Azwa senantiasa menatap lantai sambil memainkan jemarinya yang berkeringat dingin. Jantungnya berdetak kencang tanpa bisa dikendalikan. Dia menahan rasa takut berhadapan langsung dengan ayah mertuanya.
“Kamu takut sama Papa, Azwa?” tanya Papa Wirya tiba-tiba membuat Azwa tersentak kaget. Beliau terkekeh kecil melihat menantunya yang sangat gugup. “Tanpa kamu menjawab pun Papa udah tau jawabannya.”
Pria yang usianya memasuki setengah abad itu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “nggak banyak yang ingin Papa sampaikan ke kamu. Papa cuma mau bilang, tolong terima Aufal sebagai suamimu, ya. Dia sangat mencintaimu dengan tulus.”
“Papa nggak pernah melihat Aufal jatuh cinta sedalam ini kecuali denganmu. Kamu lihat sendiri kan tadi? Aufal sangat protektif terhadapmu bahkan sama ayahnya sendiri. Padahal kan Papa niatnya cuma bicara berdua sama kamu,” jelasnya.
Azwa diam berusaha mencerna ucapan Papa Wirya. Jadi, Aufal beneran mencintainya? Bukan hanya obsesi semata? Sudah dua orang yang mengatakan hal serupa.
Namun, entah kenapa hatinya belum bisa mempercayai itu. Dia masih berpikir bahwa Aufal dan Papa Wirya bersekongkol untuk menjeratnya dalam pernikahan ini.
“Papa tau, apa yang Papa lakukan ke kamu dan keluargamu itu salah. Tapi ada satu hal yang harus kamu tau, Azwa.” Papa Wirya menatap serius menantunya yang masih setia menunduk itu.
“Aufal sama sekali nggak terlibat apapun yang Papa lakukan, termasuk memaksamu agar menerima lamarannya. Semua itu murni dari Papa tanpa ada campur tangan dari Aufal, kecuali lamaran.”
Mendengar itu, Azwa mendongak, menatap Papa Wirya terkejut. Benarkah seperti itu faktanya?
“Benar, Azwa,” lanjut Papa Wirya seolah tahu isi pikiran Azwa. “Aufal sangat menyayangimu tanpa maksud apapun apalagi memanfaatkan.”
“Terserah kamu percaya atau nggak, tapi itulah kebenarannya. Kamu bisa buktikan sendiri ketika udah hidup berdua.”
Pria yang masih mengenakan baju koko dan sarung itu mengalihkan pandangannya ke arah langit mendung. “Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, begitupun dengan Papa. Kamu paham kan maksud Papa?”
Azwa mengangguk pelan. “I-iya, Pa.”
Papa Wirya sontak menoleh ke arah Azwa. Baru kali ini beliau mendengar suara Azwa di hadapannya karena kemarin-kemarin lebih banyak diam, menyimak, dan berbicara seperlunya.
Itu pun hanya saat bersama Aufal maupun Mama Erina. Citra gadis pendiam ternyata sangat melekat pada diri menantunya. Tak masalah sama sekali. Yang penting Azwa bisa membuat Aufal bahagia.
Tak lama kemudian, Aufal datang. “Waktu habis,” ujarnya kepada sang ayah. Dia meraih tangan Azwa agar berdiri. “Ayo, Dek. Kita ke rumahmu sekarang, keburu hujan nanti.”
Azwa mengangguk lantas mencium tangan Papa Wirya. “Azwa pamit, Pa,” katanya pelan.
Mau bagaimanapun sikap orang tua, restu mereka harus tetap dikantongi saat hendak bepergian agar selamat sampai tujuan. Itu yang selalu diajarkan oleh Bunda.
Papa Wirya ikut beranjak. “Hati-hati, ya. Betah-betahin sama sifat posesifnya suamimu,” katanya sambil melirik Aufal. Beliau mengusap sebentar kepala menantunya.
Aufal mendengus keras. “Ayo, Dek,” ajaknya tak sabar.
Azwa menahan langkah Aufal. “Mas nggak salim?”
Tak ingin berdebat lebih panjang, Aufal segera menyalami ayahnya tanpa sepatah katapun. Setelah itu, dia menggandeng Azwa dan berlalu dari sana.
