Menikah dengan Arkan adalah kejutan yang paling besar. Kami yang tidak melewati masa pacaran, kadang sampai sekarang suka canggung. Mau meluk aja aku canggung minta ampun. Padahal udah sah, udah gak dosa kalau berbuat lebih.
Bahkan jika bermesraan dengan suami sendiri. Kami Arkan mendapatkan pahala, tapi karena pernikahan kami yang terjadi bisa dibilang tiba-tiba. Kami sangat canggung. Sebenarnya hanya aku saja yang canggung. Kalau Arkan dia lebih bisa mengatakan apa yang dia inginkan.
Untung arkan yang punya inisiatif. Dia mendekatkan dirinya kepadaku, dan mengenalkan tentang hidupnya padaku. Dia juga bisa mencairkan suasana, jika aku kaku dan bingung harus apa.
Seperti malam ini, Arkan mengambil sisir dari meja rias dan menyisir rambutku yang setengah basah. Seperti kata Rara, Arkan ini suka sekali pada rambutku.
"Jangan dipotong. Biarkan panjang aja kayak gini. Gue suka banget rambut panjang lo," kata arkan tetap menyisir rambutku, walaupun aku yakin rambutku sudah tidak kusut.
"Gak bakal aku potong. Sebisa mungkin gue pertahanin panjang."
"Kalau lo berani potong tanpa seizin gue, gue bakal marah banget."
"Siap dilaksanakan."
"Mau melihara kucing gak?" Tanya Arkan tiba-tiba.
Aku suka sekali pada kucing, tapi abangku alergi pada kucing. Dia memang sempat mengalah dan kami memelihara kucing. Abangku terus bersin-bersin dan badannya bentol-bentol gatal.
Secara terpaksa akhirnya kucing diungsikan. Sejak itu tidak pernah ada kucing lagi di rumah. Padahal aku sangat menyukai makhluk berbulu lembut itu.
"Memang boleh?"
"Boleh dong. Di rumah juga ada kucing, cuman lagi di bawa Gavin."
Gavin adalah sepupu Arkan. Mereka cukup dekat dan sering memanjang gunung bersama.
"Kita beli dua. Warna coklat dan putih," kataku antusias.
"Besok kita ambil dari, Fahri!"
"Kok diambil?"
"Rencananya mau ngerampok, tapi karena kita baru menikah. Minta hadiah pernikahan aja sama Fahri," kata Arkan sambil ngakak.
Fahri salah satu anak grup. Aku juga lumayan kenal dengan laki-laki yang paling sabar di grup.
Dia paling sering diledek dan disalahkan disana. Dia tetap sabar dan mengalah. Aku sampai kasihan padanya, tapi aku sesekali juga ikut meledeknya.
"Kasian, tar dia sedih."
"Lo jangan liat mukanya, yang terlihat menyedihkan."
"Gak boleh gitu."
"Lo gak tau sih, ini rahasia antara laki-laki," kata Arkan lalu tertawa.
Loh, kok aku merasa curiga. Jika sudah menyangkut rahasia laki-laki, lebih baik situ tidak bertanya lebih lanjut. Kadang rasa penasaran harus dipendam, jika tidak mau menyesal.
"Nanti kita kasih nama Momo dan Coco."
"Di rumah namanya Mawar."
Arkan banyak bercerita tentang kucingnya. Awalnya ingin dibawa tinggal bersama, tapi mama tidak setuju. Takut Arkan jarang ke rumah. Setidaknya saat ada Mawar di rumah mama. Arkan jadi punya alasan untuk sering berkunjung atau kembali kesana.
Mama sempat ngambek, saat kami izin pulang. Mama ingin kami menginap disana. Arkan menolak dan berbisik entah apa ditelinga mama, baru mama mengizinkan kami pulang.
Untuk saat ini Arkan masih cuti bekerja. Katanya tidak mau langsung banting tulang, mau istirahat dulu.
Sebelum melamarku dia memang lembur habis-habisan. Menyelesaikan semua pekerjaan di kantor. Sehingga saat dia menikah dia punya waktu untuk liburan. Tidak direpotkan lagi dengan urusan pekerjaan.
