Melihat tante Wenda dengan wajah sembab saat meninggalkan makam papa. Membuat otakku berpikir sangat keras.
Aku yakin hubungan mereka tidak ada yang istimewa. Namun saat aku melihat kejadian ini. Pemikiranku runtuh seketika.
Tante Wenda tidak mungkin menangis hingga wajahnya sembab. Kalau hanya memiliki hubungan yang biasa dengan papa. Dia tidak perlu repot-repot terus menaruh bunga di makan papa tiap hari.
"Gua benar-benar gak tau kalau tante Wenda sering banget ke makam papa. Tante Wenda pasti sayang sekali pada papaku," kataku dengan nada sinis yang bahkan tidak bisa ku sembunyikan.
Serafin mengelus rambutku dan tersenyum padaku. Matanya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi bibitnya tertutup sangat rapat.
Ya Allah badanku sampek gemetar, berada satu kamar dengannya. Seumur hidupku belum pernah aku bersama dengan laki-laki hanya berduaan dalam satu ruangan. Jari tanganku bahkan sudah pucat, karena terus ku remas. Aku gugup, dan takut dalam satu waktu yang sama. Detak jantungku jangan ditanya lagi bagaimana, sudah seperti generang yang ditabuh saat perang. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Apalagi saat melihat senyum menyeringainya, ya Allah aku rasanya ingin mati saja, tapi malaikat maut enggan menjemputku. Tentu saja enggan, karena mungkin belum waktunya Ya Allah bagaimana ini? Dia malah mendekatkan tubuhnya padaku, aroma parfumnya langsung mendominasi Indra penciumanku. Aku takut sekali wajahnya juga tampak tenang aja, tapi bukankah air yang t
Semalam Arkan masih bisa tidur dengan nyenyak di sebelahku tanpa terganggu sama sekali. Sedangkan aku benar-benar gugup sampai sulit tidur. Dia bahkan sempat membalas ledekan anak grup, yang kalau bercanda suka aneh-aneh. Ledekan demi ledekan mereka lontarkan di sana, aku bahkan terus di panggil, tapi tidak berani muncul. Aku benar-benar tidak siap menghadapi ledekan anak-anak grup. Hanya Arkan yang menanggapi ledekan mereka. Mereka banyak yang syok, tiba-tiba saja kami menikah dalam waktu yang bisa di bilang singkat. Acara akad nikah kami, hanya mengundang keluarga dekat saja, dan rencananya resepsi baru mengundang teman dan kolega. Resepsi Pun akan dilakukan dua bulan kedepan, akad dilakukan dalam waktu yang singkat dari acara lamaran. Pantas saja banyak yang syok mendengar kami sudah menikah.
Meja makan di penuhi hidangan istimewa pagi ini. Ada berbagai macam makan, ibu pasti menyiapkan untuk menantunya. Aku sama sekali tidak dibangunkan untuk membuat sarapan, biasanya membantu ibu memasak adalah tugasku. Aku sekarang tidak berani menatap ibu, malu rasanya mengingat kejadian tadi. Ya Allah semoga saja ibu cepat lupa. Arkan yang duduk di sampingku malah cengar-cengir, dan berceloteh gembira bersama ayah. Kedua laki-laki itu akrab sekali, padahal ayah bukan tipe orang yang ramah pada laki-laki yang mencoba mendekat padaku. Ayah terkesan galak sekali, apalagi ayah pensiunan tentara. Dulu ayah selalu membuat takut semua teman laki-lakiku, sepertinya Arkan cepat sekali bisa mengambil hati ayah dan ibu. "Setelah sarapan, kalian jadi melihat ru
"Suka gak?" Tanya Arkan padaku saat membuka pintu apartemennya. Sebelum menikah denganku arkan sudah tinggal sendirian di apartemen ini. Alasannya hanya karena ingin mandiri saja, padahal dia itu anak tunggal. Walaupun sebenarnya orang tuanya tidak setuju, tapi Arkan bersikeras untuk tinggal sendiri. Salah satu alasanya juga. Apartemen lebih dekat dari kantor tempatnya bekerja. Sehingga dia tidak terlalu lelah harus bolak-balik kantor dan rumah. Apalagi kalau pulang ke rumah bisa terjebak macet. "Suka," kataku pelan. Arkan tersenyum bangga saat mendengar jawabanku. Aku melihat ke sekeliling apartemen Arkan. Apartment-nya terlihat sangat teratur dan rapi. Apartemen ini juga terkesan laki-laki sekali, cat dindingnya saja berwarna abu-abu dan hampir semua pe
Aku benar-benar belum terbiasa melihat Arkan yang ada di sampingku saat bangun tidur, masih kaget, tapi mampu menahan teriakan. Arkan ini unik sekali, di balik sikap jailnya dia adalah laki-laki yang mampu bersikap dewasa. Arkan tau jika aku masih belum terbiasa dengan peran baru yang kutanggung. Dia tidak memaksa dan melakukan semuanya secara perlahan. kata Arkan penting kita sudah dalam ikatan yang jelas, secara agama dan negara. Untuk kedepannya hanya perlu dilakukan secara perlahan saja. Tidak perlu buru-buru, waktu akan membuat semuanya semakin indah dan berkesan. Kalau saja dia seperti ini dari dulu, sudah pasti aku jatuh cinta. Sayangnya dulu daripada mendekati aku secara baik-baik. Arkan malah selalu mencari-cari masalah denganku. Sehari saja dia tidak berdebat denganku. Rasanya pasti me
Mama banyak bercerita tentang masa kecil Arkan. Seperti tebakanku dia memang nakal saat kecil. Sepupunya yang kebetulan berkunjung juga, membenarkan hal itu. "Tiap hari selalu ada aja tinggallah Arkan," kata mama yang duduk di sampingku. Rara, sepupu perempuan Arkan juga bercerita dengan sangat bersemangat. Bagaimana cara Arkan mengganggu mereka semua dan membuat mereka menangis. Tidak ada yang bisa mengalahkan Arkan untuk masalah bandel. Dialah nomor satunya. Tidak ada yang berani dekat-dekat dengan waktu kecil. "Setiap sepupunya selalu saja di buat nangis," kata Rara mengadu. "Sampai gak ada yang mau dekat-dekat sama mas Arkan, takut dijailin." Sambungnya lagi. "Rara itu yang selalu jadi langgan
Menikah dengan Arkan adalah kejutan yang paling besar. Kami yang tidak melewati masa pacaran, kadang sampai sekarang suka canggung. Mau meluk aja aku canggung minta ampun. Padahal udah sah, udah gak dosa kalau berbuat lebih. Bahkan jika bermesraan dengan suami sendiri. Kami Arkan mendapatkan pahala, tapi karena pernikahan kami yang terjadi bisa dibilang tiba-tiba. Kami sangat canggung. Sebenarnya hanya aku saja yang canggung. Kalau Arkan dia lebih bisa mengatakan apa yang dia inginkan. Untung arkan yang punya inisiatif. Dia mendekatkan dirinya kepadaku, dan mengenalkan tentang hidupnya padaku. Dia juga bisa mencairkan suasana, jika aku kaku dan bingung harus apa. Seperti malam ini, Arkan mengambil sisir dari meja rias dan menyisir rambutku yang setengah basah. Seperti kata Rara, Arkan ini suka s
Banyak yang bilang jatuh cinta itu berjuta rasanya. Sekarang aku yakin, karena aku sedang merasakannya. Rasanya sungguh campur aduk dan tidak bisa di lukisan dengan kata-kata. Semuanya terasa sangat luar biasa tiada duanya. Sekarang aku tau, aku tidak diserang penyakit jantung. Aku diserang penyakit yang tidak kalah mematikanya. Yaitu penyakit cinta, hanya saja bukan lagi penyakit namanya. Aku sudah menikah dengan Arkan. Mencintainya bukan lagi penyakit, tapi keharusan. Keharusan seorang istri, pada suaminya. Suami istri harus saling mencintai. Walaupun awalnya mungkin tidak saling mencinta, tapi mereka harus mencoba. Mereka harus belajar untuk saling mencintai. Sehingga rumah tangganya tidak terasa seperti neraka. Mencintai pasangan juga membuat kita yang sedang diterpa masalah menjadi lebih mudah untuk me