Papa Wirya tersenyum bahagia. Setelah sekian tahun, akhirnya Aufal kembali mencium tangannya. Dan itu berkat Azwa.
Tak salah beliau memilih Azwa sebagai menantu. Meski bukan orang kaya, tapi gadis itu kaya akan tawadhunya.
Seakan teringat sesuatu, senyumnya seketika luntur. Beliau memandang sendu kepergian anak dan menantunya.
Maaf… udah membuat kalian terlibat dalam masalah Papa, ucapnya dalam hati.
—o0o—
“Bun, apa secepat ini Adek akan meninggalkan Bunda? Adek nggak mau pergi. Adek masih ingin bersama Bunda,” ucap Azwa setengah merengek kepada ibunya yang sedang memasukkan pakaian ke dalam koper milik Aufal.
Bunda Nawa menghentikan aktivitasnya sejenak dan menatap sang putri. “Bunda juga ingin sekali Adek berada di sini terus, tapi kan Adek sekarang udah menikah. Adek wajib ikut kemanapun suami pergi apalagi Mas Aufal yang mengajak. Bunda ndak bisa menahannya.”
Azwa menghela napasnya pelan dan menatap sedih sang ibu. “Adek belum siap, Bun. Adek takut banget tinggal bersama laki-laki yang bahkan nggak Adek kenal sama sekali. Apa Adek bisa, Bunda?”
Bunda Nawa dapat melihat ketakutan dan keraguan dalam mata putrinya. Beliau lantas menggenggam tangan Azwa.
“Adek pasti bisa. Buktinya, Adek bisa merantau di Surabaya sampai sekarang kan? Malahan Adek udah jarang pulang akhir-akhir ini kalau nggak ada libur panjang.”
“Tapi ini beda, Bun. Adek akan hidup berdua sama cowok asing yang bahkan kita nggak tau karakter aslinya seperti apa. Kalau ada apa-apa sama Adek gimana?”
“Bisa aja kan dia nggak sebaik yang kita kira? Jangan lupakan, Bun, dia itu bos anak rentenir yang udah pernah menyeret Ayah dengan paksa,” bantah Azwa mengungkapkan keresahan yang mendekam dalam dada.
“Iya, Bunda paham, tapi Adek jangan hanya memandang seseorang lewat statusnya. Bisa jadi dia berbeda dengan ayahnya. Selama dua hari disana, emangnya Adek ndak ngerasain gimana perlakuan Mas Aufal kepada Adek? Hm?”
Azwa diam dan merenung. Selama disana, Aufal memang memperlakukannya dengan baik. Terlampau baik malah.
Aufal yang sabar dengan sikap jutek dan dinginnya. Aufal yang bertutur kata lembut ketika menasehatinya. Ya, Aufal sangat memuliakan istrinya.
“Mas Aufal sangat baik sama Azwa. Keluarganya pun sama,” jawabnya.
“Nah, itu Adek udah ngerasain sendiri.” Bunda Nawa mengusap kepala putrinya yang tertutup hijab. “Sayang, kita ndak akan tau sifat seseorang kalau ndak mendalaminya.”
“Ini baru awal, Adek masih punya banyak waktu buat mengenal Mas Aufal lebih dalam. Ndak ada manusia yang sempurna di dunia ini, begitupun dengan Mas Aufal. Tugas Adek sebagai istri itu melengkapi kekurangannya,” jelasnya lembut.
Azwa menghela napas panjang lantas tersenyum paksa. “Iya, Bun, Adek akan mencobanya.”
Bunda Nawa ikut tersenyum. “Ndak papa, semua butuh proses. Tapi ingat pesan Bunda, jadilah istri yang baik, ya. Meskipun Adek belum bisa mencintai dia, setidaknya Adek menjalankan kewajiban Adek dengan baik.”
“Anggaplah pernikahan ini menjadi ladang pahala untuk Adek. Adek juga harus ingat satu hal, ridho suami adalah surganya Adek. Kalau Adek ikhlas, insyaallah Allah juga akan ridho. Adek mengerti kan?”
Azwa mengangguk lantas memeluk ibunya. “Iya, Bun. Bunda doain Adek terus, ya.”
“Tanpa Adek minta, doa Bunda akan terus menyertai Adek.” Bunda Nawa melepas pelukannya dan beralih menangkup wajah Azwa.