Momen lamaran juga sangat lucu. Arkan membawa semua surat yang diperlukan. Seperti kartu keluarga, KTP, dan SKCK.
Aku sempat berpikir kenapa tidak bawa ijazah sekalian saja? Saat lamaran ayah bilang, butuh waktu untuk menjawab.
Selama kurun waktu itu. Arkan selalu ke rumah mendekatkan diri ke keluargaku, tapi denganku biasa saja. Dia sangat menyebalkan bukan, bahkan dia masih meledekku di grup.
Kamu masih bertengkar dan saling beradu argumen. Tidak ada yang menyangka, Arkan sudah melamarku dan menunggu jawaban saja.
"Mau ATM gue, atau mau buat buku rekening baru?" Tanya Arkan membuat aku bingung.
"Buat apa?"
"Buat ngatur keuangan. Istriku! Sekarang udah jadi ibu rumah tangga. Sekarang kamu yang atur keuangan kita," katanya sambil mencubit hidupku pelan.
Aku memukul tangan Arkan. Seperti biasa dia pura-pura kesakitan membuat aku meraih tangannya dan menggigitnya gemas.
"Ya Allah, hamba digigit, istri hamba."
Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Dia malah balas menggigit pipiku pekan. Aku berteriak, tidak sakit tapi lebih ke arah kaget.
"Arkan ih ...."
"Ampun ...."
Arkan pura-pura takut. Aku cemberut, melihat tingkahnya. Jantungku juga berdetak semakin kencang. Penyakit jantung ini semakin parah.
"Zahra Humaira, istriku. Ibu dari anak-anakku nanti. Keuangan kita kamu yang atur, tugasku hanya mencari nafkah sekarang. Tugasmu mengatur semua keuangan kita. Kalau mau dihabiskan juga gak apa-apa. Nanti gue cari lagi yang banyak," katanya lembut.
Suara lembutnya membuat perutku geli, menggelitik hingga dada. Aliran darahku semakin cepat dan membuat suhu tubuhku meningkat. Wajahku sudah sangat merah.
Arkan meraih kepalaku dan meletakkannya di lengannya. Dia mengusap rambutku lembut. Selain ayah, dan abangku. Tidak ada laki-laki yang mengusap rambutku semesra ini. Tentu saja rasanya sangat menyenangkan, seribu kali lebih menyenangkan dari melihat drama Korea.
Dari jarak sedekat ini aroma tubuh Arkan yang tanpa parfum sangat tercium jelas. Wanginya hampir sama dengan aroma tubuhku. Kami memakai sabun dan sampo yang sama.
Percayalah, ini lebih romantis daripada orang yang pacaran dan diberi kejutan. Saat halal semuanya terasa lebih indah, dan tidak ada dosa, melainkan pahala.
Hanya saja jangan hanya menikah. Pastikan sudah siap lahir batin. Sudah siap juga secara materi, karena menikah bukan cuman soal cinta.
Menikah artinya menyatukan dua belah keluarga. Harus saling menerima semua kekurangan dan kelebihan dan harus mampu menekan ego satu sama lain.
Memang masih sangat dini untukku mengatakan ini. Aku perlu bersiap-siap dan meniatkannya. Secara perlahan menjalankan.
Aku dan Arkan sudah punya pondasi. Arkan sudah bisa menafkahiku dan keluarga kami menerima satu sama lain. Tinggal kamu yang menjalankan dan memahami satu sama lain.
"Zahra, aku Arkan putra Harvian punya banyak kekurangan. Punya banyak kelemahan, dan pastinya tidak sempurna. Aku ingin kamu melengkapi diriku."
"Aku juga punya banyak kekurangan, dan aku mau kamu juga melengkapi diriku. Ikhlas membimbingku dan menuntut."
"Mari kita berjuang bersama-sama, sampai sang maha kuasa memanggil kita untuk kembali ke sisinya."
Setelah mengatakan itu kami berpelukan. Mengalirkan harapan kami, satu sama lain. Semoga Allah meridhoi hubungan kami.
Semoga semua cobaan yang kami terima. Mampu kami hadapi dengan lapang dada dan ikhlas. Kami sadar tidak ada hubungan yang berjalan mulus, dan baik-baik saja.
Harapan kami semoga hubungan ini, memberi yang terbaik dalam hidup kami berdua.
Semoga saja Allah menjodohkan kami dunia akhirat. Sehingga setelah Kematian Pun kami bisa bersatu kembali sebagai suami istri.
Banyak yang bilang jatuh cinta itu berjuta rasanya. Sekarang aku yakin, karena aku sedang merasakannya. Rasanya sungguh campur aduk dan tidak bisa di lukisan dengan kata-kata. Semuanya terasa sangat luar biasa tiada duanya. Sekarang aku tau, aku tidak diserang penyakit jantung. Aku diserang penyakit yang tidak kalah mematikanya. Yaitu penyakit cinta, hanya saja bukan lagi penyakit namanya. Aku sudah menikah dengan Arkan. Mencintainya bukan lagi penyakit, tapi keharusan. Keharusan seorang istri, pada suaminya. Suami istri harus saling mencintai. Walaupun awalnya mungkin tidak saling mencinta, tapi mereka harus mencoba. Mereka harus belajar untuk saling mencintai. Sehingga rumah tangganya tidak terasa seperti neraka. Mencintai pasangan juga membuat kita yang sedang diterpa masalah menjadi lebih mudah untuk me
Untuk sekarang aku tau kelemahan Arkan. Dia akan salah tingkah jika aku mengucapkan rasa sayangku padanya. Sepertinya aku juga sudah ketularan jailnya Arkan. Aku benar-benar tidak menyangka jika itu adalah kelemahannya. Ternyata orang yang jahil seperti Arkan juga bisa ditaklukkan dengan kata-kata cinta sederhana. Sekarang aku tahu bagaimana harus membalas dendam, atas semua kejahilannya. Sekarang tinggal bilang 'Arkan gue sayang lo.' wajahnya akan langsung bersemu merah. Dia akan sangat gugup dan grogi. Sungguh tidak ku sangka menjaili Arkan semudah ini. Membuat dia gagap juga sangat mudah, tinggal peluk saja dari belakang. Aku baru mencoba yang ini tadi pagi. Aku kesal karena dia menggendongku, yang masih tidur langsung ke kamar mandi. Aku ingin mencubit atau menjambak rambutnya awalnya. Sudah pasti dia t
Rintik-rintik hujan mulai turun, membasahi bumi. Aroma tanah basah tercium sangat khas di hidungku. Hujan mulai turun dengan derasnya. Aku buru-buru menutup pintu balkon apartemen. Agar tidak air hujan tidak masuk ke dalam. Percikannya yang terlebih cepat mendahuluiku, membasahi tirai berwarna coklat kami. Arkan mendekat dan berhenti tepat di belakangku. Menahan tangan mungilku yang masih menyentuh pintu kaca kami. Dari sini terlihat jelas rintik hujan yang jatuh dengan suka cita. Pintu kaca yang kupegang mulai berembun. Suhu di sekitar kami juga mulai menjadi lebih sejuk. Bukan karena AC yang menyala, tapi karena hujan yang suka cita membasahi bumi. "Udah lama gak main hujan. Ayo kita main hujan bareng. Pasti seru banget," bisik Arkan d
Sebenarnya hari ini adalah jadwal kami mengunjungi rumah ayah dan ibu, tapi karena aku sakit. Kami membatalkan kunjungan. Aku tau ibu dan ayah mengerti dan tidak mempermasalahkannya. Mereka sangat memahami kondisiku. Ibu dan ayah juga berharap aku cepat sembuh dan menyuruhku untuk beristirahat saja. Arkan merawatku dengan sangat telaten. Dia memasak dan membersihkan rumah. Dia terlihat tidak keberatan melakukan semua pekerjaan rumah. Bahkan dia terlihat sangat senang. Melihat dia yang mengerjakan pekerjaan rumah dengan senang hati. Membuatku sangat bahagia. Ternyata aku mendapatkan suami yang sangat pengertian. "Gue udah gak apa-apa kok. Gue udah baik-baik saja," kataku saat Arkan memeriksa keningku untuk kesekian kalinya hari ini. Dia benar-
Aku dan Arkan berniat untuk belanja bulanan hari ini. Kulkas kami benar-benar kosong, semenjak pindah kami belum pernah belanja. Semua makanan ringan kami sudah habis. Harusnya kami pergi semalam, untuk belanja. Hanya saja Arkan punya agenda baru yang lebih mendesak jadi dibatalkan. Jangan tanya agenda apa? Yang pasti jomblo pasti iri. "Pakek baju yang warna hitam aja. Biar sama kayak punya aku!" Perintah Arkan padaku. Aku menuruti perintahnya, jadi kami sama-sama memakai baju berwarna hitam sekarang. Sebelum kami berangkat, Arkan sudah membuat list belanjaan kami. Katanya agar lebih mudah dan terarah saja. List belanjaan Arkan benar-benar lengkap. Dia bahkan menulis pembalut disana. Aku sampai tersipu malu saat melihat list yang telah ditulis
Mengingat mantan Arkan masih saja membuat aku kesal. Bertemu dengan mantan memang tidak menyenangkan. Terlebih lagi mantan suamiku ini sangat cantik dan masih sangat berharap pada Arkan."Udah dong jangan kesel lagi," kata arkan sambil memelukku dari belakang."Siapa yang kesel," kataku sambil terus menyusun belanjaan kami di kabinet dapur.Sebisa mungkin kualihkan pikiranku dari mantan Arkan yang masih sangat berharap padanya."Gak kesel, tapi mukanya ditekuk sama cemberut gitu!" Katanya sambil mecubit pipiku pelan.Aku terus menyusun barang-barang belanjaan kami. Menyusun serapi mungkin, karena arkan suka sekali secara diam-diam mengulangi pekerjaanku.Awalnya kesel tapi makin kesini aku berusaha memaklumi sikap perfeksionis Arkan. Dia sangat teratur dan rapi."Gue seneng kok kalau lo cemburu. Cemburu, kan, tanda cinta.""Siapa bilang cemburu tanda cinta. Cemburu tanda tidak mampu, iya!""Karena
Kami datang keacara arisan mama dengan telat. Ini salah Arkan setelah selesai bersiap-siap, Arkan bilang hukumanku belum selesai. Terpaksa kami harus mandi lagi dan bersiap-siap sekali lagi.Untung mama dan papa sangat pengertian. Mereka hanya tersenyum saat kami datang terlambat. Mama juga menyuruhku untuk ganti baju.Mama sudah menyiapkan baju yang sama untuk kami. Mama ingin mengantar bajunya, sebenarnya. Hanya saja Arkan melarang, dengan dalih masih sibuk.Mama hanya tersenyum saat melihat bekas-bekas di leher dan sekitar dadaku saat ganti baju dan didandani. Aku datang kesini hanya memakai make up seadanya karena takut telat."Wah kak Zahra cantik sekali," kata Rara memuji."Terima kasih. Kamu juga sangat cantik," kataku.Kami keluar dari kamar mama dan langsung bergabung dengan keluaraga besar. Aku sangat canggung, hanya Rara yang kukenal secara akrab.Saat aku lihat Arkan. Dia melempar senyum y
Baru kali ini sudah sekali membangunkan Arkan untuk shalat subuh. Berulang kali aku menarik dan menggoyang-goyangkan tubuhnya tapi Arkan enggan bangun. Padahal dia biasanya bisa bangun tanpa harus aku bangunkan. "Arkan bentar lagi subuh. Ayo bangun! Nanti lo telat shalat subuhnya, Arkam." Aku terus menarik selimut yang digulung Arkan pada tubuhnya. Dia seperti kepompong sekarang. Lucu sekali sebenarnya. Kalau bukan karena sebentar lagi waktu shalat subuh. Aku juga tidak tega untuk membangunkan Arkan. "Bentar lagi aja. Lima menit lagi aja. Please," katanya serak khas bangun tidur. "Arkan jangan tidur lagi ih ...," kataku kesal padanya. "Iya ... Iya ...." Arkan membuka matanya dan bangkit lalu memelukku dan merebahkan diri lagi ke atas ranjang empuknya.&nbs