“Mama bilang apa soal es krim?”William hanya bersandar pada pintu masuk menuju dapur rumahnya. Ada Clara yang sedang mengaduk sesuatu di atas penggorengan dan Axel yang di sisinya dengan sekotak es krim.“Aku akan gosok gigi setelah ini.” Negosiasi Axel bersama Clara—di mata William—selalu gagal. Putra pertamanya itu, Clara mendidilnya sedikit keras. “Mama, ayolah.” Axel masih terus merayu dan Clara mengembuskan napasnya dengan pelan.Tatapan mata Clara selalu lembut sekeras apa pun ketiga anaknya selalu meminta. Dan William bangga dengan sifat Clara; sabar dan penuh cinta.“Axel, mama tak ingin mengambil risiko soal kau yang akan sakit gigi di kemudian hari atau papa yang akan memergokinya setelah ini. Kau tahu bagaimana papa?”Dan Axel selalu diam jika sudah nama William yang disebutkan.“Terkadang, papa memang memberimu kesempatan tapi bukan untuk selalu kau lakukan. Sekarang, keputusan ada di tanganmu.”“Baiklah.” Axel menunduk lesu dan pergi dari sana. Berjalan dengan enggan dan
Karena yang namanya waktu terus berlalu, bergulir dan bahkan berganti. Maka manusianya juga meng-upgrade dirinya sendiri ke arah yang lebih baik atau yang lebih buruk sekali pun. Itu tergantung dari manusianya sendiri. Toh hidupnya ada di tangannya sendiri. Dan setiap apa pun yang ingin dilakukan adalah atas dasar keputusannya. Bukan orang lain yang mengatur dan ikut-ikut berkomentar.Sama halnya yang terjadi pada Jazzy. Mikaela juga termasuk dalam kategori merubah dirinya. Dua gadis remaja itu benar-benar melakukan perubahan besar terutama pada rambutnya. Yang membuat Alaina melihatnya geleng-geleng.“Serius?” katanya berteriak. “Kaela, kau punya mama—masih punya mama—dan Jazzy kau masih punya aku sebagai kakakmu, Clara seperti mamamu dan juga Austin serta William! Kalian serius melakukan ini? Astaga!”Yang kebakaran jenggot hanya Alaina seorang. Sedang Clara tampak tersenyum girang. Sesekali memegang ujung rambut Jazzy dan Kaela secara bergantian. Jika boleh jujur, Clara suka dengan
Bradley merasa tak puas dengan penjelasan yang di sampaikan Tuan Bruke. Masa tahannya akan berakhir satu pekan lagi dan pengajuan yang dirinya minta belum mendapatkan titik terang.“William betul-betul sialan!” umpatnya kesal. Tuan Bruke mendengarnya dengan jelas dan membiarkan kondisi terbakarnya hati Bradley. Itu bukan bagian dari tanggungjawabnya. Tuan Bruke hanya semata-mata bekerja dan melakukan pekerjaannya. Sisanya, bukan ranah dirinya untuk ikut campur.“Mereka anak-anakku. Lucas dan Jazzy jelas-jelas aku yang melahirkan dan darah milik Anderson mengalir pada keduanya. Lalu apa yang William lakukan! Terkutuk!”“Rekeningmu—isi rekening—“ Tuan Bruke meralatnya dan mengeluarkan bukti-bukti transfer yang selama ini dilakukan oleh Austin dan William. “Nominalnya sudah lebih dari cukup. Baik Austin mau pun William menyetujui permintaanmu yang ingin hidup di kampong dan mengelola sebuah kafe. Mereka akan mengirimkan uangnya, berapa pun yang kau minta. Tapi tidak dengan saham milik Lu
Kita bergeser pada kehidupan Jazzy Anderson. Yang banyak diam namun mempelajari dan penuh pertimbangan.Jazzy Anderson—jika orang lain yang melihatnya—mempunyai kehidupan sempurna yang selama ini di idam-idamkan oleh kebanyakan anak seusianya. Jazzy Anderson bisa memiliki apa saja tanpa harus meminta atau berusaha begitu keras. Berbeda dengan anak-anak lainnya yang rela melakukan banyak pengorbanan demi mendapatkan barang yang di incarnya.Tapi itu penampilan luarnya saja. Hanya penilaian orang sekilas tentang kehidupan seorang Jazzy Anderson. Yang faktanya tertulis bahwa itu semua tak sesuai dengan apa yang Jazzy alami.Karena mendapatkan kehidupan yang sempurna bak di negeri dongeng. Jazzy kehilangan banyak hal dan momen yang tak bisa Jazzy nikmati di usianya. Jazzy kehilangan kasih sayang. Jazzy kehilangan kebebasan. Jazzy kehilangan kesempatan untuk menikmati permainan apa yang di mauinya. Dan Jazzy kehilangan banyak momen untuk bisa bersama dengan papanya.Dan predikat kehidupan
“Kau punya orang yang spesial?” Jazzy paham ke mana arah dan maksud yang William tanyakan. Alih-alih menjawab, Jazzy justru mendengar lanjutan William yang cukup mengejutkan. “It’s okay jika kau punya satu orang spesial yang kamu anggap benar-benar spesial. Aku tak membatasi apa pun yang kau punyai dan kau anggap spesial. Apa pun itu, aku menghargainya sebagai pilihanmu. Good job Jazzy. Kau sudah dewasa yang benar-benar dewasa. Aku tak menyadarinya selama ini.”William benarkan letak rambut Jazzy ke belakang telinga. Dan sekali lagi embusan napasnya terdengar. Kali ini sedikit lebih berat.“Aku mendadak dilemma,” ucap William. Wajahnya berubah murung entah karena fakta Jazzy yang sudah tumbuh menjadi seorang gadis remaja dengan kekasih hatinya atau Jazzy yang memiliki orang spesial entah itu siapa.“Aku takut memanjakanmu—pada awalnya. Sehingga aku selalu bersikap dingin padamu. Tapi aku juga salah dengan lebih memilih Kaela pada waktu itu. Aku sangat ingin menjadi temanmu, tapi aku j
Nampaknya memang hanya Alaina saja yang masih kesal—emosinya masih meletup-letup hingga kepulangan Austin di malam harinya. Wanita memang tak ada tandingannya jika perkaranya seperti ini terlebih soal anak.Sampai malam hari pun—di meja makan yang biasanya selalu hangat dan ramai, Alaina benar-benar mendiamkan Mikaela—putri kesayangan yang tak pernah Alaina marahi barang sedikit pun. Sekeras apa pun Kaela, Alaina masih memberikan toleransi. Terkecuali untuk kejadian yang satu ini.“Biarkan saja,” kata Austin melonggarkan kekesalan yang sedang menyempitkan dada istrinya. “Kaela akan membaik seiring berjalannya waktu. Dia hanya sedang penasaran dan ingin tahu bagaimana responsmu.”“Dan ini responsku; aku menentangnya. Apa itu cukup membuat Kaela mengerti?”Alaina dan emosinya adalah perpaduan yang tak terpisahkan. Austin hanya bisa memaklumi. Sebagai kepala keluarga dan pemimpin di keluarga ini, tak bisa dengan mudah untuk Austin menerima complain dari satu pihak saja. Keduanya harus Au
Mikaela Anderson seperti baru menemukan jati dirinya. Seolah-olah memang ini yang di carinya selama ini. Abaikan tentang mama dan papanya yang sedang beradu argument. Kaela ingin menjadi bebal dan mengeraskan kepalanya bahwa ini yang terbaik untuk dirinya.Mematut dirinya di depan cermin, bersama sebuah lagu yang terasa pas untuk di dengarkan, Kaela tersenyum kecil. Mengelusi ujung rambutnya yang … wah ini terasa benar dan sangat membuat dirinya bangun.Rasanya seperti terbangun dari mimpi dan … ke mana saja dirinya selama ini. Kenapa baru sekarang membuat sebuah perubahan jika dengan begini kehidupannya terasa lebih baik. Kaela mengutuk dirinya sendiri karena baru melakukannya sekarang.Dan dengan berdirinya Kaela di depan cermin, rasanya seperti di perhatikan. Seperti banyak pasang mata yang sedang memberikan atensi sepenuhnya untuk dirinya. Seperti banyak suara-suara yang menyorakinya dan Kaela merasa di puja hanya karena perubahan yang dirinya lakukan.Mikaela benar-benar merasa s
“Really?”Hari berlalunya cepat sekali. Tiba-tiba sudah menginjak di penghujung hari dan baik Austin mau pun William masih sibuk dengan berkas pekerjaan. Memang tidak ke kantor, hanya duduk bersantai di ruang kerja William yang super nyaman dengan interior serba kayu. Di tambah dengan jendela kaca yang besar memperlihatkan kondisi di luar.“Siapa yang lebih frustrasi?” William membalik pertanyaan yang Austin tanyakan. “Kau pikir menjadi dewasa itu mudah!” cibir William kesal maksimal. Austin dengan segala cara pikirnya yang simple, kadang-kadang membuat William geram.“Aku tak mengatakan itu mudah. Tapi dewasa tentang sebuah proses—““Jadi siapa yang lebih frustrasi di sini?”Nah … Austin dan William walaupun berbagi rahim bersama, nyatanya otak keduanya tak bisa dianggap bisa sama. Austin yang simple berpadu dengan William yang konvensional. Tak perlu di bayangkan! Intinya mereka unik dan istimewa secara naluriah.“Belum aku temukan jawabannya siapa yang paling frustrasi di sini.” Me
Clara merasa jika loncatan dalam hidupnya terjadi begitu cepat. Sekarang siapa yang menyangka jika pada akhirnya Clara berada di sini, di sisi William Anderson yang arogan dan konvensional tapi tidak dipungkiri jika Clara pun mencintai pria kaku ini. Clara tidak akan menjadi munafik sekadar mengakui jika dirinya memang takut kehilangan William. Setelah kesepian seorang diri dan ditemukan dengan William, pelangi yang tidak pernah Clara lihat nyatanya memang seindah itu."Memikirkan apa?"Malam adalah waktu yang tepat bagi Clara dan William menghabiskan waktu bersama. Sudah sejak dulu kala pillowtalk menjadi pilihan keduanya untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain dan apa-apa saja yang sudah dilalui hari ini. Bersama mau pun tidak, dekat atau jauh mereka berdua akan selalu terhubung satu sama lain. Bahkan semesta seperti memberi dukungan untuk keduanya melakukan hal itu."Keringkan rambutmu dengan benar."William baru selesai dengan urusan mandinya. Hari ini William pulang agak laru
"Sejak dulu mereka selalu penurut. Kamu membuatku iri melihat bagaimana mereka tumbuh dengan baik." Alaina datang dari arah pintu garasi yang membuat Clara terpekik kaget sekaligus senang. "Kapan datang? Kamu tidak memberi kabar akan datang." Clara memanyunkan bibir persis seperti bocah tidak diberi permen keinginannya. "Bagaimana kabarmu?" Clara bertanya karena melihat lingkaran hitam di bawah mata Alaina kentara terlihat. "Berhenti mengomeliku!" Alaina duduk di kursi dekat Clara dan tersenyum tipis. "Aku sedang iri dengan caramu mendidik mereka. Tahukah kamu bahwa Kaela bukan lagi Kaela yang aku kenal? Dan ya aku baik. Aku ini orang paling handal dalam menjadi diri." Clara tidak punya daya untuk membela atau membenarkan kisah hidup yang Alaina alami dengan segala keputusan yang menurut orang dewasa matang tapi bagi Kaela itu tidak adil. Menjadi dewasa memang memusingkan sejak dulu kala dan Clara membenarkan hal itu. Dan apa pun yang Alaina katakan semuanya terasa sangat menyesa
Pancake buatan Clara selalu menjadi favorit William. William bahkan bersumpah jika seumur hidupnya dia mau menikmati pancake buatan Clara setiap harinya. Namun berbanding terbalik dengan kedua putranya yang memandangi pancake itu diikuti hidung mengkerut tanda tidak sukanya."Kenapa?" William menyeruput kopi hitamnya setelah menelan pancakenya. "Kalian akan protes tentang masakan mama dan apa yang sudah papa beri? Kalian tidak mau mensyukuri itu?" William bukan tipe orang tua keras yang akan langsung menghakimi tindakan anaknya. William hanya bersikap tegas untuk membuat anak-anaknya merasa ditegasi."Aku merasa kenyang papa." Alex mengutarakan yang dirasakannya. "Pancake buatan mama bukannya tidak enak tapi bukan termasuk favoritku.""Lalu, apa makanan favoritmu?" tanya William santai dan memasukan lagi potongan pancakenya. "Ah, kamu menyukai makanan cepat saji seperti sampah yang akan membuatmu tidak hidup sehat, begitu?""Bukan begitu papa." Kali ini Axel membuka suaranya yang leb
Sudah memutuskan menikah, artinya sudah memperkirakan apa saja yang akan terjadi. Bukan hal aneh jika sekarang banyak yang melakukan perjanjian pranikah sebelum akhirnya berhadapan dengan pendeta dan Tuhannya. Itu juga yang Clara pikirkan melihat kondisi dewasa saat ini. Meski pernikahannya bersama William terbilang singkat, jelas, dan padat bukab berarti tidak ada masalah yang menerpa kehidupan rumah tangga mereka. Perjalanan mereka terbilang penuh liku. Bukannya tidak mensyukuri sudah diberi bahagia sampai sejauh ini. Clara hanya ingin berbagi cerita, kisah dan mungkin sedikit nasihat. Bahwa sebelum meyakinkan diri untuk terikat dalam sebuah komitmen yang panjang maka pikirkanlah matang-matang. Menikah tidak sekadar memiliki ikatan dan merubah status namun juga menyatukan dua kepala dalam satu pemikiran. Agar tidak timbul ego untuk menang sendiri dan merasa paling benar."Apa yang kamu pikirkan?"William selesai dengan mandinya. Hari ini William pulang lebih awal karena tidak ada p
Kehidupan Clara dan William yang sesungguhnya baru dimulai. Ketiga anaknya telah beranjak dewasa dan William punya kesibukan yang selalu tak terduga. Clara merasa kesepian tapi selalu ditepisnya. Beruntungnya ada Valerie dan Stella yang bisa menjadi temannya."Kalian sudah berkenalan?" Clara sedikit terkejut saat Valerie dan Stella jauh lebih akrab dari bayangannya. "Aku senang mendengarnya. Jadi Stella, ada kue apalagi di tokomu?""William memberiku resep.""William?" Clara terperangah tidak percaya. "Manusia es itu berubah jadi baik dan memberimu resep?""Yang tidak pernah aku duga-duga. Manusia itu bukan lagi sedingin kutub, dia mulai hangat.""Aku tidak percaya ini.""Aku juga. Tapi ini kenyataan yang terjadi. Dia sungguh memberiku resep kue dan setelah aku sajikan di etalase semua pelanggan menyukainya.""Kamu harus membaginya padaku. Aku juga ingin tahu rasanya. Sebaik apa resep kue dari William sampai-sampai dia sangat pelit." Clara menyesap kopi panasnya sambil membayangkan ra
Kata berakhir tidak benar-benar selalu berakhir. Buktinya Clara dan William menemukan sebuah kehidupan sulit meski bukan dari dirinya langsung. Adalah Valeria yang terpuruk karena Justin, kekasihnya, yang bimbang ingin membersamai siapa. Belum lagi dengan fakta di mana Valeria menyembunyikan kehamilannya.Valerie hanya diam mematung menatap langit sore yang mulai kekuningan. Sunyi di rumah Clara adalah yang biasa karena anak-anaknya belum kembali dari tempat les. Tapi bagi Valerie itu sebuah penyiksaan. Dan dengan sabarnya, Clara ikut diam duduk di kursi santai.Jika melepas adalah ungkapan kata yang selaras dengan tindakan, bisa jelaskan padaku adakah rasa sakit? Jika ada, bisakah berhenti dan biarkan genggaman tangan ini tetap bertaut. Aku tak bisa—walau aku sudah memaksa. Genggaman tangan ini, kau tahu? Meski ini erat, kehangatan yang tersalur bahkan tak mampu memberi ketenangan, sedikit pun.Kau tahu soal sakit tapi tak berdarah? Sepertinya inilah definisi rasa sakit tapi tak meng
“Karena semuanya sudah berakhir …” Bradley mengembuskan napasnya. Wanita paruh baya itu ada di kediaman Clara dan William. Sedang bersama dengan Axel, Alex, Alexa, dan Michael. Menunggu Alaina yang baru saja tiba. “Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Aku juga tidak tahu ingin mengatakan ini sebagai apa. Tapi setidaknya kau lebih beruntung mengambil keputusan. Tidak apa, mungkin ini yang terbaik. Kau punya rencana?”Alaina menggeleng sebentar dan berpikir. Wajahnya terlampau tenang dan baik-baik saja padahal baru mengambil keputusan besar. Clara sampai terheran-heran di buatnya.“Ah, aku punya satu tempat di ruang terbuka. Di pinggiran kota yang lumayan banyak lalu-lalang pelancong. Mungkin, aku bisa membuka toko kue di sana. Menjajakan kue-kue buatanku.”Semuanya terdiam. Alaina juga terdiam bahkan William yang menjadi pria satu-satunya di sana juga terdiam. Lalu berdeham setelah melirikkan kedua matanya ke kanan dan ke kiri.“Kau bilang ingin kembali ke Ontario.”
Karena tidak semua kisah harus berakhir dengan bahagia. Meski permulaan selalu membahagiakan. Tapi sudah konsekuensi dari setiap pertemuan selalu ada perpisahan.Alaina memaknai perjalanan hidupnya seperti itu. Toh itu sudah di catat sejak dulu kala. Sudah menjadi hukum alam bahwa kehidupan yang kita jalani akan ada pengakhiran.Sama halnya dengan selembar kertas yang sudah Alaina bubuhkan tanda tangannya. Pada akhirnya, pertemuan manisnya dengan Austin dan perjalanan susah senang yang dilaluinya harus ada di titik ini: berpisah.Alaina sudah memaafkan, andai itu dijadikan pertanyaan mengapa bisa ada perpisahan.Mengenai Austin yang berselingkuh, Alaina menutup bukunya rapat-rapat. Ada banyak pertanyaan yang ingin Alaina ajukan. Termasuk; apa kurangnya Alaina. Bukan itu saja, Alaina juga ingin menanyakan perihal apa maunya Austin sehingga bisa berbuat seperti ini. Tapi alih-alih mengucapkannya, Alaina justru menemukan dua fakta yang lebih berguna. Pertama, Alaina merasa happy dan bers
Sesi pillowtalk milik Clara dan William setiap malam selalu terjadi. Sesibuk apa pun William, akan ada waktu penting seperti ini untuk ketiga anaknya dan Clara. William hanya menyadari sesusah apa untuk mempertahankan setelah mendapatkan dan enggan untuk bermain-main dengan sesuka hati. William hanya menjaga dan diimbangi oleh Clara.“Apa lagunya?” tanya William dengan melingkarkan tangan kekarnya di perut Clara. Yang masih ramping dan seksi meski sudah melahirkan tiga anak sekaligus.“Pillowtalk. Sesuai dengan hobi kita.” Clara ciumi telapak tangan besar William. Telapak tangan yang sudah sangat bekerja keras untuk keluarga ini dan menjaga Clara serta ketiga anaknya.“Out Of Love, bagaimana?” William ingin mendengarkan lagu itu. Yang terdengar lembut dan ingin segera memejamkan kedua kelopak matanya dalam dekapan Clara. “Hari ini melelahkan,” ucapnya.Clara memutar lagu sesuai yang William mau dan mengelusi tangannya yang melingkar di perutnya.“Sesuatu yang buruk?”Komunikasi antara