“Adek, Bunda tau kalau Adek masih mengharapkan dia di masa lalu. Tapi Adek harus berhenti mengharapkan si dia dan berusaha melupakannya. Ada Mas Aufal yang harus Adek utamakan.”
“Cobalah buka hati buat Mas Aufal, ya, Sayang. Bunda yakin dia adalah laki-laki yang Allah kirimkan untuk menjadi imam Adek.”
Sementara itu, di teras Aufal tampak begitu akrab mengobrol bersama Ayah Abyaz.
“Ayah nitip Azwa, ya. Jaga dan sayangi dia. Bimbing dia ke jalan yang benar. Tanggung jawab Ayah atas Azwa udah berpindah di tanganmu, jadi Ayah serahkan sepenuhnya sama kamu,” ucap Ayah Abyaz yang juga memberikan pesan kepada Aufal.
"Iya, Yah. Insyaallah, Aufal akan melaksanakan amanah Ayah dengan baik semampu Aufal,” balas Aufal tanpa ragu.
Ayah Abyaz tersenyum melihat kesungguhan dan ketulusan di mata Aufal. Semoga Aufal adalah laki-laki yang benar-benar tepat untuk putrinya. Laki-laki yang bisa melengkapi kekurangan Azwa.
“Aufal,” panggil Ayah Abyaz. Beliau terdiam sejenak sebelum berkata, “jika suatu hari nanti kamu udah nggak sanggup menghadapi sifat dan sikap Azwa yang menurutmu keterlaluan, tolong kembalikan kepada Ayah dengan cara baik-baik.”
“Bukannya Ayah berharap rumah tangga kalian hancur. Ayah bahkan sangat berharap kalian akan terus bersama sampai tua, sampai maut memisahkan. Tapi kan kemungkinan terburuk itu pasti ada. Jadi, bila itu terjadi, tolong pulangkan Azwa ke Ayah secara baik-baik, ya.”
Aufal sangat memahami kekhawatiran ayah mertuanya. Di keluarga ini, Azwa menjadi putri kesayangan. Sangat wajar bila Ayah Abyaz menyampaikan hal itu.
“Ayah tenang aja. Aufal janji, Aufal akan berusaha semaksimal mungkin buat bahagiain Azwa. Aufal nggak akan pernah lepasin Azwa,” janjinya bukan hanya untuk sang ayah mertua, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
“Ayah pegang janjimu.”
Laki-laki yang memakai kaos berwarna abu-abu itu mengangguk mantap. “Ayah, sekali lagi Aufal meminta izin untuk mengajak Azwa ikut bersama Aufal ke Jakarta dan tinggal di sana,” ungkapnya.
“Kamu nggak perlu minta izin segala, Aufal. Azwa kan istrimu sekarang. Pastinya kamu yang lebih berhak.” Ayah Abyaz terkekeh seraya menepuk pundak menantunya. “Pergilah, bawa Azwa ikut bersamamu.”
Aufal tersenyum senang. “Makasih, Ayah.”
“Aku nggak setuju!” Suara Diaz yang berseru lantang mengagetkan keduanya. Dia berjalan dengan tatapan tajam mendekati tempat mereka.
“Apa maksudmu, Diaz?” tanya Ayah Abyaz lantas bangkit dari duduknya diikuti oleh Aufal. “Diaz nggak setuju Adek dibawa pergi sama Aufal ke Jakarta,” jawab Diaz datar. “Kenapa memangnya? Aufal berhak membawa Adek kemanapun dia pergi.” “Diaz tetep nggak setuju!” Ayah Abyaz mengajak Diaz dan Aufal ke halaman rumah terlebih dahulu agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh istri dan putrinya. Beliau merasa akan ada perdebatan diantara keduanya. “Setuju ndak setuju, kita harus menghargai keputusannya, Diaz. Mungkin mereka butuh privasi berdua yang ndak melibatkan keluarga di dalamnya. Ayah percaya Aufal bisa menjaga dan membahagiakan Adek,” ucapnya. “Segampang itu Ayah percaya?” Diaz terkekeh sinis. Matanya menatap tajam ke arah Aufal. “Bagaimana bisa Ayah mempercayakan Adek pada orang asing macam dia?” “Aufal bukan orang asing, Diaz. Dia kini udah jadi suami Adek. Kita memang belum saling mengenal sepenuhnya, tapi Ayah yakin Aufal ndak akan menyakiti Azwa. Ayah juga melihat Aufal
Aufal dan Azwa tengah bersantai di ruang tengah untuk melepas penat. Hari ini sungguh melelahkan. Sehabis perjalanan jauh, keduanya langsung diberikan kejutan oleh teman-teman Aufal yang berasal dari kontrakan lama. Mereka semua, laki-laki yang berjumlah sembilan orang itu, berkumpul menyambut kedatangan Aufal dengan suka cita karena sudah menganggap layaknya keluarga sendiri. Aufal pun tidak menyangka mereka menyempatkan hadir dengan formasi lengkap ditengah-tengah kesibukan, bahkan ada yang rela menunda jadwal pulang kampungnya. Ini benar-benar di luar rencana. Dia tidak tahu apapun tentang kejutan itu. “Anggaplah buat menggantikan kami yang nggak bisa hadir di pernikahan kalian,” jawab salah satu dari mereka ketika ditanya oleh Aufal. “Semua ini idenya Bang Andra. Kita, mah, cuma ngikut doang.” Tidak banyak acara yang mereka adakan. Hanya makan-makan bersama, lalu dilanjutkan sesi perkenalan dengan Azwa. Mereka juga mengucapkan selamat serta memberikan kado pernikahan kepada
Azwa tampak serius memainkan ponselnya untuk membalas pesan dari ibu dan kakaknya. Kemudian berlanjut membuka grup kelas. Ada lebih dari seratus pesan yang membahas tentang keluarnya nilai di semester ini, kalender akademik, surat edaran dari kampus, dan sisanya obrolan random mereka. Dia berdoa semoga nilainya naik atau paling tidak sama seperti semester kemarin. Yang terpenting lebih dari tiga agar beasiswanya tidak dicabut.Keluar dari room chat grup kelas, gadis itu lantas membuka grup bersama ketiga teman dekatnya yang diberi nama ‘Cecan Sukses Aamiin😍’. Wow! Cukup banyak, hampir menandingi pesan di grup kelas. Entah apa saja yang mereka bahas. Azwa pun membaca satu-persatu obrolan random dan absurd mereka sambil terkekeh kecil karena lucu. Hingga tibalah pada pesan yang dikirim dua hari lalu.Almeyra : [Breaking News! Azwa Aila Putri Adiba dikabarkan telah menikah dengan seorang laki-laki misterius pada tanggal 16 Januari kemarin. Tampaknya acara tersebut digelar di kediaman sa
“Aku kurang tau cerita lengkapnya seperti apa. Intinya papaku tuh punya sahabat yang ada di Semarang, terus mereka sepakat buat menjalin kerjasama dengan mendirikan sebuah perusahaan yang dikelola bersama. Dan jadilah perusahaan ini. Papa bilang, mulai pergantian tahun ini aku harus ikut membantu mengelola, nggak mungkin lepas tangan terus,” jelas gadis cantik itu panjang lebar. Aufal sangat terkejut. Jadi ini seseorang selain Danang yang kata ayahnya akan membantunya mengelola perusahaan? Dia sudah tahu bahwa perusahaan ini bukan sepenuhnya milik keluarganya melainkan atas hasil kerjasama antara sang ayah dengan sahabatnya. Dengan kata lain, gadis mengesalkan ini adalah anak dari sahabat ayahnya? “Aku kesini karena diminta Papa buat melakukan pengecekan bulanan. Katanya hari ini kedatangan pemimpin baru anak sahabatnya Papa. Sayang banget, aku nggak sempat ketemu. Aku tadi datang pas habis jam istirahat makan siang, jadi nggak ikut rapat besar. Waktu sampai sini, dia udah pergi yan
Aufal tersenyum lantas memperbaiki duduknya agar lebih nyaman. “Karena di mata Mas kamu itu istimewa, Dek. Mas memilihmu karena akhlak dan agamamu.” “Mas yakin kamu orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidup serta melengkapi kekurangan Mas yang sangat jauh dari kata sholeh ini.” “Kamu memang bukan berasal dari keluarga kaya maupun terpandang, tapi hati dan akhlakmu jauh lebih kaya yang menjadikanmu perempuan terhormat,” jelasnya. Azwa tertegun, tidak menyangka Aufal memandang dirinya seperti itu. “Tapi, Mas. Azwa nggak sebaik yang Mas kira. Azwa belum sesholehah itu.” “Mas tau sendiri kan sikap Azwa ke Mas seperti apa? Apalagi saat malam pertama waktu itu. Azwa marah sama Mas, Azwa bahkan meninggikan suara dihadapan Mas.” “Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, begitupun denganmu, Dek. Saat Mas mengucapkan janji suci, disitulah Mas berkomitmen untuk menerima semua yang ada dalam dirimu, baik kelebihan maupun kekurangan.” “Jujur, Mas juga kaget banget melihat sikapmu
“Mas Ofa?” Azwa mengerutkan keningnya mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pemilik nama Ofa. Dia merasa tidak asing dengan nama itu dan pernah mendengarnya, tapi dimana? “Iya, kita bertemu lagi di bawah pohon besar dekat belakang perkampungan. Saat itu kamu masih mengenakan seragam SD entah dari mana. Kamu ingat?” Kerutan di dahi Azwa semakin dalam dan semakin mengorek ingatan masa lalunya. Samar-samar, ada bayangan saat dia bertemu seorang anak laki-laki bertubuh gempal memakai seragam SMP sedang duduk lesehan di bawah pohon besar yang terkenal angker. Lalu bayangan beralih ketika dirinya berjalan bersama sambil memberitahu arah jalan raya kepada Mas Ofa yang katanya tersesat. Dia juga menunjukkan letak rumahnya yang memang dilewati. “Oh…. Mas itu Mas Ofa! Kenapa Mas bohong?” “Mas nggak bohong. Itu nama Mas waktu kecil saat Mas baru belajar ngomong, kata Mama.” “Tapi kok Mas beda?” Azwa memicingkan matanya memperhatikan penampilan Aufal dengan seksama. Seingatnya, Aufal yan
Waktu terus menggerakkan dentangnya. Hari demi hari berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah seminggu lebih Aufal dan Azwa tinggal bersama dalam satu rumah. Hubungan keduanya pun semakin dekat. Perlahan-lahan mereka saling mengenal karakter masing-masing. Mulai dari kebiasaan sehari-hari, apa yang disuka dan tidak disuka, sampai dengan kekurangan dan kelebihan dalam diri keduanya. Setelah deep talk malam itu, sikap Azwa berubah menjadi lebih baik. Yang semula dingin tak tersentuh, kini menjadi lebih ramah dan hangat. Dia mulai menunjukkan sifat aslinya, bahkan tanpa sengaja mengeluarkan sisi manjanya. Hal tersebut dilakukan karena dirinya sudah merasa nyaman. Gadis itu tidak lagi menganggap Aufal orang asing. Semua perlakuan Aufal terhadapnya membuktikan kalau dia adalah laki-laki yang baik. Tidak ada alasan bagi Azwa untuk terus bersikap dingin apalagi sama suaminya. Oleh karena itu, Azwa berusaha menjadi istri yang baik untuk Aufal. Seperti pagi ini contohnya. Azwa melangkahkan
Di sebuah ruang kantor yang cukup luas, Aufal sedang termenung sendirian mengingat perkataan Andra tadi siang. Setahunya, Andra pindah ke perusahaan ini atas kemauan sendiri, bukan karena disuruh siapa-siapa. Namun, kenapa tadi Andra bilang kalau itu atas permintaan ayahnya? Ketika dia mendesak Andra untuk menjawab, malah terkesan menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Aufal memijat pangkal hidungnya pusing mengingat kejadian siang tadi. “Jawab pertanyaan gue, Andra!” tekannya sekali lagi. “Eh, waktu istirahatnya hampir habis, nih. Sholat, yok, sholat.” Andra beranjak dari duduknya lantas menepuk pundah Kahfi. “Gue duluan, Fi. Baliknya hati-hati, ya.” Laki-laki itu kemudian berlalu dari sana menuju ke arah mushola. “Lo tau sesuatu, Fi?” tanya Aufal kepada Kahfi setelah memandang kepergian Andra. Kahfi menggeleng singkat. “Gue nggak tau.” Entahlah, Aufal merasa ada yang disembunyikan. Ada apa sebenarnya? Laki-laki yang memakai kemeja navy itu menghembuskan napas panjang, kemud
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup