Arkan bilang jangan banyak berpikir tentang Sinta. Aku hanya harus fokus pada kesehatanku dan janin yang sedang tumbuh di perutku. Walaupun begitu, pikiranku tetap masih tertuju pada Sinta. Membuat aku kadang jadi bad mood sendiri.
Wanita itu benar-benar sudah kelewatan. Bahkan sekarang secara terang-terangan ingin merebut Arkan dariku. Tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Akulah istri sah Arkan, jadi bukan aku yang pengganggu tapi dia.
Aku juga tau dia juga sering ke kantor Arkan padahal Arkan sudah sebisa mungkin menghindar. Sinta juga punya kesempatan karena ada kerja sama antara dua perusahaan itu. Sebenarnya Arkan ingin mundur dari kerja sama itu. Mengalihkan kerajaannya pada orang lain. Lalu ada masalah, hanya Arkan yang bisa mengatasi. Mau tidak mau, harus Arkan yang mengerjakannya.
Aku menjelaskan kalau bang Sakti adalah saudara sepersusuanku. Mama bang Sakti saat itu sakit parah dan ibu yang merawat bang Sakti. Kebetulan usia bang Sakti dan bang Bintang tidak jauh berbeda. Sehingga dengan persetujuan tante, ibu menyusui bang Sakti. Karena itu bang Sakti sangat dekat denganku dan bang Bintang. Kami seperti saudara kandung. Tidak ada batasan di antara kami. Bang Sakti sering menggendong, mencium dan memelukku. Karena hal itu tidak berdosa. Bang Sakti bahkan lebih sering berada di rumah daripada di rumah tanteku. Bang Sakti yang dirawat seperti anak sendiri oleh ibu membuatnya merasa nyaman berada dilingkungan keluarga kami. Apalagi umur bang Sakti dan Bang Bintang tidak terpaut jauh. "Sekarang kamu boleh telponan sama abangmu itu," kata Arkan padaku. Dia lalu mengelus rambu
Aku benar-benar emosi saat melihat wajah Dinia. Dia dengan seenaknya mengatai aku dan memaki-makiku. Padahal aku sama sekali tidak bersalah. Mungkin juga karena aku sedang hamil sehingga emosiku mudah sekali tersulut."Jaga mulutmu. Aku tidak pernah mengganggu dan merugikan kamu, tapi kamu selalu menggangguku," kataku geram. Dinia selalu saja mengusik hidupku. Dia menganggap aku tidak pantas menjadi istri Arkan dan Sinta, kakaknyalah yang pantas.Padahal mereka berpisah jauh sebelum kehadiranku. Aku menikah dengan Arkan, saat hubungan Arkan dan Sinta sudah benar-benar berakhir."Kalau bukan karena lo. Kakak gue gak mungkin mencoba bunuh diri. Dasar pelakor," kata Dinia marah. Dia menunjuk-nunjuk wajahnya dengan tangan kirinya.Aku langsung menepis tanga
Hari ini aku dan Arkan berencana untuk ke dokter. Untuk memeriksa kehamilanku. Kami berdua sekarang sangat benar-benar bersemangat.Kehamilanku membuat hubungan kami semakin harmonis.Walaupun ada halangan, kami sebisa mungkin menyelesaikan. Sinta juga semakin hari semakin keterlaluan. Dia tidak segan-segan datang ke kantor Arkan dan menemui suamiku.Sinta terus diusir oleh Arkan. Namun wanita itu tidak pernah jera. Dia selalu memanfaatkan situasi yang ada. Benar-benar wanita yang membuang harga diri karena cinta."Arkan tolong dong. Tarikin resleting baju aku, tangan aku soalnya gak nyampek," kataku padanya yang sedang memilih baju di dalam lemari.Arkan dengan gesit menuju ke arahku. Dia kemudian menyentuh pundakku. Aku langsung membalikan badan padanya."Sini," katanya lembut, tapi bukanya menarik resleting ku ke atas. Dia malah menurunkan resletingku. Arkan kemudian mencium bahuku lembut. Dia memeluk tubuhku dan menghir
Arkan terus memamerkan hasil usg bayi kami pada mama dan papa. Kami sekarang berada di rumah mama dan papa."Kenapa harus Zahra yang datang kesini. Harusnya mama dan papa aja yang datang ke apartemen kalian. Zahra harus banyak-banyak istirahat gak boleh sampai kelelahan," kata mama meletakan segelas teh di depanku.Aku benar-benar tidak enak pada mama. Aku ini menantunya tapi mama yang malam melayani aku. Harusnya aku yang melayani mama, bukan sebaliknya."Gak apa-apa ma, Zahra gak lelah sama sekali. Zahra juga senang bisa berkunjung ke rumah mama lagi. Selama ini Zahra kan udah lama tidak berkunjung," kataku sambil mengambil minuman yang baru diletakkan oleh mama."Tetap saja mama tidak mau kamu lelehan. Kalau nanti ada apa-apa dengan kamu dan kandunga
Melihat tante Wenda dengan wajah sembab saat meninggalkan makam papa. Membuat otakku berpikir sangat keras.Aku yakin hubungan mereka tidak ada yang istimewa. Namun saat aku melihat kejadian ini. Pemikiranku runtuh seketika.Tante Wenda tidak mungkin menangis hingga wajahnya sembab. Kalau hanya memiliki hubungan yang biasa dengan papa. Dia tidak perlu repot-repot terus menaruh bunga di makan papa tiap hari."Gua benar-benar gak tau kalau tante Wenda sering banget ke makam papa. Tante Wenda pasti sayang sekali pada papaku," kataku dengan nada sinis yang bahkan tidak bisa ku sembunyikan.Serafin mengelus rambutku dan tersenyum padaku. Matanya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi bibitnya tertutup sangat rapat.
Ya Allah badanku sampek gemetar, berada satu kamar dengannya. Seumur hidupku belum pernah aku bersama dengan laki-laki hanya berduaan dalam satu ruangan. Jari tanganku bahkan sudah pucat, karena terus ku remas. Aku gugup, dan takut dalam satu waktu yang sama. Detak jantungku jangan ditanya lagi bagaimana, sudah seperti generang yang ditabuh saat perang. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Apalagi saat melihat senyum menyeringainya, ya Allah aku rasanya ingin mati saja, tapi malaikat maut enggan menjemputku. Tentu saja enggan, karena mungkin belum waktunya Ya Allah bagaimana ini? Dia malah mendekatkan tubuhnya padaku, aroma parfumnya langsung mendominasi Indra penciumanku. Aku takut sekali wajahnya juga tampak tenang aja, tapi bukankah air yang t
Semalam Arkan masih bisa tidur dengan nyenyak di sebelahku tanpa terganggu sama sekali. Sedangkan aku benar-benar gugup sampai sulit tidur. Dia bahkan sempat membalas ledekan anak grup, yang kalau bercanda suka aneh-aneh. Ledekan demi ledekan mereka lontarkan di sana, aku bahkan terus di panggil, tapi tidak berani muncul. Aku benar-benar tidak siap menghadapi ledekan anak-anak grup. Hanya Arkan yang menanggapi ledekan mereka. Mereka banyak yang syok, tiba-tiba saja kami menikah dalam waktu yang bisa di bilang singkat. Acara akad nikah kami, hanya mengundang keluarga dekat saja, dan rencananya resepsi baru mengundang teman dan kolega. Resepsi Pun akan dilakukan dua bulan kedepan, akad dilakukan dalam waktu yang singkat dari acara lamaran. Pantas saja banyak yang syok mendengar kami sudah menikah.
Meja makan di penuhi hidangan istimewa pagi ini. Ada berbagai macam makan, ibu pasti menyiapkan untuk menantunya. Aku sama sekali tidak dibangunkan untuk membuat sarapan, biasanya membantu ibu memasak adalah tugasku. Aku sekarang tidak berani menatap ibu, malu rasanya mengingat kejadian tadi. Ya Allah semoga saja ibu cepat lupa. Arkan yang duduk di sampingku malah cengar-cengir, dan berceloteh gembira bersama ayah. Kedua laki-laki itu akrab sekali, padahal ayah bukan tipe orang yang ramah pada laki-laki yang mencoba mendekat padaku. Ayah terkesan galak sekali, apalagi ayah pensiunan tentara. Dulu ayah selalu membuat takut semua teman laki-lakiku, sepertinya Arkan cepat sekali bisa mengambil hati ayah dan ibu. "Setelah sarapan, kalian jadi melihat ru