepada Kahfi setelah memandang kepergian Andra. Kahfi menggeleng singkat. “Gue nggak tau.” Entahlah, Aufal merasa ada yang disembunyikan. Ada apa sebenarnya? Laki-laki yang memakai kemeja navy itu menghembuskan napas panjang, kemud
Pagi kembali menyapa. Aufal sudah siap berangkat kerja. Jarak kantor dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Jadi, dia tidak terlalu tergesa-gesa dan masih bisa bersantai. “Mas berangkat kerja, ya, Sayang.” Azwa mengangguk dan mencium tangan Aufal. “Doain Mas, ya. Semoga hari ini diberikan kelancaran dan kemudahan. Jaga diri baik-baik dirumah, oke?” “Iya, Mas. Mas juga hati-hati dijalan, jangan ngebut. Jaga mata, jaga hati,” ucap Azwa menirukan salah satu adegan di novel yang pernah dibacanya. "Iya, sayangku." Aufal mencium kening Azwa penuh perasaan. “Mas cinta kamu,” bisiknya sambil mengusap lembut pipi sang istri. Azwa hanya tersenyum sebagai balasan. “Udah sana, nanti telat.” “Mas berangkat, ya, assalamualaikum.” “Wa'alaikumsalam.” Azwa menatap kepergian suaminya dengan sendu. Aufal sudah sering mengucapkan tiga kata sakral itu. Namun, tak pernah sekalipun dirinya membalas. Ada sedikit rasa bersalah, tetapi dia tidak bisa membohongi hatinya hanya untuk menyenangkan Aufal kar
Aufal tengah berbaring di pangkuan Azwa sambil memainkan rambut panjang istrinya yang tergerai, sedangkan Azwa sendiri sedang memainkan ponsel untuk membalas pesan dari teman-temannya. Sesekali tangan kirinya mengusap kepala Aufal. Malam ini adalah malam terakhirnya berduaan dengan sang istri sebelum LDR. Oleh karena itu, Aufal menjadi sangat manja terhadap Azwa sejak pulang kantor. Dia bahkan tak mau melepaskan istrinya barang sedetikpun. “Dek,” panggil Aufal karena merasa dicuekin. “Bentar, ya, Mas.” Azwa segera membalas pesan temannya dengan cepat, menonaktifkan data, dan meletakkan ponselnya di nakas. Kemudian, dia memusatkan perhatiannya pada Aufal. “Dek, nggak bisa gitu baliknya ditunda? Mas masih ingin bersama kamu,” ujar Aufal setengah merengek. Azwa tersenyum sambil membelai lembut rambut Aufal. “Nggak bisa, Mas. Azwa harus balik besok mumpung ada barengannya. Kalau ditunda, Azwa nggak akan dapat tanda tangan DPA, terus nggak bisa ikut kuliah nanti.” “Mas ngerti, tapi M
Hari Kamis sesuai dengan jadwal, Azwa bersama teman-temannya akan melakukan bimbingan DPA. Sebenarnya bukan bimbingan, lebih tepatnya meminta tanda tangan KRS (Kartu Rencana Studi) dan KHS (Kartu Hasil Studi) pada DPA sebagai syarat untuk menempuh semester selanjutnya.Azwa pergi bersama ketiga sahabatnya yang kebetulan memiliki jadwal di hari yang sama. Pagi ini dia dijemput oleh Eliza seperti biasa.“Hai gaessss! Assalamualaikum, selamat pagi," sapa Almeyra yang kerap disapa Meyra yang baru saja datang di gazebo dekat GA1 (Gedung Akuntansi). Dia langsung mengambil tempat di samping Azwa.“Wa'alaikumsalam, pagi” balas Azwa dan Eliza yang sudah tiba lebih dulu.“Aku kangen banget sama kalian.” Meyra menatap teman-temannya satu-persatu. “Akhirnya, ketemu lagi.”“Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan buat bertemu lagi,” sahut Bahira, lalu pandangannya beralih ke Azwa. “Gimana-gimana, Wa?” Dia menampilkan senyum menggoda dan menaik turunkan alisnya.Azwa mengernyitkan dahi bingung.
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup