Share

Part : 3.

Meja makan di penuhi hidangan istimewa pagi ini. Ada berbagai macam makan, ibu pasti menyiapkan untuk menantunya. Aku sama sekali tidak dibangunkan untuk membuat sarapan, biasanya membantu ibu memasak adalah tugasku. 

Aku sekarang tidak berani menatap ibu, malu rasanya mengingat kejadian tadi. Ya Allah semoga saja ibu cepat lupa. Arkan yang duduk di sampingku malah cengar-cengir, dan berceloteh gembira bersama ayah. 

Kedua laki-laki itu akrab sekali, padahal ayah bukan tipe orang yang ramah pada laki-laki yang mencoba mendekat padaku. Ayah terkesan galak sekali, apalagi ayah pensiunan tentara. 

Dulu ayah selalu membuat takut semua teman laki-lakiku, sepertinya Arkan cepat sekali bisa mengambil hati ayah dan ibu.

"Setelah sarapan, kalian jadi melihat rumah yang akan di tempati nanti?" Tanya ayah, membuat ibu berhenti menumpuk piring bekas kami makan. 

Mata ibu berkaca-kaca, ibu sepertinya sangat sedih, anak perempuan akan segera meninggalkan rumah. 

Aku tau pasti ibu dan ayah sedih sekali. Mereka harus melepaskan anak bungsu perempuannya untuk membangun keluarga sendiri. Mereka pasti merasa sangat kehilangan. Apalagi hanya akulah yang selalu menemani mereka di rumah ini. Aku pula yang harus dilepaskan oleh mereka pertama kali. Pasti sangat berat untuk ayah dan ibu.

"Jadi ayah, sepertinya untuk sementara Arkan akan tinggal di apartemen dulu. Rumah yang akan kami tepati butuh sedikit renovasi dulu ayah."

"Ayah hanya bisa berharap yang terbaik, keputusan selalu ada di tangan kamu sebagai suami."

"Kapan kalian berencana pindah?" Tanya ibu dengan suara bergetar. 

Rasanya sulit sekali melewati ini, aku harus pergi dari rumah yang ku tepati selama Dua puluh tiga tahun hidupku. Kesedihan itu sangat terlihat jelas, putri satu-satunya akan pergi meninggalkan rumah mereka.

Ayah memang terlihat lebih tangguh, tapi aku pernah melihat ayah menangis saat selesai akad nikahku diam-diam.

Ayah meneteskan air matanya saat itu. Dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa sedih dan harunya. 

Saat melihat itu aku juga ikut bersedih. Ingin rasanya aku memeluk ayah dan menghibur, tapi aku urungkan. Aku tau ayah tidak ingin terlihat lemah di mata kami semua.

Ayah benar-benar ingin terlihat seperti laki-laki tangguh. Laki-laku yang selalu melindungi kami semua dari mara bahaya. Dia terlihat seperti karang selalu siap untuk melindungi kami semua. Aku yakin ayah tidak ingin sisi lemahnya kami lihat. 

Oleh karena itu aku tidak menghampiri ayah. Padahal aku ingin memeluknya dan mengatakan jika aku tetap putri kecilnya yang manja dan senang digendong ayah.

"Ibu ...." Arkan berkata lembut. 

Arkan menggenggam tangan ibu dengan lembut. Ditatapnya mata ibuku yang berkaca-kaca, namun tangisnya di tahan agar tidak jatuh.  Dia kemudian mencium tangan ibuku.

"Bu jangan sedih, Arkan bukan mengambil Zahra dari Ibu dan Ayah. Arkan hanya mengambil tanggung jawab dari pundak Ayah, Bu. Tidak ada yang Arkan ambil, atau bawa selain itu. Arkan yang masuk ke keluarga ini Bu, bukan mengambil atau membawa. Justru Arkanlah yang masuk ke dalam keluarga ini. Menjadi anak Ibu dan Ayah" 

Suara Arkan sangat lembut tapi sungguh-sungguh. Tangisku  dan ibu tidak bisa dibendung lagi, bahkan ayah pun tidak bisa pura-pura tidak meneteskan air mata.  Ayah mengusap matanya yang sudah berkaca-kaca.

"Arkan janji akan sering mengunjungi ibu dan ayah, mungkin juga membawa cucu. Nanti kami tidak hanya kembali berdua saja. Mungkin saja kami kembali bertiga atau berempat. Keluarga kita pasti akan tambah ramai,"kata Arkan menghidupkan suasana. 

"Tentu kalian harus memberi ayah dan ibu cucu segera," kata ayah menanggapi, tidak mau suasana menjadi sedih sedih terus.

"Benar jika bisa jangan di tunda," kata ibu lirih. 

Ya Allah, bagaimana ini? Mereka membahas tentang cucu. Aku mencubit paha Arkan di balik meja, agar menghentikan pembicaraan tentang cucu. 

Arkan menjerit, kami tentunya kaget. Jeritannya, tidak terlalu keras, tapi bisa didengar oleh kami semua. 

"Arkan kenapa?" Tanya ibu.

"Ada semut nakal menggigit Arkan Bu," adunya membuat wajahku memerah.

"Oalah ...." 

Bapak dan ibu pasti sudah paham siapa semut nakalnya. Mereka tertawa kecil sambil menatapku, yang mukaku semakin merah. 

Selesai makan dan berbincang. Aku mencuci piring bersama ibu, tapi Arkan mengajukan diri untuk membantuku. 

Awalnya ibu tidak mengizinkan tapi Arkan tetap bersikeras sehingga ibu menyerah. Di bak cuci piring aku menyabuni semua piring kotor, sementara Arkan membilas piringnya. 

Dia sama sekali tidak kelihatan canggung melakukan hal ini. Dia seakan-akan sudah biasa dan menikmatinya.

"Jangan sedih, kita akan sering kemari. Setiap Sabtu kita akan kerumah mama dan papa, semetara Minggu kita kerumah ayah dan ibu. Kalau kamu rindu orang tuamu. Kamu tinggal mengatakan padaku. Aku pasti akan langsung mengantarmu kesini segera," kata Arkan menatapku dengan penuh kelembutan.

"Cup jangan menangis lagi" lanjutnya. 

Tau-tau aku sudah menangis saja, aku tidak bisa menahan diri, saat pembahasan pindah dimulai. 

"Sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan rumah ini. Rumah tempatku tumbuh dan berkembang. Rumah dengan seribu kenangan dan memori bagiku," kataku lirih. 

Suaraku serak karena tangis, Arkan mengelap tangannya dengan serbet di dekatnya dan mengusap air mataku. 

"Zahra kita tidak pergi, kita hanya membangun rumah baru untuk anak-anak kita kelak. Jangan takut Zahra aku akan melindungimu, aku akan membahagiakanmu. Tidak ada niat sedikitpun dalam hatiku membuatku sedih, jadi percaya dan bergantunglah padaku. Aku juga akan menerima kenyamanan seperti rumah ini untukmu walaupun kamu berada di rumah baru" 

Aku terbawa suasana, sehingga memeluk Arkan dengan erat. Melimpahkan rasa sedihku di dada bidangnya. 

"Terima kasih Arkan kami mau menerimaku dan menerima ibu dan ayahku," kataku serak. 

"Tentu saja. Mereka sudah membesarkan istriku dengan sangat baik. Tentu saja aku harus menerima dan berterima kasih padanya." 

Aku terus memeluknya sehingga bajunya basah dan terdapat busa sabun cuci piring disana. Arkan tidak keberatan, di balik sikap jailnya dia orang yang dewasa dan pengertian. 

Aku tentu sangat berterima kasih ayah anugrah Allah yang sangat besar, walaupun pertama-tama syok. 

"Astaghfirullah ...." Suara ibu mengagetkan kami. 

Aku reflek mendorong Arkan hingga suamiku jatuh ke lantai, dengan posisi bokong mendarat duluan. Ibu langsung pergi, aku masih syok begitu pula Arkan. 

Ya Allah, ini kedua kalinya ibu memergoki kami dalam posisi yang tidak biasa. Ya Allah, aku sangat malu sekali. Aku mendapatkan suami pengertian, dewasa dan jail, tapi aku juga selalu mendapatkan momen memalukan.

"Astaghfirullah, bokongku bisa rusak kalau begini terus," Arkan bangkit dan memercikan dengan busa sabun cuci piring. 

Aku tidak mau kalah, dan membalasnya. Saat kami sedang asyik, ayah berdehem dan buru-buru pergi. Aku sampai syok dua kali. 

Ya Allah, hambamu ini sangat malu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status